×

Akun anda bermasalah?
Klik tombol dibawah
Atau
×

DATA


Kategori

cerita rakyat

Elemen Budaya

Cerita Rakyat

Provinsi

Jawa Timur

Babad Desa Jombok

Tanggal 14 Aug 2022 oleh Dodik0707 .

Babad Desa Jombok

Soewiryo, sosok yang punya pamor dan disegani orang-orang disekitarnya, berinisiatif mendirikan tatanan baru di pemukiman yang dulunya kawasan hutan. Perubahan dari kawasan hutan menjadi pemukiman, dan mulai bertambahnya orang-orang yang menetap, menjadi dasar Soewiryo membentuk pemerintahan administratif setingkat desa.

Ia akhirnya mengumpulkan sesepuh dari 'Buyut' atau Dukuh atau Dusun Kedawung, Ngembul dan Jombok. Dari musyawarah keempat orang inilah, muncul kesepakatan suatu tatanan pemerintahan baru bernama desa.

Soewiryo memberanikan diri menghadap Onderdistricten Ngantang untuk mendapat pengakuan administratif dan pengesahan dari Pemerintah Hindia Belanda. Tak lama kemudian, Onderdistricten Ngantang menyampaikan pengesahan Pemerintah Hindia Belanda dari Pemerintahan Karesidenan.

Tepat di tahun 1816, munculah 'Warua' (Sansekerta) atau 'Thani' (Sansekerta) atau Desa baru di wilayah 'Onderdistricten Ngantang'. Desa baru itu bernama 'Desa Jombok', dan Kepala Desa 'perdana' adalah Soewiryo. Umum pada masa itu, suatu tatanan baru setingkat desa disebut sebagai 'Arunika' (Sansekerta) yang artinya cahaya matahari terbit.

Beberapa masa kemudian, munculah pemukiman-pemukiman baru disekitarnya, dan pemukiman baru ini tidak lepas dari pembukaan lahan baru yang sebelumnya kawasan hutan. Ketiga dusun baru bermunculan dan menyatakan bergabung dengan Desa Jombok, yaitu Dusun Songkorejo, Bulurejo dan Kasin.

Hingga saat ini, secara administratif Desa Jombok terdiri dari 6 Dusun, yaitu Kedawung, Ngembul, Jombok, Songkorejo, Bulurejo dan Kasin. Desa Jombok sendiri melewati 3 masa pemerintahan pusat, yaitu Pemerintah Hindia Belanda, Pemerintah Kekaisaran Jepang dan Pemerintah Republik Indonesia.

Dulunya, di Dusun Jombok ditemukan ada tumpukan bebatuan tertata teratur, dan bebatuan ini diyakini berasal dari peradaban masa lalu. Lantaran ada bebatuan yang bentuknya menyerupai cungkup, orang-orang disekitarnya menamainya 'Cungkup'.

Beberapa waktu kemudian, hasil temuan tersebut mulai 'viral', dan menjadi sorotan publik pada masa itu. Mengetahui hal itu, Pemerintah Desa mulai tertarik untuk mengeksplorasi bebatuan tersebut.

Penggalianpun dilakukan atas perintah Kepala Desa pada saat itu, dan ternyata, didalam tumpukan bebatuan tersebut diketemukan berbagai perhiasan yang terbuat dari emas dan peralatan rumah tangga dari peradaban masa lalu. Mengetahui adanya benda-benda yang diyakini berasal dari peradaban masa lalu, Kepala Desa saat itu melaporkan hasil temuannya ke Kawedanan Ngantang.

Namun, usai pembongkaran tumpukan bebatuan dari peradaban masa lalu itu selesai, Kepala Desa menderita sakit yang tidak diketahui penyebab maupun jenis penyakitnya. Ujungnya, Kepala Desa meninggal dunia setelah menderita sakit yang tidak jelas penyebab dan jenisnya itu.

Beberapa waktu kemudian, Wedono Ngantang bersama keluarganya pergi atau meninggalkan rumah, sekaligus tugasnya di pemerintahan setingkat kawedanan. Diketahui, Wedono pergi tanpa sebab yang jelas dan kemana perginya tidak diketahui oleh orang-orang disekitaran kerja kawedanan.

Mengetahui ada keganjilan yang misterius dari peristiwa dibalik pembongkaran tumpukan bebatuan kuno tersebut, penduduk berinisiatif mengembalikan susunan bebatuan, sekaligus menutupnya, sebagaimana awal sebelum ditemukannya. Harapannya, tidak ada lagi peristiwa-peristiwa yang misterius kembali terulang kembali.

