Tradisi Snap Mor artinya menangkap ikan. Di Biak, Papua Snap mor dilambangkan sebagai sebuah pesta syukuran oleh warga dan siapapun dapat mengikutinya. Snap Mor adalah suatu pesta syukur. Warga Biak menjalani prosesi ini di Tanjung Barari, Biak Timur, Papua. Letak nilai tradisionalnya adalah dengan menangkap ikan yang telah di pagari pada perairan yang dangkal, kemudian hasil tangkapan dinikamti bersama-sama. Tradisi Snap Mor merupakan bagian dari pesta adat Munara, yang dapat di maknai sebagai kultus pembaruan dalam dinamika kehidupan masyarakat Biak. Ritual yang disebut Snap Mor ini sangat dekat dengan laut, dan di gelar pada masa air laut pada siklus surut terendah dan pasang tertinggi, masa itu biasanya berlangsung pada bulan Juli dan Agustus. Tradisi Snap Mor yang tetap terjaga sebenarnya menunjukkan kemampuan asli masyarakat asli Biak yang secara turun-temurun mengenali siklus pasang surut. Mereka mampu membaca kondisi laut dan tand...
Adat ini ditunjukkan untuk anak perempuan yang menginjak usia 2 tahun dimana seorang anak perempuan tersebut menjalani prosesi mandi kembang yang bercampur lemon atau jeruk dengan tumbuhan harum lainnya dipangkuan ibu yang melahirkan, bermaksud untuk khitanan atau mengkhitankan anak wanita, sebagai bukti keislaman seorang wanita sehingga agenda sakral tersebut yang harus dilalui oleh anak perempuan pada usia balita.
Molontalo atau raba puru bagi sang istri yang hamil 7 bulan anak pertama, merupakan pra acara adat dalam rangka peristiwa adat kelahiran dan keremajaan. Acara Molonthalo ini merupakan pernyataan dari keluarga pihak suami bahwa kehamilan pertama adalah harapan yang terpenuhi akan kelanjutan turunan dari perkawinan yang syah. Serta merupakan maklumat kepada pihak keluarga kedua belah pihak, bahwa sang istri benar-benar suci dan merupakan dorongan bagi gadis-gadis lainnya untuk menjaga diri dan kehormatannya.
Tradisi Weweh merupakan tradisi saat lebaran yang masih dilakukan oleh masyarakat di wilayah Sidoarjo. Tradisi Weweh ini merupakan kegiatan membawa kue lebaran, gula, ataupun mie instan untuk diberikan kepada sanak saudara yang lebih tua. Mereka yang biasa melakukan weweh adalah anak-anak kecil. Sebab ketika mereka membawakan kue-kue tersebut, mereka akan memeperoleh uang dari saudara mereka atau orang yang dikasih kue tersebut. Tapi tidak menutup kemungkinan jika orangtua mereka yang melakukannya. Biasanya weweh ini dilakukan bersamaan dengan bersilahturahmi atau berkunjung ketempat saudara mereka.
Upacara Kasada Bromo merupaka n tradisi adat yang rutin dilakukan oleh Suku Tengger. Upacara ini diadakan di Pura Luhur Poten Gunung Bromo, yang berada dibawah kaki gunung bromo kemudian dilanjutkan menuju puncak gunung. Tidak seperti pemeluk hindu pada umumnya yang memiliki candi sebagai tempat ibadah, Pura Luhur Poten hanya terdiri dari sebidang tanah dilahan pasir sebagai tempat be rlangsungnya Upacara Kasada. Upacara Kasada Bro mo biasa dilakukan pada tengah malam hingga dini ha ri setiap bulan purnama di bulan kasodo menurut penanggalan jawa. Selain untuk menghormati leluhur mereka, Upacara Kasada bromo juga dilakukan untuk mengangkat seorang Tabib atau dukun disetiap desa. Beberapa hari sebelum Upacara Kasada Bromo dimulai, masyarakat akan mengerjakan sesaji sesaji yang nantinya akan dilemparkan ke Kawah Gunung Bromo. Pada malam upacara berlangsung Masyarakat Tengger berbondong bondong membawa ongkekyang berisi se...
