|
|
|
|
Wadai 41 - Banjar - Kalimantan Selatan Tanggal 22 Feb 2018 oleh Deni Andrian. |
Tamu dari luar daerah sering bertanya mengenai istilah khas dari kuliner Banjar, yaitu wadai 41. Mereka bertanya-tanya bagaimana bentuk dan rupanya kue yang dinamakan 41 itu. Ada yang beranggapan wadai 41 ini adalah satu macam kue, tetapi sebenarnya wadai 41 ini adalah jumlah dari wadai/kue khas dari daerah Kalimantan Selatan yang merupakan resep turun temurun sejak zaman Kesultanan Banjar. Kalimantan Selatan dengan mayoritas orang Banjar sebagai penduduknya telah lama mengenal dan dikenal sebagai pembuat atau penghasil wadai-wadai (kue-kue) tradisional yang beraneka ragam. Pembuatan wadai Banjar sejak dahulu sampai sekarang tetap berlanjut dan dilakukan masyarakat Banjar dengan berbagai jenisnya itu demikian juga unsur-unsur bahan pokoknya tidak jauh berbeda, hanya cara pengolahan dan bentuknya yang bervariasi. Sedangkan bahan yang digunakan untuk membuat bermacam jenis wadai Banjar tersebut memiliki makna atau nilai filosofis tersendiri dan sudah ditafsirkan serta diyakini mengandung manfaat bagi kehidupan. Pembuatan wadai tradisional Banjar tersebut harus diakui kebanyakan masih berada di pedesaan karena keterikatannya dengan adat yang turun temurun dan kepercayaan masyarakat pada zaman dahulu tentang adanya makhluk2 ghaib, sehingga pada setiap upacara adat mengharuskan tersedianya piduduk yang terdiri dari buah kelapa, gula merah, beras, ketan dan telur ayam. Dari bahan-bahan tersebut masyarakat Banjar dapat membuat wadai-wadai tradisional dengan berbagai macam bentuk, warna serta nama yang berbeda sehingga disebut dengan wadai 41 macam.
Penyediaan wadai 41 macam tersebut dimaksudkan sebagai hidangan atau sesajian dengan tujuan agar makhluk-mahkluk ghaib tersebut tidak mengganggu kehidupan masyarakat disekitarnya, sehingga masyarakat dapat hidup tenang dan tentram. Selanjutnya dalam pengolahanpun tidak sembarang orang yang bisa memasaknya karena ada persyaratan yaitu orang atau ibu-ibu yang memasaknya harus dalam keadaan suci atau tidak dalam keadaan haid. Dalam pemilihan warna, masyarakat juga memilih warna yang mempunyai arti dan perlambang yang berhubungan dengan kelangsungan hidup manusia, yaitu warna merah, putih, hijau dan kuning. Warna merah, dilambangkan sebagai tersediaanya darah yang mengalir ditubuh manusia. Warna putih adalah sumsum yang juga sangat penting bagi tubuh. Warna hijau untuk kesuburan dan kemakmuran sedangkan warna kuning untuk keagungan dan kewibawaan. Semua warna-warna yang disebutkan di atas diyakini berpengaruh dalam pertumbuhan tubuh manusia dengan tata cara hidup manusia sebagai makhluk hidup yang dinamis dan kreatif bersikap. Seiring dengan berjalannya waktu dan masuknya berbagai suku ke daerah Banjar, maka ilmu pengetahuan pun semakin berkembang. Wadai tradisional sedikit demi sedikit mulai mengalaml perubahan baik dalam hal bahan, bentuk, peralatan maupun cara pengolahannya. Walaupun semua sudah serba modern, namun masih ada sebagian masyarakat yang menjalankan adat istiadat seperti meskipun memasak wadai tersebut tidak untuk upacara adat, namun sebelum wadai-wadai tersebut dipindahkan ke dalam wadah tetap harus diambil lebih dahulu serba sedikit untuk suguhan makhluk-makhluk ghaib tersebut, atau paling tidak orang yang memasaknya seperti yang sudah diadatkan akan mengatakan “kalau kepingin wadai yang mana, silahkan ambil saja”. Ini maksudnya ditujukan kepada makhluk gaib yang diyakini ada di sekitar. Pada perkembangan selanjutnya produksi dan promosi wadai Banjar tersebut sudah mulai dilakukan oleh masyarakat perkotaan, hal ini disebabkan karena kesadaran masyarakatnya dan pemerintah yang mengharapkan keberadaan wadai Banjar ini tetap eksis sebagai kuliner orang Banjar yang harus dilestarikan dan dikembangkan. Hal tersebut sudah dilakukan baik pada setiap acara perkawinan atau upacara resmi wadai Banjar selalu disajikan.