Babad Dusun Kedawung

Di akhir abad 18 M, seorang Ganiyah yang berasal dari daerah timur, berjalan bersama keluarganya mencari kehidupan baru. Pola kehidupan "Nomaden" atau cara hidup berpindah-pindah dari suatu tempat ke tempat lain secara berkesinambungan, umum dilakukan pada masa itu, termasuk Ganiyah.

Kawasan 'Kaanan' (Sansekerta) atau 'Wono' (Jawa kuno) atau hutan yang terletak di wilayah 'Hantang' atau 'Ngantang', menjadi tempat berhentinya perjalanan Ganiyah bersama keluarganya. Ia memutuskan untuk menetap di hutan tersebut, konon menurut cerita turun temurun, hutan ini dulunya terkenal angker.

Keangkeran hutan tersebut, ternyata tak mampu membendung niat Ganiyah untuk menetap disitu. Sebelum membuka lahan untuk menetap di tempat itu, Ganiyah mengucapkan “Apuranen sun angetang, lelembut ing Nusa Jawi, kang rumeksa ing nagara, para ratuning dhedhemit, agung sawabe ugi, yen apal sadayanipun, kena ginawe tulak, kinarya tunggu wong sakit, kayu aeng lemah sangar dadi tawa”.

Kata-kata yang diucapkan tersebut, adalah salah satu bait dalam 'Suluk Plencung', dan suluk ini umum digunakan seseorang yang berniat tinggal di suatu tempat pada masa itu. Bait tersebut diasumsikan sebagai interaksi '3-D' dari manusia kepada makhluk tak kasat mata atau 'makhluk astral' disekitarnya.

Interaksi tersebut, bukan berarti permintaan restu kepada sosok tak kasat mata, melainkan interaksi yang bersifat tata krama, antara makhluk yang datang di akhir dengan makhluk yang datang di awal. Bait tersebut, bisa disebut 'mantra', tapi bisa juga tidak, karena bait tersebut hanya mengandung unsur interaksi antara 2 makhluk berbeda dimensi.

Dari interaksi itulah, upaya membuka lahan baru untuk pemukiman dimulai, dan gangguan-gangguan gaib tak pernah dialami Ganiyah. 'Grha' (Sansekerta) atau 'Griya' (Jawa kuno) atau rumah mulai dibangun menyesuaikan bahan dasar bangunan yang disediakan oleh alam disekitarnya.

Sebagaimana umumnya pencarian kehidupan baru pada masa lalu, air atau 'Tirtha' (Sansekerta) atau 'Toya' (Jawa kuno) adalah kunci utama munculnya peradaban baru atau disebut 'cikal bakal'. Dimana ada Tirtha, sudah pasti ada 'Jaladara' (Sansekerta) atau aliran air, disinilah awal mula berkembangnya suatu pemukiman.

Kepada anak-anaknya, Ganiyah mengajarkan satu hal yang paling penting diantara sekian hal yang penting, yaitu menghargai alam. Alam adalah tempat kehidupan segala makhluk hidup, yaitu manusia, binatang dan tumbuhan.

Apabila alam itu dirusak, resikonya justru menjadi 'bumerang' bagi manusia. Perburuan binatang tanpa henti, berakibat putusnya 'mata rantai' kehidupan di hutan. Demikian juga pembabatan pohon terlalu berlebihan, berakibat perubahan struktur tanah yang ujung-ujungnya rawan longsor.

Selain itu, ia mengajarkan pentingnya saling menghormati dan menghargai orang lain, terutama orang-orang yang akan datang sesudahnya, atau hanya sekedar melewati. Dengan cara menghormati dan menghargai sesama manusia maupun makhluk hidup disekitarnya, kehidupan manusia akan harmonis dengan alam.

Sekitar satu hingga dua dasa warsa kemudian, rumah yang semula hanya 1 bangunan, bertambah menjadi 5. Disinilah awal terbentuknya istilah 'keluarga' yang dicomot dari kata 'kula' dan 'warga' (Sansekerta).

Dari keluarga inilah terbentuk 'roda ekonomi' lokal, dan belum dapat dipastikan apakah mereka menggunakan mata uang 'gulden' (yang berlaku pada masa itu) atau tidak. Yang jelas, mereka sudah membangun dasar-dasar ekonomi lokal yaitu mengubah lahan hutan menjadi lahan pertanian untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari.

Tidak jauh dari keberadaan rumah-rumah tersebut, dipastikan ada sumber air atau aliran air yang dimanfaatkan. Manfaatnya bisa apa saja, untuk makanan dan minuman maupun mencuci pakaian, atau untuk ketersediaan minum ternak.

