|
|
|
|
Bundengan: Sejarah dan Kisah Tanggal 01 Apr 2021 oleh Betarum Damaris. Revisi 8 oleh Betarum Damaris pada 02 May 2023. |
Kabupaten Wonosobo merupakan salah satu Kabupaten yang ada di Provinsi Jawa Tengah. Kabupaten yang menjadi titik tengah pulau Jawa ini berkarakteristik lahan basah dan pegunungan. Wonosobo juga merupakan Kabupaten yang kaya akan budaya dan seni. Salah satunya adalah budaya pastoral seperti angon bebek (penggembala bebek). Sontoloyo atau sebutan bagi penggembala bebek ini biasa menggunakan alat semacam payung yang digunakan untuk berteduh dari panas dan hujan selama melakukan menggembala bebek. Tentu saja karena budaya itu sendiri, perkakas beradaptasi karena faktor lingkungan.
1. Sejarah Bundengan
Kowangan merupakan alat yang berbentuk seperti payung besar yang karakteristik bentuknya mirip seperti tudung. Kowangan merupakan alat yang sudah ada sejak zaman Majapahit yang digunakan dalam kegiatan sehari-hari seperti tani (bertani), ngarit (mencari rumput), dan angon bebek (menggembalakan bebek). Dalam mengisi waktu istirahat biasanya penggembala bebek akan memainkan musik dari kowangan tersebut. Orang mengenalnya dengan sebutan Bundengan. Bundengan merupakan pengembangan atau transformasi dari kowangan itu sendiri. Bundengan merupakan alat musik yang diyakini sudah ada sejak abad ke-12. Hal ini diperkuat dengan bukti yang tertulis pada kitab Wretta Sancaya yang digubah oleh Mpu Tanakung. Dalam (Dirgantara, 2020), bukti tertulis dari keberadaan Bundengan ini ada pada bait 93, sekar Mandraka yang menyebutkan, “lwirna wayang taheng atin ikang wukir himaranga nipis/bumbung ikang petung kapawanan, yateka tudung anja munyarangin/peks ketursal unding anikaking syanipa mangsuling kidang alon/madraka Sabdaning mrakala ngosawang pangidung yamang rasih ati”. Serat ini diterjemahkan oleh ahli bahasa sanskerta Hendric Kern atau Prof. Dr. H. Kern yang kurang lebih memiliki arti “tudung yang digunakan sebagai tetabuhan wayang”. Atas dasar inilah disinyalir bahwa Bundenganlah yan dimaksud. Menurut kisah-kisah yang beredar dimasyarakat Desa Sapuran, Wonosobosejarah modern Bundengan dimulai dari tahun 1955 dimana saat itu ada seniman Bundengan yakni mbah Ahmad Ilyas. Leluhur mbah Ahmad Ilyas sendiri yakni Mbak Surung juga merupakan seniman Bundengan. Kepercayaan masyarakat setempat menyatakan bahwa pada makam Mbah Surung seringkali terlihat pusaka Kowangan ghaib. Kemudian sekitar tahun ‘70an, Pak Seniman bernama Sardiman mengisi acara “Bianglala”di TVRI dengan menampilkan Bundengan untuk mengiringi macapat. Kemudian Bundengan dipopulerkan oleh Barnawi yang dilanjutkan oleh adiknya yakni Munir serta Bohori dan Muntamar hingga sekarang. Sebenarnya bila diurutkan berdasarkan sejarahnya, Bundengan mengalami berbagai perjalanan yang sayangnya sempat tertidur cukup lama. Bahkan generasi selanjutnya, ditempat dimana Bundengan itu lahir sama sekali tidak tahu apa itu Bundengan.
2. Karakteristik Bentuk Bundengan
Pada awal perkembangannya, asal mula Bundengan berasal dari Kowangan. Kowangan sendiri merupakan tudung yang biasa digunakan penggembala bebek untuk berteduh. Bahan dasar dari Kowangan yaitu bilah bambu yang disebut pring, kulit kering bambu yang disebut clumpring, tali dan ijuk. Dalam (“KISAH BUNDENGAN,” n.d.) Kowangan dikembangkan lagi menjadi Bundengan dengan ditambahkan ijuk yang disusun secara horizontal dan dikembangkan lagi dengan menggunakan senar karena kelangkaan ijuk. Kemudian ditambahkan tiga bilah bambu yang dipasang didalam Kowangan yang disusun secara vertikal. Menurut Kunts (1973) dalam (Arbi & Kapoyos, 2019) mendeskripsikan Kowangan atau Bundengan sebagai instrument musik yang memiliki konstruksi perisai dan didalamnya terdapat beberapa helai senar yang disusun secara horizontal dengan tambahan potongan bamboo kecil ditengah serta beberapa bamboo yang ditancapkan dengan ukuran masing-masing tidak sama dan dapat menghasilkan suara. Fungsi potongan bambu kecil pada senar berfungsi mengatur tune suara atau karakter suara. Bambu yang ada pada senar disebut sebagai bandhulan. Berdasarkan Kunst juga dalam sumber yang sama, Bundengan diklasifikasikan sebagai bagian dari alat musik chordophone dan idophone yang bisa ditemukan diberbagai wilayah Karesidenan Kedu.
