Produk Arsitektur
Produk Arsitektur
Cagar Budaya Jawa Tengah Desa Burikan, Kecamatan Cawas, Kabupaten Klaten
Tugu Mataram

Cagar Budaya merupakan kekayaan bangsa yang sangat penting dan wajib kita lestarikan. Selain itu, kita dapat memanfaatkannya untuk memajukan kebudayaan nasional. Secara tidak langsung cagar budaya dapat mencerminkan jati diri dari suatu bangsa mengingat cagar budaya merupakan warisan dari budaya nenek moyang bangsa Indonesia yang memiliki nilai-nilai luhur dan spiritual. Berdasarkan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010, cagar budaya adalah warisan budaya bersifat kebendaan yang perlu dilestarikan keberadaannya karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan melalui proses penetapan. Sebagai warisan budaya bangsa, kita wajib mencintai dan melindungi benda cagar budaya dari ancaman seperti pencurian, penghancuran, dan pemalsuan. Upaya pemerintah melindungi benda cagar budaya dari kepunahan dilakukan dengan mengeluarkan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1992 dan disusul dengan Nomor 11 tahun 2010.

Tugu Mataram merupakan tugu bersejarah yang digunakan sebagai tapal batas antara wilayah Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta. Sejarah berdirinya Tugu Mataram diawali dari adanya Perjanjian Gianti dan Perjanjian Klaten yang dilakukan oleh Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta. Perjanjian Klaten merupakan perjanjian terakhir untuk menentukan perbatasan wilayah antara kedua kerajaan tersebut. Perjanjian Klaten dilakukan sebagai bentuk hukuman terhadap Kasultanan Yogyakarta yang dituduh sebagai dalang terjadinya Perang Jawa yang dipimpin oleh Pangeran Diponegoro seorang bangsawan dari Kasultanan Yogyakarta.

Sebelum terjadi Perjanjian Klaten, Belanda telah menyusun strategi untuk mengurangi bahkan menghilangkan kekuatan Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta. Beberapa bekas atau residen yang masih menjabat seperti Van Sevenhoven, Mayor Huibert Gerard Nehuys van Burgst, Pieter Merkus dan Mac Gillavry terlibat dalam penyusunan skenario jika Perang Jawa telah selesai (Ramadhan, 2015). Menurut Soeratman dalam Ramadhan (2015)beberapa skenario saran yang diberikan kepada De Kock residen Yogyakarta waktu itu antara lain :

  1. Mac Gillavry menyarankan agar Kerajaan Yogyakarta dihapuskan karena Perang Jawa bersumber dari Yogyakarta. Saran tersebut ditolak oleh De Kock dengan alasan jika penghapusan kerajaan dilakukan akan menimbulkan gejolak rakyat Yogyakarta dan berdampak pada menurunnya kepercayaan Kasunanan Surakarta kepada Belanda.
  2. Mayor Huibert Gerard Nehuys van Burgst memberikan saran agar wilayah kedua kerajaan dipersempit dengan mengambil Banyumas, Kediri dan Bagelen serta Pemerintah Belanda harus ikut campur pada semua urusan keraton sebagai sanksi raja dianggap tidak berhasil mencegah peperangan.
  3. Van Sevenhoven mengusulkan untuk membuat penentuan batas kedua kerajaan, jalan raya, penempatan pegawai Eropa di distrik-distrik dan perpanjangan sewa tanah bagi pengusaha Eropa paling sedikit 25 tahun.

Dari beberapa saran tersebut, saran-saran Van Sevenhouven lebih banyak diterima pada perjanjian-perjanjian yang dibuat setelah Perang Jawa. Berdasarkan keterangan Houben dalam (Ramadhan, 2015)peristiwa perjalanan perjanjian setelah Perang Jawa dikemukakan sebagai berikut :