Disekitar lokasi pemukiman awal tersebut, terdapat pohon kedawung, pohon ini ukurannya cukup besar dan mencolok diantara tumbuhan lainnya. Oleh sebab itu, pemukiman tersebut kelak disebut 'Buyut' (Jawa kuno) atau dukuh atau dusun 'Kedawung'.

Sesuai ajaran Ganiyah yang mengandung unsur keharmonisan alam, pohon tersebut dipelihara oleh orang-orang disekitarnya, sekaligus sebagai tanda kemunculan pemukiman perdana di daerah itu. Selain pohon kedawung, ada pohon kembang soko, dan pohon ini juga dirawat orang-orang disekitarnya.

Guna menjaga eksistensi pohon tersebut, muncul insiatif mengkeramatkannya. Keramat sendiri memiliki arti luas, tapi ada juga yang salah kaprah mengartikannya. Salah kaprah itu selalu dikaitkan dengan hal-hal gaib, dan ujung-ujungnya muncul asumsi yang salah.

Dari asumsi itu, berkembang lagi dengan munculnya asumsi baru, dan asumsi ini tidak jauh berbeda dari 'background' asumsi diawalnya. Lama kelamaan, menjadi asumsi diatas asumsi. Kalau sejak awal asumsinya salah, sudah pasti asumsi diatasnya juga salah.

Dari pohon itulah, daerah tersebut dinamakan Dusun Kedawung. Namun, kedawung sendiri memiliki makna yang tersembunyi, terlebih penamaan suatu daerah pada masa itu, tidak lepas dari filosofi.

Menurut filosofi Jawa kuno, kedawung diartikan sebagai tubuh yang sehat didalam tubuh manusia, dalam artian berhubungan erat dengan 'anti body', yaitu jangga (dada), jaja (dada), padharan (perut), wentis (pupu), bocong (bokong), pangkeran (geger), dan pamidhangan (pundak).

Faktanya, khasiat kedawung adalah sebagai anti bakteria, dan digunakan dalam pengobatan tradisional untuk infeksi dan gangguan perut. Penelitian menunjukkan bahwa kulit batang memiliki aktivitas anti bakteri terkuat terhadap empat jenis bakteri yang diuji.

Babad Dusun Ngembul

Sekitar satu atau dua dasa warsa sesudah munculnya rumah hunian baru di kawasan hutan (sekarang bernama Dusun Kedawung) atau tepatnya di akhir abad 18 M. Datanglah seorang Winih dan Tomo, keduanya berasal dari Kediri, menghentikan perjalanan pencarian kehidupan baru (pola Nomaden) di kawasan yang tidak jauh dari keberadaan rumah hunian baru (masih 1 rumah).

Kedua orang tersebut melihat kondisi sekitar kawasan hutan yang berpotensi untuk dihuni. Sebagaimana umumnya pola nomaden yang dipraktekan di masa lalu, geografis menjadi pandangan utama untuk melihat prospek kedepannya, dalam artian menetap di tempat itu atau tidak.

Geografis yang tidak jauh dari keberadaan 'Giri' (Sansekerta) atau gunung, dan keberadaan air atau 'Tirtha' (Sansekerta) atau 'Toya' (Jawa kuno). Selain itu, hutan menjadi sumber kehidupan tak terhingga pada masa itu, dari tumbuhan hingga binatang yang dapat dijadikan makanan bagi manusia.

Dalam tradisi Jawa kuno, 'Giri' atau gunung adalah sumber kehidupan, karena dari gunung itulah material yang dibutuhkan untuk kesuburan tanah, keluar saat terjadi letusan. Demikian juga air, semua makhluk hidup sangat membutuhkannya, dan air dijadikan dasar adanya tanda-tanda kehidupan.

Di abad 18 itu, tradisi Jawa mengalami sebagian perubahan dibanding tradisi Jawa di masa-masa sebelumnya, termasuk tradisi pembangunan rumah yang diawali dengan 'munggah molo'. Benda-benda yang berhubungan munggah molo itu sendiri adalah tebu yang dicabut dari pangkalnya, satu ikat padi kuning, kelapa, panji (bendera), uang logam, pisang, kendi, dan paku (kayu atau besi).

Tradisi tersebut dilakukan Winih dan Tomo saat membangun rumah perdana di kawasan hutan, disebabkan budaya Jawa pada masa itu sangat kental. Namun, kemungkinan tidak semua benda-benda tersebut terpenuhi, mengingat kondisi pada masa itu sulit untuk memenuhinya, kecuali dia seorang bangsawan.

