Tidak selalu musim kemarau menjadi momok menakutkan bagi masyarakat. Musim yang dikenal dengan keadaan gersang dan bersuhu panas ini dapat membuat sebuah daerah menjadi kekeringan. Tetapi hal ini berbeda yang dirasakan oleh masyarakat di Kabupaten Musi Banyuasin (Muba) khususnya Kecamatan Lawang Wetan, Sekayu dan Lais malahan sebaliknya menerima dengan suka cita. Karena musim kemarau memberikan tradisi yang menghangatkan.
Pada musim kemarau, masyarakat di sekitar tersebut berbondong-bondong untuk melaksanakan ritual untuk bersosialisasi. Tradisi yang hanya bisa dijumpai satu kali dalam satu tahun ini memang berbeda dengan kebanyakan tradisi yang ada. Mandi bongen berarti mandi dengan pasir, kedua kata tersebut berasal dari bahasa Sekayu, yaitu Mani atau Mandi yang berarti Mandi, sedangkan Bongen artinya Pasir. Maka kebudayaan Mandi bongen adalah kebudayaan mandi dengan pasir masyarakat pesisir Sungai Musi Kota Sekayu di waktu Sungai Musi dangkal.
Kejadian ini terjadi dikarenakan mengeringnya air Sungai Musi, biasanya kita dapat melihat pemandangan tersebut di belakang rumah-rumah masyarakat Sekayu. Karena melihat keadaan tersebut, biasanya masyarakat tidak menyia-siakan untuk berekreasi dengan mandi di sungai Musi yang penuh dengan pasir atau bongen, banyak kalangan yang melakukan mandi bongen mulai dari anak-anak, orang tua, remaja, bahkan sesekali ada wisatawan yang berkesempatan untuk ikut merasakan mandi bongen ini. Kebudayaan mandi bongen ini juga tidak hanya dilakukan masyarakat golongan tertentu saja, akan tetapi semua lapisan atau golongan masyarakat berpartisipasi untuk ikut memeriahkan tradisi mandi bongen tersebut.
Budaya Mandi bongen salah satu tradisi yang banyak menimbulkan opini-opini berkaitan dengan tradisi mitos, alam, serta sejarahnya yang sangat kompleks sekali. Mandi bongendi kalangan masyarakat Sekayu, Musi Banyuasin tidak hanya sekadar menjadi tradisi saja tetapi banyak sekali nilai-nilai budaya yang bisa diaplikasikan ke dalam kehidupan masyarakat sehari-hari.
Mempererat Tali Persaudaraan
Pada saat bongen luas, banyak masyarakat yang mandi di atas pasir karena airnya terasa lebih segar. Bahkan, bongen ini akan dipenuhi masyarakat berbagai usia dari pagi hingga sore hari. Tidak hanya aktivitas mandi di atas pasirnya saja yang membuat tradisi ini berbeda dengan tradisi lainnya. Mitos masyarakat juga berkembang seiring dengan berjalannya tradisi ini setiap tahunnya. Sehingga sering kali banyak persepsi mengenai mandi bongen ini, ada yang mengatakan bahwa jika orang jauh atau bukan orang daerah tersebut maka harus hati-hati karena bisa saja orang asing tersebut tenggelam, atau bahkan digigit buaya.
Selain itu juga masyarakat masih mempercayai jika ada korban yang tenggelam ke dasar sungai disebabkan oleh adanya inung ruguk, atau sejenis makhluk halus yang diyakini masyarakat penghuni sungai Musi. Fenomena masyarakat yang tertarik ke dalam permukaan pasir sungai juga diyakini oleh masyarakat sebagai korban dari antu ayo(Hantu Sungai Musi). Adanya hal tersebut menyebabkan masyarakat waspada dalam berekreasi dan berusaha menghormati penunggu sungai Musi. Sampai sekarangpun masyarakat masih melakukan tradisi mandi bongen ini sebagai tradisi tahunan masyarakat kabupaten Musi Banyuasin walaupun mereka tetap meyakini mitos-mitos tersebut.
Uniknya kegiatan yang ada dalam tradisi ini dan juga kentalnya kepercayaan masyarakat terhadap mitos hantu penunggu Sungai Musi yang ada di setiap tradisi ini dilakukan tidak membuat tradisi ini mati begitu saja. Kentalnya nilai persaudaraan di antara masyarakat Sekayu, Musi Banyuasin membuat tradisi ini semakin hidup sepanjang tahunnya. Karena mereka menyadari bahwa tradisi mandi bongen bukanlah tradisi yang membuat kerusakan pada desa. Malahan semakin membuat masyarakat erat.
Apalagi menurut kepercayaan masyarakat Sekayu tradisi ini akan terasa lebih meriah jika dilakukan bersama-sama keluarga terdekat dan juga masyarakat sekitar lainnya. Tidak ada perasaan kesal yang menyelimuti wajah masyarakat selama tradisi ini berlangsung, hanya ada keceriaan dan kentalnya nuansa persahabatan diantara masyarakat Sekayu. Selain itu masyarakat juga dituntut untuk lebih sportif saat bermain sepak bola dan bola voli yang merupakan bagian dari acara tradisi tahunan mandi bongen ini. Setiap kegiatan yang dilakukan dalam tradisi ini memang terkesan biasa saja namun nilai persatuan dan kesatuan di antara para masyarakat inilah yang tidak bisa dibeli dengan apapun, tradisi mandi bongen ini merupakan salah satu cerminan budaya masyarakat Musi Banyuasian yang berusaha untuk mempersatukan seluruh lapisan masyarakat.
