Tuan Seul dan Jelak Maribur adalah dua nama dari antara keturunan Raja Nai Ambaton. Namun kerap dalam perbincangan, kedua nama kurang dikenal di antara keturunan Raja Nai Ambaton sendiri. Karena itu, dirasa perlu perlu mengingatkan kembali keturunan dari leluhur marga Parna ini.
Anak pertama dari Raja Nai Ambaton adalah Raja Na Bolon. Raja Na Bolon beranakkan Simbolon Tua, Tamba Tua, Saragi Tua, Munthe Tua dan Nahampun Tua. Nahampun Tua tidak memiliki keturunan.
Simbolon Tua memiliki dua putra yakni Tunggul Sibisa (Suri Raja) dan Martua Raja.
Suri Raja kemudian memiliki empat putra yakni:
Sementara itu, Martua Raja memiliki 3 putra yakni:
Inilah yang kemudian disebut “Sipitu Sohe” (Ketujuh Penjuru) dari Simbolon. Dalam konteks kemudian, jika sesama marga Simbolon bertemu dan mar-tarombo, mereka akan mengenali saudaranya dengan men-trace keturunan dari manakah mereka dari antara ketujuh leluhur tadi.
Keturunan dari Nahodaraja adalah yang bermarga Simbolon Tuan. Nahoda Raja memiliki seorang putra saja dan demikian hingga 5 generasi berikutnya.
Berikut silisilah 6 generasi yang dimaksud.
Nahoda Raja 1 memperanakkan Tuan Rading Na Bolon
Tuan Rading Na Bolon memperanakkan Tuan Mula Ni Jolma
Tuan Mula Ni Jolma memperanakkan Tuan Mula Ni Huta
Tuan Mula Ni Huta Tuan Nahoda Raja II
Tuan Nahoda Raja II memperanakkan Ompu Tuan Batu Holing.
Ompu Tuan Batu Holing memiliki 6 putra yakni:
Dari keenam orang inilah kemudian keturunan bermarga Simbolon beranak pinak di Kabupaten Samosir.
Dalam konteks ekonomi yang cukup memprihatinkan pada satu periode di wilayah itu, tak terhindarkan bermunculanlah kemudian permasalahan di tengah-tengah kumpulan marga Simbolon di Samosir itu. Inilah yang menyebabkan Tuan Seul dan Tuan Simbolon bertekad untuk menghindari konflik lebih lanjut dengan merantau ke negeri orang.
Maka kedua bersaudara itu pun berangkat ke arah Humbang (Kabupaten Humbang Hasundutan sekarang). Dengan bentang alam perbukitan dan keterbatasan moda transportasi yang ada, satu-satunya pilihan adalah menempuh perjalanan yang cukup jauh dengan berjalan kaki dan bekal makanan dan minuman seadanya.
Ketika mereka sampai di daerah perbukitan sebelah perbatasan dengan Pakkat, mereka beristirahat sebentar melepas lelah. Sembari duduk, mereka pun saling menguatkan dan memberi penghiburan satu sama lain supaya tidak berputus asa dalam pelarian mereka. Dengan bayang-bayang bahwa mereka dikuntit oleh saudara mereka berempat yang lain yang seayah, mereka pun mengutarakan niat mereka.
Mereka berdua mengambil “loting” (Batak: pemantik api yang biasa digunakan untuk menyalakan api pada zaman dulu). Yang satu memegang pemantiknya dan yang lain membantu menyalakan api. (Hal ini biasa dilakukan oleh orang zaman dahulu ketika membuat janji.
Tuan Simbolon berkata kepada saudaranya: “Disinilah kita berpisah. Aku akan merintis kampung halamanku sendiri disini. Aku juga akan memulai adat, bahasa dan tradisi yang akan aku teruskan ke semua keturunanku, yakni keturunanmu juga.
Demi mendengar hal itu, Tuan Seul menimpali dengan nada agak keheranan: “Kenapa demikan, Saudaraku? Tetapi apapun niatmu, Aku berharap bahwa semuanya akan baik ke depannya. Tetapi aku akan tetap meneruskan tradisi yang kita bawa dari “Bona Pasogit” (asal leluhur) kita, itulah yang akan aku teruskan juga ke keturunanku nantinya”.
Setelah berbicara dari hati ke hati, mereka pun berpisah. Tuan Seul melanjutkan perjalanan ke arah Barus Lobu Dalong. Kelak keturunan dari Tuan Seul inilah yang kembali secara perlahan lewat beberapa generasi ke Huta Siambaton Siambaton, Pusuk dan Sorkam (wilayah ini disebut Barus Julu pada masa itu).
Inilah alasannya mengapa kemudian nama dari ladang dan kampung yang ada di Huta Samosir juga digunakan di daerah Barus Julu tersebut. Nama-nama seperti Tatia, Ria ni Ate dan lain-lain. Dialek bahasa yang digunakan relatif sama.
