Wor merupakan kebudayaan khas masyarakat adat Napa Swandiwe, Kabupaten Biak Numfor, Papua. Wor memiliki dua arti, yaitu sebagai upacara adat dan nyanyian adat. Wor nyaris hilang di tahun 1940-an karena adanya gerakan pembaruan yang membuat orang Biak meninggalkan tradisi ini. Namun, kesenian sakral yang sangat terkait dengan kepercayaan setempat ini mengakar pada masyarakat Biak sebegitu kuatnya sehingga usaha yang dilakukan pemerintah kolonial untuk menghapus tradisi ini tak berhasil.
Menurut legenda Biak, wor bermula ketika Mansar Mnuwon yang sedang berburu di hutan mendengar orang menyanyi dan memukul tifa di pohon yang tinggi. Ketika ia memeriksa dahan yang menjadi sumber suara, ia tak melihat apa-apa.
Ia kemudian beristirahat di bawah pohon. Saat itu, musik terdengar semakin keras, menjangkau tumbuhan merambat di pohon itu. Musik kemudian terpecah menjadi paduan suara. Kumpulan bunga pada tumbuhan merambat pun bernyanyi.
Karena khawatir suara itu hilang saat matahari terbit, Mansar Mnuwon memotong tumbuhan merambat itu dan membawanya pulang. Lalu, ia makan daunnya. Secara ajaib, suara tumbuhan merambat tadi pindah kepadanya, membuatnya pintar menyanyikan wor.
Wor sebagai nyanyian adat meresap di setiap aspek kehidupan orang Biak. Sambil berkebun atau menganyam, kaum wanita menyanyi mengingat kekasihnya. Kelompok laki-laki menyanyikan wor di laut untuk menenteramkan roh-roh atau saat mereka sedang mempersiapkan diri untuk berperang. Keluarga dari segala umur menyanyikan wor di pesta, menandai peralihan dalam kehidupan seorang anak.
Sebagai wahana utama pengungkapan jati diri sosial, wor berfungsi mengesahkan pernyataan hak wilayah, menyampaikan tuntutan hadiah makanan dan minuman, serta menimbulkan rasa simpati, dukungan, kemarahan, atau kesedihan. Ahli wor mendapat kedudukan layaknya sang petualang yang dipuji-puji oleh masyarakat.
Orang Biak membagi wor berdasarkan lagu, irama, dan fungsi sosial. Dulu, orang berpesta menyanyikan 15 jenis wor yang berbeda dalam satu malam pesta. Sekarang, banyak orang Biak dapat mengenali kategori wor, kekarem atau lagu pembuka, beyuser atau lagu cerita, dow mamun atau lagu perang, dan lagu tarian, seperti yerisam, sandia, dow arbur.
Dalam jenis wor tertentu, orang Biak membiarkan terjadinya variasi kedaerahan atau individual. Namun, mereka berkeras “dialek” yang berbeda, seperti variasi bahasa Biak, asalnya dari bagan rumit dan konsisten tunggal, penguasaannya penting bagi kesenian wor.
Di pesta, orang menari sambil menyanyikan wor. Laki-laki dan perempuan muda memimpin, melompat mengetukkan irama lagunya pada tambur yang disebut tifa, atau sireb dalam bahasa Biak. Nyanyian wor berkelompok, suara perorangan bersaing.
Setiap wor dibagi menjadi kadwor atau “pucuk”, dan fuar atau “akar”. Suara tunggal mengantarkan lagu baru, suara kedua menjawabnya. Penyanyi lain mengikuti, membentuk sisi berlawanan, satu kelompok menyanyikan kadwor, yang lain menyanyikan fuar.
Pemukul tifa mengikuti iramanya, suaranya membesar dengan banyaknya penyanyi. Setiap kelompok menyanyi menurut iramanya sendiri, bergabung dengan paduan suara sesuka hati, melakukan perubahan lagu sebelum mengakhiri setiap baris bersama-sama.
Lagu tak berpemimpin, setiap penyanyi membuat variasi nada. Setiap paduan suara berusaha menarik perhatian. Penyanyi fuar mengawali syairnya sebelum penyanyi kadwor selesai. Pihak kadwor membalasnya, mencuri nyanyiannya kembali. Dampaknya heterofoni: campuran titinada, penggalan kalimat, dan volume suara saling berdampingan dalam susunan nyanyian tunggal.
Syair wor untuk menjinakkan pandangan yang asing dan baru. Penyanyi yang ahli dapat mengubah pandangan, suara, atau perasaan baru menjadi nyanyian. Penggubah lagu mendapat ilham dari hal-hal seperti pesawat terbang, gambar Alkitabiah, serta alat perekam.
