|
|
|
|
Tugu Mataram Tanggal 14 Aug 2018 oleh OSKM18_16418319_LUTHFI RASYID HANIFA. |
Cagar Budaya merupakan kekayaan bangsa yang sangat penting dan wajib kita lestarikan. Selain itu, kita dapat memanfaatkannya untuk memajukan kebudayaan nasional. Secara tidak langsung cagar budaya dapat mencerminkan jati diri dari suatu bangsa mengingat cagar budaya merupakan warisan dari budaya nenek moyang bangsa Indonesia yang memiliki nilai-nilai luhur dan spiritual. Berdasarkan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010, cagar budaya adalah warisan budaya bersifat kebendaan yang perlu dilestarikan keberadaannya karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan melalui proses penetapan. Sebagai warisan budaya bangsa, kita wajib mencintai dan melindungi benda cagar budaya dari ancaman seperti pencurian, penghancuran, dan pemalsuan. Upaya pemerintah melindungi benda cagar budaya dari kepunahan dilakukan dengan mengeluarkan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1992 dan disusul dengan Nomor 11 tahun 2010.
Tugu Mataram merupakan tugu bersejarah yang digunakan sebagai tapal batas antara wilayah Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta. Sejarah berdirinya Tugu Mataram diawali dari adanya Perjanjian Gianti dan Perjanjian Klaten yang dilakukan oleh Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta. Perjanjian Klaten merupakan perjanjian terakhir untuk menentukan perbatasan wilayah antara kedua kerajaan tersebut. Perjanjian Klaten dilakukan sebagai bentuk hukuman terhadap Kasultanan Yogyakarta yang dituduh sebagai dalang terjadinya Perang Jawa yang dipimpin oleh Pangeran Diponegoro seorang bangsawan dari Kasultanan Yogyakarta.
Sebelum terjadi Perjanjian Klaten, Belanda telah menyusun strategi untuk mengurangi bahkan menghilangkan kekuatan Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta. Beberapa bekas atau residen yang masih menjabat seperti Van Sevenhoven, Mayor Huibert Gerard Nehuys van Burgst, Pieter Merkus dan Mac Gillavry terlibat dalam penyusunan skenario jika Perang Jawa telah selesai (Ramadhan, 2015). Menurut Soeratman dalam Ramadhan (2015)beberapa skenario saran yang diberikan kepada De Kock residen Yogyakarta waktu itu antara lain :
Dari beberapa saran tersebut, saran-saran Van Sevenhouven lebih banyak diterima pada perjanjian-perjanjian yang dibuat setelah Perang Jawa. Berdasarkan keterangan Houben dalam (Ramadhan, 2015)peristiwa perjalanan perjanjian setelah Perang Jawa dikemukakan sebagai berikut :
Pasal 1, Untuk menetapkan batas pemisah yang dibuat umum dan permanen, pada hari ini dan untuk seterusnya daerah Pajang dan Sukowati menjadi milik Paduka Susuhunan Surakarta dan daerah Mataram dan Gunungkidul menjadi daerah Paduka Sultan Yogyakarta.
Pasal 2, Sungai Opak sejauh mengalir sampai dengan Prambanan, dijadikan dasar batas pemisah utama antara wilayah Mataram dan Pajang. Tetapi karena batas pemisah ini terutama aliran sungai tersebut akan mengalami perubahan terus-menerus akibat banjir besar atau sebab lain, untuk selanjutnya ditunjukkan sebuah jalan raya yang membentang dari Prambanan antara pohon beringin besar yang berdiri di pasar, menuju utara ke Merapi dan menuju selatan ke Gunungkidul. Pada jalan pemisah ini, sebuah tiang batu, tonggak dan pohon yang besar dan tua dibangun dan ditanam sebagai petunjuk abadi. Kedua patih wajib untuk secepat mungkin dan tanpa ditunda lagi mewujudkannya melalui penduduk kedua kerajaan, ketika kini masih menguntungkan.
Pasal 3, Garis batas antara daerah Pajang dan Gunungkidul adalah lereng pegunungan selatan di sisi utaranya. Di samping lereng ini sejauh mungkin dan untuk menegaskannya, tonggak dan pohon menjadi petunjuknya.
Pasal 4, Tanah-tanah yang terletak di antara Merapi dan Merbabu dan di sebelah barat yang dipisahkan oleh wilayah pemerintah, seluruhnya dimiliki oleh Paduka Susuhunan Surakarta.
Pasal 5, Makam-makam suci di Imogiri dan Kotagede di daerah Mataram, dan makam-makam di Seselo di daerah Sukowati, tetap menjadi milik kedua raja. Untuk merawat makam-makam di Mataram, lima ratus cacah tanah di dekatnya diserahkan kepada Paduka Susuhunan; sementara untuk makam Seselo di Sukowati dua belas junk tanah diserahkan kepada Paduka Sultan Yogyakarta, di dekatnya digunakan bagi perawatan makam itu
Pasal 6, Para bupati dan kepala rendahan sesuai pilihan mereka bisa mengikuti raja atau tanahnya, tanpa boleh dipaksa atau dihambat oleh kedua raja.