Sekitar satu hingga dua warsa kemudian, roda ekonomi lokal mulai bergulir, hal ini disebabkan tidak jauh dari keberadaan mereka, tinggal keluarga Ganiyah, otomatis interaksi sudah pasti terjadi, baik interaksi sosial maupun ekonomi.

Kepada keturunannya, baik Winih maupun Tomo mengajarkan pentingnya menjaga nilai-nilai luhur, yaitu tetap menjaga tata krama dan keharmonisan atau 'Tri Hita Karana' atau tiga penyebab kebahagiaan. Kebahagiaan itu akan ada karena adanya keharmonisan hubungan dengan Tuhan, hubungan dengan sesama manusia, dan hubungan dengan alam beserta isinya.

Umum pada masa itu, ekonomi bergantung di sektor pertanian atau peternakan, namun belum tentu transaksi jual beli menggunakan 'gulden' sebagai mata uang yang berlaku saat itu, bisa jadi transaksi jual beli masih menggunakan sistem tukar produk (barter).

Disekitar lokasi keberadaan rumah kedua orang tersebut, banyak tumbuhan talas 'kajar' (Alocasia). Kajar sendiri, dalam filosofi Jawa kuno erat kaitannya dengan 'anti body'.

Faktanya, pandangan orang Jawa kuno pada masa lalu, sejalan dengan hasil penelitian pada masa kini. Terbukti, daun kajar memiliki khasiat bagi ketahanan tubuh manusia.

Daun kajar ini bisa bermanfaat mencegah kanker, menjaga kesehatan mata, menjaga naik turun tekanan darah, serta memperkuat kekebalan tubuh. Rajangan daun kajar dimanfaatkan untuk campuran tembakau atau cengkeh dalam dunia perokokan.

Tak cuma itu, seiring perkembangan teknologi, kajar digunakan untuk tambahan kandungan dalam kompos. Bisa jadi, tumbuhan kajar pada masa itu menjadi acuan munculnya pemukiman perdana, sebab kajar sendiri sudah dikenal di dunia pertabiban di masa-masa sebelumnya.

Diantara tumbuhan kajar, ternyata ada sumber air yang memiliki tekanan besar dari dalam tanah. Air sendiri dalam catatan Jawa kuno disebut bagian atau salah satu dari 'Panca maha bhuta' atau lima unsur besar.

Lantaran tekanan air yang terlalu besar, air di dalam tanah melepaskan energinya di atas permukaan yang disebut 'mumbul' atau 'ngumbul'. Dari air yang mumbul atau ngumbul itulah, akhirnya muncul kata 'ngembul'.

Kelak, dari ngembul inilah, kawasan hutan yang berubah menjadi 2 rumah hunian milik Winih dan Tomo, disebut 'Buyut' atau dukuh atau dusun Ngembul. Seiring perkembangan masa dan berkembangnya jumlah rumah hunian atau keluarga (dari kata 'kula' dan 'warga' dalam bahasa Sansekerta), tatanan baru muncul.

Babad Dusun Jombok

Diawal abad 19 M, muncul sosok yang bernama Mbah Tjo, sebagian meyakini beliau berasal dari daerah barat, sebagian lainnya meyakini ia berasal dari daerah timur. Mbah Tjo adalah seorang pengembara yang memiliki ilmu kanuragan (sebagian meyakini ilmu tersebut adalah pencak silat).

Dari sosok Mbah Tjo inilah, tradisi kesenian bela diri itu mulai dipraktekan di kawasan hutan yang kelak disebut Dusun Jombok. Tradisi kesenian bela diri ini, turun temurun dilestarikan warga setempat hingga saat ini, yang berujung berdirinya paguyuban-paguyuban pencak silat.

Paguyuban tersebut tidak lepas dari sejarah masa lalu, dimana Mbah Tjo memperkenalkan kepada orang-orang disekitarnya cara efektif dan efisien membela diri dari berbagai tindak kejahatan. Selain itu, Mbah Tjo mengajarkan untuk tetap rendah hati, walaupun memiliki ilmu kanuragan, dan tidak berbuat sekehendak hati atau sewenang-wenang terhadap orang lain.

Melihat adanya tanda-tanda kehidupan yang berasal dari alam sekitarnya, Mbah Tjo memutuskan di tempat ini, sekaligus membangun rumah hunian baru (perdana). Tidak jauh dari keberadaan rumahnya, ada rerimbunan bambu tumbuh subur, dan tumbuhan ini cukup rindang digunakan orang untuk berteduh.

Eksistensi air atau 'Tirtha' (Sansekerta) atau 'Toya' (Jawa kuno) menjadi prioritas Mbah Tjo untuk menetap di tempat itu. Umum, pada masa itu air menjadi titik terang adanya tanda kehidupan, sekaligus kelayakan pemukiman perdana.