Penjelajah mungkin akan menyanyikan sejarahnya sebagai kumpulan kesan yang dikenangnya: ikan terbang, semburan perahu, asap yang menjulang di atas bukit yang menjauh, atau angin yang dingin. Wor sebagai teka-teki diawali dengan lonjakan sesuatu yang tak disangka dan berakhir sebagai angan-angan atau kenangan.
Penyanyi ahli mendapatkan status sosialnya. Orang Biak menghubungkan kekuatannya dengan warisan sosialnya. Penggubah paling terampil adalah orang yang telah makan daun tanaman merambat yang ditemukan Mansar Mnuwon. Dipertalikan dengan suku tertentu, diturunkan dari bapak, ibu, dan saudara ibu, pengetahuan jenis ini langka dan berbahaya.
Tergantung kekuatan gaib wor untuk kekuatan dan daya tarik seksual mereka, para ahli menyebut tanaman yang ditemukan Mansar Mnuwon itu sebagai “tulang punggungnya”. Mereka percaya akan mati begitu memberi makan pewarisnya daun itu.
Yang lain memberi anaknya isyarat serta membiarkan menemukan tanaman itu sendiri. Ahli lainnya tak pernah mengungkapkan rahasianya, khawatir anak yang tak bertanggung jawab akan menggunakan seenaknya.
Di masa lalu, wor mempererat ikatan kemasyarakatan. Lagu dinyanyikan di pesta sebagai hadiah bagi nyonya rumah. Nyonya rumah kemudian membalas dengan makanan, tembakau, dan minuman. Saudara lelaki nyonya rumah membandingkannya dengan seekor burung yang rakus dan membuktikan kemurahhatiannya. Lagu pertempuran mengingatkan orang bila nyonya rumah lamban atau kikir. Para tamu kemudian merobohkan gubug makan.
Orang Biak masa kini lebih halus. Memandang laut dan ikan terbang, perempuan menyanyi untuk nostalgia akan Biak pada keluarga yang akan berangkat, sedih karena kegagalannya membalas budi keluarga untuk kasih sayangnya.
Berpuluh-puluh tahun yang lalu, seorang Biak menjelaskan kepada misionaris F.C. Kamma mengapa masyarakatnya tak mau melepaskan tarian gaibnya. “Leluhur kami menyanyikan wor demi kesejahteraan kami, maka kami pun harus menyanyikan wor demi anak-anak kami. Jika kami tak menyanyikan, kami akan mati.”
Di zaman modern, nasib wor menjadi tak tentu. Tergeser nyanyian pujian dan lagu rakyat, wor jarang dinyanyikan. Tidak jelas apakah wor masih mengakar cukup dalam untuk bertahan di masyarakat Biak.
Di masa lalu, wor merupakan unsur penting dalam pesta orang Biak sebagai tanda kemenangan di pertempuran, perjalanan niaga, perkawinan, dan peralihan dalam kehidupan seorang anak.
Antropolog Belanda, F.C. Kamma, menggambarkan penyanyi membentuk lingkaran gaib di sekeliling anak yang menyelenggarakan pesta. Suara tambur yang meniru leluhur membangkitkan perasaan akan kehadiran para leluhur.
Terlindung oleh kekuatan leluhur, anak akan tumbuh kuat untuk menghadapi bahaya perjalanan di tanah yang cukup jauh.
Wor berperan dalam pemberontakan pembebasan yang melanda Biak selama akhir tahun 1930-an. Dalam jumlah beribu-ibu, orang Biak berkumpul untuk menyanyi, menari, dan menantikan kembalinya Manarmakeri: leluhur yang mengembalikan rahasia kekuatan asing kepada Biak dan menghidupkan kembali orang yang mati.
Tradisi Wor merupakan tradisi siklus kehidupan.[4][5][6] Ada beberapa upacara yang dilakukan terkait hal tersebut, yaitu:
*) Disadur dari Danilyn Rutherford, “Wor,” dalam John H. McGlynn dan Karin Johnson, Indonesian Heritage: Bahasa dan Sastra, Jakarta: Buku Antar Bangsa, 2002.
