Gapura kampung adat Banceuy ini merupakan penanda masuk ke dalam lokasi kampung adat banceuy, ciater, subang. Bentuknya mirip seperti gapura biasanya, hanya saja ia seluruhnya terbuat dari bambu dan dhiasi dengan berbagai ornamen unik yang khas lainnya. Kampung adat Banceuy itu sendiri sebenarnya sudah menjadi kampung desa modern seperti desa-desa di sekitarnya. Hanya saja di kampung ini masih menjalankan beberapa ritual adat secara tertib, misalnya ruwatan bumi. Di kampung ini juga hidup kelompok seni musik tradisional toleat-celempungan yang juga terbuat daru bambu (celempung renteng) dan diasuh oleh Abah Amar, murid dari pak parman (alm) dang maestro toleat dari Ciasem, Subang.
Kereta jenazah tradisional ini seluruhnya berbahan bambu dan dibuat secara gotong royong oleh masyarakat di desa cipacar, padamulya, kecamatan cipunagara, kabupaten Subang. Kereta jenazah ini sangat unik dan menunjukkan tradisi gotong royong yang masih cukup kental.
Candi yang ditemukan di situs ini seperti candi Jiwa, struktur bagian atasnya menunjukkan bentuk seperti bunga padma (bunga teratai). Pada bagian tengahnya terdapat denah struktur melingkar yang sepertinya adalah bekas stupa atau lapik patung Buddha. Pada candi ini tidak ditemukan tangga, sehingga wujudnya mirip dengan stupa atau arca Buddha di atas bunga teratai yang sedang berbunga mekar dan terapung di atas air. Bentuk seperti ini adalah unik dan belum pernah ditemukan di Indonesia. Bangunan candi Jiwa tidak terbuat dari batu, namun dari lempengan-lempengan batu bata.
Komplek vihara menghadap ke arah timur berada pada lahan seluas sekitar 5000 m2. Di depan komplek vihara terdapat halaman parkir yang cukup luas. Gerbang masuk ke komplek vihara berwarna sangat khas yaitu merah dengan atap berbentuk pelana terdiri dua susun. Pada bagian atas terdapat papan nama dengan tulisan berhuruf Cina. Pada bagian atas papan tersebut terdapat angka tahun 1986. Di kanan dan kiri gerbang masuk terdapat arca kilin. Setelah memasuki gerbang terdapat halaman yang di tengahnya terdapat altar Thian Seng yaitu altar untuk persembahyangan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Pada sudut barat laut dan barat daya halaman ini terdapat tempat pembakaran kertas. Selanjutnya dari halaman luar memasuki ruangan terbuka. Beberapa tiang penyangga atap ruangan ini berhias naga yang melilitnya. Pada bagian paling depan terdapat altar Mun Sen (Dewa Penjaga Pintu). Di sebelah barat (dalam) altar Munsen terdapat altar tiga penguasa alam (Sam Kwan Tay Teu). Ruangan selan...
Candi Blandongan adalah salah satu dari beberapa candi yang ada di Situs Batujaya. Situs ini diduga berasal dari periode Kerajaan Tarumanegara. Situs Batujaya terletak di dua desa, yakni Desa Segaran, Kecamatan Batujaya dan Desa Telagajaya, Kecamatan Pakisjaya, Kabupaten Karawang, Provinsi Jawa Barat. Situs Batujaya berada di dataran aluvial dengan ketinggian sekitar 4 m di atas permukaan air laut. Pada jarak sekitar 500 m ke arah barat dari situs, mengalir Sungai Citarum. Banyak tinggalan budaya mulai dari masa prasejarah, masa pengaruh Hindu-Buddha, hingga masa pengaruh Islam yang ditemukan di sepanjang aliran Sungai Citarum. Hadirnya kepurbakalaan Batujaya tidak terlepas dari hasil pembacaan prasasti Tugu, yang ditemukan di daerah Cilincing, Jakarta Utara. Isi prasasti tersebut menyebutkan Raja Purnawarman penguasa Kerajaan Taruma adalah raja yang menonjol dalam kebahagiaan, dan jasanya di atas para raja. Pada masa pemerintahannya, dilakukan penggalian sungai Candra...
