Cerita Rakyat
Cerita Rakyat
cerita rakyat Jawa Timur Ponorogo
Terbentuknya Telaga Ngebel
- 4 Agustus 2014

Salah satu orang sakti bernama Ki Ageng Mangir merantau sampai ke Jawa Timur, yaitu Ngarwa. Sekarang dadi Tulungagung. Ki Ageng Mangir punya istri, namanya Roro Kijang yang ikut serta merantau. Suatu pagi, Roro kijang ingin makan sirih, dicarinya pisau untuk membelah pinang, namun dia tidak menemukan pisau sama sekali. Kemudian dia meminta pisau kepada suaminya Ki Ageng Mangir. Kemudian Ki Ageng Mangir memberikan pisau pusaka bernama Seking dan bepesan agar cepat mengembalikan pisau tersebut dan jangan pernah menaruh pisah itu di atas pangkuannya.

Seking pun diterima terus digunakan untuk membelah pinang sambil makan sirih. Kemudian Roro Kijang duduk-duduk dengan enak sambil menikmati sirih dan pinangnya. Sehingga lupa dengan pesan suaminya (Mbah Sawir menghisap rokok racikannya sendiri) dia menaruh pisau itu di pangkuannya. Beberapa saat kemudian dia baru ingat dan segra mengembalikan pisau di pangkuannya tersebut kepada suaminya. Namun dia terkejut karena pisau di pangkuannya ternyata tidak ada. Akhirnya dengan rasa menyesal dia melaporkan kejadian tersebut kepada suaminya dengan menangis. Ki Ageng Mangir menerimanya dengan hati yang sabar “karena yang demikian itu sudah kehendak Tuhan, kamu sudah bertindak salah. Untuk menebus kesalahanmu, kamu harus bertapa di tengah-tengah rawa.” kata Ki Ageng Mangir.

Akhirnya Roro Kijang melaksanakan perintah suaminya, bertapa di tengah rawa. Dan Ki Ageng Mangir kembali bertapa di kaki Gunung Wilis sebelah Barat.

Di kisahkan bahwa Roro Kijang perutnya semakin hari semakin besar seperti orang hamil. Dan semakin jelas bahwa dia sedang hamil. Pada saat dia melahirkan, ternyata yang lahir adalah seekor ular. Ular yang dilahirkannya adalah ular ajaib. Kulitnya berkilau seperti emas, dan kepalanya seperti mahkota. Roro Kijang terkejut dan ketakutan saat mengethui bahwa dilahirkannya adalah seekor ular serta malu. Kemudian Roro Kijang mengambil klinting emas dan memasangkan di leher ular tersebut dan ditutupi tempayang.

Ular tersebut semakin lama semakin besar, dan tempatnya dalam tempayang semakin sempit, dan pecahlah tempayang, sehingga ular tersebut dapat keluar. Ular tersebut akhirnya keluar dan semakin besar, semakin kuat, dan kulitnya semakin bersinar ketika terkena cahaya matahari. Setiap dia berjalan menggerakkan kepalany sehingga klinthing di lehernya berbunyi. Sepanjang perjalanan,dia sama sekali tidak menemukan teman sebangsanya maupun seorangpun manusia. Kemudian muncul pertanyaan “siapakah yang melahirkan aku?, siapakah orangtuaku?, kemanakah aku harus pergi?” ular itu bergerak dan mengangkat kepalanya tinggi-tinggi, dan melihat ada seorang pertapa di kejauhan. Ular itu pun menuju tempat pertapa itu yang ternyata adalah ibunya.

Mbah Sawir menghisap rokok

Roro Kijang sebenarnya sudah tahu bahwa ular itu adalah anaknya, tapi dia malu untuk mengakuinya. Ular itu dapat berbicara seperti manusia, terus Roro Kijang karo ulo iki mau omong-omongan:

“hei manungso! Kowe ibukku?” takon ulo

 “dudu! Aku bukan ibumu! Manungso ora biso manak ulo” jawab Roro Kijang

“kalau kau bukan ibuku, kau akan ku makan bulat-bulat” kata ular

Merasa ketakutan, Roro Kijang kemudian menjawab “iyo, bener kowe anakku, tandane klinthing mas sing ning gulumu kui aku sing ngalungne.”

