Upacara Nampo Tawar merupakan suatu bentuk upacara yang sangat terkait dengan persembahan kepenguasa laut. Ini sering disebut upacara turun ke laut. Upacara ini juga sangat disakralkan. Sacral dalam arti ini mengandung makna suci (Agus, 2007: 80). Upacara Nampo Tawar dilakukan sebelum akan berangkat menangkap ikan atau bagi generasi mudannya yang akan berangkat merantau keluar pulau menyeberangi lautan, maka suatu upacara menurut kepercayaan masyarakat setempat mengadakan ritual yang disebut upacara turun laut. Khusus bagi nelayan yang akan berangkat menangkap ikan, maka pada malam sebelum berangkat, di rumah pada salah satu warga pemilik perahu (juragan) akan diadakan suatu upacara keagamaan yakni melakukan pembacaan doa bersama, pengajian, dan selain itu juga disertai dengan ritual persembahan berupa sesajian yang di dalamnya berisi bunga tiga macam dengan warna yang berbeda. Sesajian juga berisi bubur putih, tumpeng, ketan, tumpeng ketan warna kuning. Sesajian ini akan dipersembahkan disertakannya pula dengan melakukan pembakaran kemenyan.Doa yang dibacakan tersebut, diikuti oleh para anggota keluarga yang akan bepergian. Dalam acara itu juga terkadang mengundang masyarakat sekitarnya untuk ikut mendoakan agar perjalanan melakukan pelayaran mendapatkan keselamatan dari Allah (Tuhan Yang Maha Esa).
Setelah pembacaan doa selesai, semua ritus upacara telah berjalan maka pada penghujung acara dilanjutkan dengan melakukan makan bersama yaitu berupa sesajian tumpeng kuning dan putih. Para warga yang tidak sempat memakan sesajian di tempat diperbolehkan membawa pulang ke rumah masing-masing. Pada inti dari upacara tersebut adalah sebagai cara memberikan persembahan kepada penguasa laut, para nelayan yang berlayar dan menangkap ikan mendapatkan keselamatan dan membawa hasil tangkapan yang melimpah. Ritual lanjutan menjelang berangkat ada semacam ritual yang wajib dilakukan yaitu mengoleskan bubuk beras yang berwarna kuning dibagian-bagian perahu yang akan digunakan berlayar. Hal ini tujuannya untuk memberi perlindungan dan kekuatan magis terhadap perahu tersebut disamping juga awak perahu yang ada di dalamnya. Symbol dari beras kuning yang dioleskan tersebut dimaknai juga sebagai cara untuk mengusir kekuatan jahat dan menghilangkan berbagai dampak negative (menetralisir). Karena kepercayaan itulah maka para juragan perahu yang akan memberangkatkan anggotanya berlayar selalu mengitari perahu dan sampannya sebanyak tiga kali dan sekaligus mengoleskan beras kuning pada bagian perahu tersebut. Tradisi ritual semacam ini juga dilakukan ketika pembuatan perahu baru telah selesai dan akan dipergunakan untuk beraktivitas. Ritual bagi perahu baru hampir sama dengan ritual turun laut. Dimana juga diadakan semacam doa bersama bertempat dimasin-masing rumah yang memiliki perahu tersebut. Pembacaan doa selesai dilanjutkan dengan melakukan persembahan yaitu berupa tumpeng putih dan kuning selain itu ada juga alat-alat lain sebagai pelengkap dalam ritual tersebut.
Tradisi ini masih dilakukan oleh masyarakat di Pulau Bungin.
sumbe r: https://culturalstudiesbali.files.wordpress.com/2017/07/ign-jayanti-i-made-sumerta-pulau-bungin.pdf
Kelahiran seorang anak yang dinantikan tentu membuat seorang ibu serta keluarga menjadi bahagia karena dapat bertemu dengan buah hatinya, terutama bagi ibu (melahirkan anak pertama). Tetapi tidak sedikit pula ibu yang mengalami stress yang bersamaan dengan rasa bahagia itu. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan tentang makna dari pra-kelahiran seseorang dalam adat Nias khusunya di Nias Barat, Kecamatan Lahomi Desa Tigaserangkai, dan menjelaskan tentang proses kelahiran anak mulai dari memberikan nama famanoro ono khora sibaya. Metode pelaksanaan dalam penelitian ini adalah menggunakan metode observasi dan metode wawancara dengan pendekatan deskriptif. pendekatan deskriptif digunakan untuk mendeskripsikan fakta sosial dan memberikan keterangan yang jelas mengenai Pra-Kelahiran dalam adat Nias. Adapun hasil dalam pembahasan ini adalah pra-kelahiran, pada waktu melahirkan anak,Pemberian Nama (Famatorõ Tõi), acara famangõrõ ono khõ zibaya (Mengantar anak ke rumah paman),...
Prajurit pemanah dari komunitas pemanah berkuda indonesia (KPBI) mengikuti Festival Keraton Nusantara 2017. mewakili kesultanan kasepuhan cirebon. PAKAIAN: terdiri dari ikat kepala/ totopong khas sunda jenis mahkuta wangsa. kain sembongb berwarnaungu di ikat di pinggang bersamaan dengan senjata tajam seperti golok dan pisau lalu baju & celana pangsi sunda. dengan baju corak ukiran batik khas sunda di bagian dada. untuk alas kaki sebagian besar memakai sendal gunung, namun juga ada yang memakai sepatu berkuda. BUSUR: sebagian besar memakai busur dengan model bentuk turkis dan ada juga memakai busur model bentuk korea. ANAK PANAH: Semua nya memakai anak panah bahan natural seperti bambu tonkin, kayu mapple & kayu spruce QUIVER (TEMPAT ANAK PANAH): Semua pemanah menggunakan quiver jenis backside quiver atau hip quiver . yaitu quiver yang anak panah di pasang di pinggang dan apabila anak panah di pasang di dalam quiver , nock anak panah menghadap ke belaka...
aksi pertunjukan pusaka dan pasukan kesultanan kacirebonan dari balaikota cirebon sampai ke keraton kacirebonan
Para pasukan penjaga keraton Sumedang larang