×

Akun anda bermasalah?
Klik tombol dibawah
Atau
×

DATA


Kategori

Vihara

Elemen Budaya

Produk Arsitektur

Provinsi

Jawa Barat

Vihara Mahacetya Dhanagun

Tanggal 05 Jan 2019 oleh Roro .

Bangunan vihara berada di tengah-tengah atau titik sentral Kota Bogor tepatnya di Pasar Bogor, mudah dicapai oleh kendaraan umum maupun kendaraan pribadi roda 2 ataupun kendaraan roda 4 dari pusat kota. Batas-batas vihara, di sebelah timur dan selatannya terletak bangunan supermarket Bogor Plaza, di sebelah barat Jalan Surya Kencana dan Jalan Otto Iskandardinata dan di utara dengan Kebun Raya Bogor. 

Vihara Mahacetya Dhanagun yang dikenal juga dengan nama Hok Tek Bio  terletak di Jalan Surya Kencana No.1, Kelurahan Babakan Pasar. Kecamatan Bogor Timur. Berada pada koordinat   106° 47' 994" BT dan  06° 36'31" LS dengan ketinggian 510 meter dari permukaan laut. Tempat pemujaan atau tempat ibadah bagi masyarakat Cina tradisional dalam istilah Indonesia asli disebut Klenteng. Istilah ini dikaitkan dengan bunyi klenteng-klenteng atau klenting-klenting yang berasal dari genta-genta kecil. Sesuai dengan bunyinya maka tempat ini disebut klenteng. Istilah inipun hanya dikenal di Indonesia, sementara di tempat lain bahkan di Cina pun tidak dikenal. Istilah klenteng kini sekarang dikenal dengan vihara atau Hok Tek Bio. Nama Hok Tek Bio berasal dari kata Hok yang berarti rejeki, Tek berarti kebajikan jadi Hok Tek Bio berarti rumah ibadah rejeki dan kebaikan
Pada mulanya masyarakat Cina dalam melakukan pemujaan tidak di kuil-kuil melainkan di tempat terbuka, kecuali kuil untuk nenek moyang. Hal ini karena nenek moyang semasa hidupnya berada di lingkungan rumah, sehingga pemujaannya pun dilakukan di rumah. Kemudian hampir 5000 tahun yang lalu Dinasti Kuning dari kekaisaran Bunga membangun kuil untuk Dewa Gunung dan Dewa Sungai. Semenjak itu banyak kuil-kuil didirikan untuk Thian, leluhur, para suci dan bermacam arwah. Kuil untuk Thian disebut Shiau dan kuil untuk para leluhur serta tokoh suci disebut Bio.
Dewasa ini Vihara Dhanagun termasuk dalam Majelis Budhayana Indonesia, sehingga tampak hanya mengacu pada tempat ibadah bagi umat Budha. Budhayana berarti kendaraan Buddha atau sering disebut Ekayana yang berarti kendaraan tunggal. Menurut umat Buddhayana, baik ajaran Mahayana, Hinayana dan Tantrayana merupakan bagian dari satu lingkaran yang utuh (Buddha Darma). Umat Budhayana yakin adanya Tuhan dengan sebutan Sang Hyang Adhi Buddha. 
Meskipun saat ini Hok Tek Bio merupakan suatu vihara namun di dalamnya tetap diizinkan praktek-praktek kepercayaan masyarakat Cina, seperti Konfusianisme, dan Taoisme. Konfusionisme telah mendominasi setiap aspek pola pikir dan membentuk kehidupan keluarga Cina. Taoisme yang berdasarkan pada ajaran Lao Tze mengajak masyarakat kembali ke alam untuk menyatu dengan Tao guna mencapai kebahagian abadi. Sementara ajaran Buddhisme yang berasal dari India membawa ke formal religi seperti pendeta, panteon-panteon, surga dan neraka. Berkembangnya agama Buddha dan kepercayaan masyarakat Cina menyebabkan di dalam vihara tersebut terdapat ruangan penghormatan para dewa/tokoh suci Budhis, Konfusius, dan Taois.
Di Indonesia perbedaan antara jenis klenteng satu dengan yang lain tidak tampak. Klenteng-klenteng di Indonesia telah kehilangan ciri khasnya sehingga yang ada hanya tempat pemujaan bagi tiga aliran pokok yaitu Konfusionisme, Taoisme, dan Buddhisme. Klenteng/vihara yang ada di Bogor pun telah kehilangan ciri khasnya karena di dalam klenteng Hok Tek Bio atau vihara Dhanagun terdapat dewa-dewa/tokoh suci Budhis, Taois dan Konfusius. Dewa utama yang dipuja di vihara ini, Hok Tek Cing Sien (Dewa Bumi), namun ditempatkan pula panteon Buddhisme yaitu Maitreya, Buddha Gautama dan Avalokiteswara. Selain itu terdapat pemujaan terhadap Eyang Raden Surya Kencana yaitu leluhur penguasa wilayah Bogor
Vihara didirikan sekitar tahun 1672 M, berdasarkan penanggalan pada sistem kalender menurut perhitungan Tien Gan Di Cze cabang langit ranting bumi yang disebut sebagai tahun Jen Cze (tahun tikus air) yang hitungannya berarti 325 tahun yang lalu dari sekarang (tahun 2007). Sedang jika berdasarkan peristiwa terjadinya perpindahan orang-orang Cina di Batavia ke daerah yang dianggap aman akibat pemberontakan orang-orang Cina di Batavia pada tahun 1740 M, maka diperkirakan kelenteng ini dibangun pada awal abad 18 M. 
Sebelumnya bangunan vihara berukuran 80 m, kemudian diperluas sehingga mencapai bentuknya yang sekarang dengan luas bangunan 635,50 m2, dan luas areal 1.241,25 m². Bangunan terdiri dari beberapa bagian yaitu halaman, bangunan utama, dan bangunan tambahan. Bangunan vihara tepatnya pada bagian atap bubungan dihias dua ekor naga yang saling berhadapan, masing-masing menghadap ke cu (mustika) yang ada di tengah-tengah bubungan. Di kedua ujung bubungan terdapat hiasan berbentuk ikan dan sulur-suluran dengan motif teratai. Ditemukan sisa-sisa bangunan gazebo (paseban) yang sekarang tinggal fondasi dengan beberapa anak tangga, dua bangunan tempat pembakaran kertas, dan sepasang patung singa terbuat dari batu.
Bangunan utama dibagi dalam 3 bagian, yaitu: teras, ruang tengah, dan ruang suci utama. Ruang tengah merupakan bangunan tempat meletakan altar bagi Thian, di depannya terdapat meja kayu untuk meletakan hialo. Di tengah ruangan ini terdapat ruang terbuka atau impluvium berukuran  21 m2 dengan lantai lebih rendah 10 cm dari lantai sekitarnya. Juga terdapat tempat penjualan peralatan upacara seperti hialo, lilin,dan lain-lain. Ruang suci utama letaknya lebih tinggi dari ruang tengah dan memiliki 3 altar dari kayu dengan patung-patung di atasnya. Di depan setiap altar terdapat meja kayu dengan hialo, tempat lilin, dan sesajian. Pada bagian belakang bangunan utama ini terdapat bangunan yang berfungsi sebagai ruang makan rohaniwan, ruang dapur dan toilet. 
Vihara sebagai bangunan ibadah bagi masyarakat Cina keturunan, dengan gaya arsitektur khas perpaduan (budaya Cina, Indonesia, Belanda).  mungkin dapat menjadi daya tarik bagi kajian arsitektur kolonial khusus bangunan ibadah dan objek wisata sejarah bagi masyarakat Cina.
 
