Permainan Layang-layang tradisional suku Raha. Daerah sebarannya umumnya dapat ditemui pada provinsi Sulawesi Tenggara. Layang-layang tradisional dari Pulau Muna ini terbuat dari lembaran daun kolope (daun gadung) yang telah kering kemudian dipotong ujung-ujungnya. Satu per satu daun tersebut dijahit dengan lidi dari bambu sebagai rangka layangan, sementara talinya dijalin dari serat nanas hutan. Permainan layang-layang (kaghati) oleh nenek moyang masyarakat Muna telah dilakukan sejak 4 ribu tahun lalu. Hal ini berdasarkan penelitian Wolfgong Bick tahun 1997 di Muna.
La Sirimbone adalah seorang anak laki-laki yang baik hati. Ia tinggal bersama ibunya, wa Roe. Ayahnya meninggal saat ia masih kecil. Suatu hari, seorang pedagang kain dari Desa La Patamba datang menemui mereka. Saat melihat Wa Roe, La Patamba langsung jatuh hati. Seusai berdagang, La Patamba pergi menemui sesepuh desa untuk meminta izin menikahi Wa Roe. Dengan restu para sesepuh desa, akhirnya Wa Roe bersedia menikah dengan La Patamba. Apalagi La Patamba berjanji akan menyayangi La Sirimbone seperti anak kandungnya sendiri. Namun, setelah menikah, rupanya La Patamba mengingkari janjinya. Ia meminta Wa Roe untuk membuang anaknya itu ke hutan. Betapa hancur hati Wa Roe, tapi ia tak berani membantah permintaan suaminya. Apalagi la patamba mengancam akan membunuh La Sirimbone jika ia menolak permintaanya. Dengan berat hati terpaksa Wa Roe membuang anak satu-satunya. Sambil berurai air mata, Wa Roe berpesan, "Jaga dirimu baik-baik anaku. Ibu yakin Tuhan selalu akan me...
Tari Lumense berasal dari Kecamatan Kabaena atau Tokotu'a Kabupaten Bombana Sulawesi Tenggara. Kata Lumense sendiri memiliki arti Terbang Tinggi yaitu berasal dari bahasa daerah yaitu kata Lume (terbang) dan Mense (Tinggi). Pada zaman dahulu tari lumense dilakukan dalam ritual pe-olia, yaitu ritual penyembahan kepada roh halus yang disebut kowonuano (penguasa/pemilik negeri) dengan menyajikan aneka jenis makanan. Ritual ini dilakukan agar kowonuano berkenan mengusir segala macam bencana. Penutup dari ritual tersebut adalah penebasan pohon pisang. Tarian ini juga sering ditampilkan pada masa kekuasaan Kesultanan Buton. Seiring dengan perkembangan, fungsi tari Lumense pun mulai bergeser. Ada pendapat yang mengatakan bahwa tari Lumense bercerita tentang kondisi sosial masyarakat Kabaena saat ini. Corak produksi masyarakat Kabaena adalah bercocok tanam atau bertani, masyarakat masih melakukan pola tradisional yaitu membuka hutan untuk dijadikan lahan pe...
Ayam Tawaoloho adalah kuliner khas kampung Pondidaha, Konawe, Sulawesi Tenggara. Menurut kalangan etnis Tolaki di Sulawesi Tenggara, makanan ini tidak mengandung kolestrol dikarenakan cara penggolahannya secara sederhana yang tidak banyak menggunakan bumbu rempah-rempah sebagaimana masakan lainnya. Ayam Tawaoloho berupa hidangan daging ayam berkuah bening yang terasa nikmat disantap saat ditemani semangkuk sinonggi. Berikut cara pembuatan Ayam Tawaoloho: Potong daging ayam sesuai ukuran lalu cuci bersih hingga bau anyirnya hilang dan air cucian ayam tidak menjadi merah karena darah. Setelah dicuci bersih, masukkan ayam ke dalam panci. Tuangkan air secukupnya lalu masukkan garam secukupnya. Jangan lupa kasih petsin secukupnya. Setelah itu masukkan beberapa lembar daun kedondong hutan (tawaoloho) yang masih muda ke dalam panci yang berisi ayam. Rebus sampai mendidih. Masukkan bubuk merica secukupnya. Agar aroma masakan Ayam Tawaoloho semakin wangi, biasanya d...
