Dalam sejarah masyarakat Melayu Riau, Suku Petalangan dikenal sebagai suku yang memiliki banyak adat istiadat. Contohnya adalah upacara belian yang sampai sekarang masih tetap dilestarikan. Upacara ini merupakan ajaran leluhur agar manusia menjaga keseimbangan hidup dengan alam dan makhluk yang terlihat maupun tidak. Upacara ini juga bertujuan agar manusia bersyukur kepada Tuhan atas kesehatan mereka (Nizamil Jamil, dkk, 1987/1988; Budisantoso, 1986). Belian menurut bahasa orang Petalangan diambil dari beberapa arti. Menurut mereka, belian adalah nama kayu yang keras dan tahan lama. Kayu belian ini pada masa lalu biasa digunakan untuk bahan membuat ketobung, yakni gendang untuk mengiringi upacara adat. Kayu ini juga baik untuk bahan membuat bangunan rumah. Menurut kemantan (orang yang dapat berkomunikasi dengan makhluk gaib), kayu belian disebut juga dengan kayu putih sangko bulan yang berarti kayu tempat tinggal jin yang baik (Nizamil Jamil, dkk, 1987/1988).
Kata belian juga dipercaya berasal dari kata bolian yang berarti persembahan. Belian juga dianggap berasal dari kata belian yang berarti budak atau hamba sahaya. Dari arti-arti tersebut, secara umum, upacara belian dapat diartikan sebagai upacara persembahan kepada Tuhan agar diselamatkan dari marabahaya dan mengharap kesembuhan serta perlindungan dari beragam penyakit dan gangguan makhluk gaib yang jahat (Nizamil Jamil, dkk, 1987/1988).
Berdasarkan arti di atas, upacara belian pada umumnya ditujukan untuk empat hal, yaitu untuk mengobati orang sakit, membantu orang hamil yang dikhawatirkan sulit melahirkan, untuk mengobati kemantan, dan untuk menolak wabah penyakit. Upacara adat belian terdiri dari dua macam, yaitu belian kocik (kecil) atau biaso (biasa) dan belian bose (besar) atau polas (khusus). Belian biaso adalah upacara yang digelar untuk orang hamil yang dikhawatirkan sulit melahirkan. Selain itu, juga untuk orang yang terkena wabah penyakit atau mendapat gangguan binatang buas. Namun, jika upacara belian biaso tidak mampu menyembuhkan penyakit tersebut, barulah diadakan belian bose atau polas (Nizamil Jamil, dkk, 1987/1988). Dengan kata lain, belian biaso dan polas intinya adalah sama, hanya waktu digelarnya saja yang berbeda.
Upacara adat belian digelar pada malam hari. Malam dianggap waktu yang tepat untuk bedoa dan memohon kepada Tuhan. Selain itu, pada malam hari biasanya seluruh warga suku dapat berkumpul bersama karena jika siang hari mereka bekerja di hutan.
Upacara ini biasanya digelar di rumah orang yang sakit atau di rumah adat yang besar. Selain itu, pemangku adat dibantu oleh warga akan membuat rumah-rumah kecil didepan rumah tempat upacara sebagai salah satu syarat upacara.
Upacara adat belian dipimpin oleh kemantan atau mantan (orang yang ahli mengobati penyakit). Selain karena ahli, seorang kemantan dipilih karena ia dianggap dapat menjalin komunikasi dengan makhluk gaib. Selama upacara berlangsung, Kemantan akan berhubungan dengan makhluk gaib yang baik dan meminta mereka ikut hadir untuk membantu menyembuhkan penyakit pasien.
Upacara belian biasanya dihadiri oleh seluruh anggota suku atau oleh keluarga yang sakit dan sanak kerabat mereka. Meskipun demikian, upacara adat belian melibatkan warga suku secara keseluruhan karena upacara ini adalah upacara kolektif (bersama).