  1. Van Den Bosch (Pemerintah Belanda) menunjuk tiga orang komisaris untuk melakukan perundingan dengan Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta ketika Perang Jawa berakhir. Ketiga orang tersebut antara lain Pieter Merkus, Van Sevenhoven, Mayor Huibert Gerard Nehuys van Burgst.
  2. Perundingan-perundingan yang dilakukan oleh ketiga komisaris dengan kedua kerajaan tidak berjalan mulus karena Sunan Paku Buwono VI menolak dilakukan perundingan karena merasa tidak mbersalah bahkan merasa telah membantu Belanda. Kasultanan Yogyakarta menerima dan dipaksa tanpa memberikan janji ganti aneksasi/penyempitan wilayah.
  3. Kesepakatan perundingan baru terjadi pada 14 Juni 1830 pada masa Paku Buwono VII, setelah Belanda berhasil menurunkan tahta Paku Buwono VI.
  4. Ketiga komisaris Belanda melakukan perundingan dengan patih dan pangeran senior dari kedua kerajaan. Patih Danurejo IV dan Panembahan Mangkurat mewakili Kasultanan Yogyakarta sementara Patih Sosrodiningrat II dan Panembahan Buminoto dari Kasunanan Surakarta.
  5. Kedua patih beserta Panembahan diberikan kewenangan menentukan garis batas dan pembagian tanah. Setelah kedua pihak setuju dengan batas wilayah masing-masing maka para komisaris mengeluarkan surat perintah pengaturan Vorstenlanden yang akan dilaksanakan di Klaten.
  6. Pengaturan Vorstenlanden di Klaten tanggal 25 September 1830 akan dihadiri oleh kedua patih keraton dan kedua panembahan tersebut beserta ketiga komisaris Belanda.
  7. Pertemuan di Klaten berlangsung selama 3 hari mulai tanggal 25 sampai dengan 27 September 1830 yang dikenal dengan Perjanjian Klaten.
  8. Perjanjian Klaten berisi 7 pasal yang antara lain adalah sebagai berikut :

Pasal 1, Untuk menetapkan batas pemisah yang dibuat umum dan permanen, pada hari ini dan untuk seterusnya daerah Pajang dan Sukowati menjadi milik Paduka Susuhunan Surakarta dan daerah Mataram dan Gunungkidul menjadi daerah Paduka Sultan Yogyakarta.

Pasal 2, Sungai Opak sejauh mengalir sampai dengan Prambanan, dijadikan dasar batas pemisah utama antara wilayah Mataram dan Pajang. Tetapi karena batas pemisah ini terutama aliran sungai tersebut akan mengalami perubahan terus-menerus akibat banjir besar atau sebab lain, untuk selanjutnya ditunjukkan sebuah jalan raya yang membentang dari Prambanan antara pohon beringin besar yang berdiri di pasar, menuju utara ke Merapi dan menuju selatan ke Gunungkidul. Pada jalan pemisah ini, sebuah tiang batu, tonggak dan pohon yang besar dan tua dibangun dan ditanam sebagai petunjuk abadi. Kedua patih wajib untuk secepat mungkin dan tanpa ditunda lagi mewujudkannya melalui penduduk kedua kerajaan, ketika kini masih menguntungkan.

Pasal 3, Garis batas antara daerah Pajang dan Gunungkidul adalah lereng pegunungan selatan di sisi utaranya. Di samping lereng ini sejauh mungkin dan untuk menegaskannya, tonggak dan pohon menjadi petunjuknya.

Pasal 4, Tanah-tanah yang terletak di antara Merapi dan Merbabu dan di sebelah barat yang dipisahkan oleh wilayah pemerintah, seluruhnya dimiliki oleh Paduka Susuhunan Surakarta.

Pasal 5, Makam-makam suci di Imogiri dan Kotagede di daerah Mataram, dan makam-makam di Seselo di daerah Sukowati, tetap menjadi milik kedua raja. Untuk merawat makam-makam di Mataram, lima ratus cacah tanah di dekatnya diserahkan kepada Paduka Susuhunan; sementara untuk makam Seselo di Sukowati dua belas junk tanah diserahkan kepada Paduka Sultan Yogyakarta, di dekatnya digunakan bagi perawatan makam itu

Pasal 6, Para bupati dan kepala rendahan sesuai pilihan mereka bisa mengikuti raja atau tanahnya, tanpa boleh dipaksa atau dihambat oleh kedua raja.

Pasal 7, Apabila dalam pelaksanaan pasal-pasal tersebut di atas kesulitan atau sengketa muncul, kedua patih wajib memberitahukan kepada Tuan Komisaris dan tunduk kepada keputusan mereka.

Berdasarkan Perjanjian Klaten maka wilayah perbatasan antara kedua kerajaan akan diberikan tanda dan disepakati oleh kedua kerajaan. Perbatasan antara Pajang dan Gunungkidul yang terletak di lereng pegunungan selatan sebelah utara terdapat tanda perbatasan berupa tugu yang dikenal dengan Tugu Mataram. Tugu Mataram terdiri dari dua tugu kembar, satu tugu berada di wilayah Yogyakarta dan satu lainnya berada di wilayah Surakarta. Tugu ini dibangun pada tahun 1936 pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono VIII (1921-1939) dan Sunan Paku Buwono XI (1903-1945).

