POLEWALI MANDAR, KOMPAS.com - Berat sama dipikul, ringan sama dijinjing. Tradisi gotong royong seperti pepatah ini mungkin sudah usang di kota-kota yang makin sibuk dan makin individualis. Namun, tradisi yang memupuk semangat kebersamaan antarsesama warga ini tetap langgeng di tengah kehidupan Suku Mandar di Polewali Mandar, Sulawesi Barat. Kebersamaan itu terlihat ketika warga Kelurahan Wattang membangun kapal atau rumah berbobot puluhan ton.
Dengan kerja sama secara bergotong-royong, rumah panggung ini dengan mudah diangkat dan digeser pemiliknya ke tempat yang dikehendaki. Ratusan warga tersebut beramai-ramai mendatangi rumah milik Naharuddin di lingkungan Mambulilling, Kelurahan Wattang, Jumat pekan lalu.
Tanpa diupah atau dibayar sepersen pun, mereka datang secara sukarela untuk membantu mengangkat dan memindahkan rumah sejauh empat meter dari lokasi saat ini. Untuk meminta bantuan warga, pemilik hajatan tak perlu repot mengundang warga secara khusus di rumahnya satu per satu. Cukup mengumumkan lewat pengeras suara di masjid atau gereja, warga ringan tangan datang membantu sanak tetangga yang membutuhkan bantuan pada hari yang sudah ditentukan.
Sebagian warga atau pemilik hajatan juga kerap memanfaatkan hari Jumat sebagai hari kesetiakawanan sosial, hari gotong-royong, hari siwaliparri. Tradisi siwaliparri dalam bahasa Mandar bermakna kebersamaan dan saling tolong-menolong. Hingga kini, tradisi itu tetap lestari dan menjadi ciri khas warga suku Mandar. Banyak persoalan yang menyangkut hajat hidup orang banyak diselesaikan dengan tradisi tersebut.
Pemilik rumah pun tak perlu repot mengeluarkan biaya sebab warga membantu tanpa meminta imbalan. Pemilik rumah biasanya hanya menyiapkan makanan atau minuman ringan berupa segelas cendol atau bubur kacang hijau yang disuguhkan kepada warga seusai bekerja. Makanan manis yang disuguhkan kepada warga itu memiliki makna filosofis tersendiri. Konon tardisi menyuguhkan makanan yang manis-manis kepada para tetamu adalah ungkapan kesyukuran dan kebahagiaan dalam memupuk kebersamaan antarwarga dan pemilik hajatan.
"Ini sudah tradisi turun-temurun yang tetap terjaga. Saya cuma mengumumkan di masjid sebelum shalat Jumat. Usai Jumatan, mereka datang ramai-ramai membantu tanpa diupah sepersen pun," ujar Naharuddin.
Kepala lingkungan Mabuliliing, Nasir, menyebutkan, banyak persoalan masyarakat seperti mengangkat dan memindahkan rumah atau membawa perahu ke laut diselesaikan secara gotong-royong. "Alhamdulillah semangat gotong-royong dan kebersamaan di tengah masyarakat hingga kini masih terpelihara. Warga yang datang memberi pertolongan kepada tetangga atau sekampungnya datang tanpa melihat latar belakang kehidupan sosial, agama, suku, dan bahasanya," ujar Nasir. Mungkin inilah saatnya bangsa Indonesia untuk mengingat kembali arti kebersamaan dan persatuan agar tidak mudah dipecah-belah.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Tradisi Siwaliparri, Memupuk Kebersamaan ala Suku Mandar ", https://regional.kompas.com/read/2016/11/23/13182161/tradisi.siwaliparri.memupuk.kebersamaan.ala.suku.mandar..
Penulis : Kontributor Polewali, Junaedi
MAKA merupakan salah satu tradisi sakral dalam budaya Bima. Tradisi ini berupa ikrar kesetiaan kepada raja/sultan atau pemimpin, sebagai wujud bahwa ia bersumpah akan melindungi, mengharumkan dan menjaga kehormatan Dou Labo Dana Mbojo (bangsa dan tanah air). Gerakan utamanya adalah mengacungkan keris yang terhunus ke udara sambil mengucapkan sumpah kesetiaan. Berikut adalah teks inti sumpah prajurit Bima: "Tas Rumae… Wadu si ma tapa, wadu di mambi’a. Sura wa’ura londo parenta Sara." "Yang mulia tuanku...Jika batu yang menghadang, batu yang akan pecah, jika perintah pemerintah (atasan) telah dikeluarkan (diturunkan)." Tradisi MAKA dalam Budaya Bima dilakukan dalam dua momen: Saat seorang anak laki-laki selesai menjalani upacara Compo Sampari (ritual upacara kedewasaan anak laki-laki Bima), sebagai simbol bahwa ia siap membela tanah air di berbagai bidang yang digelutinya. Seharusnya dilakukan sendiri oleh si anak, namun tingkat kedewasaan anak zaman dulu dan...
