DENGAN bangga, dua pria itu mengangkat kaki. Lalu memperlihatkan telapak kaki mereka. ”Lihat, tak ada bekas luka bakar, ’kan?” kata Frans Yakob Rumbrapuk, salah seorang di antara dua pria itu, kepada Cenderawasih Pos (Jawa Pos Group).
Dicermati sekali lagi, memang tidak ada. Begitu pula di telapak kaki Korinus Arwam, pria satunya. Padahal, sudah tak terhitung berapa kali dua pria paro baya dari Kampung Bosnabraidi, Distrik Yawosi, Kabupaten Biak Numfor, Papua, tersebut berjalan dengan kaki telanjang di atas batu yang dibakar.
Bertahun-tahun, sejak mereka masih muda. Terakhir, keduanya tampil pada kegiatan Sidang Sinode GKI (Gereja Kristen Indonesia) di Tanah Papua yang digelar di Waisai, ibu kota Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat, Maret lalu. Agenda terdekat, Frans dan Korinus bakal tampil pada Festival Biak Munara Wampasi pada 1 Juli. Ya, Frans dan Korinus adalah segelintir pelaku Apen Bayeren yang tersisa. Apen Bayeren merupakan atraksi berjalan di atas batu yang dibakar pada acara Barapen (bakar batu). Meskipun sudah jarang ditampilkan, Apen Bayeren masih masuk nominasi kategori sepuluh atraksi budaya terpopuler versi Anugerah Pesona Indonesia 2017 yang diadakan Kementerian Pariwisata.
Kelangkaan pelakulah yang membuat salah satu kekayaan budaya Papua itu jarang ditampilkan. Di seantero Biak, misalnya, hanya di sedikit kampung bisa ditemukan pemain atraksi berbahaya tersebut. Salah satunya di Kampung Bosnabraidi yang berjarak sekitar 42 kilometer arah utara Biak, ibu kota Kabupaten Biak Numfor. ”Selain kami, di sini cuma ada Yowen Arwom yang masih bisa melakukannya,” kata Korinus dalam bahasa Biak yang diterjemahkan secara bergantian oleh Kepala Kampung Bosnabraidi Yonas Rumbrawer dan Dance Warnares, pegawai di Dinas Pariwisata Biak Numfor.
Menurut Frans, Apen Bayeren bermula dari adanya ritual bakar batu. Ini semacam pesta adat atau kegiatan memasak bersama-sama warga satu kampung. Ritual tersebut bertujuan untuk kegiatan syukuran atau pesta adat. Mengutip situs Wisata Papua, selain untuk memanjatkan syukur, bakar batu diadakan guna menyambut tamu agung, upacara kematian, atau setelah terjadi perang antarsuku.
Tiap kawasan di Papua memiliki nama sendiri-sendiri untuk ritual itu. Masyarakat Paniai, misalnya, menyebutnya dengan Gapii atau Mogo Gapii. Di Wamena disebut Kit Oba Isago, sedangkan masyarakat Biak menyebutnya dengan Barapen. Barapen inilah yang belakangan menjadi istilah yang paling umum digunakan.
Masih mengutip Wisata Papua, prosesi pesta bakar batu biasanya terdiri atas tiga tahap, yaitu persiapan, bakar babi, dan makan bersama. Tahap persiapan diawali dengan pencarian kayu bakar dan batu yang akan dipergunakan untuk memasak. Pada bagian paling bawah ditata batu-batu berukuran besar.
Bagian atasnya ditutupi dengan kayu bakar, kemudian ditata lagi batuan yang ukurannya lebih kecil dan seterusnya hingga bagian teratas ditutupi dengan kayu. Kemudian, tumpukan tersebut dibakar hingga kayu habis terbakar dan batuan menjadi panas. Semua itu umumnya dikerjakan kaum pria.