Upacara adat belian memerlukan beragam alat dan bahan, antara lain:
Seluruh perlengkapan dan bahandi atas disiapkan oleh dua orang khusus yang disebut tuo longkap dan pebayu. Selain betugas untuk hal itu, pebayu juga bertugas memeriksa semua perlengkapan dan bahan-bahan. Jika belum lengkap, maka pebayu harus mencari kelengkapannya sebelum upacara dimulai. Penyiapan segala perlengkapan danbahan-bahan upacara juga akan dibantu oleh warga suku dan anak.
Persiapan upacara ini dimulai dengan musyawarah antara pemangku adat dengan keluarga pesukuan orang yang akan diobati. Musyawarah dilakukan untuk mencari kesepakatan apakah orang yang sakit tersebut akan diobati menggunakan dengan upacara belian biaso atau bose. Setelah kesepakatan diperoleh, kemudian pemangku adat menyampaikannya kepada monti rajo (pemimpin puncak adat). Setelah itu, diadakan musyawarah lagi yang melibatkan orang-orang tertentu. Musyawarah ini disebut dengan musyawarah sekampung.
Hasil musyawarah sekampung disampaikan kepada tuo longkap yang kemudian akan berunding dengan pebayu untuk menentukan waktu pelaksanaan upacara yang tepat. Setelah ditentukan waktunya, keduanya menyampaikan lagi kepada monti rajo dan kepada desa, lalu mereka bersama-sama pergi ke rumah kemantan. Kemantan lantas menentukan apakah akan diadakan upacara belian biaso atau bose. Lazimnya antara keinginan kemantan, masyarakat, dan pemuka adat tidak ada perbedaan. Setelah itu, baru diumumkan kepada seluruh masyarakat dan mereka akan mengumpulkan biaya dan segala kebutuhan upacara.
Persiapan selanjutnya adalah membersihkan rumah yang akan dijadikan tempat upacara dan memasak hidangan untuk para peserta upacara. Namun, agar tidak memberatkan tuan rumah, biasanya para kerabat yang akan hadir sudah membawa beragam bahan-bahan dapur sesuai kemampuannya, seperti beras, gula, kopi, ayam hidup, ikan, sayur mayur, dan sebagainya.
Persiapan lainnya adalah menentukan siapa-siapa yang akan pergi ke hutan untuk meramu (mengambil) kayu, mencari rotan, pucuk kepau, atau pelepah pohon kelubi. Mereka ini akan dipimpin oleh seorang dukun yang mengetahui mantra kayu, agar nantinya upacara tidak diganggu oleh makhluk gaib yang jahat.
Saat pagi hari, dengan dipimpin oleh dukun, beberapa orang mengambil kayu di hutan untuk ritual beramu. Kayu dipilih yang batangnya lurus, tidak cacat, bukan kayu tunggal, tidak dipalut akar, tidak dihimpit kayu lain, tidak sedang berbunga atau berbuah, dan tidak ditandai orang lain.
Pertama-tama, sang dukun duduk di dekat pohon sambil membakar kemenyan lalu membaca doa monto kayu atau doa memohon mengambil kayu dari hutan. Setelah itu, kayu baru boleh ditebang dan dibawa pulang untuk dijadikan salah satu syarat upacara.
Saat sore hari, pebayu menyampaikan hajat pengobatan kepada kemantan. Keduanya lalu berbincang sembari makan sirih dan disaksikan oleh orang banyak. Kemantan lalu berdoa dan meminta bantuan doa kepada yang hadir agar nantinya upacara dapat berjalan lancar.
Setelah itu, bujang belian mengambil gendang ketobung. Gendang lalu ditaburi padi, diasapi dengan kemenyan, dan dibacakan mantra dengan tujuan agar dapat mengobati orang sakit. Kemudian, pebayu membaca doa sambil meracik limau dan merendam cincin perak milik orang yang sakit. Ritual ini dibacakan hanya dengan diterangi damar (lilin). Cincin ini nantinya diharapkan dapat menyembuhkan sakit sang empunya. Setelah pebayu selesai membaca doa, dilanjutkan kemantan membaca doa. Hal ini ditujukan agar limau dan cincin semakin mujarab.
