Cerita Rakyat
Cerita Rakyat
cerita rakyat Papua Papua
Asal Muasal Penduduk Merem Papua
- 22 Februari 2021

Alkisah pada masa silam di Papua, hiduplah seorang laki laki bernama Woiram dan istrinya Bonadebu.

Mereka penghuni kampung Merem. Woiram tak tinggal serumah dengan istrinya. Hal itu dilakukannya karena tujuan Woiram menikahi Bonadebu hanyalah untuk menjaga harga dirinya sebagai seorang lelaki. Woiram sama sekali tak ingin memiliki anak dari perkawinannya.

Rumah tangga yang dilalui Woiram dan Bonadebu yang semula harmonis, lama lama terasa hambar. Sebagai seorang wanita normal, tentu saja Bonadebu ingin memiliki anak.

Hari demi hari berlalu, keinginan Bonadebu tak ditanggapi sedikitpun oleh Woiram. Ia tak tergugah sama sekali untuk memenuhi keinginan istrinya.

Kejenuhan melakukan kegiatan sehari hari membuat Woiram merasa lelah. Ia ingin sekali mencari suasana baru. Tak disangka keinginan memiliki seorang anak mulai terbersit di hati Woiram. Keinginan itu makin lama makin kuat. Namun demikian Woiram malu untuk mengutarakan keinginannya itu pada Bonadebu. Setiap malam ia hanya berdoa agar Dewa berkenan mengabulkan keinginannya.

Sehari hari Woiram mencari nafkah dengan berburu dan berkebun. Pada suatu pagi ketika tengah membuat tali busur untuk panahnya, jari telunjuk Woiram teriris pisau. Woiram segera memasukkan jari telunjuknya yang berdarah ke dalam air tempayan di kamarnya. Darah yang mengucur cukup deras membuat air tempayan itu berwarna merah. Setelah mengobati lukanya, Woiram menutup tempayan itu dan bergegas meninggalkan rumah untuk menjemput Bonadebu. Mereka akan berkebun hari itu. Banyak sekali pekerjaan yang harus mereka lakukan di kebun. Hari sudah gelap ketika Woiram tiba di rumahnya lagi. Karena lelah seharian bekerja, Woirampun langsung tertidur. Tengah malam Woiram terbangun karena mendengar suara anak kecil yang tengah menangis. Ketika terbangun, Woiram mengira dirinya bermimpi. Woirampun memutuskan untuk melanjutkan tidurnya. Baru beberapa saat ia tertidur, Woiram tersentak bangun karena suara tangisan anak kecil yang terdengar semakin keras.

Woiram duduk di atas dipannya. Ia mencari asal suara yang terdengar begitu dekat. Dengan perlahan Woiram berjalan menghampiri tempayan yang terletak di sudut kamarnya. Dugaannya tepat. Ketika Woiram membuka tutupnya, tampaklah olehnya seorang anak lelaki kecil tengah duduk menangis di dalamnya. Woiram segera mengangkat anak itu dan memindahkannya ke dipannya.

Anak kecil itupun tertidur setelah Woiram mengusap usap punggungnya. Sambil memandang anak itu, Woiram bersyukur kepada Dewa yang telah berkenan memberinya seorang anak. Ia yakin, Dewa telah merubah air yang bercampur cucuran darahnya menjadi seorang anak untuknya.

Woiram tak bisa tidur lagi sampai fajar menyingsing. Ia bingung bagaimana memberitahukan keberadaan anak itu kepada Bonadebu. Ia takut Bonadebu tak percaya kalau Dewa yang memberikan anak itu. Ia juga takut jika Bonadebu merasa ditipu karena ternyata ia memiliki anak dari wanita lain. Berbagai pikiran yang mengganggunya itu akhirnya membuat Woiram memutuskan untuk membawa anak itu ke tengah hutan. Woiram berniat membangun sebuah rumah kecil sebagai tempat tinggal anak itu.

Demikianlah anak kecil itu akhirnya tinggal di rumah yang dibangun Woiram di tengah Hutan. Setiap hari Woiram menjenguk anak itu dan memberinya makan. Hari terus berganti. Tak terasa anak kecil itu tumbuh menjadi seorang pemuda yang gagah. Woiram memberinya nama Woiwallytmang.