Setelah Roro Kijang mengaku ular tersebut anaknya, kemudian ular tersebut diberi nama Baru Klinthing. Baru Klinthing sangat senang dan mengankat ibunya setinggi-tingginya. Roro Kijang kemudian memeberi pesan kepada anaknya jika dia ingin mencari ayahnya agar pergi ke sebelah Gunung Wilis dan menemui seorang pertapa disana dan mintalah petunjuk padanya. Jika kamu menurut dan sanggup melaksanakan perintah orang tuamu, maka keinginanmu akan tercapai.

Baru Klinting pamit, memohon doa restu dan menyembah kaki ibunya, kemudian berjalan menuju Gunung Wilis. Gunung Wilis yang tempatnya jauh membuat Baru Klinthing merasa lelah dan beristirahat sejenak. Tempat istirahatnya tersebut kemuaidan diberi nama Desa Baru Klinthing, termasuk Kabupaten Tulungagung.

Ki Ageng Mangir setelah meninggalkan Ngarwa untuk bertapa di kaki Gunung Wilis berganti nama menjadi Ajar Selokantara. Pada saat duduk bertapa, kemudian datanglah Baru Klinthing. Ajar Selokantara sudah mengetahui kedatangan Baru Klinthing, dan semua rentetan peristiwa mulai hilangnya Seking pusaka miliknya samapai peristiwa masa depan, namun dia tidak mau mendahului kehendak Tuhan. Maka kedatangan Baru Klinthing disambutnya dengan baik, nakokne jeneng lan tujuanne nyapo. Baru Klinthing mengenalkan awake dhewe podo karolek jelasne ning ibune. Nanging Ajar Selokantara ora gelem ngakoni Baru Klinthing anake amargo wujud kewan. Baru Klinthing ngamuk!terus ngadek duwur lambene mangap ombo arep nyaplok Ajar Selokantara, tapi ora sidomego eling omonganne ibune yen kudu manut wong tuwo.Baru Klinting terus takon ning bapake piye carane supoyodiakoni anak.

Aji Selokantara ngongkon Baru Klinting ngubengi Gunung Wilis nganti gathuk dari ujung kepala sampai ujung ekor harus cukup. Baru Klinthing melaksanakan perintah ayahnya, tapi kurang sepenggal agar badannya menyentuh ujung kepala dan ujung ekor. Baru Klinthing takon ning bapake “opo oleh disambung karo ilat?” jalaran oleh, Baru Klinthing njulurne ilate ngge nyambung kurangane sing sak kilan kui. Kemudian Aji Selokantara mencabut pisau dan memotong salah satu cabang lidah Baru Klinthing.

Jika Baru Klinthing ingin menjadi manusia, maka dia tidak boleh memiliki lidah yang bercabang, maka Aji Selokantara memtong lidah Baru Klinthing dan menyuruh menelan dan mengeluarkannya lagi. Baru Klinthing menuruti perintah ayahnya dan menelan lidahnya kemudian mengeluarkannya lewat telinga, namun lidah yang keluar dalam wujud daun, dan akhirnya menjadi daun telinga. Untuk menjadi manusia utuh. Aji Selokantara memerintahkan anaknya agar bertapa selama puluhan tahun di dalam hutan. Baru Klinthing menuruti perintah ayahnya dan masuk ke dalam hutan mencari tempat yang aman untuk bertapa selama puluhan tahun.

jadi, saking suwi topo, awake nganti ditutupi godhong-godong, ranting-ranting lan suket-suket sing tukul, malah awake nganti koyo bantang tanduran. Lokasine topo iku saiki dadi Desa Sirah Nogo, termasuk Kecamatan Mlilir, Kabupaten Madiun.

Barengan karo topone Baru Klinthing, ana desa jenenge Ngebel. Ning deso kono enek acara bersih desa sing dipusatne ning omahe kepala desa. Kangge ngringkes biaya, kepala desa ndawuh ning wargane wong lanang-lanang supaya golek kewan buruan ning alas. Esukke warga sing lanangngoowo arit, parang, lan tombak mlebu jeroning alas. Nganti surup ora ono siji ae kewan sing ketangkep, rombongan mau leren ning jero alas. Salah sijine nancepne arit ningsalah siji wit, soko kui mili getih banter banget. Wong-wong podo kaget lan ngencepne senjata sing di gowo ning wit kui, jalaran wit kui obah lan dikirani belut sing gedhi banget. Ananging kuwi wujude Baru Klinthing sing lagi topo. Para warga seneng banget mergane oleh daging welut sing akeh, terus balik ning desane.

