Wakatobi tak hanya memiliki keindahan bawah laut yang menawan. Kabupaten di Provinsi Sulawesi Tenggara ini juga punya kekayaan lain yaitu sumber daya manusia yang menghargai alam dan bangga dengan kesederhanaan dalam menjalani kehidupan sehari-hari.
Ada 8 suku yang tinggal di Wakatobi. Menurut data tahun 2000, suku bangsa terbanyak adalah Wakatobi 91,33 persen, Suku Bajau (Bajo) 7,92 persen, dan suku lainnya yang berjumlah kurang dari 1 persen.
Suku Bajo tersebar di beberapa wilayah di Wakatobi. Suku Bajo Mola bermukim di sekitar perairan Wangi-Wangi atau Wanci, Bajo Sampela, Lohoa dan Mantigola bermukim di perairan Kecamatan Kaledupa, dan Bajo Lamanggu bermukim di perairan kecamatan Tomia.
Suku Bajo Mantigola memiliki ciri khas tersendiri, mereka tak punya lahan tempat tinggal di Pulau Kaledupa. Masyarakat Bajo Mantigola yang biasa disebut orang laut itu memang sudah terbiasa hidup di laut.
"Suku Bajo itu unik, mereka dibilang primitif oleh orang luar, tapi navigasi laut mereka justru lebih maju dibandingkan orang darat," ujar Edi, pemandu wisata, kepada DetikTravel. Ya, saat melaut, orang Suku Bajo memang tak pernah menggunakan kompas atau alat navigasi.
Sejak zaman dahulu, Suku Bajo memang selalu berpindah-pindah tempat di semua negara yang memiliki pesisir pantai. Meski terbiasa hidup nomaden, ada satu tradisi yang tak pernah luntur dalam masyarakat Suku Bajo, yaitu tradisi Duata. Menurut kepercayaan warga setempat, Duata adalah dewa yang turun dari langit dan menjelma menjadi manusia.
Tradisi Duata merupakan puncak dari segala upaya pengobatan tradisional suku Bajo. Kebiasaan ini akan dilakukan bila ada salah satu di antara mereka mengalami sakit keras dan tak lagi dapat disembuhkan dengan cara lain termasuk pengobatan medis.
Saat menjalani prosesi Duata pengobatan, sejumlah tetua adat biasanya berkumpul di sebuah ruangan dan meramu jenis pelengkap ritual, seperti beras aneka warna, dupa, daun sirih, kelapa, dan pisang.
Sementara itu, orang yang akan diobati dibawa menuju ke laut dengan diiringi nyanyian lagu masyarakat Bajo yaitu lilligo dan tarian ngigal. Selesai dari laut, orang yang sakit dan tetua adat bertemu di tempat semula dan berlangsung lah pengobatan. Tak terbatas pada pengobatan, tradisi Duata juga dapat dilakukan dalam acara syukuran dan hajatan. Duata juga dilaksanakan saat menyambut tamu.
Tradisi tersebut sering ditampilkan saat Festival Budaya Wakatobi dan acara-acara lainnya yang mengundang banyak wisatawan, baik domestik mau pun mancanegara.
Duata juga merujuk pada sebuah tarian tradisonal yang dimainkan oleh gadis-gadis cantik di atas perahu atau rakit. Penari yang memainkan tarian tradisional tersebut diiringi dengan bunyi gamelan atau gong.
Untuk melihat kehidupan warga Suku Bajo, Anda bisa datang ke Kampung Bajo Mola. Di sana, pengunjung bisa menyaksikan aktivitas keseharian warga, mencoba makanan khas yang kebanyakan berupa hidangan laut, naik sampan keliling kampung, melihat lumba-lumba berenang bebas, sampai melihat kegiatan menyuluh atau mencari ikan dengan tombak.