”Kalau sekali bikin Barapen luasnya bisa 3 x 5 meter,” ungkap Frans. Nah, luasnya area atau tempat Barapen itu, lanjut Frans, menyulitkan kaum pria untuk mengambil batu panas yang sudah dibakar. Khususnya yang berada di tengah. ”Karena kesulitan ambil batu yang di tengah, saat itu leluhur kami dikenalkan dengan daun sindia. Daun ini yang diminta dioleskan di kaki supaya tidak ada rasa panas,” kata Frans. Itulah, tambah Frans, rahasia yang membuat para pelaku Apen Bayeren bisa berjalan di atas batu yang panas tanpa merasa sakit atau kaki melepuh. ”Jadi, tak ada mantra-mantra atau harus berpuasa sekian hari dulu,” ungkapnya.
Tapi, itu baru salah satu rahasia. Masih ada syarat lain yang harus dipenuhi. Yakni, pemain Apen Bayeren tidak boleh berselingkuh atau melakukan hubungan layaknya suami istri dengan perempuan yang bukan istri sahnya. Syarat lainnya, tidak boleh sombong, berbohong, dendam, atau iri hati. ”Kalau pantangan-pantangan itu kita langgar, pasti kaki akan terbakar dan melepuh,” sebut Korinus.
Bisa jadi, jumlah pemain Apen Bayeren kian susut karena sulitnya mencari sosok yang kuat untuk tidak melanggar pantangan-pantangan tersebut. Apalagi, kemampuan berjalan di atas batu membara itu memang tidak bisa sembarangan diwariskan. Hanya boleh diwariskan kepada salah seorang anak laki-laki yang sudah menikah. ”Jadi, setiap keluarga hanya bisa mewariskan kepada satu anak laki-laki. Itu pun hanya kepada yang sudah berkeluarga,” jelas Frans.
Frans, Korinus, maupun Yowen pun melihat dan memilih langsung siapa anak keturunan mereka yang siap diwarisi berjalan di atas batu membara tersebut. Prosesnya butuh waktu. Karena itulah, sampai kini mereka belum menentukan generasi pengganti. ”Kami melihat dari keberanian sang anak dalam menghadapi masalah,” tambahnya. Selain berupaya keras agar tradisi tersebut bisa bertahan, Frans dan Korinus berharap bisa lebih banyak menggelar atraksi Apen Bayeren di kampung mereka sendiri. Sebab, selama ini keduanya justru lebih sering tampil di luar Kampung Bosnabraidi. Korinus bahkan pernah beratraksi di Bali. ”Kampung kami jadi kurang dikenal. Mudah-mudahan kelak wisatawanlah yang datang ke sini untuk menonton kami atau anak-anak pengganti kami,” harapnya.
sumber: https://www.radarbangka.co.id/rubrik/detail/budaya/15415/tradisi-unik-pelaku-apen-bayeren-di-papua-langgar-pantangan-selingkuh-kaki-langsung-terbakar
#SBJ
MAKA merupakan salah satu tradisi sakral dalam budaya Bima. Tradisi ini berupa ikrar kesetiaan kepada raja/sultan atau pemimpin, sebagai wujud bahwa ia bersumpah akan melindungi, mengharumkan dan menjaga kehormatan Dou Labo Dana Mbojo (bangsa dan tanah air). Gerakan utamanya adalah mengacungkan keris yang terhunus ke udara sambil mengucapkan sumpah kesetiaan. Berikut adalah teks inti sumpah prajurit Bima: "Tas Rumae… Wadu si ma tapa, wadu di mambi’a. Sura wa’ura londo parenta Sara." "Yang mulia tuanku...Jika batu yang menghadang, batu yang akan pecah, jika perintah pemerintah (atasan) telah dikeluarkan (diturunkan)." Tradisi MAKA dalam Budaya Bima dilakukan dalam dua momen: Saat seorang anak laki-laki selesai menjalani upacara Compo Sampari (ritual upacara kedewasaan anak laki-laki Bima), sebagai simbol bahwa ia siap membela tanah air di berbagai bidang yang digelutinya. Seharusnya dilakukan sendiri oleh si anak, namun tingkat kedewasaan anak zaman dulu dan...
