Kabupaten Wonosobo merupakan salah satu Kabupaten yang ada di Provinsi Jawa Tengah. Kabupaten yang menjadi titik tengah pulau Jawa ini berkarakteristik lahan basah dan pegunungan. Wonosobo juga merupakan Kabupaten yang kaya akan budaya dan seni. Salah satunya adalah budaya pastoral seperti angon bebek (penggembala bebek). Sontoloyo atau sebutan bagi penggembala bebek ini biasa menggunakan alat semacam payung yang digunakan untuk berteduh dari panas dan hujan selama melakukan menggembala bebek. Tentu saja karena budaya itu sendiri, perkakas beradaptasi karena faktor lingkungan.
1. Sejarah Bundengan
Kowangan merupakan alat yang berbentuk seperti payung besar yang karakteristik bentuknya mirip seperti tudung. Kowangan merupakan alat yang sudah ada sejak zaman Majapahit yang digunakan dalam kegiatan sehari-hari seperti tani (bertani), ngarit (mencari rumput), dan angon bebek (menggembalakan bebek). Dalam mengisi waktu istirahat biasanya penggembala bebek akan memainkan musik dari kowangan tersebut. Orang mengenalnya dengan sebutan Bundengan. Bundengan merupakan pengembangan atau transformasi dari kowangan itu sendiri. Bundengan merupakan alat musik yang diyakini sudah ada sejak abad ke-12. Hal ini diperkuat dengan bukti yang tertulis pada kitab Wretta Sancaya yang digubah oleh Mpu Tanakung. Dalam (Dirgantara, 2020), bukti tertulis dari keberadaan Bundengan ini ada pada bait 93, sekar Mandraka yang menyebutkan, “lwirna wayang taheng atin ikang wukir himaranga nipis/bumbung ikang petung kapawanan, yateka tudung anja munyarangin/peks ketursal unding anikaking syanipa mangsuling kidang alon/madraka Sabdaning mrakala ngosawang pangidung yamang rasih ati”. Serat ini diterjemahkan oleh ahli bahasa sanskerta Hendric Kern atau Prof. Dr. H. Kern yang kurang lebih memiliki arti “tudung yang digunakan sebagai tetabuhan wayang”. Atas dasar inilah disinyalir bahwa Bundenganlah yan dimaksud. Menurut kisah-kisah yang beredar dimasyarakat Desa Sapuran, Wonosobosejarah modern Bundengan dimulai dari tahun 1955 dimana saat itu ada seniman Bundengan yakni mbah Ahmad Ilyas. Leluhur mbah Ahmad Ilyas sendiri yakni Mbak Surung juga merupakan seniman Bundengan. Kepercayaan masyarakat setempat menyatakan bahwa pada makam Mbah Surung seringkali terlihat pusaka Kowangan ghaib. Kemudian sekitar tahun ‘70an, Pak Seniman bernama Sardiman mengisi acara “Bianglala”di TVRI dengan menampilkan Bundengan untuk mengiringi macapat. Kemudian Bundengan dipopulerkan oleh Barnawi yang dilanjutkan oleh adiknya yakni Munir serta Bohori dan Muntamar hingga sekarang. Sebenarnya bila diurutkan berdasarkan sejarahnya, Bundengan mengalami berbagai perjalanan yang sayangnya sempat tertidur cukup lama. Bahkan generasi selanjutnya, ditempat dimana Bundengan itu lahir sama sekali tidak tahu apa itu Bundengan.
2. Karakteristik Bentuk Bundengan
Pada awal perkembangannya, asal mula Bundengan berasal dari Kowangan. Kowangan sendiri merupakan tudung yang biasa digunakan penggembala bebek untuk berteduh. Bahan dasar dari Kowangan yaitu bilah bambu yang disebut pring, kulit kering bambu yang disebut clumpring, tali dan ijuk. Dalam (“KISAH BUNDENGAN,” n.d.) Kowangan dikembangkan lagi menjadi Bundengan dengan ditambahkan ijuk yang disusun secara horizontal dan dikembangkan lagi dengan menggunakan senar karena kelangkaan ijuk. Kemudian ditambahkan tiga bilah bambu yang dipasang didalam Kowangan yang disusun secara vertikal. Menurut Kunts (1973) dalam (Arbi & Kapoyos, 2019) mendeskripsikan Kowangan atau Bundengan sebagai instrument musik yang memiliki konstruksi perisai dan didalamnya terdapat beberapa helai senar yang disusun secara horizontal dengan tambahan potongan bamboo kecil ditengah serta beberapa bamboo yang ditancapkan dengan ukuran masing-masing tidak sama dan dapat menghasilkan suara. Fungsi potongan bambu kecil pada senar berfungsi mengatur tune suara atau karakter suara. Bambu yang ada pada senar disebut sebagai bandhulan. Berdasarkan Kunst juga dalam sumber yang sama, Bundengan diklasifikasikan sebagai bagian dari alat musik chordophone dan idophone yang bisa ditemukan diberbagai wilayah Karesidenan Kedu.
