Eksistensi Upacara Bakar Batu Suku Dani
3.1 Langkah Langkah Upacara Bakar Batu
Suku Dani adalah suku yang gemar berperang memang selalu melakukan tradisi Upacara Bakar Batu sesudahnya. Tradisi ini digunakan sebagai momen damai antara kedua suku yang berperang. Upacara Bakar Batu terkenal dengan prosesnya yang dilakukan sangat tradisional dan bisa dibilang sangat kuno karena merupakan tradisi turun-temurun dari nenek moyang. Upacara Bakar Batu yang dilakukan setelah terjadi peperangan memiliki langkah-langkah ritual yang tidak jauh berbeda dengan Upacara Bakar Batu yang diadakan pada momen peresmian gereja, penerimaan tamu kehormatan, kelahiran atau kematian. Upacara Bakar Batu dibagi dalam tiga tahap yaitu persiapan, bakar babi, dan puncaknya makan bersama.
Pada bagian pertama yaitu pada tahap persiapan para wanita khususnya para ibu atau yang biasa di sapa mama melakukan tarian-tarian pembukaan, sedangkan para bapak mempersiapkan batu dan kayu, susunan batu dan kayu tersebut tidak sembarangan, batu-batu disusun di bawah kayu kemudian kayu-kayu tersebut dibakar sampai habis sehingga batu-batu dibawahnya menjadi panas
Pada bagian yang berikutnya yaitu bagian bakar babi, beberapa hari sebelumnya babi-babi harus sudah dipersiapkan untuk dimasak dan pada hari dimana Upacara Bakar Batu diberlangsungkan babi-babi tersebut harus sudah siap untuk dibunuh. Babi ini dibunuh dengan cara khusus, yaitu dengan dipanah di bagian jantung. Seorang yang memanah babi tersebut haruslah seorang tetua di suku tersebut. Babi dipegang dan dipanah jantungnya oleh ketua suku. Pada tahapan ini, semua kegiatan dilakukan kaum pria.
Setelah babi tersebut mati para wanita mengambilnya membersihkan isi perut babi tersebut dan juga bulu-bulu babi tersebut yang disisakan hanyalah daging dan lemak dari babi tersebut. Selain membersihkan babi para wanita mempersiapkan sayur mayur yang sudah ditentukan sebagai syarat penting dalam Upacara Bakar Batu.
Setelah panas, batu-batu tersebut dipindahkan dari tungku pemanas. Kemudian, babi dan sayur yang telah siap dimasak di letakkan ke dalam galian yang telah dilapisi daun. Selanjutnya, batu panas diletakkan di atas babi dan sayur, kemudian ditutup lagi dengan rumput. Selagi menunggu sajian matang, warga akan menari, menyanyi, dan berdansa bersama.
II.4 Perang Sukulah Yang Mendasari Upacara Bakar Batu
Suku Dani merupakan salah satu suku di Indonesia yang masih menyimpan berbagai macam permasalahan sosial. Salah satu masalah sosial yang sampai sekarang telah ada dan masih terjadi adalah konflik sosial. Konflik sosial yang terjadi pada Suku Dani ini sangat beragam dan mencakup semua lini kehidupan, mulai dari aspek sosial, budaya, politik dan ekonomi. Menurut Taquiri dalam Newstorm dan Davis (1977) “konflik merupakan warisan kehidupan sosial yang berlaku dalam berbagai keadaan akibat daripada bangkitnya kondisi ketidaksetujuan, kontroversi dan pertentangan diantara dua pihak atau lebih pihak secara berterusan”(h.81).
Konflik sosial yang terjadi di Suku Dani pada beberapa tahun belakangan ini juga tidak terlepas dari pokok permasalahan tersebut, utamanya adalah konflik sosial yang dipicu oleh perbedaan suku, budaya dan golongan atau kelompok, perbedaan pandangan pun dianggap sebagai salah satu permasalahan yang dapat merugikan dan mengganggu bahkan melanggar aturan dan norma yang berlaku pada suku-suku yang ada. Permasalahan diatas bila disikapi dengan perilaku yang negatif pun akan menimbulkan sebuah konflik, seperti yang dikatakan oleh Myers (1982), “Konflik senantisa berpusat pada beberapa penyebab utama, yakniperilaku setiap pihak yang terlibat, tujuan yang ingin dicapai, alokasi sumber – sumber yang dibagikan, keputusan yang diambil”(h.234-237).Masalah perzinahan atau perselingkuhan, pembunuhan, kematian tidak wajar, dan rasa dendam yang mendalam merupakan salah satu penyebab perang suku di daerah pedalaman Papua.
Gambar II.9 Suku Dani sedang melakukan tarian perang (cloud papua) (http://cloud.papua.blogspot.com/vyjhj/8198764/=yt November 2013)
Disamping itu konflik internal antar suku yang terjadi pada waktu lampau juga menjadi salah satu faktor penyebab perang suku dan kelompok di daerah pedalaman Papua yang dapat menyebabkan kerugian secara fisik maupun materi lainnya. Konflik sosial yang ada di daerah ini sering disebut sebagai perang suku atau Dani wim dan Amungme wem. Menurut Johnson (1982) Beberapa penyebab yang sering memicu perang suku di antaranya adalah: 1. Adanya semangat primordialisme yang tinggi terhadap suku. Hal ini berdampak munculnya kecintaan yang berlebihan dan meninggalkan konsep berpikir rasional dan cenderung mengedepankan egoisme dan emosionalisme.