Sebagai orang yang pertama kali membuka lahan di Dusun Jombok, Mbah Tjo berpesan kepada orang-orang disekitarnya,"Aja Gumunan, aja getunan, aja kagetan, aja aleman. Aja ketungkul marang kalungguhan, kadonyan, lan kemareman. Aja Keminter mundak keblinger, aja cidra mundak cilaka. Aja milik barang kang melok, aja mangro mundak kendho. Aja adigang, adigung, adiguna."

Dalam terjemahan dan tafsirnya bahasa Indonesianya,"Jangan mudah kagum, jangan mudah menyesal, jangan mudah dikejutkan oleh sesuatu dari dunia ini, dan jangan manja. Jangan pernah terobsesi dengan posisi, materi, dan kepuasan duniawi. Jangan pernah merasa paling pintar sehingga kita tidak terjerumus. Jangan suka menipu sehingga kita tidak terluka. Jangan mudah terpesona dengan kemewahan, menawan dan keindahan Jangan pernah ragu dalam hal apa pun, sehingga kita tak mudah patah semangat. Jangan suka memamerkan kekuatan, kekayaan, dan kemampuan kita."

Selang beberapa tahun kemudian, tempat yang tidak jauh dari rumah Mbah Tjo menjadi jalur perdagangan lokal oleh orang-orang disekitarnya. Mereka berprofesi sebagai bakul atau pedagang. Para bakul ini memanfaatkan rindangnya rerimbunan bambu untuk berteduh sejenak, sekaligus beristirahat.

Para bakul pada masa lalu, belum tentu berhubungan erat dengan 'peken' atau pasar, karena metode marketingnya masih didominasi dengan cara berkeliling. Termasuk transaksi jual beli, belum tentu menggunakan mata uang gulden (yang berlaku saat itu), bisa jadi masih menggunakan cara barter.

Suatu hari, ada seorang bakul (golongan elit) yang mengangkut barang dagangannya dengan sapi ke suatu tempat, dan ia melewati tempat rerimbunan bambu tersebut. Entah sapi itu kelelahan atau memang sebelumnya sakit-sakitan, tapi tetap dipaksakan untuk mengangkut barang dagangan, tiba-tiba sapi itu lemas lunglai dan akhirnya mati. Kelak, tempat tersebut oleh orang-orang disekitarnya dinamakan 'Mbakul'.

Kelak di masa yang berbeda (di abad 20 M), tempat tersebut dibangun sebuah gardu oleh orang-orang disekitarnya. Gardu tersebut tidak lepas dari konsep pembangunan era Pemerintahan Hindia Belanda sebagai kontrol atau pengawasan, dan gardu ini terletak di jalur keluar masuk.

Gardu atau 'onderstation' (Belanda), pada masa itu digunakan multifungsi, tidak cuma untuk kontrol atau pengawasan. Kelak, tempat itu oleh orang-orang disekitarnya dinamakan 'Nggerdu' dari kata gardu.

Beberapa tahun kemudian sejak berdirinya rumah Mbah Tjo, datanglah orang-orang dari berbagai daerah. Mereka berinisiatif tinggal di tempat itu, sekaligus mendirikan rumah dan membuka lahan untuk areal pertanian atau perkebunan.

Munculah tatanan sosial baru di kawasan tersebut, yang semula hanya berdiri 1 rumah, berubah menjadi beberapa rumah disekitarnya. Otomatis, eksistensi sosial muncul karena adanya interaksi dari beberapa orang dalam satu lingkungan.

Kawasan yang semula berwujud hutan, pelan tapi pasti mulai berubah menjadi kawasan pertanian. Dari pertanian inilah, orang-orang yang menetap di tempat tersebut mencukupi kebutuhannya sehari-hari, sekaligus munculnya 'kelompok petani perdana'.

Istilah 'Petani' sebenarnya ada 2 versi, versi Jawa kuno dan versi Sukarno. Versi Jawa kuno, kata petani berasal dari kata 'Thani' dalam bahasa Sansekerta, dan Thani ini memiliki arti tanah yang ditanami, atau dalam bahasa Jawa disebut 'Palemahan sing ditanduri'. Sedangkan versi Sukarno, Petani adalah singkatan dari Penyangga Tatanan Negara Indonesia (akronim).

Diawal-awal, ketersediaan air mencukupi untuk kebutuhan pertanian, namun seiring berkembangnya areal pertanian, kebutuhan air meningkat drastis. Peningkatan kebutuhan air ini semula tidak disadari, lama-kelamaan mereka sadar perlunya tambahan ketersediaan air.