Kemudian pada bulan Ramadhan pun semua jenis dan macam wadai Banjar dipasarkan secara khusus dan dikenalkan kepada masyarakat luas, dalam event tahunan yang disebut Ramadhan Cake Fair. Melalui event tahunan tersebut masyarakat mengetahui dan merasakan betapa banyak jenis dan ragam serta nikmatnya kuliner Banjar sehingga mereka selalu merindukan wadai-wadai Banjar.
Sebelum masuknya agama Islam masyarakat menganut agama animisme, percaya dengan adanya makhlukmakhluk halus (gaib) yang kadang bisa mengganggu kehidupan manusia. Mereka percaya bahwa makhluk tersebut juga perlu makan dan sangat menyukai makanan yang bahannya ada unsur dari santan, gula merah, ketan, telur, buah kelapa (piduduk). Sehubungan dengan itu maka masyarakat membuat wadai-wadai dari campuran bahan-bahan tersebut, dengan berbagai bentuk rupa dan jenisnya yang penuh dengan perlambang hingga menjadi wadai tradisional yang berjumlah 41 macam, ditambah dengan kopi pahit dan kopi manis. Atur dahar (memberi makan makhluk gaib) ini dilakukan dan disajikan dalam kurun waktu setahun sekali. Dengan atur dahar tersebut, mereka percaya kehidupan dan ketenangan mereka tidak akan diganggu oleh makhlukmahkluk gaib tersebut. Dengan sedikit memahami makna dan arti perlambang dari sesajian dalam bermacam upacara adat, dapatlah kita mengerti dan merasakan hal-hal yang ingin dicapai yaitu tujuan penyelenggaraan penyediaan makanan (wadai) dimaksud. Pada setiap penyelenggaraan upacara adat dihidangkan makanan
tertentu yang masingmasing mempunyai makna dan pengertian tersendiri. Begitu juga bahan-bahan mentah yang digunakan mempunyai makna tertentu, termasuk pula warna dan bentuk serta teknis memasaknya.
Cara memasak wadai bagi orang Banjar pada mulanya sangat sederhana yaitu dengan cara dijarang (direbus), dibanam (dibakar), dipanggang, disanga (digoreng), dan disumap (dikukus). Alatnya pun sangat sederhana pula yaitu berupa panci yang terbuat dari seng untuk menjarang (merebus) , rinjing (wajan) dari aluminium untuk menyanga (menggoreng), tuangan dari kuningan ditutup dengan seng bekas yang diatasnya ada bara api untuk membanam (membakar), seblokan/panci dandangan untuk menyumap (mengukus), dan dapur dari tanah liat yang berisi bara dari kayu untuk memanggang.
Seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan maka peralatan masak memasak pun mulai diproduksi dengan sangat canggih dan multi fungsi. Pada zaman dahulu peralatan memasak menggunakan dapur atau tungku dari tanah liat, untuk pemanas dari panas api atau bara api dari arang, waktu masaknya wadai juga memakan waktu yang lama, namun pada zaman sekarang orang memasak sangat praktis, bisa dengan memakai kompor gas atau kompor listrik, sedangkan tempat memanggang bisa menggunakan oven atau mecroweft dan waktu masaknya pun lebih cepat dan dapat diatur dengan memakai timer.