Berdasarkan fakta sejarah berupa tulisan pada kedua tugu tersebut dan dokumen tanggal pengambilan foto pembangunan serta peresmian tugu dapat ketahui bahwa pembangunan tugu dilakukan pada tahun 1936. Tugu yang berada di wilayah Kasultanan Yogyakarta tertulis “29 Djoemadil awal 1867” sedangkan Tugu Mataram Kasunanan Surakarta tertulis “22 Redjeb alib 1867”. Tanggal tersebut jika dikonversi kedalam tanggal, bulan dan tahun masehi menjadi “17 Agustus 1936” untuk Tugu Kasultanan Yogyakarta dan “8 Oktober 1936” untuk Tugu Kasunanan Surakarta. Masyarakat beranggapan kedua tugu tersebut dibangun pada waktu yang berbeda karena tanggal yang tertera pada kedua tugu tersebut berbeda.

Berdasarkan penelusuran fakta sejarah berupa dokumen tanggal pengambilan foto pembangunan dan peresmian tugu dari Universiteit Leiden The Netherlands terbukti bahwa pembangunan kedua tugu tersebut dilakukan secara bersamaan. Pembangunan dimulai pada 17 Agustus 1936 seperti tanggal yang tertulis pada Tugu Kasultanan Yogyakarta. Hal ini diketahui dengan adanya data tanggal pengambilan dokumen foto doa pembukaan/selamatan (Universiteit-Leiden, 2000e)sebelum dilakukan peletakan batu pertama diambil pada 22 Agustus 1936 (Universiteit-Leiden, 2000c).

Berdasarkan data tanggal pengambilan dokumen foto tersebut maka disimpulkan bahwa pembangunan kedua Tugu Mataram dilakukan secara bersamaan. Jika tanggal yang tertulis pada Tugu Kasultanan Yogyakarta adalah 17 Agustus 1936 sementara tanggal pengambilan dokumen foto peletakan batu pertama dilakukan pada 22 Agustus 1936, maka dapat disimpulkan bahwa pembangunan kedua tugu dimulai pada tanggal 17 Agustus 1936 dan acara seremonial peletakan batu pertama baru dilakukan pada 22 Agustus 1936.

Data tanggal pengambilan dokumen foto peresmian kedua tugu yang dilakukan secara bersamaan menguatkan dugaan bahwa kedua tugu tersebut dibangun secara bersamaan. Peresmian tugu dilakukan bersama-sama oleh Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta yang dihadiri oleh Asisten Residen Christiaan Abbenhuis.

Peresmian tugu sekaligus pembukaan jalan perbatasan dilakukan pada tanggal 16 Oktober 1936 (Universiteit-Leiden, 2000b). Tanggal tersebut jika dihubungkan dengan tanggal yang tertulis pada Tugu Kasunanan Surakarta terdapat selisih 8 hari lebih lambat. Berdasarkan data kedua tanggal tersebut diduga pembangunan kedua tugu selesai pada tanggal 8 Oktober 1936 seperti yang tertulis pada tugu Kasunanan Surakarta dan baru diresmikan 8 hari kemudian yaitu pada tanggal 16 Oktober 1936.

Tugu Mataram sebagai tapal batas wilayah Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta terdiri dari dua tugu yang dibuat serupa. Kedua tugu memiliki bentuk, ukuran, corak dan warna yang sama pada saat diresmikan pada 22 Oktober 1936.

Warna kedua tugu pada saat diresmikan didominasi oleh warna putih dan hitam. Warna putih mendominasi bagian badan tugu sedangkan warna hitam terlihat pada bagian pondasi, pundi-pundi dan ujung tugu. Pemugaran Tugu Mataram Kasultanan Yogyakarta dilakukan pada tahun 2011.

Keberadaan Tugu Mataram merupakan implikasi dari Perjanjian Klaten yang mengatur perbatasan Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta yang dilakukan pada 27 September 1830. Perjanjian itu dilakukan untuk mengurangi wilayah kedua kerajaan sebagai bentuk hukuman terjadinya Perang Jawa yang dipimpin Pangeran Diponegoro. Berdasarkan Perjanjian Klaten pasal 3, perlu dibuat tanda batas antara kedua kerajaan di lereng pegunungan selatan sebelah utara. Oleh karena itu, pada tahun 1936 dibangun tugu perbatasan dilokasi tersebut dan dikenal dengan Tugu Mataram.

