|
|
|
|
Terbentuknya Telaga Ngebel Tanggal 04 Aug 2014 oleh Triwidadi . |
Salah satu orang sakti bernama Ki Ageng Mangir merantau sampai ke Jawa Timur, yaitu Ngarwa. Sekarang dadi Tulungagung. Ki Ageng Mangir punya istri, namanya Roro Kijang yang ikut serta merantau. Suatu pagi, Roro kijang ingin makan sirih, dicarinya pisau untuk membelah pinang, namun dia tidak menemukan pisau sama sekali. Kemudian dia meminta pisau kepada suaminya Ki Ageng Mangir. Kemudian Ki Ageng Mangir memberikan pisau pusaka bernama Seking dan bepesan agar cepat mengembalikan pisau tersebut dan jangan pernah menaruh pisah itu di atas pangkuannya.
Seking pun diterima terus digunakan untuk membelah pinang sambil makan sirih. Kemudian Roro Kijang duduk-duduk dengan enak sambil menikmati sirih dan pinangnya. Sehingga lupa dengan pesan suaminya (Mbah Sawir menghisap rokok racikannya sendiri) dia menaruh pisau itu di pangkuannya. Beberapa saat kemudian dia baru ingat dan segra mengembalikan pisau di pangkuannya tersebut kepada suaminya. Namun dia terkejut karena pisau di pangkuannya ternyata tidak ada. Akhirnya dengan rasa menyesal dia melaporkan kejadian tersebut kepada suaminya dengan menangis. Ki Ageng Mangir menerimanya dengan hati yang sabar “karena yang demikian itu sudah kehendak Tuhan, kamu sudah bertindak salah. Untuk menebus kesalahanmu, kamu harus bertapa di tengah-tengah rawa.” kata Ki Ageng Mangir.
Akhirnya Roro Kijang melaksanakan perintah suaminya, bertapa di tengah rawa. Dan Ki Ageng Mangir kembali bertapa di kaki Gunung Wilis sebelah Barat.
Di kisahkan bahwa Roro Kijang perutnya semakin hari semakin besar seperti orang hamil. Dan semakin jelas bahwa dia sedang hamil. Pada saat dia melahirkan, ternyata yang lahir adalah seekor ular. Ular yang dilahirkannya adalah ular ajaib. Kulitnya berkilau seperti emas, dan kepalanya seperti mahkota. Roro Kijang terkejut dan ketakutan saat mengethui bahwa dilahirkannya adalah seekor ular serta malu. Kemudian Roro Kijang mengambil klinting emas dan memasangkan di leher ular tersebut dan ditutupi tempayang.
Ular tersebut semakin lama semakin besar, dan tempatnya dalam tempayang semakin sempit, dan pecahlah tempayang, sehingga ular tersebut dapat keluar. Ular tersebut akhirnya keluar dan semakin besar, semakin kuat, dan kulitnya semakin bersinar ketika terkena cahaya matahari. Setiap dia berjalan menggerakkan kepalany sehingga klinthing di lehernya berbunyi. Sepanjang perjalanan,dia sama sekali tidak menemukan teman sebangsanya maupun seorangpun manusia. Kemudian muncul pertanyaan “siapakah yang melahirkan aku?, siapakah orangtuaku?, kemanakah aku harus pergi?” ular itu bergerak dan mengangkat kepalanya tinggi-tinggi, dan melihat ada seorang pertapa di kejauhan. Ular itu pun menuju tempat pertapa itu yang ternyata adalah ibunya.
Mbah Sawir menghisap rokok
Roro Kijang sebenarnya sudah tahu bahwa ular itu adalah anaknya, tapi dia malu untuk mengakuinya. Ular itu dapat berbicara seperti manusia, terus Roro Kijang karo ulo iki mau omong-omongan:
“hei manungso! Kowe ibukku?” takon ulo
“dudu! Aku bukan ibumu! Manungso ora biso manak ulo” jawab Roro Kijang
“kalau kau bukan ibuku, kau akan ku makan bulat-bulat” kata ular
Merasa ketakutan, Roro Kijang kemudian menjawab “iyo, bener kowe anakku, tandane klinthing mas sing ning gulumu kui aku sing ngalungne.”