Kalau dari karakteristik suara yang dihasilkan, Bundengan menghasilkan suara yang unik dan merupakan imitasi dari suara perangkat gamelan. Suara senar dan bilah bambu pada Bundengan mewakili suara Bendhe dan Kendang. Nuansa suara yang dihasilkan yaitu laras slendro dengan nada dasar do, re, mi, sol, dan la. Pada seni pertunjukkan Bundengan biasanya difungsikan sebagai pengiring dari tarian jaran kepang, topeng, dan lengger dengan beberapa tembang seperti kebo giro dan sulasih. Akan tetapi yang cukup populer adalah Bundengan dengan tari Lengger dengan tembang sulasih.
3. Bagaimana Bundengan Sekarang?
Eksistensi dari Bundengan sendiri tidak terlepas dari peran pemerintah. Dalam beberapa dekade ini sudah banyak program yang dilaksanakan oleh pemerintah guna melestarikan dan mengenalkan Bundengan. Hal ini bertujuan untuk melestarikan budaya asli Wonosobo dan memberikan edukasi pada generasi muda supaya meneruskan semangat kebudayaan. Banyak program yang dilaksanakan seperti konser bertajuk “What is Bundengan” dimana dalam konser ini Bundengan berkolaborasi dengan berbagai genre musik, mulai dari kontemporer, musik pop, hingga EDM (Electronic Dance Music). Pelestarian juga dilakukan dengan berbagai workshop bahkan diketahui di salah satu SMP di Wonosobo, SMPN 2 Selomerto, Bundengan masuk dalam materi yang disampaikan dalam kelas dan menjadi salah satu kurikulum pembelajaran.
Kini Bundengan bersamaan dengan tari Lengger menjadi warisan budaya yang telah dinyatakan menjadi Warisan Budaya Tak Benda oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Dikutip dari (“Tari Topeng Lengger dan Bundengan Wonosobo Menjadi Warisan Budaya Tak Benda,” n.d.) upaya ini dilakukan sebagai langkah untuk melindungi objek kebudayaan daerah sesuai dengan UU No.5 Tahun 2017 Tentang Pemajuan Kebudayaan. Riset dilakukan tahun 2019 dibarengi dengan pendokumentasian untuk pendaftaran objek kebudayaan tari Lengger dan Bundengan. Melalui Tim Ahli Kemendikbud dan disidangkan pada 8 Oktober 2020 dan pada tanggal 9 Oktober 2020 lolos sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) Indonesia.
Referensi Bacaan:
Arbi, B., & Kapoyos, R. J. (2019). Bentuk Pertunjukan Dan Fungsi Bundengan Wonosobo. Tonika: Jurnal Penelitian Dan Pengkajian Seni, 2(2), 11–26. https://doi.org/10.37368/tonika.v2i2.105
Dirgantara, R. A. (2020). Hikayat Bundengan, “Bendhe” Wonosobo yang Masyhur Sejak Era Majapahit. Retrieved March 30, 2021, from Liputan6.com website: https://www.liputan6.com/regional/read/4326283/hikayat-bundengan-bendhe-wonosobo-yang-masyhur-sejak-era-majapahit
KISAH BUNDENGAN. (n.d.). Retrieved from https://kotakreatif.kemenparekraf.go.id/kisah-bundengan/
Tari Topeng Lengger dan Bundengan Wonosobo Menjadi Warisan Budaya Tak Benda. (n.d.). Retrieved from https://disparbud.wonosobokab.go.id/postings/details/1041829/Tari_Topeng_Lengger_dan_Bundengan_Wonosobo_Menjadi_Warisan_Budaya_Tak_Benda.HTML
Referensi Video:
https://www.youtube.com/watch?v=O2HU-4Xxauc&t=551s
https://www.youtube.com/watch?v=au3rKBS0XLI
Referensi Gambar:
Gambus
Oleh
agus deden
| 21 Jun 2012.
Gambus Melayu Riau adalah salah satu jenis instrumental musik tradisional yang terdapat hampir di seluruh kawasan Melayu.Pergeseran nilai spiritual... |
Hukum Adat Suku...
Oleh
Riduwan Philly
| 23 Jan 2015.
Dalam upaya penyelamatan sumber daya alam di kabupaten Aceh Tenggara, Suku Alas memeliki beberapa aturan adat . Aturan-aturan tersebut terbagi dal... |
Fuu
Oleh
Sobat Budaya
| 25 Jun 2014.
Alat musik ini terbuat dari bambu. Fuu adalah alat musik tiup dari bahan kayu dan bambu yang digunakan sebagai alat bunyi untuk memanggil pend... |
Ukiran Gorga Si...
Oleh
hokky saavedra
| 09 Apr 2012.
Ukiran gorga "singa" sebagai ornamentasi tradisi kuno Batak merupakan penggambaran kepala singa yang terkait dengan mitologi batak sebagai... |