Perang Meriam Karbit merupakan tradisi rutin yang dilakukan oleh masyarakat muslim di Pontianak, Kalimantan Barat menjelang lebaran setiap tahunnya. Masyarakat selalu mengadakan perang meriam ini di pinggir Sungai Kapuas. Meriam yang digunakan untuk perang ini tidak berbahaya. Masyarakat membuat meriam dari bambu dan batang kelapa yang diisi dengan bubuk karbit. Sehingga meriam hanya akan menimbulkan suara yang sangat keras namun tidak berbahaya. Tradisi ini sudah ada sejak awal Kota Pontianak berdiri. Konon, raja pertama Pontianak, Syarif Abdurrahman Alkadrie, sempat diganggu oleh hantu-hantu ketika ia akan membuka lahan untuk tempat tinggalnya di kota ini. Lalu, Sultan memerintahkan pasukannya untuk mengusir hantu-hantu yang menganggunya dengan menggunakan meriam karbit. Perang Meriam Karbit sempat dilarang ketika masa orde baru. Setelah masa orde baru berakhir barulah tradisi ini kembali dilanjutkan.
Debus merupakan kesenian bela diri dari Banten yang mempertunjukan kemampuan manusia yang luar biasa. Misalnya kebal senjata tajam, kebal air keras dan lain- lain. Kesenian ini berasal dari agama Islam, terutama pada abad ke-16 pada masa pemerintahan Sultan Maulana Hasanuddin (1532-1570). Perlakuan menyeramkan seperti mengiris lidah dengan gergaji, makan api, memasukkan jarum ke pipi, mengunyah kaca, dan sebagainya dilakukan semata-mata untuk menunjukkan iman dan keyakinan kepada Tuhan. Pada zaman Sultan Ageng Tirtayasa (1651--1692) Debus menjadi sebuah alat untuk memompa semangat juang rakyat banten melawan penjajah Belanda pada masa itu. Kesenian Debus saat ini merupakan kombinasi antara seni tari dan suara. Debus dalam bahasa Arab berarti tongkat besi dengan ujung runcing berhulu bundar. Bagi sebagian masyarakat awam kesenian Debus memang terbilang sangat ekstrim. Pada masa sekarang Debus sebagai seni beladiri yang banyak dipertontonkan untuk acara kebudayaan ataupun upacara...
Awal mula kerapan sapi dilatar belakangi oleh tanah Madura yang kurang subur untuk lahan pertanian, sebagai gantinya orang-orang Madura mengalihkan matapencahariannya sebagai nelayan untuk daerah pesisir dan beternak sapi yang sekaligus digunakan untuk bertani khususnya dalam membajak sawah atau ladang. Pada perlombaan ini, sepasang sapi yang menarik semacam kereta dari kayu (tempat joki berdiri dan mengendalikan pasangan sapi tersebut) dipacu dalam lomba adu cepat melawan pasangan-pasangan sapi lain. Trek pacuan tersebut biasanya sekitar 100 meter dan lomba pacuan dapat berlangsung sekitar sepuluh detik sampai satu menit. Beberapa kota di Madura menyelenggarakan karapan sapi pada bulan Agustus dan September setiap tahun, dengan pertandingan final pada akhir September atau Oktober di eks Kota Karesidenan, Pamekasan untuk memperebutkan Piala Bergilir Presiden.
Makepung adalah tradisi balapan kerbau dikalangan masyarakat Bali, khususnya di bagian Bali Barat. Di wilayah ini Makepung selalu dijadikan acara tradisional yang rutin dilakukan selama beberapa kali dalam setahun. Kerbau dipilih sebagai hewan yang dilombakan karena bagi masyarakat Bali, yang merupakan penganut Hindu, sapi dianggap hewan suci karena sapi merupakan binatang tunggangan yang dipergunakan oleh Dewa Shiva.