Tuan Simbolon pun berangkat ke arah Rittua dan terus menyusuri daerah itu ke arah Parlilitan. Inilah yang kemudian disebut Sionom Hudon hingga hari ini.
Keturunan dari Tuan Simbolon yang mendiami daerah Sionom Hudon inilah yang kemudian mengenakn marga Sibuyak-buyak, Tinambunan, Tumanggor, Maharaja, Turutan, Pinayungan dan Nahampun. Ada juga seorang putri yang bernama Bintang Maria, yang kemudian menikah dengan Ompu Parultop (Nainggolan). Keturunan dari Ompu Parultop dan Bintang Maria inilah yang kemudian mengenakan marga Mahulae dan Buaton.
Semua keturunan dari OppuTuan Seul sebenarnya tetap mengenakan Simbolon.
Sementara itu, keturunan dari Tuan Simbolon masing-masing menggunakan marga Sionom Hudon tadi. Inilah yang menyebabkan munculnya kesan di daerah Samosir, bahwa keturunan dari Tuan Simbolon ini menghilang dari peredaran. (Mengingat keterbatasan tradisi lisan, kesan ini cukup mudah berkembang luas di tempat dan waktu itu).
Akan tetapi lama-kelamaan, seiring dengan arus perpindahan penduduk (dengan berbagai faktor yang melatarbelakanginya) serta spirit “merantau” orang Batak, pertemuan antara keturunan dari Simbolon Tuan inipun tidak terhindarkan. Cerita punya cerita, akhirnya keturunan Simbolon Tuan dari Samosir pun menyadari kembali bahwa ternyata saudara mereka dari keturunan Tuan Seul dan Tuan Simbolon ternyata masih ada dan berkembang juga di luar wilayah Samosir.
Lantas apa hubungan antara Tuan Seul dan Jelak Maribur?
Tidak ada hubungan secara langsung, kecuali fakta bahwa keduanya sama-sama keturunan dari raja Nai Ambaton (dan dengan demikian terikat dengan tona ni Nai Ambaton). Tuan Seul adalah keturunan dari Simbolon Tua, sementara Jelak Maribur dari Munthe Tua. Adapun Simbolon Tua dan Munthe Tua adalah anak dari Raja Nai Ambaton, leluhur dari semua marga yang hingga hari ini menyatukan diri dalam punguan Pomparan Nai Ambaton (biasa disebut Parna).
Suatu tawaran reflektif bisa dikemukakan pada titik ini. Tanpa harus tercerabut dari akar silsilah marga-marga Parna, perspektif yang lebih luas untuk tetap saling meng-aku-kan hubungan sebagai satu leluhur (dan kemudian satu tanah leluhur atau bona pasogit) adalah cara paling efektif untuk tetap memelihara ikatan ini.
Marga Simbolon keturunan dari Tuan Seul sempat tidak dikenali dan dianggap hilang dari peredaran oleh marga Simbolon lainya hanya karena mereka berdiam jauh dari bona pasogit marga Simbolon. Tetapi kemudian pertemuan dan sharing sebagai sesama orang Batak dan sesama keturunan dari Nahoda Raja membuat mereka mulai saling memahami mengapa mereka sempat hilang kontak satu sama lain. Saling pengertian inilah yang hendaknya digaungkan. Kisah perpisahan Tuan Seul dari saudara-saudaranya yang lain tidak harus dilupakan, justru harus tetap diingatkan dan diteruskan ke setiap generasi sehingga semua keturunan dari Nahoda Raja tetap merasa dan menyadari kesamaan satu leluhur itu.
Keturunan dari Jelak Maribur sebagian meneruskan mengenakan marga Haromunthe, sebagian lagi kembali mengenakan marga Munthe. Jika diletakkan dalam perspektif yang sama dengan kisah dari Tuan Seul, keturunan dari Jelak Maribur juga bisa tetap memiliki ikatan dan semangat yang sama. Pertemuan dan sharing sebagai sesama orang Batak dan sesama keturunan dari Jelak Maribur hendaknya membuat mereka saling memahami mengapa mereka sempat hilang kontak satu sama lain dan tidak mewariskan marga yang sama di antara keturunan mereka. Saling pengertian inilah yang hendaknya digaungkan. Bahwa sebagian keturunan Jelak Maribur tetap mengenakan marga Haromunthe, sementara keturunan lain dari Jelak Maribur yang sama kembali mengenakan marga Munthe, ini adalah fakta yang dialami saat ini. Kisah dan perspektif harus tetap diingatkan dan diteruskan ke setiap generasi sehingga semua keturunan dari Jelak Maribur tetap merasa dan menyadari kesamaan satu leluhur itu.
