KALANGAN Ayodya di Taman Budaya Bali, malam itu begitu riuh. Gelak tawa dan tepuk tangan terus berganti. Penonton berjejalan. Duduk berdesak-desakan. Banyak yang akhirnya duduk lesehan di anak tangga. Tak sedikit yang memilih berdiri, atau bersandar di tembok pembatas jika sudah terlalu lelah berdiri.
Malam itu, Jumat 19 Agustus 2016, ratusan penonton rela berdesak-desakan untuk menyaksikan pementasan dari Komunitas Seni Tugek, yang bermarkas di Desa Carangsari, Kecamatan Petang. Malam itu begitu istimewa, karena para pemain yang naik panggung adalah para sesepuh di Sekaa Topeng Tugek. Mereka adalah Gusti Ngurah Windia (pemeran topeng tugek), Dayu Sugi, Nyoman Kanda, dan Gusti Made Gempur.
Komunitas Seni Tugek sebenarnya sudah kenyang dengan pengalaman jam terbang. Mereka pernah tampil pada Pesta Kesenian Bali 2015 dalam parade topeng panca, dan kembali hadir saat Pesta Kesenian Bali 2016 dalam lomba bondres. Namun kala itu para pemainnya adalah generasi muda, pewaris topeng tugek.
Malam itu pada acara Bali Mandara Mahalango III Tahun 2016, Komunitas Seni Tugek sengaja kembali diberikan tempat. Namun dengan catatan, pemainnya adalah para sepuh. Legenda hidup yang masih bertahan dan berkesenian di komunitas tersebut. Mereka menepati janjinya. Gusti Ngurah Windia, Dayu Sugi, Nyoman Kanda, dan Gusti Made Kempur, kembali naik panggung.
Tampil di hadapan ratusan penonton selama 2,5 jam penuh. Kebanyakan adalah masyarakat paruh baya yang juga fans setia topeng tugak. Mereka begitu rindu menyaksikan the living legend kembali tampil di atas panggung. Citra lucu dari para pemain masih melekat. Tawa terus muncul selama mereka tampil. Wibawa para pragina masih begitu kuat. Penonton dibuat bertahan menyaksikan pertunjukan. Waktu 2,5 jam pun terasa begitu singkat.
Topeng Tugek memang begitu legendaris. Tokoh topeng perempuan (yang ditarikan laki-laki) diperkirakan lahir pada tahun 1965 silam. Itu berarti usia topeng itu kini telah menginjak usia 51 tahun. Tatkala tokoh topeng tugek diciptakan, Gusti Ngurah Windia sang penari topeng tugek, baru berusia 20 tahun. Itu artinya sang penari sekarang sudah berusia 71 tahun.
Walau baru diciptakan pada tahun 1965, topeng tugek langsung melesat ketenarannya pada tahun 1970. Topeng ini menjadi pembicaraan di desa-desa. Bukan hanya di wilayah Badung Utara, namun di saentero Bali. Selama satu dasa warsa, sejak era 1970-an hingga era 1980-an, Topeng Tugek terus berkeliling Bali, bahkan hingga ke Los Angeles, Amerika Serikat.
Memainkan Beragam Topeng
Satu hal patut dicatat dari Topeng Tugek Carangsari adalah kepiawian mereka memainkan banyak peran dan karakter. Topeng Tugek-lah yang memperkenalkan sejumlah karakter unik dalam seni petopengan dan bebondresan yang kini terus berkembang.
Antara lain, Topeng Tugek memperkenalkan sekaligus menghidupkan karakter perempuan (yang terkenal dengan nama Tugek atau Luh Manik), karakter orang tuli yang mengundang kelucuan dengan segala bentuk miskomunikasinya, dan karakter orang dengan anatomi wajah berantakan serta artikulasi yang juga berantakan. Dalam seni pertunjukkan di Bali, karakter itu biasa disebut karakter kerakyatan.
Karakter-karakter itu biasanya dimainkan oleh satu pemain. Mereka – karakter rakyat dengan berbagai keunikan itu, muncul ketika cerita masuk pada babak di mana sebuah kerajaan menyelenggarakan upacara keagamaan. Rakyat satu persatu keluar untuk ngayah ke puri (istana).
