Ritual
Ritual
Upacara Keagamaan Kalimantan Tengah Dayak
Tiwah
- 17 September 2014

Tiwah di Ngaju

Orang Dayak di Kalimantan percaya bahwa ketika mati, jiwa seseorang harus pergi ke dunia kematian; jika tidak akan membuat masalah bagi yang hidup. Maka dari itu harus dilakukan sesuatu setelah kematiannya, yakni dengan melaksanakan upacara tertentu. Upacara ini dimaksudkan untuk memastikan jiwa mencapai tujuan dan agar keseimbangan alam yang terganggu oleh kematian dapat pulih.


Ada dua jenis pemakaman yang mendasar dalam suku-suku Dayak. Jenis pertama terdapat dalam masyarakat Modang, Kayan, dan Iban yang hanya melakukan satu kali upacara penguburan. Jenis kedua terdapat pada masyarakat Ngaju dan Ot Danum yang melakukan pemakaman kedua.


Pada prosesi pemakaman kedua, mayat disimpan sebentar setelah kematian, kemudian kerangka digali lalu dibersihkan untuk kemudian dipindahkan ke tempat peristirahatan terakhir. Dalam setiap jenis penguburan, mayat diperlakukan dengan berbagai cara: dimasukkan ke dalam keranda atau guci atau dibungkus dengan tikar; dikubur, diabukan, atau disimpan dalam kubur besar, indah, dan tinggi yang disebut sandong.


Kubur besar atau rumah kubur merupakan tempat penyimpanan jenazah pada akhir upacara penguburan kedua, yang dilaksanakan beberapa tahun setelah orang bersangkutan meninggal. Rumah kubur ini di beberapa tempat seperti di Long Wai bentuknya mirip rumah asli yang tinggi. Ujung atap diberi dua kepala naga dengan lidah menjulur, kadang-kadang dikaitkan dengan halilintar. Naga dikaitkan dengan dunia bawah, kemudian yang meninggal diantar ke dunia akhir, dan dengan cara itu seseorang dapat terlahir kembali. Ragam hias naga melingkar juga ditorekkan pada permukaan dinding.

Upacara tiwah dilaksanakan cukup lama, yaitu selama sebulan. Upacara ini dapat dilaksanakan secara gotong royong dan melibatkan banyak orang tanpa membedakan status sosial. Semakin banyak keluarga yang terlibat dalam tiwah semakin ringan biaya yang harus ditanggung keluarga yang berduka. Dan sebagaimana kehidupan masyarakat tradisional, dalam tiwah pun tersaji sesajen dan tarian sakral yang disebut manganjan. Ada pula sebuah patung yang diikat (sapundu), yang akan ditombak oleh ahli waris pihak kelurga yang melaksanakan tiwah.


Upacara tiwah merupakan sarana perhubung antara si hidup dengan si mati dan dunia roh. Ia berfungsi menghantarkan Telu Liau (tiga liau) Kelewu Tatau sesuai dengan pesan suci Tuhan kepada utus (keturunan) Maha Taja Banu (mengenai liau akan dibahas kemudian). Tiwah juga berfungsi sebagai penyucian bagi mereka yang ditinggalkan (tarantang nule) dalam menghantarkan Lewu Kelewu Tatau dengan simbol upacara Hanteran Basir Munduk dan Ngarahang Tulang. Hantaran dilaksanakan oleh Dukung Handepang Telun.

Balai nyahu adalah balai tempat dilaksanakan tiwah. Sejak malam balai nyahu telah ramai dikunjungi oleh anggota keluarga yang akan melaksanakan tiwah. Pada saat pelaksaan tiwah terdapat pali atau pantangan (bandingkan dengan kata pamali atau pemali yang banyak dipakai dalam etnis lain) yang wajib dipatuhi oleh peserta tiwah dan pengunjung dan pali tersebut ditempel di balai nyahu, sehingga siapa pun yang datang dapat membacanya.

Ada pun balian adalah tujuh orang yang bertugas melakukan pekerjaan Sang Hiang atau Sangiangguna memindahkan arwah yang sudah meninggal kembali ke alam rahim ibu.