2. Latar belakang sosial. Kehidupan kaum suku banyak yang mencari makan melalui kegiatan fisik seperti berburu dan bercocok tanam. Hal ini secara tidak langsung akan mempengaruhi perkembangan emosional kaum suku untuk lebih mengedepankan emosi saat menghadapi masalah. 3. Adanya perebutan wilayah, persaingan gengsi atau juga perebutan masalah perempuan. 4. Tidak mengutamakannya hukum formal dan masih mempercayai hukum adat, siapa yang kuat menjadi penguasa.(h.277)
II.4.1 Perdamaian pada Upacara Bakar Batu
Perdamaian adalah suatu kondisi yang dilakukan oleh salah satu atau dua orang atau kelompok atau bangsa yang mengarahkan keadaan kearah yang lebih baik. Arti kedamaian berubah sesuai dengan hubungannya dengan kalimat. Perdamaian dapat menunjuk ke persetujuan mengakhiri sebuah perang, atau ketiadaan perang, atau ke sebuah periode di mana sebuah angkatan bersenjata tidak memerangi musuh. Damai dapat juga berarti sebuah keadaan tenang, seperti yang umum di tempat-tempat yang terpencil, mengijinkan untuk tidur atau meditasi. Damai dapat juga menggambarkan keadaan emosi dalam diri dan akhirnya damai juga dapat berarti kombinasi dari definisi-definisi diatas.
Upacara Bakar Batu memang sangat banyak mengandung filosofi yang bermakna bagi kehidupan, mulai dari kesederhanaan, Ucapan Syukur, dan yang paling penting adalah perdamaian. Menurut J. Riberu (1983) Perdamaian bukan hanya tidak adanya peperangan dan bukan dikembalikan hanya kepada pemantapan perimbangan antara kekuatan musuh-musuh dan bukan pula muncul dari kekuasaan yang
bersimaharajalela. (Tonggak Sejarah dan Pedoman Arah, dokumen Konsili Vatikan II. h.569 ).
Perdamaian tidak dapat dicapai di dunia ini terkecuali bila kesejahteraan pribadi-pribadi terjamin dan manusia dengan serta merta dan penuh kepercayaan tukar menukar kejayaan jiwa dan bakatnya (h.570 ), dan untuk menunjukan bahwa setiap masyarakat Suku Dani memiliki kesejahteraan Jiwa mereka melalukan upacara Bakar Batu untuk memanifestasikan perdamaian tersebut, karena sesungguhnya mereka sadar bahwa peperangan membawa malapetaka materiil maupun moral yang sangat besar bagi kehidupan mereka.
Pada intinya dengan adanya Upacara Bakar Batu ini membuktikan pada masyarakat luas bahwa masyarakat Papua khususnya Suku Dani memiliki kesejahteraan bukan hanya dalam hal kedewasaan budaya tapi juga dalam jiwa. Selain itu mereka pun menyadari bahwa peperangan itu membawa kerugian materil dan juga moral yang akan berdampak buruk bagi kelangsungan hidup mereka maupu anak cucu mereka.
II.4.2 Pembayaran Denda pada Upacara Bakar Batu Sebagai Tanda Ganti Rugi
Bagi Suku Dani masalah akan selesai tidak cukup hanya dengan duduk bersama dan makan bersama. Dalam Upacara Bakar Batu terdapat suatu momen dimana pihak suku yang bersalah membayar denda adat pada suku yang merasa dirugikan. Pembayaran denda ini biasa disebut dengan Bayar Kepala suatu perang suku baru bisa dihentikan ketika pokok perang membayar ganti rugi serta upacara bakar batu dilaksanakan.
Berikut adalah penjelasan mengenai penyebab terjadinya perang dan akibat yang biasanya ditanggung.
1. Bila anak gadis diambil tanpa sepengetahuan orang tua atau keluarga dekat anak gadis itu, maka penyelesaiannya adalah dengan didenda lima ekor babi (tahun 1990-an), tapi sekarang denda bisa dibayar dengan uang.
2. Bila istri berselingkuh dengan pria lain (meskipun lelakinya masih kerabat keluarga), maka didenda lima ekor babi lalu dapat berdamai, tapi jika pihak laki-laki bersikeras maka sesudah denda adat maka istri akan dicerai.
3. Pencurian terhadap barang berharga seperti kulit kerang yang biasa dipakai sebagai mas kawin dari pihak laki-laki. Maka akan dibuat adat pemotongan dua ekor babi dan barang yang dicuri harus dikembalikan.
4. Pencurian terhadap hewan piaraan, seperti babi, burung, atau tanaman di bekun (ladang). Maka akan digelar rapat dan pembayaran dilakukan dengan denda tiga ekor babi sebagai ganti rugi.