Inisiatif membuat bendungan atau 'Kleine Dam' (Belanda) atau 'Rijstveld Dam' (Belanda), mulai muncul. 'Jaladara' (Sansekerta) atau aliran air, tidak bisa lepas dari berdirinya bendungan pada masa itu.

Sungai yang lokasinya tidak jauh dari keberadaan areal pertanian, menjadi harapan bagi para petani saat itu. Lalu dibuatlah bendungan 'tradisional' untuk mencukupi ketersediaan air ke areal pertanian.

Namun, ketinggian bendungan menuju ke areal pertanian hampir sama, akibatnya air meluber keluar batas. Luberan air tersebut menggenangi sepanjang jalan, ujungnya air ini membuat jalanan becek.

Dari jalanan becek ini, muncul kata 'Jombok', lama kelamaan daerah ini disebut Jombok. Dari sinilah muncul penamaan suatu daerah 'Buyut' (Jawa kuno) atau dukuh atau dusun 'Jombok'.

Babad Dusun Songkorejo

Pada tahun 1897, Kepala Desa Jombok, Singo Karyo meresmikan Dukuh atau Dusun Nglowo. Peresmian dukuh baru ini merespon Samirah dan Saniman (sebelumnya tinggal di Dusun Kedawung) yang menetap di tempat tersebut, sekaligus membuka lahan.

Upaya membuka lahan baru oleh Samirah dan Saniman adalah sah berdasarkan undang-undang yang ditetapkan Pemerintah Hindia Belanda pada masa itu. Demikian juga peresmian yang dilakukan Kepala Desa saat itu, berpedoman pada undang-undang yang telah menjadi ketetapan.

Samirah dan Saniman adalah penduduk perdana di tempat yang sebelumnya berwujud kawasan hutan. Dari upaya kedua orang itu, munculah lahan pemukiman baru. Lahan tersebut berada di area Gunung Songko, dan konon untuk memulainya, mereka harus melakukan mediasi terlebih dulu dengan sosok makhluk tak kasat mata (makhluk astral) disekitarnya.

Samirah dan Saniman berpesan kepada orang-orang yang datang sesudahnya, sekaligus menetap di tempat itu, agar selalu menjaga kedamaian antar sesama manusia, serta menjaga tatanan kehidupan yang ada di Gunung Songko, dengan cara tidak melakukan perburuan binatang tanpa batas maupun penebangan pohon secara membabi buta.

Sebelumnya, Dusun Kedawung, Dusun Jombok dan Dusun Ngembul, sudah mengalami evolusi, dari kawasan hutan berubah menjadi pemukiman. Pertambahan penduduk mulai terlihat, demikian juga berkembangnya areal pertanian dan perkebunan yang menjadi komoditi utama petani setempat.

Nama 'Nglowo' diambil melalui visualisasi sebuah goa kelelawar, dan goa ini terletak tidak jauh dari keberadaan pohon berukuran besar. Nglowo itu sendiri disematkan sebagai nama dusun atas ide Singo Karyo, setelah melihat gambaran disekitar lokasi.

Konon, kelelawar penghuni goa tersebut kadang terlihat, kadang tidak terlihat, baik di siang hari maupun malam hari. Bahkan ada rumor yang mengatakan ada satu kelelawar berukuran lebih besar dibanding yang lainnya, dan kelelawar itu adalah pemimpinnya.

Sejalan perubahan waktu, pemukiman tersebut mulai berkembang, yang semula hanya 2 kepala keluarga, bertambah menjadi beberapa kepala keluarga. Roda ekonomipun ikut mengalami transisi, dari ekonomi lintas desa, menjadi lintas dusun, karena sebelumnya sudah ada 3 dusun yang terlebih dahulu eksis.

Namun, lama kelamaan, beberapa orang mulai mengusulkan adanya perubahan nama dusun kepada Kepala Desa waktu itu, yaitu Singo Karyo. Usulan itu mengacu keberadaan dusun yang masuk area Gunung Songko. Selain itu, tingkat kepadatan penduduk mulai terlihat ramai, dan kesejahteraan terayomi oleh alam sekitar.

Konon, usulan tersebut bersumber dari hasil pertapaan seseorang tak dikenal yang menerima bisikan gaib di Gunung Songko. Lalu, ia menyampaikan bisikan gaib itu kepada penduduk, dan pendudukpun meresponnya positif.

Dari usulan itulah, nama dusun yang semula Nglowo, diganti Songkorejo, dan ternyata sejak pergantian nama itu, tingkat kesejahteraan penduduk setempat meningkat, baik di bidang pertanian maupun perkebunan.