Pada malam hari, acara puncak dalam upacara, basir (semacam ulama) telah duduk berjajar di tempat yang disiapkan. Sebelum upacara dimulai, basir diberi ikatan tangan agar mereka memiliki kekuatan ketika dirasuki Sang Hiang Langit dan diletakkan gong di alas kakinya. Mereka melaksanakan upacara hingga pagi dengan menggunakan bahasa Sang Hiang. Sementara itu basir mundu berjalan mengelilingi hewan yang akan dikorbankan, dengan maksud meluruskan roh tulang dan roh daging kepada Sang Hiang.

Balai nyahu adalah balai tempat dilaksanakan tiwah. Sejak malam balai nyahu telah ramai dikunjungi oleh anggota keluarga yang akan melaksanakan tiwah. Pada saat pelaksaan tiwah terdapat pali atau pantangan (bandingkan dengan kata pamali atau pemali yang banyak dipakai dalam etnis lain) yang wajib dipatuhi oleh peserta tiwah dan pengunjung dan pali tersebut ditempel di balai nyahu, sehingga siapa pun yang datang dapat membacanya.


Ada pun balian adalah tujuh orang yang bertugas melakukan pekerjaan Sang Hiang atau Sangiang guna memindahkan arwah yang sudah meninggal kembali ke alam rahim ibu.
Pada malam hari, acara puncak dalam upacara, basir (semacam ulama) telah duduk berjajar di tempat yang disiapkan. Sebelum upacara dimulai, basir diberi ikatan tangan agar mereka memiliki kekuatan ketika dirasuki Sang Hiang Langit dan diletakkan gong di alas kakinya.

Mereka melaksanakan upacara hingga pagi dengan menggunakan bahasa Sang Hiang. Sementara itu basir mundu berjalan mengelilingi hewan yang akan dikorbankan, dengan maksud meluruskan roh tulang dan roh daging kepada Sang Hiang.


Tiwah terdiri atas serangkaian upacara, masing-masing dengan tujuan khusus. Seperti mengundang roh dari dunia atas untuk bergabung dalam perayaan, atau menjamin orang yang masih hidup terjaga aman selama upacara yang berkemungkinan menimbulkan bahaya. Pada upacara ini, sejumlah hewan dikurbankan dan persembahan atau sesajen diberikan untuk orang yang mati dan kepada roh yang diundang ke upacara tiwah

Puncak tiwah terletak pada upacara tempat liau bersatu diantar oleh pendorong semangat Sangiang yang bernama Rawing Tempun Telun ke Lewu Liau. Selama upacara yang berlangsung semalam suntuk, ahli yang disebut tukang hanteran “ahli pengantar (orang mati)” membiarkan Sangiang Rawing Tempun Telun menguasai dirinya. Kata-kata dan tindakan tukang hanteran pada saat itu dipandang sebagai keberadaan Sangiang.


Pada akhir upacara, tukang hanteran diharuskan menceritakan seluruh kisah nenek moyang orang Ngaju selama semalam suntuk. Tujuan penceritaan mitos adalah untuk mengurutkan kembali kekacauan yang datang bila seseorang meninggal.

Orang Ngaju meyakini bahwa kematian mengakibatkan ketidakaturan dan kerusakan alam, yang harus diciptakan kembali agar hidup terus berlangsung. Oleh karena itu, penceritaan kisah penciptaan bukan kisah yang mudah diceritakan untuk menghibur pendengarnya, baik yang masih hidup maupun yang sudah mati. Kata-kata pendorong semangat membawa penciptaan kembali; dengan begitu dunia dibuat menjadi baru pada setiap tiwah.

Ada satu hal yang unik, bahwa tiwah dapat dilaksanakan oleh umat dari agama lain namun tetap mengikuti tata cara masyarakat Hindu Kaharingan. Keluarga Muslim atau Kristen dapat ikut melakukan tiwah atau meniwahkan keluarganya yang lain yang pemeluk Kaharingan. 

