Senjata dan Alat Perang
Senjata dan Alat Perang
Budaya, Tradisi Sulawesi Selatan Sulawesi-Selatan
Tradisi “Mattappi” Dan “Makkawali”
- 23 Januari 2016

“Tappi” (keris) dan “Kawali” (badik) adalah dua senjata tajam (parEwa matareng) yang berbeda fungsi pemakaiannya, meskipun dinilai sama-sama bukan peralatan utama dalam peperangan. Pada beberapa Kerajaan di Sulawesi Selatan semisalkan Bone, Gowa, Soppeng, Sidenreng, Tanete dan lainnya, menempatkan Tappi pada strata Senjata Agung dan bahkan dijadikan sebagai regalia. Maka setiap rumpun keluarga Bangsawan mewariskan “tappi” kepada setiap pelanjut generasinya yang dipandang paling berkompeten dalam rumpung itu. Olehnya itu, Tappi dinilai bukan sebagai senjata, melainkan lambang kehormatan suatu rumpun keluarga Bangsawan pada zaman dahulu.

Sebagai perlambang yang memanifestasikan suatu kaum maupun suatu Kerajaan, Tappi bahkan dijadikan sebagai perlambang pangkat/jabatan. Tatkala seorang Raja atau pejabat adat berhalangan untuk hadir dalam suatu undangan perhelatan, kerap mengirim Tappi-nya ke acara tersebut sebagai syarat kehadirannya. Bahkan bagi seorang Raja maupun Pangeran pada zaman dulu, jika hendak menikahi seorang perempuan yang berderajat “sama” ataupun “To DEcEng”, biasanya hanya mewakilkannya pada “tappi’na” yang dibawa oleh seorang pengikutnya (joana).

 

Tappi adalah perlambang kehormatan seseorang maupun kaum sehingga dengan mengenakannya, maka ia bisa dikenali bahwa pemakainya itu berasal dari suatu strata tertentu. Semisalkan seseorang mengenakan Tappi bergagang gigi taring berukir dan sampirnya (pallajarengna) dibungkus logam mulia (emas/perak) berukir, maka dikenallah ia sebagai seorang Bangsawan Tinggi yang setidaknya berpredikat “RajEng Matase’” ataupun bahkan “sangaji”. Terlebih pula jika warangkanya (wanuanna) terbungkus full logam mulia bertatahkan permata, maka bisa saja ia merupakan seorang “arung” yang berderajat Sangaji atau RajEng dari Kerajaan TellumpoccoE ataupun Tellu BoccoE. Maka Tappi sesungguhnya adalah “tanda pangkat” bagi seseorang, maupun suatu kaum, bahkan bagi suatu Kerajaan.

Lain halnya dengan “kawali” (badik), yang dipakai secara umum, yakni kaum bangsawan maupun masyarakat secara umum. Berbeda halnya dengan tappi yang merupakan perlambang kaum atau derajat kebangsawanan, kawali adalah lambing “Siri na PessE” (harkat dan kemanusiaan). Maka kawali adalah perlambang “Hak Azasi”. Sebagaimana halnya dengan pameo masyarakat Bugis, Makassar dan Mandar yang menyatakan : “Tania boranE narEkko dE’ nakkawali, nasaba’ passullE buku arusu’i ritu kawaliE lao risEsEna orowanEdE” (bukanlah lelaki jika tidak membawa badik, karena kawali itu adalah pengganti tulang rusuk bagi lelaki). Bahwa kaum Adam dipercayai jika rusuk kirinya berkurang satu sebagai bahan penciptaan Hawa, maka sesungguhnya seorang lelaki dianggap tidak lengkap jika tidak menyelipkan sebialah badik di pinggang kirinya.