Setelah Roro Kijang mengaku ular tersebut anaknya, kemudian ular tersebut diberi nama Baru Klinthing. Baru Klinthing sangat senang dan mengankat ibunya setinggi-tingginya. Roro Kijang kemudian memeberi pesan kepada anaknya jika dia ingin mencari ayahnya agar pergi ke sebelah Gunung Wilis dan menemui seorang pertapa disana dan mintalah petunjuk padanya. Jika kamu menurut dan sanggup melaksanakan perintah orang tuamu, maka keinginanmu akan tercapai.
Baru Klinting pamit, memohon doa restu dan menyembah kaki ibunya, kemudian berjalan menuju Gunung Wilis. Gunung Wilis yang tempatnya jauh membuat Baru Klinthing merasa lelah dan beristirahat sejenak. Tempat istirahatnya tersebut kemuaidan diberi nama Desa Baru Klinthing, termasuk Kabupaten Tulungagung.
Ki Ageng Mangir setelah meninggalkan Ngarwa untuk bertapa di kaki Gunung Wilis berganti nama menjadi Ajar Selokantara. Pada saat duduk bertapa, kemudian datanglah Baru Klinthing. Ajar Selokantara sudah mengetahui kedatangan Baru Klinthing, dan semua rentetan peristiwa mulai hilangnya Seking pusaka miliknya samapai peristiwa masa depan, namun dia tidak mau mendahului kehendak Tuhan. Maka kedatangan Baru Klinthing disambutnya dengan baik, nakokne jeneng lan tujuanne nyapo. Baru Klinthing mengenalkan awake dhewe podo karolek jelasne ning ibune. Nanging Ajar Selokantara ora gelem ngakoni Baru Klinthing anake amargo wujud kewan. Baru Klinthing ngamuk!terus ngadek duwur lambene mangap ombo arep nyaplok Ajar Selokantara, tapi ora sidomego eling omonganne ibune yen kudu manut wong tuwo.Baru Klinting terus takon ning bapake piye carane supoyodiakoni anak.
Aji Selokantara ngongkon Baru Klinting ngubengi Gunung Wilis nganti gathuk dari ujung kepala sampai ujung ekor harus cukup. Baru Klinthing melaksanakan perintah ayahnya, tapi kurang sepenggal agar badannya menyentuh ujung kepala dan ujung ekor. Baru Klinthing takon ning bapake “opo oleh disambung karo ilat?” jalaran oleh, Baru Klinthing njulurne ilate ngge nyambung kurangane sing sak kilan kui. Kemudian Aji Selokantara mencabut pisau dan memotong salah satu cabang lidah Baru Klinthing.
Jika Baru Klinthing ingin menjadi manusia, maka dia tidak boleh memiliki lidah yang bercabang, maka Aji Selokantara memtong lidah Baru Klinthing dan menyuruh menelan dan mengeluarkannya lagi. Baru Klinthing menuruti perintah ayahnya dan menelan lidahnya kemudian mengeluarkannya lewat telinga, namun lidah yang keluar dalam wujud daun, dan akhirnya menjadi daun telinga. Untuk menjadi manusia utuh. Aji Selokantara memerintahkan anaknya agar bertapa selama puluhan tahun di dalam hutan. Baru Klinthing menuruti perintah ayahnya dan masuk ke dalam hutan mencari tempat yang aman untuk bertapa selama puluhan tahun.
jadi, saking suwi topo, awake nganti ditutupi godhong-godong, ranting-ranting lan suket-suket sing tukul, malah awake nganti koyo bantang tanduran. Lokasine topo iku saiki dadi Desa Sirah Nogo, termasuk Kecamatan Mlilir, Kabupaten Madiun.