Kalau dari karakteristik suara yang dihasilkan, Bundengan menghasilkan suara yang unik dan merupakan imitasi dari suara perangkat gamelan. Suara senar dan bilah bambu pada Bundengan mewakili suara Bendhe dan Kendang. Nuansa suara yang dihasilkan yaitu laras slendro dengan nada dasar do, re, mi, sol, dan la. Pada seni pertunjukkan Bundengan biasanya difungsikan sebagai pengiring dari tarian jaran kepang, topeng, dan lengger dengan beberapa tembang seperti kebo giro dan sulasih. Akan tetapi yang cukup populer adalah Bundengan dengan tari Lengger dengan tembang sulasih.
3. Bagaimana Bundengan Sekarang?
Eksistensi dari Bundengan sendiri tidak terlepas dari peran pemerintah. Dalam beberapa dekade ini sudah banyak program yang dilaksanakan oleh pemerintah guna melestarikan dan mengenalkan Bundengan. Hal ini bertujuan untuk melestarikan budaya asli Wonosobo dan memberikan edukasi pada generasi muda supaya meneruskan semangat kebudayaan. Banyak program yang dilaksanakan seperti konser bertajuk “What is Bundengan” dimana dalam konser ini Bundengan berkolaborasi dengan berbagai genre musik, mulai dari kontemporer, musik pop, hingga EDM (Electronic Dance Music). Pelestarian juga dilakukan dengan berbagai workshop bahkan diketahui di salah satu SMP di Wonosobo, SMPN 2 Selomerto, Bundengan masuk dalam materi yang disampaikan dalam kelas dan menjadi salah satu kurikulum pembelajaran.
Kini Bundengan bersamaan dengan tari Lengger menjadi warisan budaya yang telah dinyatakan menjadi Warisan Budaya Tak Benda oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Dikutip dari (“Tari Topeng Lengger dan Bundengan Wonosobo Menjadi Warisan Budaya Tak Benda,” n.d.) upaya ini dilakukan sebagai langkah untuk melindungi objek kebudayaan daerah sesuai dengan UU No.5 Tahun 2017 Tentang Pemajuan Kebudayaan. Riset dilakukan tahun 2019 dibarengi dengan pendokumentasian untuk pendaftaran objek kebudayaan tari Lengger dan Bundengan. Melalui Tim Ahli Kemendikbud dan disidangkan pada 8 Oktober 2020 dan pada tanggal 9 Oktober 2020 lolos sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) Indonesia.
Referensi Bacaan:
Arbi, B., & Kapoyos, R. J. (2019). Bentuk Pertunjukan Dan Fungsi Bundengan Wonosobo. Tonika: Jurnal Penelitian Dan Pengkajian Seni, 2(2), 11–26. https://doi.org/10.37368/tonika.v2i2.105
Dirgantara, R. A. (2020). Hikayat Bundengan, “Bendhe” Wonosobo yang Masyhur Sejak Era Majapahit. Retrieved March 30, 2021, from Liputan6.com website: https://www.liputan6.com/regional/read/4326283/hikayat-bundengan-bendhe-wonosobo-yang-masyhur-sejak-era-majapahit
KISAH BUNDENGAN. (n.d.). Retrieved from https://kotakreatif.kemenparekraf.go.id/kisah-bundengan/
Tari Topeng Lengger dan Bundengan Wonosobo Menjadi Warisan Budaya Tak Benda. (n.d.). Retrieved from https://disparbud.wonosobokab.go.id/postings/details/1041829/Tari_Topeng_Lengger_dan_Bundengan_Wonosobo_Menjadi_Warisan_Budaya_Tak_Benda.HTML
Referensi Video:
https://www.youtube.com/watch?v=O2HU-4Xxauc&t=551s
https://www.youtube.com/watch?v=au3rKBS0XLI
Referensi Gambar:
BAHAN-BAHAN 1 ikat kangkung bumbu halus : 5 siung bawang merah 2 siung bawang putih 2 butir kemiri 1 sdt ketumbar bubuk seruas kencur aromatic : 2 lembar daun salam 2 lembar daun jeruk 1 btg sereh seruas lengkuas,geprek seasoning : 1 sdt garam (sesuai selera) 1/2 sdt kaldu bubuk 1/2 sdm gula jawa sisir 1 sdt gula pasir Rose Brand 1 bungkus santan cair instan Rose Brand 1 liter air 3 sdm minyak goreng untuk menumis CARA MEMASAK: Siangi kangkung cuci bersih,tiriskan Haluskan bumbu Tumis bumbu halus hingga harum dengan secukupnya minyak goreng,masukkan aromatic,masak hingga layu,beri air 1 lt Masukkan kangkung,beri seasoning,aduk rata Koreksi rasa Sajikan Sumber: https://cookpad.com/id/resep/25030546?ref=search&search_term=kangkung
Bahan: 1 buah tomat, potong dadu 2 ekor ikan tongkol ukuran sedang (1/2kg) 1/2 bks bumbu marinasi bubuk 1 sdt bawang putih Secukupnya garam Secukupnya gula 7 siung bawang merah, iris 5 buah cabe rawit, iris 2 batang sereh, ambil bagian putihnya, iris 3 lembar daun jeruk, iris tipis-tipis 1 bks terasi ABC Minyak untuk menumis Secukupnya air Cara memasak: Cuci bersih ikan tongkol. Taburi bumbu marinasi desaku, garam secukupnya, air 2 sdm ke ikan tongkol. Siapkan bahan-bahan. Iris tipis bawang merah, daun jeruk, seret, cabe rawit. Kukus ikan tongkol selama 10 menit. Lapisi dengan daun pisang atau daun kunyit. Boleh jg tidak d lapisi. Setelah ikan di kukus, goreng ikan. Tumis bawang merah dan bahan lainnya. Masukkan terasi yg telah dihancurkan. Setelah matang, masukkan ikan yang telah digoreng. Aduk hingga rata. Sajikan dengan nasi hangat. Sumber: https://cookpad.com/id/resep/24995999?ref=search&search_term=dabu+dabu
Bahan-bahan Porsi 2 orang Bumbu Ikan bakar : 2 ekor ikan peda 1 sdm kecap 1/2 sdm Gula merah 1/2 sdt garam Minyak goreng Bahan sambal dabu-dabu : 7 buah cabe rawit merah, iris kecil 1 buah tomat merah, iris dadu 3 siung bawang merah,iris halus 2 lembar daun jeruk, buang tulang tengah daun, iris tipis 2 sdm minyak goreng panas Cara Membuat: Marinasi ikan dengan air perasan jeruk nipis dan garam secukupnya, diamkan 20 menit, kemudian panggang diatas teflon(aku di happycall yang dialasi daun pisang) sesekali olesi minyak plus bumbu ke ikannya(aku pakai bumbu kecap dan gula merah) panggang sampai matang. Cara bikin Sambal dabu-dabu : Campurkan semua bahan sambal dabu-dabu ke dalam mangkok kecuali minyak kelapa, panaskan minyak kelapa, kemudian siram diatas sambal tadi, sajikan ikan peda bakar dengan sambal dabu-dabu. Sumber: https://cookpad.com/id/resep/15232544?ref=search&search_term=peda+bakar
MAKA merupakan salah satu tradisi sakral dalam budaya Bima. Tradisi ini berupa ikrar kesetiaan kepada raja/sultan atau pemimpin, sebagai wujud bahwa ia bersumpah akan melindungi, mengharumkan dan menjaga kehormatan Dou Labo Dana Mbojo (bangsa dan tanah air). Gerakan utamanya adalah mengacungkan keris yang terhunus ke udara sambil mengucapkan sumpah kesetiaan. Berikut adalah teks inti sumpah prajurit Bima: "Tas Rumae… Wadu si ma tapa, wadu di mambi’a. Sura wa’ura londo parenta Sara." "Yang mulia tuanku...Jika batu yang menghadang, batu yang akan pecah, jika perintah pemerintah (atasan) telah dikeluarkan (diturunkan)." Tradisi MAKA dalam Budaya Bima dilakukan dalam dua momen: Saat seorang anak laki-laki selesai menjalani upacara Compo Sampari (ritual upacara kedewasaan anak laki-laki Bima), sebagai simbol bahwa ia siap membela tanah air di berbagai bidang yang digelutinya. Seharusnya dilakukan sendiri oleh si anak, namun tingkat kedewasaan anak zaman dulu dan...