Dengan adanya persatuan di antara masyarakat maka setiap lapisan masyarakat akan berusaha untuk menjaga tali persabahatan yang sudah terjalin selama ini. Masyarakat Musi Banyuasin melalui tradisi mandi bongen ini berusaha meunjukkan kepada kita, bagaimana sebuah persahabatan, persatuan dan kesatuan itu tetap ada walaupun dari kalangan yang berbeda. Hal ini sangat jarang berbanding terbalik dengan keadaan masyarakat perkotaan yang hidup dengan sendiri-sendiri dan jarang mengenal orang-orang sekitarnya.
Sumber : https://www.gentaandalas.com/tradisi-mandi-bongen-di-sekayu/
Vila Van Resink adalah bangunan cagar budaya berbentuk vila yang terletak di Jalan Siaga, Kalurahan Hargobinangun, Kapanewon Pakem, Kabupaten Sleman, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Pemilik awal vila ini adalah Gertrudes Johannes "Han" Resink, seorang anggota Stuw-groep , sebuah organisasi aktif pada Perang Dunia II yang memperjuangkan kemerdekaan dan pembentukan negara demokratis Hindia Belanda. Bangunan tersebut dibangun pada masa pemerintah Hindia Belanda sebagai bagian dari station hill (tempat tetirah pada musim panas yang berada di pegunungan) untuk boschwezen dienst (pejabat kehutanan Belanda). Pada era Hamengkubuwana VII, kepengelolaan Kaliurang (dalam hal ini termasuk bangunan-bangunan yang berada di wilayah tersebut) diserahkan kepada saudaranya yang bernama Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Mangkubumi. Tanah tersebut lantas dimanfaatkan untuk perkebunan nila, tetapi kegiatan itu terhenti kemudian hari karena adanya reorganisasi pertanian dan ekonomi di Vors...
Gereja Kristen Jawa (GKJ) Pakem Kertodadi adalah salah satu gereja di bawah naungan sinode Gereja Kristen Jawa, yang terletak di Jalan Kaliurang km. 18,5, Padukuhan Kertadadi, Kalurahan Pakembinangun, Kapanewon Pakem, Kabupaten Sleman, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Awal mula pertumbuhan jemaat gereja ini berkaitan dengan keberadaan Rumah Sakit Paru-Paru Pakem, cabang dari Rumah Sakit Petronela (Tulung), yang didirikan di wilayah Hargobinangun. Sebelum tahun 1945, kegiatan keagamaan umat Kristen diadakan secara sederhana dalam bentuk renungan atau kebaktian pagi yang berlangsung di klinik maupun apotek rumah sakit yang dikenal dengan nama "Loteng". Para perawat di rumah sakit tersebut juga melakukan pelayanan kesehatan ke dusun-dusun di sekitarnya, yaitu Tanen, Sidorejo, Purworejo, dan Banteng. Menurut Notula Rapat Gerejawi, jemaat gereja ini mengadakan penetapan majelis yang pertama kali pada 21 April 1945. Tanggal tersebut lantas disepakati sebagai hari jadi GKJ Pa...
Situs Cepet Pakem adalah situs arkeologi yang terletak di Padukuhan Cepet, Kalurahan Purwobinangun, Kapanewon Pakem, Kabupaten Sleman, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Berdasarkan temuan dua buah yoni dan sejumlah komponen arsitektur candi di sekitarnya, situs ini diduga merupakan reruntuhan sebuah candi Hindu dari masa klasik. Lokasinya kini berada di area permakaman umum Padukuhan Cepet, berdekatan dengan sebuah masjid. Benda cagar budaya (BCB) utama yang ditemukan di situs ini adalah dua buah yoni yang terbuat dari batu andesit. Kondisi keduanya telah rusak, sedangkan lingganya tidak ditemukan. Yoni pertama awalnya berada di pekarangan penduduk bernama Pujodiyono, tetapi sekarang dipindahkan di halaman makam. Yoni ini memiliki ukuran relatif besar dengan bentuk yang sederhana, yaitu lebar 134 sentimeter, tebal 115 sentimeter, dan tinggi 88 sentimeter. Bagian bawah cerat yoni tersebut tidak bermotif dan memberikan kesan bahwa pengerjaannya belum selesai. Sementara itu, terdap...
Situs Potro atau Pancuran Buto Potro adalah situs arkeologi yang terletak di Padukuhan Potro, Kalurahan Purwobinangun, Kapanewon Pakem, Kabupaten Sleman, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Situs ini terdiri atas dua benda cagar budaya (BCB) utama yang seluruhnya terbuat dari batu andesit, yaitu jaladwara dan peripih. Jaladwara di situs ini oleh masyarakat setempat dikenal dengan nama Pancuran Buto, karena bentuknya menyerupai kepala raksasa (kala) dengan mulut terbuka, gigi bertaring, dan ukirannya menyerupai naga. Sementara itu, keberadaan peripih berukuran cukup besar di situs ini menimbulkan dugaan bahwa pernah berdiri sebuah bangunan keagamaan di sekitar lokasi, kemungkinan sebuah candi, meskipun bentuk dan coraknya tidak dapat dipastikan karena minimnya artefak yang tersisa.
Resep Sambal Matah Bahan-bahan: Bawang Merah Cabai Rawit Daun Jeruk Sereh Secukupnya garam Minyak panas Pembuatan: Cincang bawang merah, cabai rawit, daun jeruk, dan juga sereh Campur semua bahan yang sudah dicincang dalam satu wadah Tambahkan garam secukupnya atau sesuai selera Masukkan minyak panas Aduk semuanya Sambal matah siap dinikmati