Barengan karo topone Baru Klinthing, ana desa jenenge Ngebel. Ning deso kono enek acara bersih desa sing dipusatne ning omahe kepala desa. Kangge ngringkes biaya, kepala desa ndawuh ning wargane wong lanang-lanang supaya golek kewan buruan ning alas. Esukke warga sing lanangngoowo arit, parang, lan tombak mlebu jeroning alas. Nganti surup ora ono siji ae kewan sing ketangkep, rombongan mau leren ning jero alas. Salah sijine nancepne arit ningsalah siji wit, soko kui mili getih banter banget. Wong-wong podo kaget lan ngencepne senjata sing di gowo ning wit kui, jalaran wit kui obah lan dikirani belut sing gedhi banget. Ananging kuwi wujude Baru Klinthing sing lagi topo. Para warga seneng banget mergane oleh daging welut sing akeh, terus balik ning desane.
Sampek ning desa, daging mau dimasak lan dipangan kabeh warga ning kono. Perayaan tersebut diselenggarakan hingga satu hari satu malam. Hingga pada suatu siang datanglah seorang anak kecil dengan baju compang-camping dan bada penuh luka. Anak tersebut adalah jelmaan dari Baru Klinthing. Anak itu mendatangai kerumunan anak kecil di perayaan, namun tidak satupun kerumunan anak kecil menerima kedatangannya.kemudian dia menuju ke dapur untuk mencari makanan. Tidak satupun orang dewasa yang membarinya makan, bahkan mereka merasa jijik dan mengusirnya. Namun ada seorang nenek yang merasa kasihan dan memberikan sebungkus nasi dengan lauk pindang daging. Nenek tersebut bernama Nyai Latung
Anak kecil itu makan dengan cepat menghabiskan nasinya, sehingga badannya menjadi sehat, dan bekas lukanya hilang. Kemudian dia berpesan kepada Nyai Latung yang memberikan makan bila terjadi sesuatu maka bawalah centhong nasi ini dan naiklah ke lesung itu. Setelah itu, anak kecil tersbut mendatangi kelompok anak-anak seusianya dan membawa sebatang lidi. Kemudian dia menancapkan lidi tersebut ke tanah dan mengatakan kepada anak-anak kecl dan semua orang yang ada disana, siapa yang bias mencabut lidi ini akan diberikan sebungkus nasi dengan lauk daging yang banyak. Tapi ucapannya malah diremehkan oleh orang-orang yang ada disana. Satu persatu anak-anak kecil yang ada disana berusaha mencabut, tapi tidak ada yang bisa. Saat itulah, orang-orang tua baru memperhatikan dan ikut mencabut lidi itu, tapi tidak satupun yang bisa. Anak kecil jelmaan Baru Klinthing tersebut kemudian mengatakan bahwa “orang kikir dan orang sombong itu tidak baik, dan tidak diberkahi Tuhan. Maka janganlah berlagak sombong dan menghina sesame mahkluk hidup. Maka perhatikanlah saya akan mencabut lidi ini” anak kecil tersebut mencabut lidi dan keluarlah mataair yang sangat besar, mengalir ke kanan dan ke kiri. Menghanyutkan semua orang dan bangunan. Semakin lama semakin luas genangan mataair tersebut hingga menjadi danau. Nyai Latung yang memberikannya nasi selamat bersama anak kecil tersebut karena naik di atas lesung dan menggunakan centhong sebagai alat dayungnya.
Nyai Latung dan anak kecil itu naik perahu lesung menuju tepi danau. Nyai Latung tersebut kemudian tinggal di tepi telaga tersebut sampai meninggal, dan dimakamkan disana.
Salah satu orang sakti bernama Ki Ageng Mangir merantau sampai ke Jawa Timur, yaitu Ngarwa. Sekarang dadi Tulungagung. Ki Ageng Mangir punya istri, namanya Roro Kijang yang ikut serta merantau. Suatu pagi, Roro kijang ingin makan sirih, dicarinya pisau untuk membelah pinang, namun dia tidak menemukan pisau sama sekali. Kemudian dia meminta pisau kepada suaminya Ki Ageng Mangir. Kemudian Ki Ageng Mangir memberikan pisau pusaka bernama Seking dan bepesan agar cepat mengembalikan pisau tersebut dan jangan pernah menaruh pisah itu di atas pangkuannya.