Badik sebagai perlambang “hak azasi”, maka dalam setiap kesempatan, seorang lelaki haruslah mempertahankan badiknya dengan taruhan nyawa. Disebabkan karena ukurannya yang tidak terlalu besar, maka kawali bukanlah senjata perang yang ideal sebagai tombak (bessi/poke) ataupun kelewang (alameng/pEnai’/sonri’ lampE/sinangkE). Namun dipandang dari ukurannya yang pendek, maka badik digunakan sebagai senjata jarak dekat yang dipandang ideal digunakan dalam “sigajang laleng lipa’” (baku tikam dalam satu sarung) ataupun “sigajang siakkaluttureng” (baku tikam yang didahului dengan prosesi saling berhadapan dengan posisi berlutut). Namun bagaimanapun itu, kawali adalah personifikasi paling luhur bagi kehormatan diri bagi setiap pribadi. Bahkan lebih dari itu, kawali sebagai lambing harkat diri bahkan seringkali dipilah dari martabat jabatan, hingga setiap orang berhak menyatakan : “dE’gaga Puangna kawalikku sangadinna Allah Ta’ala” (tiada Tuhan bagi badikku selain Allah Ta’ala).

Menyangkut perihal mengenakan kedua jenis senjata pusaka ini, pada zaman dahulu hingga sekarang senantiasa mengenakan keduanya dalam berbusana adat. Petta MatinroE ri Lariangbangi, seorang Pangeran Bone menuliskan risalah adat istiadat “Ade’ Maraja” yang juga dicantumkan dalam bab Lontara Latoa, menyatakan bahwa kedua pusaka tersebut adalah aksesoris pelengkap (parEwa sampu) tatkala menghadap seorang terhormat (tomalebbi) maupun seorang Arung (raja). Hal yang sama dituliskan dalam Lontara Pangadereng Luwu (lembar 16-17) bahwa : “ripatetti’i lE cappa’ passapuE//ripasonrEtoi lE pamiringngE//naritappina lE kawaliE//ripaware’i lE gajangngE//risio sumange’ lE talibennangna//mappakaraja lE riolona DatuE” (dijatuhkanlah ujung destar//dimiringkan pulalah songkok pamiring//disematkan di pinggang badik itu//dilintangkanlah keris//diikat semangatnya dengan tali benang //seraya menghormat dihadapan Raja). Olehnya itu, dengan menyematkan badik dan keris justru merupakan bagian penghormatan jika menghadap seorang Raja.

Bahwa perbedaan protokoler Eropa dan Sulawesi Selatan sesungguhnya berlawanan arah. Seorang Eropa ketika menghadap seseorang yang dihormatinya, maka dibukanyalah topi atau penutup kepalanya. Sebaliknya, semua adat dan istiadat di Sulawesi Selatan dan Barat jika menghadap seorang yang dimuliakan, dengan sedapat mungkin menutupi kepalanya, meski dengan secarik sapu tangan. Selain menutupi kepala, seorang yang memahami adat sopan santun (Tomakkiade’) dengan serta merta mengenakan busana terbaiknya untuk menghadap ataupun menerima seorang lain yang dimuliakannya. Tatkala seorang terhormat datang bertamu di rumahnya, maka ia tergopoh-gopoh mempersilahkan tamunya duduk lalu meminta permisi masuk kedalam. Ia mengenakan sarung, baju dan songkok terbaiknya lalu menghadap tamu agungnya yang “menunggu” di ruang tamu. Demikian pula jika ia hendak menghadap seorang Raja di Istana (Langkana/Saoraja/Balla’ Lompoa/Salassa/SapolohE), dikenakannya busana terbaiknya, termasuk menyematkan badik dan keris yang diikatnya dengan tali benang (passio sumange’)sebagai tanda hormat dan kesetiaan terhadap Rajanya.

