Warga Lingkungan Cungking, Kelurahan Mojopanggung, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur mempunyai ritual unik yang sudah digelar selama ratusan tahun. Mereka mencuci lawon (kain kafan) yang digunakan untuk menutup makam petilasan Ki Buyut Cungking. Ki buyut Cungking, adalah tokoh yang dipercaya oleh warga sekitar.
Konon, dulunya warga sekitar ditempa oleh berbagai bencana. Mulai dari paceklik hingga penyakit yang melanda warga desa. Namun, setibanya buyut Cungking (Kuncung Wingking) di desa tersebut dia melakukan apapun sehingga warga desa menjadi makmur dan terhindar dari bencana.
tradisi itu adalah Resik Lawon (membesihkan kain kafan). Ritual tersebut digelar antara tanggal 10 sampai 15 Ruwah dalam kalender Jawa pada Kamis atau Minggu.
Untuk tahun ini, ritual yang diadakan setiap tahun tersebut jatuh pada hari Kamis Awalnya mereka membersihkan dengan cara menyapu makam Ki Buyut Cungking lalu mereka membuka kain kafan penutup makam. Warga kemudian secara bergotong royong membawa kain kafan ke Dam Krambatan Banyu Gulung yang berada di Kelurahan Banjarsari, Kecamatan Giri untuk dicuci. Lalu kain putih tersebut kembali dibawa ke Balai Tajuk untuk dibilas dan diperas.
Untuk ritual penyucian kain ini hanya dilakukan oleh kaum laki-laki, sedangkan kaum perempuan menyiapkan masakan.
Banyak warga masyarakat yang meyakini manfaat dari air perasan kain lawon tesebut. Mereka berebut bekas air perasan dari kain kafan. ‘’Apabila meminum bekas air perasan tersebut akan awet muda, mendapat keberkahan serta kesehatan,’’ kata Ahmad warga sekitar.
Untuk setiap lembar kain akan diperas dan dibilas selama 3 kali dalam dua bak yang berbeda.
"Tradisi ini sudah kami lakukan selama ratusan tahun untuk mengawali bulan Ramadhan. Agar jiwa kita baru dan suci pada saat melaksanakan puasa di bulan Ramadhan. Selain itu nanti pada saat Ramadhan dan Syawal kain kafan yang digunakan menutup makam sudah bersih," jelas Jam'i Abdul Ghani (57) juru kunci makam Ki Buyut Cungking
Menurut Jam'i, setiap tahun masyarakat Cungking selalu melakukan tradisi tersebut karena jika tidak dilaksanakan mereka percaya akan terjadi bencana di daerah mereka. "Buyut Cungking merupakan sesepuh yang membangun daerah Banyuwangi yang dulu masih masuk Kerajaan Blambangan. Ritual ini kami lakukan salah satunya sebagai bentuk penghormatan atas jasa beliau," ungkap lelaki yang mengaku garis keturunan kesembilan dari penjaga makam.
Setelah kain putih tersebut dibilas dan diperas, maka secara gotong royong masyarakat lingkungan Cungking menjemur kain sepanjang 110,75 meter tersebut di tengah jalan dengan bantuan bambu dan juga tali tambang warna hitam. Tidak boleh kena tanah itu salah satu syaratnya.
Nantinya setelah kering, kain tersebut akan dilipat dan disimpan di Balai Tajuk selama satu minggu lalu akan dilabuh (dipendam) di sekitar makam Ki Buyut Cungking. "Walaupun masih layak, tidak ada satu pun warga yang berani mengambil kain kafan tersebut karena jika mereka nekat mengambil maka akan terjadi bala. Sedangkan untuk kain pengganti, warga di sini menyumbang dengan sukarela dan dijahit bersama-sama," kata Jam'i.
Tradisi Resik Lawon tersebut ditutup dengan nyekar ke makam Buyut Cungking sebagai permintaan maaf apabila ada kesalahan selama upacara berlangsung.