Seking pun diterima terus digunakan untuk membelah pinang sambil makan sirih. Kemudian Roro Kijang duduk-duduk dengan enak sambil menikmati sirih dan pinangnya. Sehingga lupa dengan pesan suaminya (Mbah Sawir menghisap rokok racikannya sendiri) dia menaruh pisau itu di pangkuannya. Beberapa saat kemudian dia baru ingat dan segra mengembalikan pisau di pangkuannya tersebut kepada suaminya. Namun dia terkejut karena pisau di pangkuannya ternyata tidak ada. Akhirnya dengan rasa menyesal dia melaporkan kejadian tersebut kepada suaminya dengan menangis. Ki Ageng Mangir menerimanya dengan hati yang sabar “karena yang demikian itu sudah kehendak Tuhan, kamu sudah bertindak salah. Untuk menebus kesalahanmu, kamu harus bertapa di tengah-tengah rawa.” kata Ki Ageng Mangir.
Akhirnya Roro Kijang melaksanakan perintah suaminya, bertapa di tengah rawa. Dan Ki Ageng Mangir kembali bertapa di kaki Gunung Wilis sebelah Barat.
Di kisahkan bahwa Roro Kijang perutnya semakin hari semakin besar seperti orang hamil. Dan semakin jelas bahwa dia sedang hamil. Pada saat dia melahirkan, ternyata yang lahir adalah seekor ular. Ular yang dilahirkannya adalah ular ajaib. Kulitnya berkilau seperti emas, dan kepalanya seperti mahkota. Roro Kijang terkejut dan ketakutan saat mengethui bahwa dilahirkannya adalah seekor ular serta malu. Kemudian Roro Kijang mengambil klinting emas dan memasangkan di leher ular tersebut dan ditutupi tempayang.
Ular tersebut semakin lama semakin besar, dan tempatnya dalam tempayang semakin sempit, dan pecahlah tempayang, sehingga ular tersebut dapat keluar. Ular tersebut akhirnya keluar dan semakin besar, semakin kuat, dan kulitnya semakin bersinar ketika terkena cahaya matahari. Setiap dia berjalan menggerakkan kepalany sehingga klinthing di lehernya berbunyi. Sepanjang perjalanan,dia sama sekali tidak menemukan teman sebangsanya maupun seorangpun manusia. Kemudian muncul pertanyaan “siapakah yang melahirkan aku?, siapakah orangtuaku?, kemanakah aku harus pergi?” ular itu bergerak dan mengangkat kepalanya tinggi-tinggi, dan melihat ada seorang pertapa di kejauhan. Ular itu pun menuju tempat pertapa itu yang ternyata adalah ibunya.
Mbah Sawir menghisap rokok
Roro Kijang sebenarnya sudah tahu bahwa ular itu adalah anaknya, tapi dia malu untuk mengakuinya. Ular itu dapat berbicara seperti manusia, terus Roro Kijang karo ulo iki mau omong-omongan:
“hei manungso! Kowe ibukku?” takon ulo
“dudu! Aku bukan ibumu! Manungso ora biso manak ulo” jawab Roro Kijang
“kalau kau bukan ibuku, kau akan ku makan bulat-bulat” kata ular
Merasa ketakutan, Roro Kijang kemudian menjawab “iyo, bener kowe anakku, tandane klinthing mas sing ning gulumu kui aku sing ngalungne.”
Setelah Roro Kijang mengaku ular tersebut anaknya, kemudian ular tersebut diberi nama Baru Klinthing. Baru Klinthing sangat senang dan mengankat ibunya setinggi-tingginya. Roro Kijang kemudian memeberi pesan kepada anaknya jika dia ingin mencari ayahnya agar pergi ke sebelah Gunung Wilis dan menemui seorang pertapa disana dan mintalah petunjuk padanya. Jika kamu menurut dan sanggup melaksanakan perintah orang tuamu, maka keinginanmu akan tercapai.