Pasal 7, Apabila dalam pelaksanaan pasal-pasal tersebut di atas kesulitan atau sengketa muncul, kedua patih wajib memberitahukan kepada Tuan Komisaris dan tunduk kepada keputusan mereka.
Berdasarkan Perjanjian Klaten maka wilayah perbatasan antara kedua kerajaan akan diberikan tanda dan disepakati oleh kedua kerajaan. Perbatasan antara Pajang dan Gunungkidul yang terletak di lereng pegunungan selatan sebelah utara terdapat tanda perbatasan berupa tugu yang dikenal dengan Tugu Mataram. Tugu Mataram terdiri dari dua tugu kembar, satu tugu berada di wilayah Yogyakarta dan satu lainnya berada di wilayah Surakarta. Tugu ini dibangun pada tahun 1936 pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono VIII (1921-1939) dan Sunan Paku Buwono XI (1903-1945).
Berdasarkan fakta sejarah berupa tulisan pada kedua tugu tersebut dan dokumen tanggal pengambilan foto pembangunan serta peresmian tugu dapat ketahui bahwa pembangunan tugu dilakukan pada tahun 1936. Tugu yang berada di wilayah Kasultanan Yogyakarta tertulis “29 Djoemadil awal 1867” sedangkan Tugu Mataram Kasunanan Surakarta tertulis “22 Redjeb alib 1867”. Tanggal tersebut jika dikonversi kedalam tanggal, bulan dan tahun masehi menjadi “17 Agustus 1936” untuk Tugu Kasultanan Yogyakarta dan “8 Oktober 1936” untuk Tugu Kasunanan Surakarta. Masyarakat beranggapan kedua tugu tersebut dibangun pada waktu yang berbeda karena tanggal yang tertera pada kedua tugu tersebut berbeda.
Berdasarkan penelusuran fakta sejarah berupa dokumen tanggal pengambilan foto pembangunan dan peresmian tugu dari Universiteit Leiden The Netherlands terbukti bahwa pembangunan kedua tugu tersebut dilakukan secara bersamaan. Pembangunan dimulai pada 17 Agustus 1936 seperti tanggal yang tertulis pada Tugu Kasultanan Yogyakarta. Hal ini diketahui dengan adanya data tanggal pengambilan dokumen foto doa pembukaan/selamatan (Universiteit-Leiden, 2000e)sebelum dilakukan peletakan batu pertama diambil pada 22 Agustus 1936 (Universiteit-Leiden, 2000c).
Berdasarkan data tanggal pengambilan dokumen foto tersebut maka disimpulkan bahwa pembangunan kedua Tugu Mataram dilakukan secara bersamaan. Jika tanggal yang tertulis pada Tugu Kasultanan Yogyakarta adalah 17 Agustus 1936 sementara tanggal pengambilan dokumen foto peletakan batu pertama dilakukan pada 22 Agustus 1936, maka dapat disimpulkan bahwa pembangunan kedua tugu dimulai pada tanggal 17 Agustus 1936 dan acara seremonial peletakan batu pertama baru dilakukan pada 22 Agustus 1936.
Data tanggal pengambilan dokumen foto peresmian kedua tugu yang dilakukan secara bersamaan menguatkan dugaan bahwa kedua tugu tersebut dibangun secara bersamaan. Peresmian tugu dilakukan bersama-sama oleh Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta yang dihadiri oleh Asisten Residen Christiaan Abbenhuis.
Peresmian tugu sekaligus pembukaan jalan perbatasan dilakukan pada tanggal 16 Oktober 1936 (Universiteit-Leiden, 2000b). Tanggal tersebut jika dihubungkan dengan tanggal yang tertulis pada Tugu Kasunanan Surakarta terdapat selisih 8 hari lebih lambat. Berdasarkan data kedua tanggal tersebut diduga pembangunan kedua tugu selesai pada tanggal 8 Oktober 1936 seperti yang tertulis pada tugu Kasunanan Surakarta dan baru diresmikan 8 hari kemudian yaitu pada tanggal 16 Oktober 1936.
Tugu Mataram sebagai tapal batas wilayah Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta terdiri dari dua tugu yang dibuat serupa. Kedua tugu memiliki bentuk, ukuran, corak dan warna yang sama pada saat diresmikan pada 22 Oktober 1936.
Warna kedua tugu pada saat diresmikan didominasi oleh warna putih dan hitam. Warna putih mendominasi bagian badan tugu sedangkan warna hitam terlihat pada bagian pondasi, pundi-pundi dan ujung tugu. Pemugaran Tugu Mataram Kasultanan Yogyakarta dilakukan pada tahun 2011.