Sama seperti ayahnya, sehari hari Woiwallytmang berburu dan berkebun. Pada suatu hari nasibnya sedang sial, pemuda itu tak mendapat seekor binatangpun setelah berburu sampai siang. Karena lelah, Woiwallytmang beristirahat dibawah sebuah pohon. Tak sengaja matanya menangkap seekor burung yang tengah bertengger di pohon di dekat tempatnya duduk. Woiwallytmang segera memanah burung itu. Lagi lagi ia tak beruntung, panahnya salah sasaran.

Woiwallytmang mengikuti arah anak panah terakhirnya melesat. Ternyata anak panah itu menancap di batang pohon pisang di sebuah kebun. Pemuda itu berjalan memasuki kebun dan mangambil anak panahnya. Ketika ia selesai mencabut anak panahnya, Woiwallytmang mendengar sebuah suara menegurnya.

“Hai pemuda tampan, siapakah namamu ?”, ujar seorang perempuan dari balik pohon pisang.

Woiwallytmang tertegun memandang perempuan yang berdiri di hadapannya. Ia heran, ternyata ada manusia lain selain laki laki. Memang sejak kecil Woiwallytmang hanya mengenal sosok ayahnya. Walau masih merasa heran, Woiwallytmang menjawab .”Namaku Woiwallytmang”, ujarnya singkat. Perempuan itu masih ingin mengetahui lebih jelas lagi. Ia merasa tidak pernah melihat Woiwallytmang di kampungnya selama ini. “Siapakah orang tuamu ? tanya perempuan itu lagi. “Ayahku Woiram”, jawab Woiwallytmang singkat. Perempuan itu yang ternyata adalah Bonadebu sangat terkejut mendengar jawaban Woiwallytmang. Ia tak menyangka kalau suaminya ternyata memiliki seorang anak yang telah tumbuh menjadi pemuda gagah yang sekarang berdiri di hadapannya. Setelah mencoba menahan rasa amarahnya, Bonadebu berkata kepada Woiwallytmang.

“Mari kuantarkan kau kepada ayahmu “, ajaknya seramah mungkin. Woiwallytmang yang tak dikunjungi ayahnya beberapa hari ini langsung setuju.“Jadi kau tahu dimana ayahku berada ?”, tanyanya antusias.

Bonadebu mengangguk sambil tersenyum.

Sebelum menuju ke rumah Woiram, Bonadebu mengajak Woiwallytmang mampir di Sungai Wasi untuk menangkap udang yang akan diberikan kepada Woiram. Karena asyik menangkap udang, Bonadebu tak melihat ketika Woiwallytmang berjalan memasuki gua yang terletak di pinggir sungai itu. Setelah menunggu lama, Woiwallytmang tak muncul juga.

Bonadebu mengira Woiwallytmang telah pergi meninggalkannya, akhirnya Bonadebu memutuskan untuk pulang.

Kepala adat tempat tinggal Bonadebu dan Woiram memiliki dua orang putri bernama Mesi dan Mesam. Tak lama setelah Bonadebu meninggalkan Sungai Wasi, Mesi dan Mesam mendatangi sungai itu untuk mencari udang buat ayah mereka. Ketika tengah mencari udang, Mesi dan Mesam dikejutkan oleh kedatangan Woiwallytmang yang kebetulan baru keluar dari gua.

Woiwallytmang lagi lagi terpana melihat kedua gadis itu. Akhirnya mereka berkenalan dan bercakap cakap. Woiwallytmang membantu Mesi dan Mesam mencari udang. Ia sangat gembira karena menemukan teman baru hari itu.

Perkenalan Woiwallytmang dengan kedua putri kepala adat rupanya meninggalkan kesan yang mendalam buat pemuda itu. Ia jatuh cinta pada Mesi. Agar punya alasan untuk bertemu Mesi, Woiwallytmang senantiasa mencari udang di Sungai Wasi dan membawanya ke rumah kepala adat.Kepala adat menangkap maksud Woiwallytmang. Setelah beberapa kali mengantar udang, akhirnya kepala adat menanyakan maksud pemuda itu sesungguhnya.

“Saya ingin melamar Mesi menjadi istri saya, Bapa”, kata Woiwallytmang dengan kepala tertunduk malu.