Babad Dusun Bulurejo

Dimasa Sotruno menjabat sebagai Kepala Desa Jombok di tahun 1899, ia secara resmi mengumumkan munculnya dukuh atau dusun baru, bernama Dusun Bulurejo. Pengumuman itu tidak lepas dari pengesahan dan penetapan Onderdistricten Ngantang, tentang daerah administratif Dusun Bulurejo berada di wilayah Desa Jombok.

Munculnya dusun baru tersebut, terjadi satu hingga dua dasa warsa sebelumnya, ketika 2 orang dari Srengat (Blitar), Tromejo dan Suro membuka lahan di kawasan hutan. Dibukanya lahan tersebut, sekaligus menandai 'cikal bakal' pemukiman perdana.

Saat akan membuka lahan, Tromejo dan Suro melihat ada pohon bulu berukuran besar. Namun, keduanya merasakan energy-energy tak kasat mata disekitar pohon bulu itu.

Lantaran ada hal yang tidak nalar dirasakan mereka, keduanya lalu berinteraksi dengan sosok dari dimensi lain, yang tidak lain adalah penunggu pohon tersebut. Dari interaksi '3 D' tersebut, akhirnya Tromejo dan Suro memulai membuka lahan disekitarnya.

Saat membuka lahan, keduanya tak mengalami gangguan-gangguan gaib apapun, lantaran mereka sudah melakukan mediasi, terkait niatnya untuk membuka lahan. Lahan yang semula hanya dihuni 2 kepala keluarga, lambat laun mulai berkembang seiring perubahan zaman.

Tak cuma itu, Tromejo dan Suro adalah seniman tradisional jaranan, dan keduanya mengajarkan kesenian ini kepada orang-orang disekitarnya. Hingga saat ini, kesenian tradisional jaranan masih eksis di Desa Jombok, dan dari masa ke masa, turun temurun masyarakat tetap melestarikannya.

Kedua orang tersebut juga berpesan, agar tidak menghilangkan kesenian jaranan, karena kesenian ini tidak cuma menghibur orang yang melihatnya, tetapi bagian dari identitas orang-orang yang tinggal di Desa Jombok.

Dari waktu ke waktu orang-orang dari datang dari daerah lain dan menetap di sekitar pohon bulu tersebut. Sekitar pohon bulu yang dulunya sunyi senyap berubah 180⁰ menjadi ramai, lama kelamaan muncul nama 'bulurejo'.

Bulurejo artinya 'bulu' diambil dari nama pohon, dan 'rejo' yang berarti ramai. Keramaian daerah itu juga tidak lepas lalu lalang orang-orang yang melewati atau melintas dari arah barat (sekarang Pujon) menuju ke arah timur (sekarang Kasembon), atau sebaliknya.

Babad Dusun Kasin

Sosok Kasan Besari yang berasal dari Begelan, Purwokerto, datang ke kawasan hutan di Desa Jombok. Melihat kondisi geografis hutan tersebut, ia tertarik untuk menetap ditempat ini.

Melalui mediasi dengan alam disekitarnya, akhirnya ia memutuskan untuk membuka lahan untuk pemukiman perdana. Mula-mula ia memperhatikan kondisi disekitarnya, dan Kasan Besari melihat ada tanda-tanda kehidupan, yaitu sumber air.

Namun, setelah ia meminum air tersebut, ia terperanjat kaget, karena rasa air itu ternyata asin. Tetapi, karena tekadnya sudah bulat untuk menetap ditempat itu, ia mulai membangun rumah di sekitarnya.

Rumah perdana milik Kasan Besari akhirnya berdiri tegak, dan menjadi satu-satunya rumah di sekitar keberadaan sumber air tersebut. Tidak jauh dari sumber air itu, ada pohon wungu berukuran besar, dan pohon ini memancarkan energy positif.

Tak cuma manusia saja yang memanfaatkan keberadaan sumber air tersebut, binatang-binatangpun ikut merasakan kesegaran airnya. Kehidupan harmonis terjadi antara manusia, binatang, tumbuhan dan alam di tempat itu.

Seiring perubahan waktu, yang semula hanya berdiri 1 rumah, kemudian berkembang menjadi sekian rumah disekitarnya. Ujungnya, yang semula kawasan hutan berubah menjadi pemukiman, dan akhirnya membentuk administratif di bawah tingkat desa, yaitu dusun.