Sebelum masuk puri, terjadi dialog antara punakawan Punta-Wijil dan rakyat dengan beragam karakter. Di situ terjadi dialog lucu. Bukan sekadar lucu, karena di dalam dialog itu kerap terkandung falsafah hidup bermasyarakat sekaligus otokritik dan kritik terhadap berbagai hal termasuk kritik terhadap kekuasaan. Bagian itulah yang disebut bebondresan. Dalam seni pertunjukkan di Jawa, bagian itu biasa juga disebut goro-goro.
Yang menarik, sekali lagi, peran rakyat dengan berbagai karakter itu biasanya diborong oleh satu pemain dengan berganti-ganti topeng. Beda dengan sekarang, seni pertunjukkan yang disebut bondres dimainkan oleh banyak pemain dan setiap pemain hanya memegang satu karkater atau hanya memainkan satu topeng.
Meski tak sebanyak peran yang dimainkan sekitar tahun 1970-an, saat acara Bali Mandara Mahalango di Taman Budaya, Sekaa Topeng Tugek ini juga menerapkan hal yang sama. Dengan empat orang personil saja, mereka harus bisa memainkan enam peran sekaligus. Meski rata-rata sudah berusia lanjut, keempatnya masih bisa membagi peran dengan apik. Mereka berhasil menjaga kekuatan fisik, sehingga bisa tampil secara bergantian dalam durasi yang cukup panjang.
“Beliau-beliau ini masih kuat menari, seperti dulu waktu tahun 1970-an waktu topeng tugek sedang tenar-tenarnya. Suaranya masih sama, taksunya juga terjaga. Memang kalah di fisik. Tapi saya juga nggak nyangka bisa sampai selama ini pentasnya,” ucap Gusti Ngurah Artawan, sang pewaris kesenian, sekaligus Koordinator Komunitas Seni Tugek.
Mempertahankan Gaya Carangsari
Artawan yang lebih akrab disapa Gung Tut mengaku sengaja meminta agar Komunitas Topeng Tugek kembali mendapat tempat malam itu. Permintaan itu disampaikan langsung kepada Dinas Kebudayaan Bali. Alasannya banyak penggemar-penggemar dari generasi 80-an hingga 90-an yang berharap bisa kembali menyaksikan penampilan penari-penari sepuh. Harapan itu acap disampaikan kala Komunitas Topeng Tugek tampil saat Pesta Kesenian Bali.
Dengan semangat nostalgia kembali, sekaligus mengobati kerinduan para penggemar, Gustut akhirnya memohon agar para penari sepuh bisa kembali pentas. Tak perlu waktu lama untuk mempersiapkan pementasan malam itu. Cukup dua kali pertemuan saja. Keahlian dalam memainkan seni pertunjukan klasik mereka tunjukkan kepada khalayak. Meski berusia sepuh, mereka ingin menunjukkan bahwa legenda topeng tugek tidak akan pernah mati, dan harus terus teringat.
Malam itu, mereka menutup pementasan dengan standing aplause dari penonton. Malam itu, kisah penampilan topeng tugek yang begitu melegenda seperti yang terjadi 20 tahun silam, kembali terulang. (T)
Sumber: http://www.tatkala.co/2016/08/25/topeng-tugek-carangsari-memainkan-topeng-mengolah-karakter/
https://www.youtube.com/watch?v=un5aoJL3AoQ
MAKA merupakan salah satu tradisi sakral dalam budaya Bima. Tradisi ini berupa ikrar kesetiaan kepada raja/sultan atau pemimpin, sebagai wujud bahwa ia bersumpah akan melindungi, mengharumkan dan menjaga kehormatan Dou Labo Dana Mbojo (bangsa dan tanah air). Gerakan utamanya adalah mengacungkan keris yang terhunus ke udara sambil mengucapkan sumpah kesetiaan. Berikut adalah teks inti sumpah prajurit Bima: "Tas Rumae… Wadu si ma tapa, wadu di mambi’a. Sura wa’ura londo parenta Sara." "Yang mulia tuanku...Jika batu yang menghadang, batu yang akan pecah, jika perintah pemerintah (atasan) telah dikeluarkan (diturunkan)." Tradisi MAKA dalam Budaya Bima dilakukan dalam dua momen: Saat seorang anak laki-laki selesai menjalani upacara Compo Sampari (ritual upacara kedewasaan anak laki-laki Bima), sebagai simbol bahwa ia siap membela tanah air di berbagai bidang yang digelutinya. Seharusnya dilakukan sendiri oleh si anak, namun tingkat kedewasaan anak zaman dulu dan...