Melihat kesungguhan Woiwallytmang, kepala adat setuju untuk menikahkan putrinya dengan Woiwallytmang.

Pesta meriah dilangsungkan. Selain merayakan pernikahan Mesi dan Woiwallytmang, kepala adat juga menyerahkan jabatannya kepada Woiwallytmang pada pesta itu. Seluruh penduduk Merem diundang, tak terkecuali Woiram dan Bonadebu. Woiram sungguh kaget begitu melihat sang pengantin laki laki adalah anaknya, Woiwallytmang.

Bonadebu yang telah menceritakan perihal Woiwallytmang kepada penduduk, membuat mereka membenci Woiram. Mereka menganggap Woiram telah mengasingkan anaknya sendiri ke tengah hutan. Orang orang itu sungguh tak tahu apa alasannya sesungguhnya dan bagaimana ia memelihara Woiwallytmang dengan baik.

Woiram sungguh kecewa mengapa kepala adat tak menanyakan perihal orang tua menantunya itu dan mengundangnya. Apalagi kini para penduduk setuju untuk menerimanya sebagai kepala adat yang baru. Woiram merasa dirinya tak dihargai sama sekali.

Dengan rasa kecewa yang mendalam, Woiram berdoa kepada Dewa agar memberinya keadilan. Tiba tiba hujan turun dengan derasnya tak henti. Semua makanan yang terhidang dalam pesta itu berubah menjadi batu. Hujan yang tak jua berhenti mengakibatkan banjir besar yang menenggelamkan Kampung Merem. Seluruh penduduk hanyut terbawa derasnya air. Hanya Woiwallytmang, Mesi, dan Woiram yang selamat dari bencana banjir itu. Mereka selamat karena memanjat pohon pinang.

Setelah banjir surut, Woiram mengajak Mesi dan Woiwallytmang ke Sungai Wasi. Ia menasihati mereka agar senantiasa memohon kepada dewa agar diberi banyak keturunan. Setelah itu Woiram menginjakkan kakinya ke atas sebuah batu besar dan tiba tiba menghilang disana. Mesi dan Woiwallytmang mendengarkan kata kata Woiram. Dewapun mendengarkan doa yang senantiasa mereka panjatkan. Keturunan mereka sangat banyak dan berkembang biak menjadi penduduk Merem di Papua saat ini.

https://dongengceritarakyat.com/dongeng-cerita-rakyat-papua-asal-mula-penduduk-merem-papua/

Diskusi

Silahkan masuk untuk berdiskusi.

Daftar Diskusi

Rekomendasi Entri

Gambar Entri
Tradisi MAKA
Seni Pertunjukan Seni Pertunjukan
Nusa Tenggara Barat

MAKA merupakan salah satu tradisi sakral dalam budaya Bima. Tradisi ini berupa ikrar kesetiaan kepada raja/sultan atau pemimpin, sebagai wujud bahwa ia bersumpah akan melindungi, mengharumkan dan menjaga kehormatan Dou Labo Dana Mbojo (bangsa dan tanah air). Gerakan utamanya adalah mengacungkan keris yang terhunus ke udara sambil mengucapkan sumpah kesetiaan. Berikut adalah teks inti sumpah prajurit Bima: "Tas Rumae… Wadu si ma tapa, wadu di mambi’a. Sura wa’ura londo parenta Sara." "Yang mulia tuanku...Jika batu yang menghadang, batu yang akan pecah, jika perintah pemerintah (atasan) telah dikeluarkan (diturunkan)." Tradisi MAKA dalam Budaya Bima dilakukan dalam dua momen: Saat seorang anak laki-laki selesai menjalani upacara Compo Sampari (ritual upacara kedewasaan anak laki-laki Bima), sebagai simbol bahwa ia siap membela tanah air di berbagai bidang yang digelutinya. Seharusnya dilakukan sendiri oleh si anak, namun tingkat kedewasaan anak zaman dulu dan...

avatar
Aji_permana
Gambar Entri
Wisma Muhammadiyah Ngloji
Produk Arsitektur Produk Arsitektur
Daerah Istimewa Yogyakarta