Penamaan dusun berawal dari keberadaan sumber air yang asin dan pohon wungu, dari keduanya itu, orang-orang yang tinggal di tempat itu menamainya 'Kasin Wungu'. Jadilah dusun itu bernama Dusun Kasin Wungu atau sekarang disebut Dusun Kasin, dan keberadaan dusun ini tidak lepas dari jasa besar seorang Kasan Besari sebagai orang pertama yang membuka lahan di kawasan hutan.

Bergulirnya roda ekonomi lokalpun terjadi, seiring bertambahnya penduduk, dan moda transportasi darat menjadi sorotan masyarakat saat itu. Maka, usulanpun dilakukan masyarakat kepada Pemerintah Desa Jombok, lalu diteruskan ke 'Onderdistricten Ngantang'.

Selang waktu kemudian, dibangunlah jembatan yang menghubungkan antara Dusun Kasin dengan desa di sebelah utara (sekarang Desa Pait, Kecamatan Kasembon). Lantaran jembatan tersebut melintasi Sungai Boreh, orang-orang disekitar menyebutnya 'Tertek Boreh'.

Nama boreh sendiri, tidak lepas dari banyaknya kembang boreh disepanjang sungai pada masa itu. Dalam kultur budaya lokal, kembang boreh terkorelasi dengan segala hal di sektor perdagangan, dalam artian memancarkan energy positif guna mendorong kelancaran berusaha.

Menurut cerita turun temurun, di sekitar Tertek Boreh terdapat tanda atau patok keramat yang konon dikatakan orang-orang sekitarnya, patok itu beraura siluman. Siapa saja yang melewati tempat tersebut, harus meletakan kembang boreh, atau kalau tidak ada kembang boreh, bisa meletakan benda atau barang yang dibawanya.

Berdasarkan penuturan turun temurun, apabila ia seorang pedagang, maka benda atau barang diletakannya di lokasi itu, akan membawa dampak positif bagi usahanya, dalam artian penjualan dagangannya laris. Namun, apabila orang melewatinya mempunyai niat jahat, maka ia akan menerima karmanya, entah itu musibah atau mengalami naas.

Desa Jombok, Kecamatan Ngantang, Kabupaten Malang

DISKUSI


TERBARU


Ulos Jugia

Oleh Zendratoteam | 14 Dec 2024.
Ulos

ULOS JUGIA Ulos Jugia disebut juga sebagai " Ulos na so ra pipot " atau pinunsaan. Biasanya adalah ulos "Homitan" yang disimp...

Tradisi Sekaten...

Oleh Journalaksa | 29 Oct 2024.
Tradisi Sekaten Surakarta

Masyarakat merupakan kesatuan hidup dari makhluk-makhluk manusia saling terikat oleh suatu sistem adat istiadat (Koentjaraningrat, 1996: 100). Masyar...

Seni Tari di Ci...

Oleh Aniasalsabila | 22 Oct 2024.
Seni Tari Banyumasan

Seni tari merupakan salah satu bentuk warisan budaya yang memiliki peran penting dalam kehidupan masyarakat Cilacap. Tari-tarian tradisional yang ber...

Wayang Banyumas...

Oleh Aniasalsabila | 22 Oct 2024.
Wayang Banyumasan

Wayang merupakan salah satu warisan budaya tak benda Indonesia yang memiliki akar dalam sejarah dan tradisi Jawa. Sebagai seni pertunjukan, wayang te...

Ekspresi Muda K...

Oleh Journalaksa | 19 Oct 2024.
Ekspresi Muda Kota

Perkembangan teknologi yang semakin pesat tidak hanya ditemui pada bidang informasi, komunikasi, transportasi, konstruksi, pendidikan, atau kesehatan...

FITUR


Gambus

Oleh agus deden | 21 Jun 2012.
Alat Musik

Gambus Melayu Riau adalah salah satu jenis instrumental musik tradisional yang terdapat hampir di seluruh kawasan Melayu.Pergeseran nilai spiritual...

Hukum Adat Suku...

Oleh Riduwan Philly | 23 Jan 2015.
Aturan Adat

Dalam upaya penyelamatan sumber daya alam di kabupaten Aceh Tenggara, Suku Alas memeliki beberapa aturan adat . Aturan-aturan tersebut terbagi dal...

Fuu

Oleh Sobat Budaya | 25 Jun 2014.
Alat Musik

Alat musik ini terbuat dari bambu. Fuu adalah alat musik tiup dari bahan kayu dan bambu yang digunakan sebagai alat bunyi untuk memanggil pend...

Ukiran Gorga Si...

Oleh hokky saavedra | 09 Apr 2012.
Ornamen Arsitektural

Ukiran gorga "singa" sebagai ornamentasi tradisi kuno Batak merupakan penggambaran kepala singa yang terkait dengan mitologi batak sebagai...