Liau dan Lewu Liau

Masyarakat Dayak-Ngaju memandang bahwa manusia hidup terdiri atas jasmani atau jasad yang dihidupkan oleh jiwa atau roh yang disebut hambaruan. Kematian terjadi saat hambaruan atau roh meninggalkan jasad untuk selamanya dan dengan begitu keberadaannya berakhir sudah. Setelah itu jiwa diisi dengan sesuatu yang disebut liau, yang digambarkan sebagai “roh” mayat tersebut. 

Liau dibagi dalam tiga bagian: 
  • liau yang bersatu dengan tulang;
  • bagian tubuh yang berasal dari ayah dikaitkan denan dunia-atas dan dewa laki-laki dunia-atas; 
  • liau yang bersatu dengan daging dan darah, dianggap berasal dari ibu dan dikaitkan dengan dunia-bawah dan dewa perempuan dunia-bawah. Segi-segi liau itu tinggal bersama dengan jasad. Tempat tinggalnya berada hingga tiwah, di dunia-bawah. Tiwah sendiri berkaitan dengan nasib akhir jasad dan roh manusia. 

Unsur ketiga liau, yang digambarkan sebagai “roh kecerdasan”, kemungkinan merupakan ancaman bagi orang yang masih hidup, maka dari itu harus didamaikan. Pada upacara yang disebut tantulak liau (mengusir jiwa yang mati), dukun Ngaju (disebut basir) memanggil salah satu roh dari dunia-atas (atau Sangiang) untuk mengantarkan liau ke desa di surga ketiga. Di sini liau harus tinggal sampai tiwah.


Perjalanan terakhir liau berada di tiwah, tempat ketiga unsur liau (jiwa orang mati). Liau bersatu kembali di bumi untuk terakhir kali sebelum diantar pergi ke Lewu Liau, “dunia kematian”.

Guci Kubur

Selain diletakkan pada peti jenazah kayu yang berat, mayat kadangkala diletakkan dalam guci besar. Untuk memasukkan mayat, guci dipotong di bagian bahu dan mayat dimasukkan dengan lutut menempel di bawah dagu. Guci yang lebih kecil yang digunakan untuk menyimpan tulang orang yang sudah lama mati, dibuka dan dibersihkan pada upacara kedua. Guci ini biasanya sangat mahal dan berasal dari Cina.

 

Sumber: http://kebudayaanindonesia.net/kebudayaan/1075/tradisi-penguburan-kedua

 

Diskusi

Silahkan masuk untuk berdiskusi.

Daftar Diskusi

Rekomendasi Entri

Gambar Entri
Tradisi MAKA
Seni Pertunjukan Seni Pertunjukan
Nusa Tenggara Barat

MAKA merupakan salah satu tradisi sakral dalam budaya Bima. Tradisi ini berupa ikrar kesetiaan kepada raja/sultan atau pemimpin, sebagai wujud bahwa ia bersumpah akan melindungi, mengharumkan dan menjaga kehormatan Dou Labo Dana Mbojo (bangsa dan tanah air). Gerakan utamanya adalah mengacungkan keris yang terhunus ke udara sambil mengucapkan sumpah kesetiaan. Berikut adalah teks inti sumpah prajurit Bima: "Tas Rumae… Wadu si ma tapa, wadu di mambi’a. Sura wa’ura londo parenta Sara." "Yang mulia tuanku...Jika batu yang menghadang, batu yang akan pecah, jika perintah pemerintah (atasan) telah dikeluarkan (diturunkan)." Tradisi MAKA dalam Budaya Bima dilakukan dalam dua momen: Saat seorang anak laki-laki selesai menjalani upacara Compo Sampari (ritual upacara kedewasaan anak laki-laki Bima), sebagai simbol bahwa ia siap membela tanah air di berbagai bidang yang digelutinya. Seharusnya dilakukan sendiri oleh si anak, namun tingkat kedewasaan anak zaman dulu dan...

avatar
Aji_permana
Gambar Entri
Wisma Muhammadiyah Ngloji
Produk Arsitektur Produk Arsitektur
Daerah Istimewa Yogyakarta

Wisma Muhammadiyah Ngloji adalah sebuah bangunan milik organisasi Muhammadiyah yang terletak di Desa Sendangagung, Kecamatan Minggir, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Wisma ini menjadi pusat aktivitas warga Muhammadiyah di kawasan barat Sleman. Keberadaannya mencerminkan peran aktif Muhammadiyah dalam pemberdayaan masyarakat melalui pendekatan dakwah dan pendidikan berbasis lokal.

