Cangkuang adalah nama suatu desa berikut danau yang mengelilinginya. Candi yang ditemukan dan direkonstruksi di kawasan tersebut kemudian juga disebut Candi Cangkuang.Cangkuang termasuk Kecamatan Leles, Kabupaten Garut, Jawa Barat.
Candi Cangkuang dinaungi oleh pohon-pohon tua dan langka di atas sebuah bukit –pulau di tengah-tengah danau Cangkuang. Kawasan ini merupakan ini merupakan suatu cekungan pada ketinggian ± 695 m di atas permukaan laut, dikelilingi bukit. Danau Cangkuang luasnya 6,5 Ha, banyak ditumbuhi teratai dan ganggang, merupakan taman air serba guna seperti pengairan sawah, perikanan, pemandian dan lain-lain.
Pulau Cangkuang terdiri atas bagian bukit dan dataran rendah. Candi Cangkuang terletak pada bagian paling tinggi, sekarang dihiasi pertamanan dan sebuah balai informasi, juga terdapat pemakaman setempat. Pada bagian dataran rendah terdapat kampung adat yang disebut Kampung Pulo, terdiri atas enam rumah tinggal dan satu langgar (mushola) sedangkan di tengah-tengah terdapat halaman yang cukup luas. Pulau Cangkuang dapat dicapai melalui daratan, yakni jalan setapak di tengah persawahan atau melalui jalan air dengan getek dari Desa Ciakar.
Pada desember 1966Drs. Uka Tjandrasasmita selaku ahli purbakala tertarik untuk menelusuri sisa-sisa arca Dewa Siwa diCangkuang seperti disebutkan dalam catatan-catatan lama (N.B.G tahun 1893 dan R.O.D. tahun 1914). Ternyata yang ditemukan di pulau itu bukan hanya Arca Siwa melainkan batu-batu bekas bangunan candi yang digunakan sebagai nisan-nisan kubur dan juga berserakan di berbagai tempat. Seletah dilakukan penelitian oleh Lembaga Purbakala dan Peninggalan Nasional bersama para dosen dan para mahasiswa dari Jakarta dan Bandung dengan mengumpukan batu-batu, ekskavasi (penggalian), penggambaran, penyusunan percabaan, dan serangkaian diskusi diperoleh beberapa kesimpulan bahwa batu-batu itu merupakan sisa bangunan candi. Konsentrasi batu-batu yang ditemukan terletak di bawah pohon besar dengan denah candi berukuran 4,5 x 4,5 m.
Candi Cangkuang realtif berukuran kecil, dengan denah 4,5 x 4,5 m, tinggi 8,5 m. Bahannya dari batu andesit. Seperti candi-candi yang lain, Candi Cangkuang teridiri atas tiga bagian yaitu kaki, badan, dan atap.
Pada badan candi terdapat ruang (dgatu garba) berukuran 1,5 x 1,5 x 2 m dengan arca Siwa yang mengendarai lembu Nandi dalam posisi yang khas. Atapnya tumpang tiga berhias kemuncak menyerupai lingga dan simbar-simbar. Dinding berhias bingkai yang kosong tanpa relief. Sambungan batu satu sama lain disusun begitu saja tanpa alur, takuk maupun tonjolan, apalagi batu pengunci sama sekali tidak ada. Kesederhanaan hiasan dan teknik penyambungan batu ini menurut Ir. Ars. Sampurno S. (ahli Arsitektur purbakala) menandakan bahwa pembuatan candi ini masih dalam taraf awal.
Candi cangkuang adalah candi tunggal, tidak berkelompok seperti halnya candi Prambanan.
Sampai sekarang belum ditemukan bukti yang dapat mengaitkan Candi Cangkuang dengan masyarakat atau kerajaan tertentu. Data aerkeologis menunjukan bahwa sebelum pengaruh Hindu, di daerah Cangkuang dan sekitarnya sudah berkembang kebudayaan yang menghasilkan alat-alat mikrolit-obsidian, kapak/beliung batu, tembikar, alat-alat logam serta bangunan dari susunan batu.