Babancong terletak di depan rumah dinas Bupati Garut, tepatnya di depan pendapa. Dalam tata kota tradisional di Tatar Sunda, babancong merupakan bagian dari alun-alun dan terletak di sebelah selatan alun-alun. Bangunan ini biasanya berada di depan pendapa kabupaten. Dahulu babancong berfungsi sebagai tempat bagi bupati beserta pejabat pemerintahan lainnya menyampaikan pidato di depan publik serta sebagai tempat untuk para pejabat menyaksikan keramaian di alun-alun. Bangunan babancong merupakan bangunan panggung, berdenah segi delapan, beratap tajug, dengan delapan pilar berbentuk silinder yang menyangga bagian atap. Di bagian bawah terdapat relung-relung berbentuk lengkung sebanyak delapan buah. Terdapat dua sisi tangga untuk menaiki bangunan, yang saat ini diberi tambahan pintu dari besi. Pipi tangga babancong bermotif lengkung terawangan seperti sisik ular, penutup lantai anak tangga dari keramik, yang tampaknya merupakan penambaha...
Cangkuang adalah nama suatu desa berikut danau yang mengelilinginya. Candi yang ditemukan dan direkonstruksi di kawasan tersebut kemudian juga disebut Candi Cangkuang . Cangkuang termasuk Kecamatan Leles , Kabupaten Garut , Jawa Barat. Keletakan Candi Cangkuang dinaungi oleh pohon-pohon tua dan langka di atas sebuah bukit –pulau di tengah-tengah danau Cangkuang . Kawasan ini merupakan ini merupakan suatu cekungan pada ketinggian ± 695 m di atas permukaan laut, dikelilingi bukit. Danau Cangkuang luasnya 6,5 Ha, banyak ditumbuhi teratai dan ganggang, merupakan taman air serba guna seperti pengairan sawah, perikanan, pemandian dan lain-lain. Pulau Cangkuang terdiri atas bagian bukit dan dataran rendah. Candi Cangkuang terletak pada bagian paling tinggi, sekarang dihiasi pertamanan dan sebuah balai informasi, juga terdapat pemakaman setempat. Pada bagian dataran rendah terdapat kampung adat y...
Seni Aseuk hatong merupakan gambaran dari aktifitas masyarakat lembur yang sedang ngahuma atau menanam biji benih yang menjadi tanaman tumpangsari dikebun penduduk, dengan menggunakan tongkat kayu dahan pohon untuk membuat lubang di sebidang ladang yang telah dicangkul yang untuk diisi biji/bibit tanaman. Untuk mengenang aktifitas urang lembur jaman dahulu sekaligus dalam upaya pelestarian seni budaya sunda, aseuk hatong sering ditampilkan pada acara-acara yang berkaitan dengan kegiatan seni budaya, saat ini beberapa kelompok seni yang ada di kabupaten Tasikmalaya masih memelihara seni tersebut antara lain Sanggar seni Motekar Cipatujah, Dangiang Sunda Pakidulan, Sanggar Awi Hideung Cineam dll.
Menumbuk padi bagi sebagian besar masyarakat sunda merupakan pekerjaan sehari-hari bagi ibu-ibu untuk memproses padi sehingga menjadi beras. Pada awalnya kegiatan menumbuk padi tersebut menjadi suatu kebutuhan, kegiatan menumbuk padi tersebut biasanya dilaksanakan di saung lisung yang ditempatkan diatas kolam, kegiatan menumbuk padi pada umumnya dilakukan oleh 5-6 orang, dan untuk menghilangkan rasa jenuh maka ayunan alu tersebut dibuat berirama, sehingga selama menunbuk tidak terasa, selesai menumbuk gabah tersebut di tapi yang huutnya/gabahnya menjadi pakan ikan, saat ini disebut seni seni tutunggulan, tutunggulan berasal dari kata” nutu/numbuk” adapun perkakas yang dipakai, antara lain jubleg, alu dan nyiru.