Namun pada masa ini, ada-ada saja oknum yang tidak tahu aturan Adat yang berlaku universal di Sulawesi Selatan dan Barat ini. Dianggapnya bahwa setiap orang yang hendak menghadap Datu, maka ia harus “dilucuti” senjatanya. Padahal melucuti senjata, utamanya Kawali dan Tappi seseorang adalah “penistaan” terhadap orang itu. Walaupun tradisi “mabbueng tappi” (melucuti keris) sesungguhnya ada dalam khazanah Adat Istiadat Sulawesi Selatan, namun hal tersebut diberlakukan bagi seorang “taklukan”. Namun jika abdi, kerabat ataupun sahabat dari Datu (Raja) yang menghadap, maka dianggap “pantang” (popo gamaru) jika dilucuti senjatanya. Hal yang serupa dialami oleh KaraEng Abdul Hamid DaEng MangallE yang ketika hendak menghadap Raja Siam Phra Narai, beliau hendak dilucuti badik dan kerisnya. Maka beliau menolak dengan keras seraya mengamuk. Hingga beberapa hari kemudian, beliau beserta segenap warga Kampung Makassar di Thailand (Siam) berperang hingga gugur di negeri rantau jauh itu. Demikian pula tatkala Arung Matoa Wajo XLIV La OddangpEro Petta MatinroE ri Masigi’na hendak dilucuti oleh pasukan Bone dibawah Ahmad Singkerru’rukka Petta PonggawaE Bone dalam penghujung Abad 19, Sribaginda menolak keras. Hal yang kemudian didukung oleh We PalettEi Petta Paddanreng Tuwa, maka Petta PonggawaE yang sesungguhnya memenangkan perang itu mengalah, demi menghargai harkat dan martabat kemanusiaan dalam ranah Assipakalebbireng.

Maka sesungguhnya, mengenakan Kawali dan Tappi adalah “Ade’ pura Onro” (ketetapan adat permanent) yang diatur oleh “Ade’ Maraja” (adat Istiadat Istana) yang mesti diketahui oleh setiap orang yang hendak memahami adat istiadat yang sesungguhnya. Kadang-kadang ada saja orang yang menetapkan aturannya sendiri dengan “melarang” orang untuk menyematkan senjata pusaka dihadapan Datu, padahal ia sendiri melanggar Protap Utama, yaitu : mengenakan Songkok Pamiring yang lebih Tinggi dari Sang Datu sendiri dihadapan Datu. Subhanallah.

Wallahualam Bissawwab.

Sumber :

oleh To Sessungriu

 

Diskusi

Silahkan masuk untuk berdiskusi.

Daftar Diskusi

Rekomendasi Entri

Gambar Entri
Tradisi MAKA
Seni Pertunjukan Seni Pertunjukan
Nusa Tenggara Barat

MAKA merupakan salah satu tradisi sakral dalam budaya Bima. Tradisi ini berupa ikrar kesetiaan kepada raja/sultan atau pemimpin, sebagai wujud bahwa ia bersumpah akan melindungi, mengharumkan dan menjaga kehormatan Dou Labo Dana Mbojo (bangsa dan tanah air). Gerakan utamanya adalah mengacungkan keris yang terhunus ke udara sambil mengucapkan sumpah kesetiaan. Berikut adalah teks inti sumpah prajurit Bima: "Tas Rumae… Wadu si ma tapa, wadu di mambi’a. Sura wa’ura londo parenta Sara." "Yang mulia tuanku...Jika batu yang menghadang, batu yang akan pecah, jika perintah pemerintah (atasan) telah dikeluarkan (diturunkan)." Tradisi MAKA dalam Budaya Bima dilakukan dalam dua momen: Saat seorang anak laki-laki selesai menjalani upacara Compo Sampari (ritual upacara kedewasaan anak laki-laki Bima), sebagai simbol bahwa ia siap membela tanah air di berbagai bidang yang digelutinya. Seharusnya dilakukan sendiri oleh si anak, namun tingkat kedewasaan anak zaman dulu dan...

avatar
Aji_permana
Gambar Entri
Wisma Muhammadiyah Ngloji
Produk Arsitektur Produk Arsitektur
Daerah Istimewa Yogyakarta

Wisma Muhammadiyah Ngloji adalah sebuah bangunan milik organisasi Muhammadiyah yang terletak di Desa Sendangagung, Kecamatan Minggir, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Wisma ini menjadi pusat aktivitas warga Muhammadiyah di kawasan barat Sleman. Keberadaannya mencerminkan peran aktif Muhammadiyah dalam pemberdayaan masyarakat melalui pendekatan dakwah dan pendidikan berbasis lokal.