Candi Cangkuang sendiri merupakan produksi budaya klasik yang pada waktu itu di Jawa Barat sendiri sudah berkembang kerajaan Taruma dalam tambo cina disebut To lo mo, kemudian Sun to (Sunda?) yang masih disebut-sebut hingga akhir abad ke-7.
Sementara arkeologis berpendapat bahwa ditilik dari bentuk bangunan, Candi Cangkuang berasal dari abad 8, namun menilik kesederhanaan hiasan dan teknik pembuatannya serta mengingat akan berita Cina tersebbut tidaklah mustahil kiranya Candi Cangkuang berasal dari abad ke-7. Setelah candi ini runtuh dan dilupakan orang sebagai bangunan suci agama Hindu zamanpun berganti, namun kekeramatannya masih dilestarikan dalam bentuk makam atau petilasan tokoh penyiar agama Islam. Proses kesinambungan budaya serupa ini umum kita jumpai dalam sejarah kebudayaan kita.
Setelah dikaji hampir sepuluh tahun lamanya, LPPN yang pada waktu itu dipimpin Dra. Ny. Satyawati Soeleimanberpendapat bahwa pemugaran secara memuaskan tidak mungkin, mengingat bahannya tinggal ±40% dan di mana letak serta menghadapnya secara pasti belum diketahui. Kalau dibiarkan terus, batu-batu akan makin aus dan banyak yang hilang tanpa dapat dinikmati oleh masyarakat, maka diputuskan untuk direkonstruksi. Untunglah yang ±40% itu masih mewakili unsur-unsur seluruh bagian candi. Tentang lokasinya tentnunya di tempat konsentrasi batu. Soal menghadap disesuaikan dengan kebiasaan arah hadap candi, yaiut ke timur (walaupun ada yang ke Barat).
Tahun 1974 sampai 1977 rekonstruksi dapat diselesaikann. Hasilnya dapat ditegakan lagi sebuah candi, meski secara arkeologis masih kurang mantap. Masih banyak masalah yang perlu dipecahkan, khusunya oleh para arkeolog, tetapi yang nyata Candi Cangkuang telah menjadi milik masyarakat dan menjadi cagar budaya nasional.
Nilai dan keindahannya kini telah banyak memikat pihak dan juga telah ikut memperkaya khasanah sasan wisata-budaya Indonesia. Menjadi tugas aparat pemerintah, khusunya Depdikbud setempat dan kewajiban kita semua untuk melestarikannya sebagai objek studi, sumber inspirasi serta objek wisata-budaya yang akan berdampak bagi semua pihak.
BAHAN-BAHAN 1 ikat kangkung bumbu halus : 5 siung bawang merah 2 siung bawang putih 2 butir kemiri 1 sdt ketumbar bubuk seruas kencur aromatic : 2 lembar daun salam 2 lembar daun jeruk 1 btg sereh seruas lengkuas,geprek seasoning : 1 sdt garam (sesuai selera) 1/2 sdt kaldu bubuk 1/2 sdm gula jawa sisir 1 sdt gula pasir Rose Brand 1 bungkus santan cair instan Rose Brand 1 liter air 3 sdm minyak goreng untuk menumis CARA MEMASAK: Siangi kangkung cuci bersih,tiriskan Haluskan bumbu Tumis bumbu halus hingga harum dengan secukupnya minyak goreng,masukkan aromatic,masak hingga layu,beri air 1 lt Masukkan kangkung,beri seasoning,aduk rata Koreksi rasa Sajikan Sumber: https://cookpad.com/id/resep/25030546?ref=search&search_term=kangkung
