Ketika di banyak daerah warga diintai kelaparan, suku Rana yang hidup terisolasi di dataran dan perbukitan di sekitar Danau Rana, Pulau Buru, Maluku Tengah, tak pernah dipusingkan dengan persoalan perut. Mereka menyatu dengan alam untuk membangun lumbung pangan yang tak lekang sepanjang masa. Bahkan warga Rana bebas dari kebutuhan beras.
Masyarakat Rana menanami lahan tadah hujannya dengan tanaman semusim seperti jagung, kacang, padi, singkong, dan hotong (mirip gandum). Tanaman pangan itu dibudidayakan secara bergiliran sesuai dengan ketersediaan air pada lahan tadah hujan.Jenis tanaman pangan pada setiap musim itu membentuk pola konsumsi makanan yang mengikuti bahan pangan yang ada. Masyarakat Rana tidak pernah terjebak dalam ketergantungan, karena tidak pernah bergantung pada satu jenis bahan pangan. Mereka menikmati apa saja yang dihasilkan oleh alam. Tidak ada gengsi-gengsian harus makan beras.
Kemampuan mereka menyelaraskan diri dengan kondisi alam telah membentuk kearifan terhadap bahan pangan. Mereka mampu membaca potensi terbaik yang bisa diberikan alam untuk mendukung kehidupan. Mereka tidak pernah tergoda untuk mengonversi kebun menjadi lahan-lahan persawahan. Padi hanya ditanam saat musim hujan, itu pun tidak seluruh kebun ditanami padi.
“Kami yang tinggal di sekitar Danau Rana ini tidak pernah kekurangan pangan. Belum pernah terjadi musibah kelaparan di sini. Kami makan apa yang dihasilkan oleh kebun,” kata Wentis Waemesi, Portelu (kepala suku) Waikolo di Dusun Waremang, Wamlana, Air Buaya, Pulau Buru.
Saat berkunjung ke perkampungan di sekitar Danau Rana, minggu lalu, masyarakat setempat sedang melakukan panen kacang tanah. Warga di enam dusun di sekitar Danau Rana, yaitu Waeremang, Waegrahe, Waemamboli, Waemite, Kaktuan, dan Air Dapa, sibuk di kebun-kebun. Panen hasil bumi merupakan rahmat yang harus disyukuri.
Oleh karena itu, sebagai rasa syukur, hasil panenan pertama tidak boleh dijual, tetapi dimakan bersama-sama dengan seluruh warga kampung. Bila hasilnya berlimpah, warga tetangga kampung juga diundang makan bersama. Tradisi yang disebut wahadegen itu dilakukan setiap panen pertama untuk semua jenis tanaman pangan.
Dalam perayaan wahadegen, puji syukur diwujudkan dalam tarian ingafuka yang diiringi lantunan syair berbahasa Buru dan tetabuhan tifa. Pesta rakyat penduduk Rana ini menyajikan berbagai makanan yang dibuat dari hasil panen. Seperti saat wahadegen kacang di Waeremang, hasil bumi itu disajikan dalam bentuk kacang goreng, kacang rebus, sayur, dan kue kacang. “Hasil panen harus selalu disyukuri dan kebahagiaan dibagi bersama dengan seluruh warga. Selama ini kami tidak pernah kekurangan pangan dan itu harus dipertahankan,” kata Sudin Waemesi, warga Dusun Waeremang.
Saat Kompas diundang bersantap malam di rumah Sudin, makanan utama yang disajikan adalah singkong rebus, papeda sagu, sayur, dan ikan mujair. Singkong rebus dan papeda berfungsi seperti nasi, dan sajian lainnya sebagai pelengkap. Singkong rebus disantap bersama mujair goreng ternyata sangat enak. Apalagi papeda disiram kuah gulai morea (sejenis belut besar), rasanya sungguh nikmat di tengah hawa sejuk Pegunungan Rana.
Ketahanan pangan mandiri
Singkong dan papeda (sagu), yang oleh sebagian orang dinilai sebagai makanan konsumsi masyarakat kelas bawah itu, justru bagi masyarakat Rana adalah anugerah tak ternilai. Predikat remeh-temeh yang dilekatkan pada singkong dan sagu, luruh dalam kearifan yang menghargai pangan lokal. Sudin bangga menyajikan papeda sagu dan singkong rebus yang lembut dan manis itu. Makanan yang mungkin dicap murahan itulah yang telah menyelamatkan masyarakat Rana dari kelaparan dan penyakit busung lapar.