Sampek ning desa, daging mau dimasak lan dipangan kabeh warga ning kono. Perayaan tersebut diselenggarakan hingga satu hari satu malam. Hingga pada suatu siang datanglah seorang anak kecil dengan baju compang-camping dan bada penuh luka. Anak tersebut adalah jelmaan dari Baru Klinthing. Anak itu mendatangai kerumunan anak kecil di perayaan, namun tidak satupun kerumunan anak kecil menerima kedatangannya.kemudian dia menuju ke dapur untuk mencari makanan. Tidak satupun orang dewasa yang membarinya makan, bahkan mereka merasa jijik dan mengusirnya. Namun ada seorang nenek yang merasa kasihan dan memberikan sebungkus nasi dengan lauk pindang daging. Nenek tersebut bernama Nyai Latung

Anak kecil itu makan dengan cepat menghabiskan nasinya, sehingga badannya menjadi sehat, dan bekas lukanya hilang. Kemudian dia berpesan kepada Nyai Latung yang memberikan makan bila terjadi sesuatu maka bawalah centhong nasi ini dan naiklah ke lesung itu. Setelah itu,  anak kecil tersbut mendatangi kelompok anak-anak seusianya dan membawa sebatang lidi. Kemudian dia menancapkan lidi tersebut ke tanah dan mengatakan kepada anak-anak kecl dan semua orang yang ada disana, siapa yang bias mencabut lidi ini akan diberikan sebungkus nasi dengan lauk daging yang banyak. Tapi ucapannya malah diremehkan oleh orang-orang yang ada disana. Satu persatu anak-anak kecil yang ada disana berusaha mencabut, tapi tidak ada yang bisa. Saat itulah, orang-orang tua baru memperhatikan dan ikut mencabut lidi itu, tapi tidak satupun yang bisa. Anak kecil jelmaan Baru Klinthing tersebut kemudian mengatakan bahwa “orang kikir dan orang sombong itu tidak baik, dan tidak diberkahi Tuhan. Maka janganlah berlagak sombong dan menghina sesame mahkluk hidup. Maka perhatikanlah saya akan mencabut lidi ini” anak kecil tersebut mencabut lidi dan keluarlah mataair yang sangat besar, mengalir ke kanan dan ke kiri. Menghanyutkan semua orang dan bangunan. Semakin lama semakin luas genangan mataair tersebut hingga menjadi danau. Nyai Latung yang memberikannya nasi selamat bersama anak kecil tersebut karena naik di atas lesung dan menggunakan centhong sebagai alat dayungnya.

Nyai Latung dan anak kecil itu naik perahu lesung menuju tepi danau. Nyai Latung tersebut kemudian tinggal di tepi telaga tersebut sampai meninggal, dan dimakamkan disana.

Salah satu orang sakti bernama Ki Ageng Mangir merantau sampai ke Jawa Timur, yaitu Ngarwa. Sekarang dadi Tulungagung. Ki Ageng Mangir punya istri, namanya Roro Kijang yang ikut serta merantau. Suatu pagi, Roro kijang ingin makan sirih, dicarinya pisau untuk membelah pinang, namun dia tidak menemukan pisau sama sekali. Kemudian dia meminta pisau kepada suaminya Ki Ageng Mangir. Kemudian Ki Ageng Mangir memberikan pisau pusaka bernama Seking dan bepesan agar cepat mengembalikan pisau tersebut dan jangan pernah menaruh pisah itu di atas pangkuannya.

Seking pun diterima terus digunakan untuk membelah pinang sambil makan sirih. Kemudian Roro Kijang duduk-duduk dengan enak sambil menikmati sirih dan pinangnya. Sehingga lupa dengan pesan suaminya (Mbah Sawir menghisap rokok racikannya sendiri) dia menaruh pisau itu di pangkuannya. Beberapa saat kemudian dia baru ingat dan segra mengembalikan pisau di pangkuannya tersebut kepada suaminya. Namun dia terkejut karena pisau di pangkuannya ternyata tidak ada. Akhirnya dengan rasa menyesal dia melaporkan kejadian tersebut kepada suaminya dengan menangis. Ki Ageng Mangir menerimanya dengan hati yang sabar “karena yang demikian itu sudah kehendak Tuhan, kamu sudah bertindak salah. Untuk menebus kesalahanmu, kamu harus bertapa di tengah-tengah rawa.” kata Ki Ageng Mangir.