Setelah ritual-ritual di atas, upacara belian dimulai dengan membunyikan ketobung. Saat itu, kemantan duduk bersila sambil dikerudungi kain dan membunyikan genta lalumembaca mantra. Selanjutnya, kemantan sujud menyembah ke arah dian sambil membaca mantra.
Seusai bersujud, kemantan berdiri. Pada saat yang sama pebayu menggelar tikar putih. Lalu kemantan berjalan mondar-mandir di atas tikar dan mulai menari sambil melantunkan mantra. Pada saat ini, kemantan berada dalam kondisi kerasukan (trance) akuan (makhluk gaib). Menurut kepercayaan, dalam kondisi kerasukan, kemantan sedang melakukan perjalanan melewati padang, mendaki gunung, dan sebagainya.
Setelah sampai tujuan, kemantan lalu meminta obat secara spiritual sesuai dengan tujuan upacara. Ritual ini dilakukan sambil terus diiringi dengan menari, membunyikan genta, dan mendendangkan mantra. Biasanya kemantan memberi kode tertentu kepada pebayu agar membawa orang yang sakit ke tengah ruangan, lalu kemantan akan mulai mengobati dengan membacakan mantra atau meminumkan ramuan yang telah diberi doa.
Setelah pengobatan selesai, proses selanjutnya adalah mengantarkan persembahan kepada akuan yang telah memberikan obat. Persembahan diberikan dengan cara dibawa sambil menari, lalu kemantan dan pebayu saling berdialog seakan berdialog dengan akuan. Ritual ini biasanya memakan waktu lama karena banyaknya dialog, salah satunya menanyakan kepada akuan apakah dirinya menerima persembahan tersebut.
Tahap terakhir adalah kemantan mengambil perapian dengan mengusapkan kemenyan ke wajahnya dan mengelilingi asapnya. Ritual ini adalah untuk mengembalikan kesadaran kemantan. Dengan ritual ini upacara belian dianggap selesai.
Upacara ini memiliki pantangan dan larangan yang harus dihindari, antara lain:
Upacara adat belian memuat nilai-nilai kehidupan yang positif, antara lain sebagai berikut:
Sumber : http://melayuonline.com/ind/culture/dig/2678/
1. Rendang (Minangkabau) Rendang adalah hidangan daging (umumnya sapi) yang dimasak perlahan dalam santan dan bumbu rempah-rempah yang kaya selama berjam-jam (4–8 jam). Proses memasak yang sangat lama ini membuat santan mengering dan bumbu terserap sempurna ke dalam daging. Hasilnya adalah daging yang sangat empuk, padat, dan dilapisi bumbu hitam kecokelatan yang berminyak. Cita rasanya sangat kompleks: gurih, pedas, dan beraroma kuat. Rendang kering memiliki daya simpan yang panjang. Rendang adalah salah satu hidangan khas Indonesia yang paling terkenal dan diakui dunia. Berasal dari Minangkabau, Sumatera Barat, masakan ini memiliki nilai budaya yang tinggi dan proses memasak yang unik. 1. Asal dan Filosofi Asal: Rendang berasal dari tradisi memasak suku Minangkabau. Secara historis, masakan ini berfungsi sebagai bekal perjalanan jauh karena kemampuannya yang tahan lama berkat proses memasak yang menghilangkan air. Filosofi: Proses memasak rendang yang memakan waktu lama mela...
Ayam goreng adalah salah satu menu favorit keluarga yang tidak pernah membosankan. Namun, jika kamu ingin mencoba variasi yang lebih gurih dan harum, ayam goreng bawang putih renyah adalah pilihan yang tepat. Ciri khasnya terletak pada aroma bawang putih yang kuat serta kriukannya yang renyah saat digigit. Resep ini juga sangat mudah dibuat, cocok untuk menu harian maupun ide jualan. Bahan-Bahan Bahan Ayam Ungkep ½ kg ayam (boleh potong kecil agar lebih cepat matang) 5 siung bawang putih 4 siung bawang merah 1 sdt ketumbar bubuk 1 ruas kunyit (opsional untuk warna) Garam secukupnya Kaldu bubuk secukupnya Air ± 400 ml Bahan Kriuk Bawang 5–6 siung bawang putih, cincang halus 3 sdm tepung maizena ¼ sdt garam ¼ sdt lada Minyak banyak untuk menggoreng Cara Membuat Ungkep ayam terlebih dahulu Haluskan bawang putih, bawang merah, kunyit, dan ketumbar. Tumis sebentar hingga harum. Masukkan ayam, aduk rata, lalu tuang air. Tambahkan garam dan kaldu...