Mereka juga tidak pernah dipusingkan dengan kekurangan persediaan beras Bulog. Mereka tidak pernah antre untuk memperoleh beras seperti yang terjadi di berbagai kota lain. “Kalau kami di sini paling senang makan hotong karena rasanya lebih lembut dari beras. Hotong juga tahan hingga tahunan dan tidak busuk. Kapan-kapan kalau ke sini lagi, Bapak harus merasakan hotong kami,” ujar Sudin membanggakan salah satu pangan lokalnya.
Masyarakat Rana terbebas dari ketergantungan pada beras karena memiliki sistem ketahanan pangan mandiri. Lumbung pangan mereka dibangun di atas fondasi kearifan atas bahan pangan lokal. Mereka menikmati apa yang diberikan oleh alam tanpa mengeluh karena tidak ada beras. Toh semua kebutuhan asupan gizi bisa dipenuhi dari pangan lokal. Kebutuhan karbohidrat dipenuhi dari singkong, sagu, hotong, dan padi. Ikan mujair dan morea dari Danau Rana memasok kebutuhan protein. Sedangkan vitamin dan mineral lain dipenuhi dari sayur-sayuran yang tumbuh di sekitar rumah. “Kami di sini bisa makan kenyang hanya dari hasil kebun. Singkong dan sagu sudah cukup bagi kami. Makan beras kadang- kadang saja kalau sedang panen,” ujar Sudin.
Masyarakat Rana yang terisolasi karena ketiadaan akses jalan mampu bertahan dengan menghargai pangan lokal. Bila mereka tergantung dengan beras, tentunya 1.200 penduduk Rana akan kerepotan sendiri karena harus berjalan kaki dua hari menuju desa terdekat, yaitu Desa Unit VI atau ke Mako di Waeapo, sebagai sentra penghasil beras di Pulau Buru dan Maluku.
Runyamnya lagi, tidak ada akses transportasi ke desa terdekat itu, karena jalan yang dilewati pun merupakan hutan belantara dan jalan eks jalur kayu hak pengusahaan hutan (HPH) milik PT Gema Hutan Lestari dan PT Wahana Potensi. Itu pun dalam kondisi rusak dan sering terjadi longsor. Andai saja mereka tak memahami kearifan lokal, maka tak mustahil ribuan penduduk Rana itu akan dengan cepat terancam kelaparan.
Ternyata, di tengah hutan di jantung Pulau Buru itu, masyarakat Rana mengisi lumbung pangan dengan singkong, sagu, kacang, jagung, hotong, dan sedikit beras. Bahan pangan lokal itulah yang membebaskan mereka dari krisis pangan seperti dialami oleh masyarakat yang tergantung pada beras. Berkunjung ke perkampungan masyarakat Rana mengingatkan pada kekayaan bahan pangan di bumi Nusantara yang telah lama terlupakan.