MAKA merupakan salah satu tradisi sakral dalam budaya Bima. Tradisi ini berupa ikrar kesetiaan kepada raja/sultan atau pemimpin, sebagai wujud bahwa ia bersumpah akan melindungi, mengharumkan dan menjaga kehormatan Dou Labo Dana Mbojo (bangsa dan tanah air). Gerakan utamanya adalah mengacungkan keris yang terhunus ke udara sambil mengucapkan sumpah kesetiaan. Berikut adalah teks inti sumpah prajurit Bima: "Tas Rumae… Wadu si ma tapa, wadu di mambi’a. Sura wa’ura londo parenta Sara." "Yang mulia tuanku...Jika batu yang menghadang, batu yang akan pecah, jika perintah pemerintah (atasan) telah dikeluarkan (diturunkan)." Tradisi MAKA dalam Budaya Bima dilakukan dalam dua momen: Saat seorang anak laki-laki selesai menjalani upacara Compo Sampari (ritual upacara kedewasaan anak laki-laki Bima), sebagai simbol bahwa ia siap membela tanah air di berbagai bidang yang digelutinya. Seharusnya dilakukan sendiri oleh si anak, namun tingkat kedewasaan anak zaman dulu dan...
Wisma Muhammadiyah Ngloji adalah sebuah bangunan milik organisasi Muhammadiyah yang terletak di Desa Sendangagung, Kecamatan Minggir, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Wisma ini menjadi pusat aktivitas warga Muhammadiyah di kawasan barat Sleman. Keberadaannya mencerminkan peran aktif Muhammadiyah dalam pemberdayaan masyarakat melalui pendekatan dakwah dan pendidikan berbasis lokal.
SMP Negeri 1 Berbah terletak di Tanjung Tirto, Kelurahan Kalitirto, Kecamatan Berbah, Sleman. Gedung ini awalnya merupakan rumah dinas Administratuur Pabrik Gula Tanjung Tirto yang dibangun pada tahun 1923. Selama pendudukan Jepang, bangunan ini digunakan sebagai rumah dinas mandor tebu. Setelah Indonesia merdeka, bangunan tersebut sempat kosong dan dikuasai oleh pasukan TNI pada Serangan Umum 1 Maret 1949, tanpa ada yang menempatinya hingga tahun 1951. Sejak tahun 1951, bangunan ini digunakan untuk kegiatan sekolah, dimulai sebagai Sekolah Teknik Negeri Kalasan (STNK) dari tahun 1951 hingga 1952, kemudian berfungsi sebagai STN Kalasan dari tahun 1952 hingga 1969, sebelum akhirnya menjadi SMP Negeri 1 Berbah hingga sekarang. Bangunan SMP N I Berbah menghadap ke arah selatan dan terdiri dari dua bagian utama. Bagian depan bangunan asli, yang sekarang dijadikan kantor, memiliki denah segi enam, sementara bagian belakangnya berbentuk persegi panjang dengan atap limasan. Bangunan asli dib...
Pabrik Gula Randugunting menyisakan jejak kejayaan berupa klinik kesehatan. Eks klinik Pabrik Gula Randugunting ini bahkan telah ditetapkan sebagai cagar budaya di Kabupaten Sleman melalui SK Bupati Nomor Nomor 79.21/Kep.KDH/A/2021 tentang Status Cagar Budaya Kabupaten Sleman Tahun 2021 Tahap XXI. Berlokasi di Jalan Tamanmartani-Manisrenggo, Kalurahan Tamanmartani, Kapanewon Kalasan, Kabupaten Sleman, pabrik ini didirikan oleh K. A. Erven Klaring pada tahun 1870. Pabrik Gula Randugunting berawal dari perkebunan tanaman nila (indigo), namun, pada akhir abad ke-19, harga indigo jatuh karena kalah dengan pewarna kain sintesis. Hal ini menyebabkan perkebunan Randugunting beralih menjadi perkebunan tebu dan menjadi pabrik gula. Tahun 1900, Koloniale Bank mengambil alih aset pabrik dari pemilik sebelumnya yang gagal membayar hutang kepada Koloniale Bank. Abad ke-20, kemunculan klinik atau rumah sakit di lingkungan pabrik gula menjadi fenomena baru dalam sejarah perkembangan rumah sakit...
Kompleks Panti Asih Pakem yang terletak di Padukuhan Panggeran, Desa Hargobinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, merupakan kompleks bangunan bersejarah yang dulunya berfungsi sebagai sanatorium. Sanatorium adalah fasilitas kesehatan khusus untuk mengkarantina penderita penyakit paru-paru. Saat ini, kompleks ini dalam kondisi utuh namun kurang terawat dan terkesan terbengkalai. Beberapa bagian bangunan mulai berlumut, meskipun terdapat penambahan teras di bagian depan. Kompleks Panti Asih terdiri dari beberapa komponen bangunan, antara lain: Bangunan Administrasi Paviliun A Paviliun B Paviliun C Ruang Isolasi Bekas rumah dinas dokter Binatu dan dapur Gereja