Seperti yang telah kita ketahui bersama, salah satu cerita menyebutkan, asal mula tombak Kanjeng Kyai Plered tercipta dari alat vital Syekh Maulana Maghribi yang ditarik oleh seorang gadis bernama Rasawulan karena ketahuan mengintipnya.
Adipati Pragola yang lahir di Jambeyan dan kemudian berkedudukan sebagai Bupati di Pati, adalah putra Adipati Puger dari Demak, yang merupakan putera ke-3 Panembahan Senopati Mataram. Dia masih sedarah dengan Sultan Agung. Sayangnya, sewaktu Sultan Agung dinobatkan sebagai Raja di Mataram menggantikan Sinuhun Sedo Krapyak, Adipati Pragola melakukan pemberontakan. Dia menyatakan daerah Pati dan Pesisir Utara terlepas dari kekuasaan Mataram.
Sultan Agung datang sendiri memimpin pasukannya untuk memadamkan pemberontakan di Pati ini. Kuat dugaan kalau dia tahu persis kalau Adipati Pragola ini sangat sakti. Salah satunya, dia tak mempan oleh senjata tajam dan pusaka apapun, selain dengan pusaka sakti bernama Tombak Kanjeng Kyai Plered.
Memang benar. Dalam perang tanding tersebut, Sultan Agung berhasil membunuh Adipati Pragola dengan tombak Kanjeng Kyai Plered. Jasad sang Adipati kemudian dimakamkan di daerah tak bertuan di Solo. Tempat ini kemudian dikenal dengan nama Astana Pragola. Yang menarik dan aneh di Astana Pragola ini, konon setelah jasad Adipati Pragola dikuburkan, maka diatas makam sang Adipati selalu ada darah segar. Entah darah siapa, yang pasti darah itu masih basah dan baru. Hal ini berlangsung setidaknya hingga dimasa akhir perang Jepang.
Oleh Sultan Agung, prajurit yang ikut berjasa dalam memadamkan pemberontakan di Pati kemudian diberi tanda kehormatan yang disematkan pada bilah keris miliknya masing-masing, yaitu berupa kinatah emas Gajah-Singo.
Gajah-Singo adalah nama salah satu hiasan kinatah emas yang ditempatkan pada bagian bawah dari sebuah gagang keris. Penempatannya, antara bagian patung mini berbentuk gajah dan bagian singo dipisahkan olek peksi keris. Permukaan yang tidak tertutup oleh badan gajah dan singa itu dihiasi pulabentuk ornamen hiasan lainnya.
Bentuk Gajah-Singo ini merupakanperlambang dari tahun sesuai candra sengkala; Gajah melambangkan angka 8, singo angka 5, curiga (keris) angka 5, dantunggal melambangkan angka 1. Karena candra sengkala dibaca dari belakang, maka yang dimaksud adalah angka tahun 1558 menurut kalender Jawa.
Walaupun penghargaan Gajah-Singo diberikan pada zaman Sultan Agung, namun bukan berarti keris yang memakai kinatah Gajah-Singo sealu buatan Mataram.
Sementara itu, menurut kisahnya, asal mula tombak Kanjeng Kyai Plered tercipta dari seorang mubaligh bernama Syekh Maulana Maghribi yang berkelana di hutan, berhenti beristirahat di tepi sebuah danau kecil. Ketika itu, seorang gadis bernama Rasawulan sedang mandi disitu. Syekh Maulana Maghribi lalu mengintipnya. Anehnya, tiba-tiba Rasawulan merasa dirinya hamil. Dia segera tahu kalau dirinya sedang diintip seseorang. Gadis itu marah sekali dan menghampiri sang Syekh, lalu menarik alat kelamin pria itu.
Namun keajaiban terjadi, ketika alat kelamin itu berada ditangan Rasawulan, tiba-tiba berubah menjadi sebilah tombak. Tombak itulaj yang kemudian diberi nama Kanjeng Kyai Plered.
Sementara itu, bayi yang dikandung Rasawulan, kelak ketika lahir diberi nama Raden Kidang Telangkas di Tarub. Tombaknya kemudian menjadi tombak pusaka keturunan Kidang Telangkas, yang turun temurun sebagai berikut : Getas Pendowo, Ki Ageng Nis, Ki Ageng Pamanahan, Sutawijaya, Sunan Sedo Krapyak, Sultan Agung, Sunan seda Tegalarum, Pangeran Puger (Prabu Amangkurat) do Kartosuro, Sri Sultan Hamengku Buwono I.
HB I mendapatkantombakini ketika terjadi huru hara Geger Pecinan di Kartosuro. Kanjeng Kyai Plered dibawa abdi dalem Suronatan (Resimen Tentara Keraton). Oleh Pangeran Mangkubumi, tombak itu diminta, karena tak diberikan, maka, terjadilah perebutan yang dimenangkan oleh Pangeran Mangkubumi. Setelah geger pecinan selesai, tombak itu dikembalikan ke keraton.
Versi lain menyebutkan. Tombak Kanjeng Kyai Plered diberikan langsung oleh Amangkurat V pada Pangeran Mangkubumi saat masih menjabat sebagai Pangeran Sepuh.
Sampai sekarang tombak ini menjadi pusaka nomor 1 di keraton Yogyakarta. hanya raja dan Pageran sepuh yang boleh menjamah pusaka ini.
Pusaka ini hanya dikeluarkan pada upacara Grebeg Maulud tahun DAL. Saat jamasan, sesaji yang diberikan salah satu syarat pokoknya berupa kambing guling. Dalam babad, tombak ini pernah dipergunakan Sutowijoyo untuk menjebol perut Aryo Penangsang, juga oleh Pangeran Puger digunakan untuk membunuh komandan pasukan VOC, Kapten Tack.