Akhirnya Roro Kijang melaksanakan perintah suaminya, bertapa di tengah rawa. Dan Ki Ageng Mangir kembali bertapa di kaki Gunung Wilis sebelah Barat.

Di kisahkan bahwa Roro Kijang perutnya semakin hari semakin besar seperti orang hamil. Dan semakin jelas bahwa dia sedang hamil. Pada saat dia melahirkan, ternyata yang lahir adalah seekor ular. Ular yang dilahirkannya adalah ular ajaib. Kulitnya berkilau seperti emas, dan kepalanya seperti mahkota. Roro Kijang terkejut dan ketakutan saat mengethui bahwa dilahirkannya adalah seekor ular serta malu. Kemudian Roro Kijang mengambil klinting emas dan memasangkan di leher ular tersebut dan ditutupi tempayang.

Ular tersebut semakin lama semakin besar, dan tempatnya dalam tempayang semakin sempit, dan pecahlah tempayang, sehingga ular tersebut dapat keluar. Ular tersebut akhirnya keluar dan semakin besar, semakin kuat, dan kulitnya semakin bersinar ketika terkena cahaya matahari. Setiap dia berjalan menggerakkan kepalany sehingga klinthing di lehernya berbunyi. Sepanjang perjalanan,dia sama sekali tidak menemukan teman sebangsanya maupun seorangpun manusia. Kemudian muncul pertanyaan “siapakah yang melahirkan aku?, siapakah orangtuaku?, kemanakah aku harus pergi?” ular itu bergerak dan mengangkat kepalanya tinggi-tinggi, dan melihat ada seorang pertapa di kejauhan. Ular itu pun menuju tempat pertapa itu yang ternyata adalah ibunya.

Mbah Sawir menghisap rokok

Roro Kijang sebenarnya sudah tahu bahwa ular itu adalah anaknya, tapi dia malu untuk mengakuinya. Ular itu dapat berbicara seperti manusia, terus Roro Kijang karo ulo iki mau omong-omongan:

“hei manungso! Kowe ibukku?” takon ulo

 “dudu! Aku bukan ibumu! Manungso ora biso manak ulo” jawab Roro Kijang

“kalau kau bukan ibuku, kau akan ku makan bulat-bulat” kata ular

Merasa ketakutan, Roro Kijang kemudian menjawab “iyo, bener kowe anakku, tandane klinthing mas sing ning gulumu kui aku sing ngalungne.”

Setelah Roro Kijang mengaku ular tersebut anaknya, kemudian ular tersebut diberi nama Baru Klinthing. Baru Klinthing sangat senang dan mengankat ibunya setinggi-tingginya. Roro Kijang kemudian memeberi pesan kepada anaknya jika dia ingin mencari ayahnya agar pergi ke sebelah Gunung Wilis dan menemui seorang pertapa disana dan mintalah petunjuk padanya. Jika kamu menurut dan sanggup melaksanakan perintah orang tuamu, maka keinginanmu akan tercapai.

Baru Klinting pamit, memohon doa restu dan menyembah kaki ibunya, kemudian berjalan menuju Gunung Wilis. Gunung Wilis yang tempatnya jauh membuat Baru Klinthing merasa lelah dan beristirahat sejenak. Tempat istirahatnya tersebut kemuaidan diberi nama Desa Baru Klinthing, termasuk Kabupaten Tulungagung.

Ki Ageng Mangir setelah meninggalkan Ngarwa untuk bertapa di kaki Gunung Wilis berganti nama menjadi Ajar Selokantara. Pada saat duduk bertapa, kemudian datanglah Baru Klinthing. Ajar Selokantara sudah mengetahui kedatangan Baru Klinthing, dan semua rentetan peristiwa mulai hilangnya Seking pusaka miliknya samapai peristiwa masa depan, namun dia tidak mau mendahului kehendak Tuhan. Maka kedatangan Baru Klinthing disambutnya dengan baik, nakokne jeneng lan tujuanne nyapo. Baru Klinthing mengenalkan awake dhewe podo karolek jelasne ning ibune. Nanging Ajar Selokantara ora gelem ngakoni Baru Klinthing anake amargo wujud kewan. Baru Klinthing ngamuk!terus ngadek duwur lambene mangap ombo arep nyaplok Ajar Selokantara, tapi ora sidomego eling omonganne ibune yen kudu manut wong tuwo.Baru Klinting terus takon ning bapake piye carane supoyodiakoni anak.