Wisma Muhammadiyah Ngloji adalah sebuah bangunan milik organisasi Muhammadiyah yang terletak di Desa Sendangagung, Kecamatan Minggir, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Wisma ini menjadi pusat aktivitas warga Muhammadiyah di kawasan barat Sleman. Keberadaannya mencerminkan peran aktif Muhammadiyah dalam pemberdayaan masyarakat melalui pendekatan dakwah dan pendidikan berbasis lokal.
SMP Negeri 1 Berbah terletak di Tanjung Tirto, Kelurahan Kalitirto, Kecamatan Berbah, Sleman. Gedung ini awalnya merupakan rumah dinas Administratuur Pabrik Gula Tanjung Tirto yang dibangun pada tahun 1923. Selama pendudukan Jepang, bangunan ini digunakan sebagai rumah dinas mandor tebu. Setelah Indonesia merdeka, bangunan tersebut sempat kosong dan dikuasai oleh pasukan TNI pada Serangan Umum 1 Maret 1949, tanpa ada yang menempatinya hingga tahun 1951. Sejak tahun 1951, bangunan ini digunakan untuk kegiatan sekolah, dimulai sebagai Sekolah Teknik Negeri Kalasan (STNK) dari tahun 1951 hingga 1952, kemudian berfungsi sebagai STN Kalasan dari tahun 1952 hingga 1969, sebelum akhirnya menjadi SMP Negeri 1 Berbah hingga sekarang. Bangunan SMP N I Berbah menghadap ke arah selatan dan terdiri dari dua bagian utama. Bagian depan bangunan asli, yang sekarang dijadikan kantor, memiliki denah segi enam, sementara bagian belakangnya berbentuk persegi panjang dengan atap limasan. Bangunan asli dib...
Pabrik Gula Randugunting menyisakan jejak kejayaan berupa klinik kesehatan. Eks klinik Pabrik Gula Randugunting ini bahkan telah ditetapkan sebagai cagar budaya di Kabupaten Sleman melalui SK Bupati Nomor Nomor 79.21/Kep.KDH/A/2021 tentang Status Cagar Budaya Kabupaten Sleman Tahun 2021 Tahap XXI. Berlokasi di Jalan Tamanmartani-Manisrenggo, Kalurahan Tamanmartani, Kapanewon Kalasan, Kabupaten Sleman, pabrik ini didirikan oleh K. A. Erven Klaring pada tahun 1870. Pabrik Gula Randugunting berawal dari perkebunan tanaman nila (indigo), namun, pada akhir abad ke-19, harga indigo jatuh karena kalah dengan pewarna kain sintesis. Hal ini menyebabkan perkebunan Randugunting beralih menjadi perkebunan tebu dan menjadi pabrik gula. Tahun 1900, Koloniale Bank mengambil alih aset pabrik dari pemilik sebelumnya yang gagal membayar hutang kepada Koloniale Bank. Abad ke-20, kemunculan klinik atau rumah sakit di lingkungan pabrik gula menjadi fenomena baru dalam sejarah perkembangan rumah sakit...
Kompleks Panti Asih Pakem yang terletak di Padukuhan Panggeran, Desa Hargobinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, merupakan kompleks bangunan bersejarah yang dulunya berfungsi sebagai sanatorium. Sanatorium adalah fasilitas kesehatan khusus untuk mengkarantina penderita penyakit paru-paru. Saat ini, kompleks ini dalam kondisi utuh namun kurang terawat dan terkesan terbengkalai. Beberapa bagian bangunan mulai berlumut, meskipun terdapat penambahan teras di bagian depan. Kompleks Panti Asih terdiri dari beberapa komponen bangunan, antara lain: Bangunan Administrasi Paviliun A Paviliun B Paviliun C Ruang Isolasi Bekas rumah dinas dokter Binatu dan dapur Gereja