Tugu Mataram merupakan benda peninggalan masa lalu yang telah berumur 80 tahun dan memiliki nilai sejarah tinggi yang melibatkan dua kerajaan besar di Jawa.  Kondisi tugu saat ini masih berdiri kokoh karena bahan bangunan yang digunakan didatangkan langsung dari Keraton Yogyakarta dan Surakarta dengan lambang keraton yang tertempel pada masing-masing tugu. Masyarakat masih percaya adanya kesakralan pada tugu tersebut karena pembangunan dilakukan langsung oleh pihak keraton.

Tugu Mataram sebagai benda yang memiliki nilai sejarah tinggi bagi Kasunanan Surakarta akibat adanya Perjanjian Klaten pada tahun 1830 hingga saat ini belum dijadikan sebagai benda cagar budaya. Tugu tersebut memiliki potensi tinggi untuk ditetapkan sebagai benda cagar budaya karena peristiwa penting dan bersejarah dimasa lalu yang melatar belakangi berdirinya tugu. Hal tersebut juga didasari adanya fakta telah ditetapkannya tugu serupa di D.I. Yogyakarta sebagai benda cagar budaya. Kurangnya informasi sejarah dan keberadaan Tugu Mataram Kasunanan Surakarta kemungkinan menjadi salah satu penyebab belum ditetapkannya tugu tersebut sebagai benda cagar budaya di Provinsi Jawa Tengah. Berdasarkan data kuisioner sebanyak 52,5% responden sebenarnya pernah melihat adanya peninjauan terhadap Tugu Mataram, namun peninjauan dilakukan oleh pihak Keraton Surakarta.

Peran serta aktif pemerintah setempat dalam hal ini Pemerintah Desa Burikan sebagai lembaga pemerintahan terdekat dari Tugu Mataram Kasunanan Surakarta sangat diperlukan untuk menjadikan tugu tersebut sebagai cagar budaya. Berdasarkan wawancara yang dilakukan dengan beberapa Perangkat Desa Burikan didapatkan informasi bahwa sebenarnya Pemerintah Desa Burikan pernah menyampaikan kepada pihak Kasunanan Surakarta atas keinginannya menjadikan tugu tersebut sebagai cagar budaya. Namun demikian, belum ada tindak lanjut dari Kasunanan Surakarta.

Pendampingan kepada Pemerintah Desa Burikan perlu dilakukan untuk proses pengusulan Tugu Mataram Kasunanan Surakarta dijadikan sebagai benda cagar budaya. Hal ini dimaksudkan agar proses pengusulan dilakukan pada jalur birokrasi yang tepat sehingga proses penetapan dapat dilakukan. Pemerintah Desa Burikan juga pernah memeberikan informasi keberadaan Tugu Mataram Kasunanan Surakarta kepada Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jawa Tengah di Kalasan pada saat terjadi pencurian Lambang Keraton Surakarta yang terpasang pada tugu tersebut. Tugu Mataram Kasunanan Surakarta dapat dijadikan sebagai benda cagar budaya jika ada komitmen dari pihak-pihak terkait mulai dari Pemerintah Desa Burikan hingga Pemerintah Provinsi Jawa Tengah melalui Balai Pelestarian Cagar Budaya.

 

 

 

 

Diskusi

Silahkan masuk untuk berdiskusi.

Daftar Diskusi

Rekomendasi Entri

Gambar Entri
Bobor Kangkung
Makanan Minuman Makanan Minuman
Jawa Tengah

BAHAN-BAHAN 1 ikat kangkung bumbu halus : 5 siung bawang merah 2 siung bawang putih 2 butir kemiri 1 sdt ketumbar bubuk seruas kencur aromatic : 2 lembar daun salam 2 lembar daun jeruk 1 btg sereh seruas lengkuas,geprek seasoning : 1 sdt garam (sesuai selera) 1/2 sdt kaldu bubuk 1/2 sdm gula jawa sisir 1 sdt gula pasir Rose Brand 1 bungkus santan cair instan Rose Brand 1 liter air 3 sdm minyak goreng untuk menumis CARA MEMASAK: Siangi kangkung cuci bersih,tiriskan Haluskan bumbu Tumis bumbu halus hingga harum dengan secukupnya minyak goreng,masukkan aromatic,masak hingga layu,beri air 1 lt Masukkan kangkung,beri seasoning,aduk rata Koreksi rasa Sajikan Sumber: https://cookpad.com/id/resep/25030546?ref=search&search_term=kangkung

avatar
Deni Andrian
Gambar Entri
Ikan Tongkol Sambal Dabu Dabu Terasi
Makanan Minuman Makanan Minuman
Sulawesi Utara