sumber :http://www.disparbud.jabarprov.go.id/wisata/dest-det.php?id=135&lang=id

DISKUSI


TERBARU


Ulos Jugia

Oleh Zendratoteam | 14 Dec 2024.
Ulos

ULOS JUGIA Ulos Jugia disebut juga sebagai " Ulos na so ra pipot " atau pinunsaan. Biasanya adalah ulos "Homitan" yang disimp...

Tradisi Sekaten...

Oleh Journalaksa | 29 Oct 2024.
Tradisi Sekaten Surakarta

Masyarakat merupakan kesatuan hidup dari makhluk-makhluk manusia saling terikat oleh suatu sistem adat istiadat (Koentjaraningrat, 1996: 100). Masyar...

Seni Tari di Ci...

Oleh Aniasalsabila | 22 Oct 2024.
Seni Tari Banyumasan

Seni tari merupakan salah satu bentuk warisan budaya yang memiliki peran penting dalam kehidupan masyarakat Cilacap. Tari-tarian tradisional yang ber...

Wayang Banyumas...

Oleh Aniasalsabila | 22 Oct 2024.
Wayang Banyumasan

Wayang merupakan salah satu warisan budaya tak benda Indonesia yang memiliki akar dalam sejarah dan tradisi Jawa. Sebagai seni pertunjukan, wayang te...

Ekspresi Muda K...

Oleh Journalaksa | 19 Oct 2024.
Ekspresi Muda Kota

Perkembangan teknologi yang semakin pesat tidak hanya ditemui pada bidang informasi, komunikasi, transportasi, konstruksi, pendidikan, atau kesehatan...

FITUR


Gambus

Oleh agus deden | 21 Jun 2012.
Alat Musik

Gambus Melayu Riau adalah salah satu jenis instrumental musik tradisional yang terdapat hampir di seluruh kawasan Melayu.Pergeseran nilai spiritual...

Hukum Adat Suku...

Oleh Riduwan Philly | 23 Jan 2015.
Aturan Adat

Dalam upaya penyelamatan sumber daya alam di kabupaten Aceh Tenggara, Suku Alas memeliki beberapa aturan adat . Aturan-aturan tersebut terbagi dal...

Fuu

Oleh Sobat Budaya | 25 Jun 2014.
Alat Musik

Alat musik ini terbuat dari bambu. Fuu adalah alat musik tiup dari bahan kayu dan bambu yang digunakan sebagai alat bunyi untuk memanggil pend...

Ukiran Gorga Si...

Oleh hokky saavedra | 09 Apr 2012.
Ornamen Arsitektural

Ukiran gorga "singa" sebagai ornamentasi tradisi kuno Batak merupakan penggambaran kepala singa yang terkait dengan mitologi batak sebagai...