Wisma Muhammadiyah Ngloji adalah sebuah bangunan milik organisasi Muhammadiyah yang terletak di Desa Sendangagung, Kecamatan Minggir, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Wisma ini menjadi pusat aktivitas warga Muhammadiyah di kawasan barat Sleman. Keberadaannya mencerminkan peran aktif Muhammadiyah dalam pemberdayaan masyarakat melalui pendekatan dakwah dan pendidikan berbasis lokal.
SMP Negeri 1 Berbah terletak di Tanjung Tirto, Kelurahan Kalitirto, Kecamatan Berbah, Sleman. Gedung ini awalnya merupakan rumah dinas Administratuur Pabrik Gula Tanjung Tirto yang dibangun pada tahun 1923. Selama pendudukan Jepang, bangunan ini digunakan sebagai rumah dinas mandor tebu. Setelah Indonesia merdeka, bangunan tersebut sempat kosong dan dikuasai oleh pasukan TNI pada Serangan Umum 1 Maret 1949, tanpa ada yang menempatinya hingga tahun 1951. Sejak tahun 1951, bangunan ini digunakan untuk kegiatan sekolah, dimulai sebagai Sekolah Teknik Negeri Kalasan (STNK) dari tahun 1951 hingga 1952, kemudian berfungsi sebagai STN Kalasan dari tahun 1952 hingga 1969, sebelum akhirnya menjadi SMP Negeri 1 Berbah hingga sekarang. Bangunan SMP N I Berbah menghadap ke arah selatan dan terdiri dari dua bagian utama. Bagian depan bangunan asli, yang sekarang dijadikan kantor, memiliki denah segi enam, sementara bagian belakangnya berbentuk persegi panjang dengan atap limasan. Bangunan asli dib...
Pabrik Gula Randugunting menyisakan jejak kejayaan berupa klinik kesehatan. Eks klinik Pabrik Gula Randugunting ini bahkan telah ditetapkan sebagai cagar budaya di Kabupaten Sleman melalui SK Bupati Nomor Nomor 79.21/Kep.KDH/A/2021 tentang Status Cagar Budaya Kabupaten Sleman Tahun 2021 Tahap XXI. Berlokasi di Jalan Tamanmartani-Manisrenggo, Kalurahan Tamanmartani, Kapanewon Kalasan, Kabupaten Sleman, pabrik ini didirikan oleh K. A. Erven Klaring pada tahun 1870. Pabrik Gula Randugunting berawal dari perkebunan tanaman nila (indigo), namun, pada akhir abad ke-19, harga indigo jatuh karena kalah dengan pewarna kain sintesis. Hal ini menyebabkan perkebunan Randugunting beralih menjadi perkebunan tebu dan menjadi pabrik gula. Tahun 1900, Koloniale Bank mengambil alih aset pabrik dari pemilik sebelumnya yang gagal membayar hutang kepada Koloniale Bank. Abad ke-20, kemunculan klinik atau rumah sakit di lingkungan pabrik gula menjadi fenomena baru dalam sejarah perkembangan rumah sakit...
Kompleks Panti Asih Pakem yang terletak di Padukuhan Panggeran, Desa Hargobinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, merupakan kompleks bangunan bersejarah yang dulunya berfungsi sebagai sanatorium. Sanatorium adalah fasilitas kesehatan khusus untuk mengkarantina penderita penyakit paru-paru. Saat ini, kompleks ini dalam kondisi utuh namun kurang terawat dan terkesan terbengkalai. Beberapa bagian bangunan mulai berlumut, meskipun terdapat penambahan teras di bagian depan. Kompleks Panti Asih terdiri dari beberapa komponen bangunan, antara lain: Bangunan Administrasi Paviliun A Paviliun B Paviliun C Ruang Isolasi Bekas rumah dinas dokter Binatu dan dapur Gereja