avatar
Bernadetta Alice Caroline
Gambar Entri
SMP Negeri 1 Berbah
Produk Arsitektur Produk Arsitektur
Daerah Istimewa Yogyakarta

SMP Negeri 1 Berbah terletak di Tanjung Tirto, Kelurahan Kalitirto, Kecamatan Berbah, Sleman. Gedung ini awalnya merupakan rumah dinas Administratuur Pabrik Gula Tanjung Tirto yang dibangun pada tahun 1923. Selama pendudukan Jepang, bangunan ini digunakan sebagai rumah dinas mandor tebu. Setelah Indonesia merdeka, bangunan tersebut sempat kosong dan dikuasai oleh pasukan TNI pada Serangan Umum 1 Maret 1949, tanpa ada yang menempatinya hingga tahun 1951. Sejak tahun 1951, bangunan ini digunakan untuk kegiatan sekolah, dimulai sebagai Sekolah Teknik Negeri Kalasan (STNK) dari tahun 1951 hingga 1952, kemudian berfungsi sebagai STN Kalasan dari tahun 1952 hingga 1969, sebelum akhirnya menjadi SMP Negeri 1 Berbah hingga sekarang. Bangunan SMP N I Berbah menghadap ke arah selatan dan terdiri dari dua bagian utama. Bagian depan bangunan asli, yang sekarang dijadikan kantor, memiliki denah segi enam, sementara bagian belakangnya berbentuk persegi panjang dengan atap limasan. Bangunan asli dib...

avatar
Bernadetta Alice Caroline
Gambar Entri
Pabrik Gula Randugunting
Produk Arsitektur Produk Arsitektur
Daerah Istimewa Yogyakarta

Pabrik Gula Randugunting menyisakan jejak kejayaan berupa klinik kesehatan. Eks klinik Pabrik Gula Randugunting ini bahkan telah ditetapkan sebagai cagar budaya di Kabupaten Sleman melalui SK Bupati Nomor Nomor 79.21/Kep.KDH/A/2021 tentang Status Cagar Budaya Kabupaten Sleman Tahun 2021 Tahap XXI. Berlokasi di Jalan Tamanmartani-Manisrenggo, Kalurahan Tamanmartani, Kapanewon Kalasan, Kabupaten Sleman, pabrik ini didirikan oleh K. A. Erven Klaring pada tahun 1870. Pabrik Gula Randugunting berawal dari perkebunan tanaman nila (indigo), namun, pada akhir abad ke-19, harga indigo jatuh karena kalah dengan pewarna kain sintesis. Hal ini menyebabkan perkebunan Randugunting beralih menjadi perkebunan tebu dan menjadi pabrik gula. Tahun 1900, Koloniale Bank mengambil alih aset pabrik dari pemilik sebelumnya yang gagal membayar hutang kepada Koloniale Bank. Abad ke-20, kemunculan klinik atau rumah sakit di lingkungan pabrik gula menjadi fenomena baru dalam sejarah perkembangan rumah sakit...

avatar
Bernadetta Alice Caroline
Gambar Entri
Kompleks Panti Asih Pakem
Produk Arsitektur Produk Arsitektur
Daerah Istimewa Yogyakarta

Kompleks Panti Asih Pakem yang terletak di Padukuhan Panggeran, Desa Hargobinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, merupakan kompleks bangunan bersejarah yang dulunya berfungsi sebagai sanatorium. Sanatorium adalah fasilitas kesehatan khusus untuk mengkarantina penderita penyakit paru-paru. Saat ini, kompleks ini dalam kondisi utuh namun kurang terawat dan terkesan terbengkalai. Beberapa bagian bangunan mulai berlumut, meskipun terdapat penambahan teras di bagian depan. Kompleks Panti Asih terdiri dari beberapa komponen bangunan, antara lain: Bangunan Administrasi Paviliun A Paviliun B Paviliun C Ruang Isolasi Bekas rumah dinas dokter Binatu dan dapur Gereja

avatar
Bernadetta Alice Caroline