avatar
Bernadetta Alice Caroline
Gambar Entri
SMP Negeri 1 Berbah
Produk Arsitektur Produk Arsitektur
Daerah Istimewa Yogyakarta

SMP Negeri 1 Berbah terletak di Tanjung Tirto, Kelurahan Kalitirto, Kecamatan Berbah, Sleman. Gedung ini awalnya merupakan rumah dinas Administratuur Pabrik Gula Tanjung Tirto yang dibangun pada tahun 1923. Selama pendudukan Jepang, bangunan ini digunakan sebagai rumah dinas mandor tebu. Setelah Indonesia merdeka, bangunan tersebut sempat kosong dan dikuasai oleh pasukan TNI pada Serangan Umum 1 Maret 1949, tanpa ada yang menempatinya hingga tahun 1951. Sejak tahun 1951, bangunan ini digunakan untuk kegiatan sekolah, dimulai sebagai Sekolah Teknik Negeri Kalasan (STNK) dari tahun 1951 hingga 1952, kemudian berfungsi sebagai STN Kalasan dari tahun 1952 hingga 1969, sebelum akhirnya menjadi SMP Negeri 1 Berbah hingga sekarang. Bangunan SMP N I Berbah menghadap ke arah selatan dan terdiri dari dua bagian utama. Bagian depan bangunan asli, yang sekarang dijadikan kantor, memiliki denah segi enam, sementara bagian belakangnya berbentuk persegi panjang dengan atap limasan. Bangunan asli dib...

avatar
Bernadetta Alice Caroline
Gambar Entri
Pabrik Gula Randugunting
Produk Arsitektur Produk Arsitektur
Daerah Istimewa Yogyakarta

Pabrik Gula Randugunting menyisakan jejak kejayaan berupa klinik kesehatan. Eks klinik Pabrik Gula Randugunting ini bahkan telah ditetapkan sebagai cagar budaya di Kabupaten Sleman melalui SK Bupati Nomor Nomor 79.21/Kep.KDH/A/2021 tentang Status Cagar Budaya Kabupaten Sleman Tahun 2021 Tahap XXI. Berlokasi di Jalan Tamanmartani-Manisrenggo, Kalurahan Tamanmartani, Kapanewon Kalasan, Kabupaten Sleman, pabrik ini didirikan oleh K. A. Erven Klaring pada tahun 1870. Pabrik Gula Randugunting berawal dari perkebunan tanaman nila (indigo), namun, pada akhir abad ke-19, harga indigo jatuh karena kalah dengan pewarna kain sintesis. Hal ini menyebabkan perkebunan Randugunting beralih menjadi perkebunan tebu dan menjadi pabrik gula. Tahun 1900, Koloniale Bank mengambil alih aset pabrik dari pemilik sebelumnya yang gagal membayar hutang kepada Koloniale Bank. Abad ke-20, kemunculan klinik atau rumah sakit di lingkungan pabrik gula menjadi fenomena baru dalam sejarah perkembangan rumah sakit...

avatar
Bernadetta Alice Caroline
Gambar Entri
Kompleks Panti Asih Pakem
Produk Arsitektur Produk Arsitektur
Daerah Istimewa Yogyakarta

Kompleks Panti Asih Pakem yang terletak di Padukuhan Panggeran, Desa Hargobinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, merupakan kompleks bangunan bersejarah yang dulunya berfungsi sebagai sanatorium. Sanatorium adalah fasilitas kesehatan khusus untuk mengkarantina penderita penyakit paru-paru. Saat ini, kompleks ini dalam kondisi utuh namun kurang terawat dan terkesan terbengkalai. Beberapa bagian bangunan mulai berlumut, meskipun terdapat penambahan teras di bagian depan. Kompleks Panti Asih terdiri dari beberapa komponen bangunan, antara lain: Bangunan Administrasi Paviliun A Paviliun B Paviliun C Ruang Isolasi Bekas rumah dinas dokter Binatu dan dapur Gereja

avatar
Bernadetta Alice Caroline