Bahan: 1 buah tomat, potong dadu 2 ekor ikan tongkol ukuran sedang (1/2kg) 1/2 bks bumbu marinasi bubuk 1 sdt bawang putih Secukupnya garam Secukupnya gula 7 siung bawang merah, iris 5 buah cabe rawit, iris 2 batang sereh, ambil bagian putihnya, iris 3 lembar daun jeruk, iris tipis-tipis 1 bks terasi ABC Minyak untuk menumis Secukupnya air Cara memasak: Cuci bersih ikan tongkol. Taburi bumbu marinasi desaku, garam secukupnya, air 2 sdm ke ikan tongkol. Siapkan bahan-bahan. Iris tipis bawang merah, daun jeruk, seret, cabe rawit. Kukus ikan tongkol selama 10 menit. Lapisi dengan daun pisang atau daun kunyit. Boleh jg tidak d lapisi. Setelah ikan di kukus, goreng ikan. Tumis bawang merah dan bahan lainnya. Masukkan terasi yg telah dihancurkan. Setelah matang, masukkan ikan yang telah digoreng. Aduk hingga rata. Sajikan dengan nasi hangat. Sumber: https://cookpad.com/id/resep/24995999?ref=search&search_term=dabu+dabu

avatar
Deni Andrian
Gambar Entri
Peda bakar sambal dabu-dabu
Makanan Minuman Makanan Minuman
Sulawesi Selatan

Bahan-bahan Porsi 2 orang Bumbu Ikan bakar : 2 ekor ikan peda 1 sdm kecap 1/2 sdm Gula merah 1/2 sdt garam Minyak goreng Bahan sambal dabu-dabu : 7 buah cabe rawit merah, iris kecil 1 buah tomat merah, iris dadu 3 siung bawang merah,iris halus 2 lembar daun jeruk, buang tulang tengah daun, iris tipis 2 sdm minyak goreng panas Cara Membuat: Marinasi ikan dengan air perasan jeruk nipis dan garam secukupnya, diamkan 20 menit, kemudian panggang diatas teflon(aku di happycall yang dialasi daun pisang) sesekali olesi minyak plus bumbu ke ikannya(aku pakai bumbu kecap dan gula merah) panggang sampai matang. Cara bikin Sambal dabu-dabu : Campurkan semua bahan sambal dabu-dabu ke dalam mangkok kecuali minyak kelapa, panaskan minyak kelapa, kemudian siram diatas sambal tadi, sajikan ikan peda bakar dengan sambal dabu-dabu. Sumber: https://cookpad.com/id/resep/15232544?ref=search&search_term=peda+bakar

avatar
Deni Andrian
Gambar Entri
Tradisi MAKA
Seni Pertunjukan Seni Pertunjukan
Nusa Tenggara Barat

MAKA merupakan salah satu tradisi sakral dalam budaya Bima. Tradisi ini berupa ikrar kesetiaan kepada raja/sultan atau pemimpin, sebagai wujud bahwa ia bersumpah akan melindungi, mengharumkan dan menjaga kehormatan Dou Labo Dana Mbojo (bangsa dan tanah air). Gerakan utamanya adalah mengacungkan keris yang terhunus ke udara sambil mengucapkan sumpah kesetiaan. Berikut adalah teks inti sumpah prajurit Bima: "Tas Rumae… Wadu si ma tapa, wadu di mambi’a. Sura wa’ura londo parenta Sara." "Yang mulia tuanku...Jika batu yang menghadang, batu yang akan pecah, jika perintah pemerintah (atasan) telah dikeluarkan (diturunkan)." Tradisi MAKA dalam Budaya Bima dilakukan dalam dua momen: Saat seorang anak laki-laki selesai menjalani upacara Compo Sampari (ritual upacara kedewasaan anak laki-laki Bima), sebagai simbol bahwa ia siap membela tanah air di berbagai bidang yang digelutinya. Seharusnya dilakukan sendiri oleh si anak, namun tingkat kedewasaan anak zaman dulu dan...

avatar
Aji_permana
Gambar Entri
Wisma Muhammadiyah Ngloji
Produk Arsitektur Produk Arsitektur
Daerah Istimewa Yogyakarta

Wisma Muhammadiyah Ngloji adalah sebuah bangunan milik organisasi Muhammadiyah yang terletak di Desa Sendangagung, Kecamatan Minggir, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Wisma ini menjadi pusat aktivitas warga Muhammadiyah di kawasan barat Sleman. Keberadaannya mencerminkan peran aktif Muhammadiyah dalam pemberdayaan masyarakat melalui pendekatan dakwah dan pendidikan berbasis lokal.

avatar
Bernadetta Alice Caroline