Wisma Muhammadiyah Ngloji adalah sebuah bangunan milik organisasi Muhammadiyah yang terletak di Desa Sendangagung, Kecamatan Minggir, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Wisma ini menjadi pusat aktivitas warga Muhammadiyah di kawasan barat Sleman. Keberadaannya mencerminkan peran aktif Muhammadiyah dalam pemberdayaan masyarakat melalui pendekatan dakwah dan pendidikan berbasis lokal.
SMP Negeri 1 Berbah terletak di Tanjung Tirto, Kelurahan Kalitirto, Kecamatan Berbah, Sleman. Gedung ini awalnya merupakan rumah dinas Administratuur Pabrik Gula Tanjung Tirto yang dibangun pada tahun 1923. Selama pendudukan Jepang, bangunan ini digunakan sebagai rumah dinas mandor tebu. Setelah Indonesia merdeka, bangunan tersebut sempat kosong dan dikuasai oleh pasukan TNI pada Serangan Umum 1 Maret 1949, tanpa ada yang menempatinya hingga tahun 1951. Sejak tahun 1951, bangunan ini digunakan untuk kegiatan sekolah, dimulai sebagai Sekolah Teknik Negeri Kalasan (STNK) dari tahun 1951 hingga 1952, kemudian berfungsi sebagai STN Kalasan dari tahun 1952 hingga 1969, sebelum akhirnya menjadi SMP Negeri 1 Berbah hingga sekarang. Bangunan SMP N I Berbah menghadap ke arah selatan dan terdiri dari dua bagian utama. Bagian depan bangunan asli, yang sekarang dijadikan kantor, memiliki denah segi enam, sementara bagian belakangnya berbentuk persegi panjang dengan atap limasan. Bangunan asli dib...
Pabrik Gula Randugunting menyisakan jejak kejayaan berupa klinik kesehatan. Eks klinik Pabrik Gula Randugunting ini bahkan telah ditetapkan sebagai cagar budaya di Kabupaten Sleman melalui SK Bupati Nomor Nomor 79.21/Kep.KDH/A/2021 tentang Status Cagar Budaya Kabupaten Sleman Tahun 2021 Tahap XXI. Berlokasi di Jalan Tamanmartani-Manisrenggo, Kalurahan Tamanmartani, Kapanewon Kalasan, Kabupaten Sleman, pabrik ini didirikan oleh K. A. Erven Klaring pada tahun 1870. Pabrik Gula Randugunting berawal dari perkebunan tanaman nila (indigo), namun, pada akhir abad ke-19, harga indigo jatuh karena kalah dengan pewarna kain sintesis. Hal ini menyebabkan perkebunan Randugunting beralih menjadi perkebunan tebu dan menjadi pabrik gula. Tahun 1900, Koloniale Bank mengambil alih aset pabrik dari pemilik sebelumnya yang gagal membayar hutang kepada Koloniale Bank. Abad ke-20, kemunculan klinik atau rumah sakit di lingkungan pabrik gula menjadi fenomena baru dalam sejarah perkembangan rumah sakit...
Kompleks Panti Asih Pakem yang terletak di Padukuhan Panggeran, Desa Hargobinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, merupakan kompleks bangunan bersejarah yang dulunya berfungsi sebagai sanatorium. Sanatorium adalah fasilitas kesehatan khusus untuk mengkarantina penderita penyakit paru-paru. Saat ini, kompleks ini dalam kondisi utuh namun kurang terawat dan terkesan terbengkalai. Beberapa bagian bangunan mulai berlumut, meskipun terdapat penambahan teras di bagian depan. Kompleks Panti Asih terdiri dari beberapa komponen bangunan, antara lain: Bangunan Administrasi Paviliun A Paviliun B Paviliun C Ruang Isolasi Bekas rumah dinas dokter Binatu dan dapur Gereja