Bahan: 1 buah tomat, potong dadu 2 ekor ikan tongkol ukuran sedang (1/2kg) 1/2 bks bumbu marinasi bubuk 1 sdt bawang putih Secukupnya garam Secukupnya gula 7 siung bawang merah, iris 5 buah cabe rawit, iris 2 batang sereh, ambil bagian putihnya, iris 3 lembar daun jeruk, iris tipis-tipis 1 bks terasi ABC Minyak untuk menumis Secukupnya air Cara memasak: Cuci bersih ikan tongkol. Taburi bumbu marinasi desaku, garam secukupnya, air 2 sdm ke ikan tongkol. Siapkan bahan-bahan. Iris tipis bawang merah, daun jeruk, seret, cabe rawit. Kukus ikan tongkol selama 10 menit. Lapisi dengan daun pisang atau daun kunyit. Boleh jg tidak d lapisi. Setelah ikan di kukus, goreng ikan. Tumis bawang merah dan bahan lainnya. Masukkan terasi yg telah dihancurkan. Setelah matang, masukkan ikan yang telah digoreng. Aduk hingga rata. Sajikan dengan nasi hangat. Sumber: https://cookpad.com/id/resep/24995999?ref=search&search_term=dabu+dabu
Bahan-bahan Porsi 2 orang Bumbu Ikan bakar : 2 ekor ikan peda 1 sdm kecap 1/2 sdm Gula merah 1/2 sdt garam Minyak goreng Bahan sambal dabu-dabu : 7 buah cabe rawit merah, iris kecil 1 buah tomat merah, iris dadu 3 siung bawang merah,iris halus 2 lembar daun jeruk, buang tulang tengah daun, iris tipis 2 sdm minyak goreng panas Cara Membuat: Marinasi ikan dengan air perasan jeruk nipis dan garam secukupnya, diamkan 20 menit, kemudian panggang diatas teflon(aku di happycall yang dialasi daun pisang) sesekali olesi minyak plus bumbu ke ikannya(aku pakai bumbu kecap dan gula merah) panggang sampai matang. Cara bikin Sambal dabu-dabu : Campurkan semua bahan sambal dabu-dabu ke dalam mangkok kecuali minyak kelapa, panaskan minyak kelapa, kemudian siram diatas sambal tadi, sajikan ikan peda bakar dengan sambal dabu-dabu. Sumber: https://cookpad.com/id/resep/15232544?ref=search&search_term=peda+bakar
MAKA merupakan salah satu tradisi sakral dalam budaya Bima. Tradisi ini berupa ikrar kesetiaan kepada raja/sultan atau pemimpin, sebagai wujud bahwa ia bersumpah akan melindungi, mengharumkan dan menjaga kehormatan Dou Labo Dana Mbojo (bangsa dan tanah air). Gerakan utamanya adalah mengacungkan keris yang terhunus ke udara sambil mengucapkan sumpah kesetiaan. Berikut adalah teks inti sumpah prajurit Bima: "Tas Rumae… Wadu si ma tapa, wadu di mambi’a. Sura wa’ura londo parenta Sara." "Yang mulia tuanku...Jika batu yang menghadang, batu yang akan pecah, jika perintah pemerintah (atasan) telah dikeluarkan (diturunkan)." Tradisi MAKA dalam Budaya Bima dilakukan dalam dua momen: Saat seorang anak laki-laki selesai menjalani upacara Compo Sampari (ritual upacara kedewasaan anak laki-laki Bima), sebagai simbol bahwa ia siap membela tanah air di berbagai bidang yang digelutinya. Seharusnya dilakukan sendiri oleh si anak, namun tingkat kedewasaan anak zaman dulu dan...
Wisma Muhammadiyah Ngloji adalah sebuah bangunan milik organisasi Muhammadiyah yang terletak di Desa Sendangagung, Kecamatan Minggir, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Wisma ini menjadi pusat aktivitas warga Muhammadiyah di kawasan barat Sleman. Keberadaannya mencerminkan peran aktif Muhammadiyah dalam pemberdayaan masyarakat melalui pendekatan dakwah dan pendidikan berbasis lokal.