5. Bila ada 3 anak kecil bermain bersama kemudian salah satunya tiba-tiba sakit, maka dua anak lainnya akan dimintai penjelasan. Bila tidak ada penjelasan yang baik dari kedua anak tersebut, maka orang tua yang akan menyelesaikannya.
Suku Dani mempunyai kesepakatan dalam berperang, yaitu dalam suasana perang kedua kubu yang saling berkomunikasi. Caranya
melalui masing-masing panglima perang yang berbicara dari jarak yang dapat didengar secara jelas oleh kedua belah pihak. Isi komunikasi kedua panglima perang adalah meminta lahan kedua kubu tidak diganggu, kedua belah pihak tidak boleh menghambat jalan utama, tidak mengganggu harta milik orang lain, tidak boleh mengganggu anak-anak dan wanita, serta menyepakati lokasi, jam makan, dan waktu istirahat.
Tapi bila ada yang melanggar kesepakatan perang tersebut, maka panglima perang kedua kubu akan duduk bersama menayakan dengan seksama siapa pelakunya dan apa penyebabnya. Setelah itu baru akan dibahas masalah denda yang harus dibayar sesuai dengan keputusan bersama.
Perang yang terjadi antara Suku Dani baru-baru ini memang menimbulkan banyak penyesalan dari berbagai tokoh masyarakat. Pasalnya kedua suku ini memiliki kesamaan dan perbedaan yang tidak dapat dipisahkan. Keduanya sama-sama berasal dari bagian tengah daerah paniai dan Jayawijaya. Pola kehidupannya baik cara brekebun dan kehidupan sosialnya pun tidak jauh berbeda. Sehingga yang sebenarnya perlu diperhatikan dan disikapi adalah aksi balas dendam bila seorang kerabatnya disakiti atau dibunuh. Istilahnya gigi ganti gigi dan nyawa ganti nyawa.
Tradisi Bayar Kepala yang adalah dalam rangkaian Upacara Bakar Batu ini adalah hukum adat. Dalam kebudayaan Papua terutama dalam Upacara Bakar Batu, suatu hukum adat memang dikemas dalam suatu tradisi upacara seperti ini.
Istilah hukum adat pertama kali muncul dalam buku De Acheers yang di tulis oleh Cristian Snouck Hurgronye, bagi Hurgronye Hukum Adat
merupakan Hukum Kebiasaan. Pernyataan Hurngonye ini pun didukung oleh B. Terhaar Bzn yang menyatakan bahwa Hukum adat adalah keseluruhan peraturan yang menjelma dalam keputusan-keputusan dari kepala-kepala adat dan berlaku secara spontan dalam masyarakat. B. Terhaar Bzn terkenal dengan teori “Keputusan” artinya bahwa untuk melihat apakah sesuatu adat-istiadat itu sudah merupakan hukum adat, maka perlu melihat dari sikap penguasa masyarakat hukum terhadap sipelanggar peraturan adat-istiadat. Apabila penguasa menjatuhkan putusan hukuman terhadap sipelanggar maka adat-istiadat itu sudah merupakan hukum adat.
II.4.3 Peranan Kepala Suku dalam Menyelesaikan Konflik dengan Hukum Adat
Tugas pokok seorang kepala suku adalah menjadi penjaga adat maupun penentu dalam menentukan sebuah kebijakan masyarakat suku yang berkaitan dengan tradisi budaya dari nenek moyang mereka. Dan hal ini pun berlaku bagi kepala suku yang terlibat dalam penyelesaian konflik yang terjadi dalam sukunya, kepala Suku Dani menjadi pihak yang paling utama yang menentukan atau mengambil keputusan bagaimana konflik ini akan berakhir.
Seorang kepala suku harus memutuskan dengan penuh bijaksana dan harus adil, karena setiap keputusan yang diambil oleh kepala suku tersebut sangat menentukan nasib anggota sukunya, dan juga menentukan eksistensi kelompoknya. Maka dari itu kehormatan yang ada pada kepala suku akan terus ada jika keputusan yang diambil itu tepat, sedangkan kehormatannya akan luntur jika keputusan yang diambil salah.
Seorang kepala suku pasti akan memilih untuk menyelesaikan konflik dengan hukum adat, seperti yang sudah disampaikan pada alinea pertama bahwa tugas utama seorang kepala suku menjadi penjaga adat. Keputusan kepala suku ini pasti akan selalu dihormati oleh anggota suku karena dimata anggota suku, sang kepala suku adalah pribadi yang paling bijaksana diantara mereka.
Dalam Upacara Bakar Batu ini terdapat pihak yang bersalah dan kepala suku dari pihak yang merasa dirugikan menuntut suku yang bersalah untuk membayar ganti rugi, dalam hal ini terdapat suatu keputusan dari kepala suku untuk menghukum pihak yang bersalah untuk membayar denda, dan ini berarti teori Terhaar sejalan dengan Upacara Bakar Batu.
berkas:
Sumber: