Di sebuah daerah yang sekarang bernama Dusun Butuh, Desa Sukorejo , Kabupaten Kediri, hiduplah seorang wanita sakti yang memiliki ilmu leak (ilmu hitam). Sang wanita tersebut adalah Calonarang. Dia mempunyai perguruan ilmu hitam dan hanya memiliki murid wanita. Ada empat murid wanita senior dalam perguruan ilmu hitam Calonarang, yaitu Nyi Larung, Nyi Lenda, Nyi lendi, dan Nyi Sedaksa.
Calonarang merupakan seorang janda yang terkenal bengis dan jahat. Dia memiliki seorang anak perempuan yang cantik. Anaknya bernama Diah Ratna Mengali. Sang anak tidak kunjung dinikahi oleh pria manapun. Hal ini disebabkan karena sang ibu yang bisa meleak, tentu saja sang anak perempuannya juga bisa memiliki ilmu leak. Para pemuda pada masanya tidak berani melamar Diah Ratna Mengali, mereka takut dengan ilmu hitam yang dimiliki oleh Calonarang maupun putrinya. Berita itu pun akhirnya sampai ke telinga Calonarang. Kabar tersebut disampaikan oleh anak buahnya yang bernama Nyi Larung, sehingga Calonarang menjadi naik pitam dan tidak terima jika akhirnya Diah Ratna Mengali akan menjadi perawan tua.
Kabar tersebut tentu saja berasal dari masyarakat Kediri. Calonarang tidak terima dengan tuduhan putrinya bisa meleak. Calonarang pun sebenarnya adalah seorang manusia biasa yang ingin putrinya menikah dan memberikannya cucu. Namun, gempuran fitnah yang dia terima mengakibatkan Calonarang menjadi marah dan ingin membalas serangan terhadap rakyat Kediri.
Calonarang tersenyum puas, dia tidak sabar membalas dendam terhadap rakyat Kediri yang telah mencoreng namanya. Calonarang mulai mempersiapkan diri untuk menenung rakyat Kediri dengan segenap tenaga.
Sehari sebelum serangan Calonarang, daerah Kediri masih tampak aman, tenang, dan damai. Penduduknya masih beraktivitas seperti biasa. Mereka mencari nafkah dengan cara bertani, nelayan, dan berdagang. Anak-anak masih terlihat ceria bermain di halaman rumah mereka. Kaum ibu asik mencari kutu di rambut dan sesekali bercengkrama dengan kelompoknya. Di kala senggang, kaum laki-laki mengelus-elus ayam aduan serta memberi makan ayam jagonya.
Ketika malam tiba, suasana menjadi berbeda. Malam tersebut dinamakan kajeng kliwon. Dipercaya oleh penduduk setempat, pantang bagi masyarakat untuk pulang ke rumah pada tengah malam. Malam tersebut adalah malam keramat dengan suasana yang mencekam. Pada saat itu pula Calonarang dan murid-muridnya telah berubah menjadi leak, siap untuk menyerang masyarakat Kediri.
Karena aura ilmu hitam yang telah menyerang dan sampai ke desa-desa itu, cuaca malam hari langsung menjadi panas dan gerah. Mereka tidur dengan galisah. Anak-anak serta para bayi juga mengalami hal yang sama. Para bayi di desa itu mulai menangis tidak tenang. Hewan-hewan pun memberikan isyarat akan munculnya sesuatu yang tidak lazim. Hewan tokek bersahut-sahutan, burung gagak mulai bersuara, banyak kodok melompat dan menimbulkan suara kegaduhan meski bukan musim penghujan. Merasakan keganjilan tersebut, masyarakat mulai ketakutan. Mereka sebagian besar tidak berani untuk memandang ke luar rumah. Jika mereka memandang ke luar rumah, pemandangan mengerikan akan tampak di luar sana. Langit seolah memerah, angin ribut, cuaca panas, dan hewan yang bersuara gaduh. Ketakutan tersebut membuat orang-orang yang berani mengintip ke luar mengalami sakit ngeeb atau ketakutan yang luar biasa.
Esoknya, banyak penduduk gempar dengan kematian mendadak. Sebelum mereka mati mendadak, mereka mengalami muntah dan mencret tanpa diketahui sebabnya. Banyak mayat yang dikuburkan di setra (tempat pemakaman). Akan tetapi, orang-orang yang ikut mengubur mayat-mayat tersebut akhirnya menjadi sakit dan meninggal. Bertubi-tubi peristiwa penguburan mayat terjadi di desa pesisir Kediri, seolah wabah kematian dekat dengan mereka. Diantara para warga juga mengadu kepada balian (dukun) untuk mengusir ilmu hitam. Namun, para balian yang ikut mengusir ilmu hitam tersebut tidak dapat berbuat banyak. Setelah mereka melakukan ritual pengusiran ilmu hitam, para balian mengalami sakit mencret dan meninggal. Keadaan tersebut telah membuat resah masyarakat dan akhirnya berita itu sampai kepada Raja Airlangga.
Para prajuru desa atau pengurus desa, para penglisir atau tetua, dan para pemangku desa menghadap Raja Airlangga tentang musibah penyakit atau gerubuk yang melanda sebagian besar masyarakat pesisir Kediri. Akhirnya Raja Airlangga memerintahkan pasukannya untuk menyerang Calonarang. Bala tentara yang dikirimkan Raja Airlangga terlalu gampang bagi Calonarang. Calonarang dapat mengalahkan bala tentara Raja Airlangga dengan waktu yang singkat, dan menambah kemarahan bagi Calonarang itu sendiri.
Calonarang sendiri adalah penyembah Durga dan penganut Bhairawa Pengiwa. Dia mampu melakukan ritual-ritual terhadap Durga untuk menimbulkan bencana wabah penyakit yang berakhir dengan kematian ke seluruh wilayah.
Raja Airlangga kewalahan dengan gempuran Calonarang. Dia merenung sejenak untuk mencari jalan keluar menghadapi Calonarang. Akhirnya, Raja Airlangga menemui penasehatnya yang sangat sakti, beliau bernama Mpu Baradah.
Akhirnya, datanglah rombongan lamaran Mpu Bahula di hadapan Calonarang. Calonarang menerima lamaran tersebut. Dia cukup senang karena anaknya sudah dilamar oleh seorang pria. Mpu bahula akhirnya menikah dengan Ratna Mengali dan tinggal di rumah Calonarang.
Setelah beberapa waktu Mpu Bahula tinggal di tempat Calonarang. Dia memperoleh informasi bahwa Calonarang setiap hari membaca sebuah kitab dan melakukan ritual angker. Diam-diam Mpu Bahula mencuri kitab yang dibaca oleh ibu mertuanya. Kitab tersebut sempat dibawa oleh Mpu Bahula kepada gurunya, Mpu Baradah. Kebetulan, Mpu Baradah telah berada di Girah untuk menyembuhkan orang-orang yang terkena penyakit tenung. Dengan seksama Mpu Baradah meneliti kitab tersebut. Setelah mendapatkan kesimpulan, Mpu Baradah menyuruh Mpu Bahula untuk mengembalikan dengan segera kitab tersebut ke tempat asalnya, agar Calonarang tidak menyadari bahwa kitabnya telah dicuri.
Mpu Baradah akhirnya dapat bertatap muka dengan Calonarang. Dengan ilmu diplomatiknya, Mpu Baradah mengingatkan Calonarang agar menghentikan sihirnya terhadap masyarakat Kediri. Dengan kekuatan diplomatik Mpu Baradah, Calonarang sendiri telah sadar dengan kesalahannya.
Pertempuran akhirnya terjadi antara Mpu Baradah dengan Calonarang. Calonarang akhirnya menyemburkan api yang keluar dari matanya untuk membunuh Mpu baradah. Akan tetapi, Mpu Baradah lebih sakti dibandingkan Calonarang. Pertempuran yang sengit itu akhirnya dapat membunuh Calonarang dengan keadaan berdiri.
Mengingat Calonarang sempat bertobat dan ingin melakukan ruwatan, Mpu Baradah akhirnya dapat menghidupkan kembali Calonarang. Setelah mempelajari ajaran kebenaran untuk mencapai moksa, Calonarang akhirnya meninggal dunia untuk selamanya.