Sumber: Haromunthe.com
MAKA merupakan salah satu tradisi sakral dalam budaya Bima. Tradisi ini berupa ikrar kesetiaan kepada raja/sultan atau pemimpin, sebagai wujud bahwa ia bersumpah akan melindungi, mengharumkan dan menjaga kehormatan Dou Labo Dana Mbojo (bangsa dan tanah air). Gerakan utamanya adalah mengacungkan keris yang terhunus ke udara sambil mengucapkan sumpah kesetiaan. Berikut adalah teks inti sumpah prajurit Bima: "Tas Rumae… Wadu si ma tapa, wadu di mambi’a. Sura wa’ura londo parenta Sara." "Yang mulia tuanku...Jika batu yang menghadang, batu yang akan pecah, jika perintah pemerintah (atasan) telah dikeluarkan (diturunkan)." Tradisi MAKA dalam Budaya Bima dilakukan dalam dua momen: Saat seorang anak laki-laki selesai menjalani upacara Compo Sampari (ritual upacara kedewasaan anak laki-laki Bima), sebagai simbol bahwa ia siap membela tanah air di berbagai bidang yang digelutinya. Seharusnya dilakukan sendiri oleh si anak, namun tingkat kedewasaan anak zaman dulu dan...
Wisma Muhammadiyah Ngloji adalah sebuah bangunan milik organisasi Muhammadiyah yang terletak di Desa Sendangagung, Kecamatan Minggir, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Wisma ini menjadi pusat aktivitas warga Muhammadiyah di kawasan barat Sleman. Keberadaannya mencerminkan peran aktif Muhammadiyah dalam pemberdayaan masyarakat melalui pendekatan dakwah dan pendidikan berbasis lokal.
SMP Negeri 1 Berbah terletak di Tanjung Tirto, Kelurahan Kalitirto, Kecamatan Berbah, Sleman. Gedung ini awalnya merupakan rumah dinas Administratuur Pabrik Gula Tanjung Tirto yang dibangun pada tahun 1923. Selama pendudukan Jepang, bangunan ini digunakan sebagai rumah dinas mandor tebu. Setelah Indonesia merdeka, bangunan tersebut sempat kosong dan dikuasai oleh pasukan TNI pada Serangan Umum 1 Maret 1949, tanpa ada yang menempatinya hingga tahun 1951. Sejak tahun 1951, bangunan ini digunakan untuk kegiatan sekolah, dimulai sebagai Sekolah Teknik Negeri Kalasan (STNK) dari tahun 1951 hingga 1952, kemudian berfungsi sebagai STN Kalasan dari tahun 1952 hingga 1969, sebelum akhirnya menjadi SMP Negeri 1 Berbah hingga sekarang. Bangunan SMP N I Berbah menghadap ke arah selatan dan terdiri dari dua bagian utama. Bagian depan bangunan asli, yang sekarang dijadikan kantor, memiliki denah segi enam, sementara bagian belakangnya berbentuk persegi panjang dengan atap limasan. Bangunan asli dib...
Pabrik Gula Randugunting menyisakan jejak kejayaan berupa klinik kesehatan. Eks klinik Pabrik Gula Randugunting ini bahkan telah ditetapkan sebagai cagar budaya di Kabupaten Sleman melalui SK Bupati Nomor Nomor 79.21/Kep.KDH/A/2021 tentang Status Cagar Budaya Kabupaten Sleman Tahun 2021 Tahap XXI. Berlokasi di Jalan Tamanmartani-Manisrenggo, Kalurahan Tamanmartani, Kapanewon Kalasan, Kabupaten Sleman, pabrik ini didirikan oleh K. A. Erven Klaring pada tahun 1870. Pabrik Gula Randugunting berawal dari perkebunan tanaman nila (indigo), namun, pada akhir abad ke-19, harga indigo jatuh karena kalah dengan pewarna kain sintesis. Hal ini menyebabkan perkebunan Randugunting beralih menjadi perkebunan tebu dan menjadi pabrik gula. Tahun 1900, Koloniale Bank mengambil alih aset pabrik dari pemilik sebelumnya yang gagal membayar hutang kepada Koloniale Bank. Abad ke-20, kemunculan klinik atau rumah sakit di lingkungan pabrik gula menjadi fenomena baru dalam sejarah perkembangan rumah sakit...
Kompleks Panti Asih Pakem yang terletak di Padukuhan Panggeran, Desa Hargobinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, merupakan kompleks bangunan bersejarah yang dulunya berfungsi sebagai sanatorium. Sanatorium adalah fasilitas kesehatan khusus untuk mengkarantina penderita penyakit paru-paru. Saat ini, kompleks ini dalam kondisi utuh namun kurang terawat dan terkesan terbengkalai. Beberapa bagian bangunan mulai berlumut, meskipun terdapat penambahan teras di bagian depan. Kompleks Panti Asih terdiri dari beberapa komponen bangunan, antara lain: Bangunan Administrasi Paviliun A Paviliun B Paviliun C Ruang Isolasi Bekas rumah dinas dokter Binatu dan dapur Gereja