Keberadaan Tugu Mataram merupakan implikasi dari Perjanjian Klaten yang mengatur perbatasan Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta yang dilakukan pada 27 September 1830. Perjanjian itu dilakukan untuk mengurangi wilayah kedua kerajaan sebagai bentuk hukuman terjadinya Perang Jawa yang dipimpin Pangeran Diponegoro. Berdasarkan Perjanjian Klaten pasal 3, perlu dibuat tanda batas antara kedua kerajaan di lereng pegunungan selatan sebelah utara. Oleh karena itu, pada tahun 1936 dibangun tugu perbatasan dilokasi tersebut dan dikenal dengan Tugu Mataram.
Tugu Mataram merupakan benda peninggalan masa lalu yang telah berumur 80 tahun dan memiliki nilai sejarah tinggi yang melibatkan dua kerajaan besar di Jawa. Kondisi tugu saat ini masih berdiri kokoh karena bahan bangunan yang digunakan didatangkan langsung dari Keraton Yogyakarta dan Surakarta dengan lambang keraton yang tertempel pada masing-masing tugu. Masyarakat masih percaya adanya kesakralan pada tugu tersebut karena pembangunan dilakukan langsung oleh pihak keraton.
Tugu Mataram sebagai benda yang memiliki nilai sejarah tinggi bagi Kasunanan Surakarta akibat adanya Perjanjian Klaten pada tahun 1830 hingga saat ini belum dijadikan sebagai benda cagar budaya. Tugu tersebut memiliki potensi tinggi untuk ditetapkan sebagai benda cagar budaya karena peristiwa penting dan bersejarah dimasa lalu yang melatar belakangi berdirinya tugu. Hal tersebut juga didasari adanya fakta telah ditetapkannya tugu serupa di D.I. Yogyakarta sebagai benda cagar budaya. Kurangnya informasi sejarah dan keberadaan Tugu Mataram Kasunanan Surakarta kemungkinan menjadi salah satu penyebab belum ditetapkannya tugu tersebut sebagai benda cagar budaya di Provinsi Jawa Tengah. Berdasarkan data kuisioner sebanyak 52,5% responden sebenarnya pernah melihat adanya peninjauan terhadap Tugu Mataram, namun peninjauan dilakukan oleh pihak Keraton Surakarta.
Peran serta aktif pemerintah setempat dalam hal ini Pemerintah Desa Burikan sebagai lembaga pemerintahan terdekat dari Tugu Mataram Kasunanan Surakarta sangat diperlukan untuk menjadikan tugu tersebut sebagai cagar budaya. Berdasarkan wawancara yang dilakukan dengan beberapa Perangkat Desa Burikan didapatkan informasi bahwa sebenarnya Pemerintah Desa Burikan pernah menyampaikan kepada pihak Kasunanan Surakarta atas keinginannya menjadikan tugu tersebut sebagai cagar budaya. Namun demikian, belum ada tindak lanjut dari Kasunanan Surakarta.
Pendampingan kepada Pemerintah Desa Burikan perlu dilakukan untuk proses pengusulan Tugu Mataram Kasunanan Surakarta dijadikan sebagai benda cagar budaya. Hal ini dimaksudkan agar proses pengusulan dilakukan pada jalur birokrasi yang tepat sehingga proses penetapan dapat dilakukan. Pemerintah Desa Burikan juga pernah memeberikan informasi keberadaan Tugu Mataram Kasunanan Surakarta kepada Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jawa Tengah di Kalasan pada saat terjadi pencurian Lambang Keraton Surakarta yang terpasang pada tugu tersebut. Tugu Mataram Kasunanan Surakarta dapat dijadikan sebagai benda cagar budaya jika ada komitmen dari pihak-pihak terkait mulai dari Pemerintah Desa Burikan hingga Pemerintah Provinsi Jawa Tengah melalui Balai Pelestarian Cagar Budaya.
Gambus
Oleh
agus deden
| 21 Jun 2012.
Gambus Melayu Riau adalah salah satu jenis instrumental musik tradisional yang terdapat hampir di seluruh kawasan Melayu.Pergeseran nilai spiritual... |
Hukum Adat Suku...
Oleh
Riduwan Philly
| 23 Jan 2015.
Dalam upaya penyelamatan sumber daya alam di kabupaten Aceh Tenggara, Suku Alas memeliki beberapa aturan adat . Aturan-aturan tersebut terbagi dal... |
Fuu
Oleh
Sobat Budaya
| 25 Jun 2014.
Alat musik ini terbuat dari bambu. Fuu adalah alat musik tiup dari bahan kayu dan bambu yang digunakan sebagai alat bunyi untuk memanggil pend... |
Ukiran Gorga Si...
Oleh
hokky saavedra
| 09 Apr 2012.
Ukiran gorga "singa" sebagai ornamentasi tradisi kuno Batak merupakan penggambaran kepala singa yang terkait dengan mitologi batak sebagai... |