Ayam ungkep bumbu kuning adalah salah satu menu rumahan yang paling praktis dibuat. Rasanya gurih, aromanya harum, dan bisa diolah lagi menjadi berbagai hidangan seperti ayam goreng, ayam bakar, hingga pelengkap nasi kuning. Keunggulan lainnya, resep ini termasuk cepat dan cocok untuk kamu yang ingin memasak tanpa ribet namun tetap enak. Berikut resep ayam ungkep bumbu kuning cepat yang bisa kamu coba di rumah. Bahan-Bahan ½ kg ayam, potong sesuai selera 4 siung bawang putih 5 siung bawang merah 1 ruas kunyit 1 ruas jahe 1 ruas lengkuas (geprek) 2 lembar daun salam 2 lembar daun jeruk 1 batang serai (geprek) 1 sdt ketumbar bubuk (opsional) Garam secukupnya Kaldu bubuk secukupnya Air ± 400–500 ml Minyak sedikit untuk menumis Cara Membuat Haluskan bumbu Blender atau ulek bawang merah, bawang putih, kunyit, jahe, dan ketumbar bubuk (jika dipakai). Semakin halus bumbunya, semakin meresap ke ayam. Tumis bumbu hingga harum Panaskan sedikit m...
Sumber daya air merupakan sebuah unsur esensial dalam mendukung keberlangsungan kehidupan di bumi. Ketersediaan air dengan kualitas baik dan jumlah yang cukup menjadi faktor utama keseimbangan ekosistem serta kesejahteraan manusia. Namun, pada era modern saat ini, dunia menghadapi krisis air yang semakin mengkhawatirkan (Sari et al., 2024). Berkurangnya ketersediaan air disebabkan oleh berbagai faktor global seperti pemanasan, degradasi lingkungan, dan pertumbuhan penduduk yang pesat. Kondisi tersebut menuntut adanya langkah-langkah strategis dalam pengelolaan air dengan memperhatikan berbagai faktor yang tidak hanya teknis, tetapi juga memperhatikan sosial dan budaya masyarakat. Salah satu langkah yang relevan adalah konservasi air berbasis kearifan lokal. Langkah strategis ini memprioritaskan nilai-nilai budaya masyarakat sebagai dasar dalam menjaga sumber daya air. Salah satu wilayah yang mengimplementasikan konservasi berbasis kearifan lokal yaitu Goa Ngerong di kecamatan Rengel,...
Kelahiran seorang anak yang dinantikan tentu membuat seorang ibu serta keluarga menjadi bahagia karena dapat bertemu dengan buah hatinya, terutama bagi ibu (melahirkan anak pertama). Tetapi tidak sedikit pula ibu yang mengalami stress yang bersamaan dengan rasa bahagia itu. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan tentang makna dari pra-kelahiran seseorang dalam adat Nias khusunya di Nias Barat, Kecamatan Lahomi Desa Tigaserangkai, dan menjelaskan tentang proses kelahiran anak mulai dari memberikan nama famanoro ono khora sibaya. Metode pelaksanaan dalam penelitian ini adalah menggunakan metode observasi dan metode wawancara dengan pendekatan deskriptif. pendekatan deskriptif digunakan untuk mendeskripsikan fakta sosial dan memberikan keterangan yang jelas mengenai Pra-Kelahiran dalam adat Nias. Adapun hasil dalam pembahasan ini adalah pra-kelahiran, pada waktu melahirkan anak,Pemberian Nama (Famatorõ Tõi), acara famangõrõ ono khõ zibaya (Mengantar anak ke rumah paman),...