sumber: https://1001indonesia.net/wor-kesenian-tradisional-masyarakat-adat-napa-swandiwe-biak-papua/
https://id.wikipedia.org/wiki/Tradisi_Wor
#SBJ
MAKA merupakan salah satu tradisi sakral dalam budaya Bima. Tradisi ini berupa ikrar kesetiaan kepada raja/sultan atau pemimpin, sebagai wujud bahwa ia bersumpah akan melindungi, mengharumkan dan menjaga kehormatan Dou Labo Dana Mbojo (bangsa dan tanah air). Gerakan utamanya adalah mengacungkan keris yang terhunus ke udara sambil mengucapkan sumpah kesetiaan. Berikut adalah teks sumpah prajurit Bima: "Tas Rumae… Wadu si ma tapa, wadu di mambi’a. Sura wa’ura londo parenta Sara." "Yang mulia tuanku...Jika batu yang menghadang, batu yang akan pecah, jika perintah pemerintah (atasan) telah dikeluarkan (diturunkan)." Tradisi MAKA dalam Budaya Bima dilakukan dalam dua momen: Saat seorang anak laki-laki selesai menjalani upacara Compo Sampari (ritual upacara kedewasaan anak laki-laki Bima), sebagai simbol bahwa ia siap membela tanah air di berbagai bidang yang digelutinya. Seharusnya dilakukan sendiri oleh si anak, namun tingkat kedewasaan anak zaman dulu dan...
Wisma Muhammadiyah Ngloji adalah sebuah bangunan milik organisasi Muhammadiyah yang terletak di Desa Sendangagung, Kecamatan Minggir, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Wisma ini menjadi pusat aktivitas warga Muhammadiyah di kawasan barat Sleman. Keberadaannya mencerminkan peran aktif Muhammadiyah dalam pemberdayaan masyarakat melalui pendekatan dakwah dan pendidikan berbasis lokal.
SMP Negeri 1 Berbah terletak di Tanjung Tirto, Kelurahan Kalitirto, Kecamatan Berbah, Sleman. Gedung ini awalnya merupakan rumah dinas Administratuur Pabrik Gula Tanjung Tirto yang dibangun pada tahun 1923. Selama pendudukan Jepang, bangunan ini digunakan sebagai rumah dinas mandor tebu. Setelah Indonesia merdeka, bangunan tersebut sempat kosong dan dikuasai oleh pasukan TNI pada Serangan Umum 1 Maret 1949, tanpa ada yang menempatinya hingga tahun 1951. Sejak tahun 1951, bangunan ini digunakan untuk kegiatan sekolah, dimulai sebagai Sekolah Teknik Negeri Kalasan (STNK) dari tahun 1951 hingga 1952, kemudian berfungsi sebagai STN Kalasan dari tahun 1952 hingga 1969, sebelum akhirnya menjadi SMP Negeri 1 Berbah hingga sekarang. Bangunan SMP N I Berbah menghadap ke arah selatan dan terdiri dari dua bagian utama. Bagian depan bangunan asli, yang sekarang dijadikan kantor, memiliki denah segi enam, sementara bagian belakangnya berbentuk persegi panjang dengan atap limasan. Bangunan asli dib...
Pabrik Gula Randugunting menyisakan jejak kejayaan berupa klinik kesehatan. Eks klinik Pabrik Gula Randugunting ini bahkan telah ditetapkan sebagai cagar budaya di Kabupaten Sleman melalui SK Bupati Nomor Nomor 79.21/Kep.KDH/A/2021 tentang Status Cagar Budaya Kabupaten Sleman Tahun 2021 Tahap XXI. Berlokasi di Jalan Tamanmartani-Manisrenggo, Kalurahan Tamanmartani, Kapanewon Kalasan, Kabupaten Sleman, pabrik ini didirikan oleh K. A. Erven Klaring pada tahun 1870. Pabrik Gula Randugunting berawal dari perkebunan tanaman nila (indigo), namun, pada akhir abad ke-19, harga indigo jatuh karena kalah dengan pewarna kain sintesis. Hal ini menyebabkan perkebunan Randugunting beralih menjadi perkebunan tebu dan menjadi pabrik gula. Tahun 1900, Koloniale Bank mengambil alih aset pabrik dari pemilik sebelumnya yang gagal membayar hutang kepada Koloniale Bank. Abad ke-20, kemunculan klinik atau rumah sakit di lingkungan pabrik gula menjadi fenomena baru dalam sejarah perkembangan rumah sakit...
Kompleks Panti Asih Pakem yang terletak di Padukuhan Panggeran, Desa Hargobinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, merupakan kompleks bangunan bersejarah yang dulunya berfungsi sebagai sanatorium. Sanatorium adalah fasilitas kesehatan khusus untuk mengkarantina penderita penyakit paru-paru. Saat ini, kompleks ini dalam kondisi utuh namun kurang terawat dan terkesan terbengkalai. Beberapa bagian bangunan mulai berlumut, meskipun terdapat penambahan teras di bagian depan. Kompleks Panti Asih terdiri dari beberapa komponen bangunan, antara lain: Bangunan Administrasi Paviliun A Paviliun B Paviliun C Ruang Isolasi Bekas rumah dinas dokter Binatu dan dapur Gereja