Wisma Muhammadiyah Ngloji adalah sebuah bangunan milik organisasi Muhammadiyah yang terletak di Desa Sendangagung, Kecamatan Minggir, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Wisma ini menjadi pusat aktivitas warga Muhammadiyah di kawasan barat Sleman. Keberadaannya mencerminkan peran aktif Muhammadiyah dalam pemberdayaan masyarakat melalui pendekatan dakwah dan pendidikan berbasis lokal.

avatar
Bernadetta Alice Caroline
Gambar Entri
SMP Negeri 1 Berbah
Produk Arsitektur Produk Arsitektur
Daerah Istimewa Yogyakarta

SMP Negeri 1 Berbah terletak di Tanjung Tirto, Kelurahan Kalitirto, Kecamatan Berbah, Sleman. Gedung ini awalnya merupakan rumah dinas Administratuur Pabrik Gula Tanjung Tirto yang dibangun pada tahun 1923. Selama pendudukan Jepang, bangunan ini digunakan sebagai rumah dinas mandor tebu. Setelah Indonesia merdeka, bangunan tersebut sempat kosong dan dikuasai oleh pasukan TNI pada Serangan Umum 1 Maret 1949, tanpa ada yang menempatinya hingga tahun 1951. Sejak tahun 1951, bangunan ini digunakan untuk kegiatan sekolah, dimulai sebagai Sekolah Teknik Negeri Kalasan (STNK) dari tahun 1951 hingga 1952, kemudian berfungsi sebagai STN Kalasan dari tahun 1952 hingga 1969, sebelum akhirnya menjadi SMP Negeri 1 Berbah hingga sekarang. Bangunan SMP N I Berbah menghadap ke arah selatan dan terdiri dari dua bagian utama. Bagian depan bangunan asli, yang sekarang dijadikan kantor, memiliki denah segi enam, sementara bagian belakangnya berbentuk persegi panjang dengan atap limasan. Bangunan asli dib...

avatar
Bernadetta Alice Caroline
Gambar Entri
Pabrik Gula Randugunting
Produk Arsitektur Produk Arsitektur
Daerah Istimewa Yogyakarta

Pabrik Gula Randugunting menyisakan jejak kejayaan berupa klinik kesehatan. Eks klinik Pabrik Gula Randugunting ini bahkan telah ditetapkan sebagai cagar budaya di Kabupaten Sleman melalui SK Bupati Nomor Nomor 79.21/Kep.KDH/A/2021 tentang Status Cagar Budaya Kabupaten Sleman Tahun 2021 Tahap XXI. Berlokasi di Jalan Tamanmartani-Manisrenggo, Kalurahan Tamanmartani, Kapanewon Kalasan, Kabupaten Sleman, pabrik ini didirikan oleh K. A. Erven Klaring pada tahun 1870. Pabrik Gula Randugunting berawal dari perkebunan tanaman nila (indigo), namun, pada akhir abad ke-19, harga indigo jatuh karena kalah dengan pewarna kain sintesis. Hal ini menyebabkan perkebunan Randugunting beralih menjadi perkebunan tebu dan menjadi pabrik gula. Tahun 1900, Koloniale Bank mengambil alih aset pabrik dari pemilik sebelumnya yang gagal membayar hutang kepada Koloniale Bank. Abad ke-20, kemunculan klinik atau rumah sakit di lingkungan pabrik gula menjadi fenomena baru dalam sejarah perkembangan rumah sakit...

avatar
Bernadetta Alice Caroline
Gambar Entri
Kompleks Panti Asih Pakem
Produk Arsitektur Produk Arsitektur
Daerah Istimewa Yogyakarta

Kompleks Panti Asih Pakem yang terletak di Padukuhan Panggeran, Desa Hargobinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, merupakan kompleks bangunan bersejarah yang dulunya berfungsi sebagai sanatorium. Sanatorium adalah fasilitas kesehatan khusus untuk mengkarantina penderita penyakit paru-paru. Saat ini, kompleks ini dalam kondisi utuh namun kurang terawat dan terkesan terbengkalai. Beberapa bagian bangunan mulai berlumut, meskipun terdapat penambahan teras di bagian depan. Kompleks Panti Asih terdiri dari beberapa komponen bangunan, antara lain: Bangunan Administrasi Paviliun A Paviliun B Paviliun C Ruang Isolasi Bekas rumah dinas dokter Binatu dan dapur Gereja

avatar
Bernadetta Alice Caroline