Baru Klinting pamit, memohon doa restu dan menyembah kaki ibunya, kemudian berjalan menuju Gunung Wilis. Gunung Wilis yang tempatnya jauh membuat Baru Klinthing merasa lelah dan beristirahat sejenak. Tempat istirahatnya tersebut kemuaidan diberi nama Desa Baru Klinthing, termasuk Kabupaten Tulungagung.
Ki Ageng Mangir setelah meninggalkan Ngarwa untuk bertapa di kaki Gunung Wilis berganti nama menjadi Ajar Selokantara. Pada saat duduk bertapa, kemudian datanglah Baru Klinthing. Ajar Selokantara sudah mengetahui kedatangan Baru Klinthing, dan semua rentetan peristiwa mulai hilangnya Seking pusaka miliknya samapai peristiwa masa depan, namun dia tidak mau mendahului kehendak Tuhan. Maka kedatangan Baru Klinthing disambutnya dengan baik, nakokne jeneng lan tujuanne nyapo. Baru Klinthing mengenalkan awake dhewe podo karolek jelasne ning ibune. Nanging Ajar Selokantara ora gelem ngakoni Baru Klinthing anake amargo wujud kewan. Baru Klinthing ngamuk!terus ngadek duwur lambene mangap ombo arep nyaplok Ajar Selokantara, tapi ora sidomego eling omonganne ibune yen kudu manut wong tuwo.Baru Klinting terus takon ning bapake piye carane supoyodiakoni anak.
Aji Selokantara ngongkon Baru Klinting ngubengi Gunung Wilis nganti gathuk dari ujung kepala sampai ujung ekor harus cukup. Baru Klinthing melaksanakan perintah ayahnya, tapi kurang sepenggal agar badannya menyentuh ujung kepala dan ujung ekor. Baru Klinthing takon ning bapake “opo oleh disambung karo ilat?” jalaran oleh, Baru Klinthing njulurne ilate ngge nyambung kurangane sing sak kilan kui. Kemudian Aji Selokantara mencabut pisau dan memotong salah satu cabang lidah Baru Klinthing.
Jika Baru Klinthing ingin menjadi manusia, maka dia tidak boleh memiliki lidah yang bercabang, maka Aji Selokantara memtong lidah Baru Klinthing dan menyuruh menelan dan mengeluarkannya lagi. Baru Klinthing menuruti perintah ayahnya dan menelan lidahnya kemudian mengeluarkannya lewat telinga, namun lidah yang keluar dalam wujud daun, dan akhirnya menjadi daun telinga. Untuk menjadi manusia utuh. Aji Selokantara memerintahkan anaknya agar bertapa selama puluhan tahun di dalam hutan. Baru Klinthing menuruti perintah ayahnya dan masuk ke dalam hutan mencari tempat yang aman untuk bertapa selama puluhan tahun.
jadi, saking suwi topo, awake nganti ditutupi godhong-godong, ranting-ranting lan suket-suket sing tukul, malah awake nganti koyo bantang tanduran. Lokasine topo iku saiki dadi Desa Sirah Nogo, termasuk Kecamatan Mlilir, Kabupaten Madiun.
Barengan karo topone Baru Klinthing, ana desa jenenge Ngebel. Ning deso kono enek acara bersih desa sing dipusatne ning omahe kepala desa. Kangge ngringkes biaya, kepala desa ndawuh ning wargane wong lanang-lanang supaya golek kewan buruan ning alas. Esukke warga sing lanangngoowo arit, parang, lan tombak mlebu jeroning alas. Nganti surup ora ono siji ae kewan sing ketangkep, rombongan mau leren ning jero alas. Salah sijine nancepne arit ningsalah siji wit, soko kui mili getih banter banget. Wong-wong podo kaget lan ngencepne senjata sing di gowo ning wit kui, jalaran wit kui obah lan dikirani belut sing gedhi banget. Ananging kuwi wujude Baru Klinthing sing lagi topo. Para warga seneng banget mergane oleh daging welut sing akeh, terus balik ning desane.