sumbe r:http://www.wacana.co/2009/04/kearifan-lokal-suku-rana/
BAHAN-BAHAN 1 ikat kangkung bumbu halus : 5 siung bawang merah 2 siung bawang putih 2 butir kemiri 1 sdt ketumbar bubuk seruas kencur aromatic : 2 lembar daun salam 2 lembar daun jeruk 1 btg sereh seruas lengkuas,geprek seasoning : 1 sdt garam (sesuai selera) 1/2 sdt kaldu bubuk 1/2 sdm gula jawa sisir 1 sdt gula pasir Rose Brand 1 bungkus santan cair instan Rose Brand 1 liter air 3 sdm minyak goreng untuk menumis CARA MEMASAK: Siangi kangkung cuci bersih,tiriskan Haluskan bumbu Tumis bumbu halus hingga harum dengan secukupnya minyak goreng,masukkan aromatic,masak hingga layu,beri air 1 lt Masukkan kangkung,beri seasoning,aduk rata Koreksi rasa Sajikan Sumber: https://cookpad.com/id/resep/25030546?ref=search&search_term=kangkung
Bahan: 1 buah tomat, potong dadu 2 ekor ikan tongkol ukuran sedang (1/2kg) 1/2 bks bumbu marinasi bubuk 1 sdt bawang putih Secukupnya garam Secukupnya gula 7 siung bawang merah, iris 5 buah cabe rawit, iris 2 batang sereh, ambil bagian putihnya, iris 3 lembar daun jeruk, iris tipis-tipis 1 bks terasi ABC Minyak untuk menumis Secukupnya air Cara memasak: Cuci bersih ikan tongkol. Taburi bumbu marinasi desaku, garam secukupnya, air 2 sdm ke ikan tongkol. Siapkan bahan-bahan. Iris tipis bawang merah, daun jeruk, seret, cabe rawit. Kukus ikan tongkol selama 10 menit. Lapisi dengan daun pisang atau daun kunyit. Boleh jg tidak d lapisi. Setelah ikan di kukus, goreng ikan. Tumis bawang merah dan bahan lainnya. Masukkan terasi yg telah dihancurkan. Setelah matang, masukkan ikan yang telah digoreng. Aduk hingga rata. Sajikan dengan nasi hangat. Sumber: https://cookpad.com/id/resep/24995999?ref=search&search_term=dabu+dabu
Bahan-bahan Porsi 2 orang Bumbu Ikan bakar : 2 ekor ikan peda 1 sdm kecap 1/2 sdm Gula merah 1/2 sdt garam Minyak goreng Bahan sambal dabu-dabu : 7 buah cabe rawit merah, iris kecil 1 buah tomat merah, iris dadu 3 siung bawang merah,iris halus 2 lembar daun jeruk, buang tulang tengah daun, iris tipis 2 sdm minyak goreng panas Cara Membuat: Marinasi ikan dengan air perasan jeruk nipis dan garam secukupnya, diamkan 20 menit, kemudian panggang diatas teflon(aku di happycall yang dialasi daun pisang) sesekali olesi minyak plus bumbu ke ikannya(aku pakai bumbu kecap dan gula merah) panggang sampai matang. Cara bikin Sambal dabu-dabu : Campurkan semua bahan sambal dabu-dabu ke dalam mangkok kecuali minyak kelapa, panaskan minyak kelapa, kemudian siram diatas sambal tadi, sajikan ikan peda bakar dengan sambal dabu-dabu. Sumber: https://cookpad.com/id/resep/15232544?ref=search&search_term=peda+bakar
MAKA merupakan salah satu tradisi sakral dalam budaya Bima. Tradisi ini berupa ikrar kesetiaan kepada raja/sultan atau pemimpin, sebagai wujud bahwa ia bersumpah akan melindungi, mengharumkan dan menjaga kehormatan Dou Labo Dana Mbojo (bangsa dan tanah air). Gerakan utamanya adalah mengacungkan keris yang terhunus ke udara sambil mengucapkan sumpah kesetiaan. Berikut adalah teks inti sumpah prajurit Bima: "Tas Rumae… Wadu si ma tapa, wadu di mambi’a. Sura wa’ura londo parenta Sara." "Yang mulia tuanku...Jika batu yang menghadang, batu yang akan pecah, jika perintah pemerintah (atasan) telah dikeluarkan (diturunkan)." Tradisi MAKA dalam Budaya Bima dilakukan dalam dua momen: Saat seorang anak laki-laki selesai menjalani upacara Compo Sampari (ritual upacara kedewasaan anak laki-laki Bima), sebagai simbol bahwa ia siap membela tanah air di berbagai bidang yang digelutinya. Seharusnya dilakukan sendiri oleh si anak, namun tingkat kedewasaan anak zaman dulu dan...
Wisma Muhammadiyah Ngloji adalah sebuah bangunan milik organisasi Muhammadiyah yang terletak di Desa Sendangagung, Kecamatan Minggir, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Wisma ini menjadi pusat aktivitas warga Muhammadiyah di kawasan barat Sleman. Keberadaannya mencerminkan peran aktif Muhammadiyah dalam pemberdayaan masyarakat melalui pendekatan dakwah dan pendidikan berbasis lokal.