MAKA merupakan salah satu tradisi sakral dalam budaya Bima. Tradisi ini berupa ikrar kesetiaan kepada raja/sultan atau pemimpin, sebagai wujud bahwa ia bersumpah akan melindungi, mengharumkan dan menjaga kehormatan Dou Labo Dana Mbojo (bangsa dan tanah air). Gerakan utamanya adalah mengacungkan keris yang terhunus ke udara sambil mengucapkan sumpah kesetiaan. Berikut adalah teks inti sumpah prajurit Bima: "Tas Rumae… Wadu si ma tapa, wadu di mambi’a. Sura wa’ura londo parenta Sara." "Yang mulia tuanku...Jika batu yang menghadang, batu yang akan pecah, jika perintah pemerintah (atasan) telah dikeluarkan (diturunkan)." Tradisi MAKA dalam Budaya Bima dilakukan dalam dua momen: Saat seorang anak laki-laki selesai menjalani upacara Compo Sampari (ritual upacara kedewasaan anak laki-laki Bima), sebagai simbol bahwa ia siap membela tanah air di berbagai bidang yang digelutinya. Seharusnya dilakukan sendiri oleh si anak, namun tingkat kedewasaan anak zaman dulu dan...
Wisma Muhammadiyah Ngloji adalah sebuah bangunan milik organisasi Muhammadiyah yang terletak di Desa Sendangagung, Kecamatan Minggir, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Wisma ini menjadi pusat aktivitas warga Muhammadiyah di kawasan barat Sleman. Keberadaannya mencerminkan peran aktif Muhammadiyah dalam pemberdayaan masyarakat melalui pendekatan dakwah dan pendidikan berbasis lokal.
SMP Negeri 1 Berbah terletak di Tanjung Tirto, Kelurahan Kalitirto, Kecamatan Berbah, Sleman. Gedung ini awalnya merupakan rumah dinas Administratuur Pabrik Gula Tanjung Tirto yang dibangun pada tahun 1923. Selama pendudukan Jepang, bangunan ini digunakan sebagai rumah dinas mandor tebu. Setelah Indonesia merdeka, bangunan tersebut sempat kosong dan dikuasai oleh pasukan TNI pada Serangan Umum 1 Maret 1949, tanpa ada yang menempatinya hingga tahun 1951. Sejak tahun 1951, bangunan ini digunakan untuk kegiatan sekolah, dimulai sebagai Sekolah Teknik Negeri Kalasan (STNK) dari tahun 1951 hingga 1952, kemudian berfungsi sebagai STN Kalasan dari tahun 1952 hingga 1969, sebelum akhirnya menjadi SMP Negeri 1 Berbah hingga sekarang. Bangunan SMP N I Berbah menghadap ke arah selatan dan terdiri dari dua bagian utama. Bagian depan bangunan asli, yang sekarang dijadikan kantor, memiliki denah segi enam, sementara bagian belakangnya berbentuk persegi panjang dengan atap limasan. Bangunan asli dib...
Pabrik Gula Randugunting menyisakan jejak kejayaan berupa klinik kesehatan. Eks klinik Pabrik Gula Randugunting ini bahkan telah ditetapkan sebagai cagar budaya di Kabupaten Sleman melalui SK Bupati Nomor Nomor 79.21/Kep.KDH/A/2021 tentang Status Cagar Budaya Kabupaten Sleman Tahun 2021 Tahap XXI. Berlokasi di Jalan Tamanmartani-Manisrenggo, Kalurahan Tamanmartani, Kapanewon Kalasan, Kabupaten Sleman, pabrik ini didirikan oleh K. A. Erven Klaring pada tahun 1870. Pabrik Gula Randugunting berawal dari perkebunan tanaman nila (indigo), namun, pada akhir abad ke-19, harga indigo jatuh karena kalah dengan pewarna kain sintesis. Hal ini menyebabkan perkebunan Randugunting beralih menjadi perkebunan tebu dan menjadi pabrik gula. Tahun 1900, Koloniale Bank mengambil alih aset pabrik dari pemilik sebelumnya yang gagal membayar hutang kepada Koloniale Bank. Abad ke-20, kemunculan klinik atau rumah sakit di lingkungan pabrik gula menjadi fenomena baru dalam sejarah perkembangan rumah sakit...
Kompleks Panti Asih Pakem yang terletak di Padukuhan Panggeran, Desa Hargobinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, merupakan kompleks bangunan bersejarah yang dulunya berfungsi sebagai sanatorium. Sanatorium adalah fasilitas kesehatan khusus untuk mengkarantina penderita penyakit paru-paru. Saat ini, kompleks ini dalam kondisi utuh namun kurang terawat dan terkesan terbengkalai. Beberapa bagian bangunan mulai berlumut, meskipun terdapat penambahan teras di bagian depan. Kompleks Panti Asih terdiri dari beberapa komponen bangunan, antara lain: Bangunan Administrasi Paviliun A Paviliun B Paviliun C Ruang Isolasi Bekas rumah dinas dokter Binatu dan dapur Gereja