Sampek ning desa, daging mau dimasak lan dipangan kabeh warga ning kono. Perayaan tersebut diselenggarakan hingga satu hari satu malam. Hingga pada suatu siang datanglah seorang anak kecil dengan baju compang-camping dan bada penuh luka. Anak tersebut adalah jelmaan dari Baru Klinthing. Anak itu mendatangai kerumunan anak kecil di perayaan, namun tidak satupun kerumunan anak kecil menerima kedatangannya.kemudian dia menuju ke dapur untuk mencari makanan. Tidak satupun orang dewasa yang membarinya makan, bahkan mereka merasa jijik dan mengusirnya. Namun ada seorang nenek yang merasa kasihan dan memberikan sebungkus nasi dengan lauk pindang daging. Nenek tersebut bernama Nyai Latung
Anak kecil itu makan dengan cepat menghabiskan nasinya, sehingga badannya menjadi sehat, dan bekas lukanya hilang. Kemudian dia berpesan kepada Nyai Latung yang memberikan makan bila terjadi sesuatu maka bawalah centhong nasi ini dan naiklah ke lesung itu. Setelah itu, anak kecil tersbut mendatangi kelompok anak-anak seusianya dan membawa sebatang lidi. Kemudian dia menancapkan lidi tersebut ke tanah dan mengatakan kepada anak-anak kecl dan semua orang yang ada disana, siapa yang bias mencabut lidi ini akan diberikan sebungkus nasi dengan lauk daging yang banyak. Tapi ucapannya malah diremehkan oleh orang-orang yang ada disana. Satu persatu anak-anak kecil yang ada disana berusaha mencabut, tapi tidak ada yang bisa. Saat itulah, orang-orang tua baru memperhatikan dan ikut mencabut lidi itu, tapi tidak satupun yang bisa. Anak kecil jelmaan Baru Klinthing tersebut kemudian mengatakan bahwa “orang kikir dan orang sombong itu tidak baik, dan tidak diberkahi Tuhan. Maka janganlah berlagak sombong dan menghina sesame mahkluk hidup. Maka perhatikanlah saya akan mencabut lidi ini” anak kecil tersebut mencabut lidi dan keluarlah mataair yang sangat besar, mengalir ke kanan dan ke kiri. Menghanyutkan semua orang dan bangunan. Semakin lama semakin luas genangan mataair tersebut hingga menjadi danau. Nyai Latung yang memberikannya nasi selamat bersama anak kecil tersebut karena naik di atas lesung dan menggunakan centhong sebagai alat dayungnya.
Nyai Latung dan anak kecil itu naik perahu lesung menuju tepi danau. Nyai Latung tersebut kemudian tinggal di tepi telaga tersebut sampai meninggal, dan dimakamkan disana.
sumber: data primer (wawancara dengan sesepuh Telaga Ngebel)
Gambus
Oleh
agus deden
| 21 Jun 2012.
Gambus Melayu Riau adalah salah satu jenis instrumental musik tradisional yang terdapat hampir di seluruh kawasan Melayu.Pergeseran nilai spiritual... |
Hukum Adat Suku...
Oleh
Riduwan Philly
| 23 Jan 2015.
Dalam upaya penyelamatan sumber daya alam di kabupaten Aceh Tenggara, Suku Alas memeliki beberapa aturan adat . Aturan-aturan tersebut terbagi dal... |
Fuu
Oleh
Sobat Budaya
| 25 Jun 2014.
Alat musik ini terbuat dari bambu. Fuu adalah alat musik tiup dari bahan kayu dan bambu yang digunakan sebagai alat bunyi untuk memanggil pend... |
Ukiran Gorga Si...
Oleh
hokky saavedra
| 09 Apr 2012.
Ukiran gorga "singa" sebagai ornamentasi tradisi kuno Batak merupakan penggambaran kepala singa yang terkait dengan mitologi batak sebagai... |