Makanan khas muna barat yang selanjutnya adalah kolope. Kolope adalah olahan dari gadung atau ubi hutan. Makanan khas ini diolah dengan cara dikukus dalam bentuk halus kemudian penyajiannya ditambah dengan taburan parutan kelapa. Kolope yang biasa dikenal dengan gadung / ubi hutan merupakan salah satu jenis tumbuhan yang begitu potensial tumbuh di daerah Muna. Oleh masyarakat setempat, tumbuhan ini merupakan tumbuhan yang menjalar dan multi fungsi yakni daunnya sebagai bahan membuat layang-layang (kaghati) dan umbinya bisa dimanfaatkan sebagai makanan tradisional yang sifatnya musiman (musim kemarau). Proses mengolah umbi gadung menjadi makanan olahan masyarakat tidak instan. Mengolahnya harus melalui beberapa tahapan dan jika ada tahapan yang tidak dilalui atau ada kesalahan / tidak teliti dalam mengolahnya maka akan menyebabkan keracunan. Proses mengolah dimulai dari pengambilan ubi yang tumbuh liar dalam hutan, selanjutnya dikupas dan diiris ti...
Puncak Siontapina ditetapkan sebagai Kawasan Hutan Adat yang disebut Kaombo dengan tujuan agar hutan yang berada di sekitar Puncak Siontapina tetap terpeliharan dan terjaga keasliannya. Sanksi adat menanti untuk mereka yang melanggar, yakni berupa denda atau menanam kembali pohon yang ditebang dengan beberapa pohon yang lain, bahkan ada sanksi berat untuk mereka yang tertangkap tangan melakukan pengrusakan hutan yaitu diasingkan ke daerah lain. Wasiat inilah yang masih terus dijalankan oleh para pengikutnya yang tersebar di Wasuamba, Labuandiri, Kamaru dan Lawele. Sumber: http://greatbuton.blogspot.co.id/
Orang Buton sejak jaman dulu sudah mengenal pertanian. Rongi merupakan sebuah desa yang umurnya sudah sangat tua. Lokasinya terletak sekitar 30 km dari pusat Kota Baubau. Desa ini terkenal sejak zaman dulu sebagai desa tempat hidup petani-petani tradisional yang memiliki kemampuan pertahanan pangan yang baik. Kebiasaan turun-temurun warga desa ini menyimpan bahan pangan bahkan bisa menjadi pelajaran penting bagi Indonesia yang bertanah paling subur di dunia, tapi tetap saja menjadi pengimpor beras. Karena kemarau yang panjang, kelaparan hebat pernah melanda seluruh wilayah kesultanan Buton. Seluruh daerah di pulau penghasil aspal ini kelaparan kecuali Rongi. Warga dari desa lain berdatangan ke desa itu untuk menukar barang yang mereka bawa dengan makanan simpanan warga Rongi. Karena kisah yang terus dikenang itu pulalah pemerintah setempat pernah mengganti namanya menjadi Desa Sandang Pangan. Tapi Rongi tetap saja jadi nama yang lebih populer sampai sekarang. Kemampua...
Suku Moronene adalah salah satu dari empat suku besar (suku Tolaki, Buton, Muna) di Sulawesi Tenggara. Menurut antropolog Universitas Haluoleo, Kendari, Sarlan Adi Jaya, Moronene adalah suku asli pertama yang mendiami wilayah itu. Namun, pamornya kalah dibanding suku Tolaki karena pada abad ke-18 kerajaan suku Moronene-luas wilayahnya hampir 3.400 kilometer persegi-kalah dari kerajaan suku Tolaki. Kata "moro" dalam bahasa setempat berarti serupa, sedangkan "nene" artinya pohon resam, sejenis paku yang biasanya hidup mengelompok. Kulit batangnya bisa dijadikan tali, sedangkan daunnya adalah pembungkus kue lemper. Resam hidup subur di daerah lembah atau pinggiran sungai yang mengandung banyak air. Sebagai petani, peramu, dan pemburu, suku Moronene memang hidup di kawasan sumber air. Mereka tergolong suku bangsa dari rumpun Melayu Tua yang datang dari Hindia Belakang pada zaman prasejarah atau zaman batu muda, kira-kira 2.000...
Kerajinan tangan “nentu” adalah salah satu kerajinan tangan berbentuk anyaman dengan bahan dasar batang tanaman merambat yang oleh masyarakat Muna dikenal sebagai “nentu”. Hasil kerajinan tangan “nentu” ini sudah sangat dikenal oleh para wisatawan yang berkunjung ke Muna. Produk-produk yang dihasilkan dari kerajinan tangan “nentu” ini sangat kuat dan tahan lama, karena batang “nentu” sebagai bahan dasar pembuatan kerajinan ini sangat kuat dan alot namun ringan. Bahkan konon katanya jauh lebih kuat dibanding anyaman berbahan dasar rotan sekalipun. Anyamannya pun sangat rapat dan rapi, tidak mudah koyak dan tidak mudah lapuk dalam waktu bertahun-tahun. Tanaman “nentu” tumbuh liar di hutan di Kabupaten Muna. Tanaman ini juga terdapat di Muna Barat, Buton Tengah, Buton, Buton Utara dan Bombana di Sulawesi Tenggara. “Nentu” sekilas seperti tanaman parasit yang tum...