Tujuan dari semua upacara adat ini seperti telah dikemukakan adalah untuk mengatur dahar atau memberi makan kepada makhluk-makhluk ghaib dengan harapan agar tidak mengganggu ketenangan dan ketentraman hidup manusia. Atur dahar yang merupakan suatu adat dan kebiasaan dari masyarakat Banjar sebagai pendukungnya diwujudkan dalam bentuk hidangan sesajian berupa wadai-wadai tradisional. Pada upacara menyanggar banua, wadai-wadai tradisional diolah dan diletakkan pada langgatan, yang terbuat dari daun pucuk kelapa dibentuk segi empat bertingkat tujuh seperti kerucut dan digantung di tengah ruangan. Di setiap tingkat diletakkan wadai-wadai tersebut kemudian mereka mengelilingi langgatan dengan menari dan bemamang atau berdoa kepada sanghyang (Tuhan yang Maha Kuasa) atau sekarang bagi orang Islam Allah SWT. Setelah masuknya agama Islam maka tujuan dan bentuk upacara tersebut mulai berubah sekarang lebih ditekankan pada pembacaan do’a mohon keselamatan dan berkah kepada Yang Maha Kuasa untuk memohon kebaikan di dunia dan akhirat. Banyak upacara adat yang disesuaikan dengan syariat Islam, dan ini juga sekaligus menghindari keritikan yang mengaitkan dengan prilaku maupun perbuatan syirik.
Dalam sajian upacara adat, ada 4 (empat) warna yang selalu ditampilkan, yaitu warna merah, putih, kuning dan hijau. Ke empat warna tersebut dipercayai memiliki makna tertentu yaitu: Merah, ibarat darah yang ada di dalam tubuh dapat juga dikatakan sebagai kesungguhan lahir, Putih, ibarat sumsum yang ada di dalam tulang, bisa juga bemakna kesucian batin. Kuning warna keagungan dan kewibawaan. Hijau, lambang kesuburan dan kemakmuran. Semua itu berhubungan dengan kesehatan tubuh dan kelangsungan hidup manusia.
Untuk pembuatan bahan pewarna ini, diperlukan bahan-bahan seperti untuk warna merah bahannya adalah dari gula merah, untuk warna hijau diambil dari air perasan daun pandan atau suji, untuk warna kuning dari air perasan kunyit, sedangkan warna putih berarti tanpa bahan pewarna sama sekali. Apalagi jika memasaknya ada yang dengan cara digoreng, maka warna putihnya pun kadang kurang terlihat jelas warna putihnya. Sehingga untuk menyatakan warna putih dipakai simbol gula putih. Sebelum masuknya agama Islam, semula ada 7 (tujuh) warna yang mempunyai makna tertentu dalam berbagai sajian upacara adat. Tujuh warna adalah sesuai warna pelangi ditambah dengan warna hitam yang bermakna tujuh petala langit dan bumi menuju ke alam atas atau surga. Ini biasanya ada pada sesajian upacara adat manyanggar banua, antara lain berupa punjung (nasi dibentuk kerucut).
Sumber: http://kesultananbanjar.com
Gambus
Oleh
agus deden
| 21 Jun 2012.
Gambus Melayu Riau adalah salah satu jenis instrumental musik tradisional yang terdapat hampir di seluruh kawasan Melayu.Pergeseran nilai spiritual... |
Hukum Adat Suku...
Oleh
Riduwan Philly
| 23 Jan 2015.
Dalam upaya penyelamatan sumber daya alam di kabupaten Aceh Tenggara, Suku Alas memeliki beberapa aturan adat . Aturan-aturan tersebut terbagi dala... |
Fuu
Oleh
Sobat Budaya
| 25 Jun 2014.
Alat musik ini terbuat dari bambu. Fuu adalah alat musik tiup dari bahan kayu dan bambu yang digunakan sebagai alat bunyi untuk memanggil pend... |
Ukiran Gorga Si...
Oleh
hokky saavedra
| 09 Apr 2012.
Ukiran gorga "singa" sebagai ornamentasi tradisi kuno Batak merupakan penggambaran kepala singa yang terkait dengan mitologi batak sebagai... |