sumber: https://beritagar.id/artikel/piknik/suku-bajo-dan-tradisi-duata-di-wakatobi
#SBJ
Resep Sambal Matah Bahan-bahan: Bawang Merah Cabai Rawit Daun Jeruk Sereh Secukupnya garam Minyak panas Pembuatan: Cincang bawang merah, cabai rawit, daun jeruk, dan juga sereh Campur semua bahan yang sudah dicincang dalam satu wadah Tambahkan garam secukupnya atau sesuai selera Masukkan minyak panas Aduk semuanya Sambal matah siap dinikmati
Bangunan GKJ Pakem merupakan bagian dari kompleks sanatorium Pakem, yang didirikan sebagai respon terhadap lonjakan kasus tuberculosis di Hindia-Belanda pada awal abad ke-20, saat obat dan vaksin untuk penyakit ini belum ditemukan. Sanatorium dibangun untuk mengkarantina penderita tuberculosis guna mencegah penularan. Keberadaan sanatorium di Indonesia dimulai pada tahun 1900-an, dengan pandangan bahwa tuberculosis adalah penyakit yang jarang terjadi di negara tropis. Kompleks Sanatorium Pakem dibangun sebagai solusi untuk mengatasi kekurangan kapasitas di rumah sakit zending di berbagai kota seperti Solo, Klaten, Yogyakarta, dan sekitarnya. Lokasi di Pakem, 19 kilometer ke utara Yogyakarta, dipilih karena jauh dari keramaian dan memiliki udara yang dianggap mendukung pemulihan pasien. Pembangunan sanatorium dimulai pada Oktober 1935 dan dirancang oleh kantor arsitektur Sindoetomo, termasuk pemasangan listrik dan pipa air. Sanatorium diresmikan oleh Sultan Hamengkubuwono VIII pada 23...
Bahan-bahan 4 orang 2 bungkus mie telur 4 butir telur kocok 1 buah wortel potong korek api 5 helai kol 1 daun bawang 4 seledri gula, garam, totole dan merica 1 sdm bumbu dasar putih Bumbu Dasar Putih Praktis 1 sdm bumbu dasar merah Meal Prep Frozen ll Stok Bumbu Dasar Praktis Merah Putih Kuning + Bumbu Nasi/ Mie Goreng merica (saya pake merica bubuk) kaldu jamur (totole) secukupnya kecap manis secukupnya saus tiram Bumbu Pecel 1 bumbu pecel instant Pelengkap Bakwan Bakwan Kriuk bawang goreng telur ceplok kerupuk Cara Membuat 30 menit 1 Rebus mie, tiriskan 2 Buat telur orak arik 3 Masukkan duo bumbu dasar, sayuran, tumis hingga layu, masukkan kecap, saus tiram, gula, garam, lada bubuk, penyedap, aduk hingga kecap mulai berkaramel 4 Masukkan mie telur, kecilkan / matikan api, aduk hingga merata 5 Goreng bakwan, seduh bumbu pecel 6 Siram diatas mie, sajikan dengan pelengkap
Wisma Gadjah Mada terletak di Jalan Wrekso no. 447, Kelurahan Hargobinangun, Kecamatan Pakem, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Wisma Gadjah Mada dimiliki oleh Universitas Gadjah Mada yang dikelola oleh PT GAMA MULTI USAHA MANDIRI. Bangunan ini didirikan pada tahun 1919 oleh pemiliknya orang Belanda yaitu Tuan Dezentje. Salah satu nilai historis wisma Gadjah Mada yaitu pada tahun 1948 pernah digunakan sebagai tempat perundingan khusus antara pemerintahan RI dengan Belanda yang diwakili oleh Komisi Tiga Negara yang menghasilkan Notulen Kaliurang. Wisma Gadjah Mada diresmikan oleh rektor UGM, Prof. Dr. T. Jacob setelah di pugar sekitar tahun 1958. Bangunan ini dikenal oleh masyarakat sekitar dengan Loji Cengger, penamaan tersebut dikarenakan salah satu komponen bangunan menyerupai cengger ayam. Wisma Gadjah Mada awalnya digunakan sebagai tempat tinggal Tuan Dezentje, saat ini bangunan tersebut difungsikan sebagai penginapan dan tempat rapat. Wisma Gadjah Mada memiliki arsitektur ind...
Bangunan ini dibangun tahun 1930-an. Pada tahun 1945 bangunan ini dibeli oleh RRI Yogyakarta, kemudian dilakukan renovasi dan selesai tanggal 7 Mei 1948 sesuai dengan tulisan di prasasti yang terdapat di halaman. Bangunan bergaya indis. Bangunan dilengkapi cerobong asap.