Aji Selokantara ngongkon Baru Klinting ngubengi Gunung Wilis nganti gathuk dari ujung kepala sampai ujung ekor harus cukup. Baru Klinthing melaksanakan perintah ayahnya, tapi kurang sepenggal agar badannya menyentuh ujung kepala dan ujung ekor. Baru Klinthing takon ning bapake “opo oleh disambung karo ilat?” jalaran oleh, Baru Klinthing njulurne ilate ngge nyambung kurangane sing sak kilan kui. Kemudian Aji Selokantara mencabut pisau dan memotong salah satu cabang lidah Baru Klinthing.

Jika Baru Klinthing ingin menjadi manusia, maka dia tidak boleh memiliki lidah yang bercabang, maka Aji Selokantara memtong lidah Baru Klinthing dan menyuruh menelan dan mengeluarkannya lagi. Baru Klinthing menuruti perintah ayahnya dan menelan lidahnya kemudian mengeluarkannya lewat telinga, namun lidah yang keluar dalam wujud daun, dan akhirnya menjadi daun telinga. Untuk menjadi manusia utuh. Aji Selokantara memerintahkan anaknya agar bertapa selama puluhan tahun di dalam hutan. Baru Klinthing menuruti perintah ayahnya dan masuk ke dalam hutan mencari tempat yang aman untuk bertapa selama puluhan tahun.

jadi, saking suwi topo, awake nganti ditutupi godhong-godong, ranting-ranting lan suket-suket sing tukul, malah awake nganti koyo bantang tanduran. Lokasine topo iku saiki dadi Desa Sirah Nogo, termasuk Kecamatan Mlilir, Kabupaten Madiun.

Barengan karo topone Baru Klinthing, ana desa jenenge Ngebel. Ning deso kono enek acara bersih desa sing dipusatne ning omahe kepala desa. Kangge ngringkes biaya, kepala desa ndawuh ning wargane wong lanang-lanang supaya golek kewan buruan ning alas. Esukke warga sing lanangngoowo arit, parang, lan tombak mlebu jeroning alas. Nganti surup ora ono siji ae kewan sing ketangkep, rombongan mau leren ning jero alas. Salah sijine nancepne arit ningsalah siji wit, soko kui mili getih banter banget. Wong-wong podo kaget lan ngencepne senjata sing di gowo ning wit kui, jalaran wit kui obah lan dikirani belut sing gedhi banget. Ananging kuwi wujude Baru Klinthing sing lagi topo. Para warga seneng banget mergane oleh daging welut sing akeh, terus balik ning desane.

Sampek ning desa, daging mau dimasak lan dipangan kabeh warga ning kono. Perayaan tersebut diselenggarakan hingga satu hari satu malam. Hingga pada suatu siang datanglah seorang anak kecil dengan baju compang-camping dan bada penuh luka. Anak tersebut adalah jelmaan dari Baru Klinthing. Anak itu mendatangai kerumunan anak kecil di perayaan, namun tidak satupun kerumunan anak kecil menerima kedatangannya.kemudian dia menuju ke dapur untuk mencari makanan. Tidak satupun orang dewasa yang membarinya makan, bahkan mereka merasa jijik dan mengusirnya. Namun ada seorang nenek yang merasa kasihan dan memberikan sebungkus nasi dengan lauk pindang daging. Nenek tersebut bernama Nyai Latung

Anak kecil itu makan dengan cepat menghabiskan nasinya, sehingga badannya menjadi sehat, dan bekas lukanya hilang. Kemudian dia berpesan kepada Nyai Latung yang memberikan makan bila terjadi sesuatu maka bawalah centhong nasi ini dan naiklah ke lesung itu. Setelah itu,  anak kecil tersbut mendatangi kelompok anak-anak seusianya dan membawa sebatang lidi. Kemudian dia menancapkan lidi tersebut ke tanah dan mengatakan kepada anak-anak kecl dan semua orang yang ada disana, siapa yang bias mencabut lidi ini akan diberikan sebungkus nasi dengan lauk daging yang banyak. Tapi ucapannya malah diremehkan oleh orang-orang yang ada disana. Satu persatu anak-anak kecil yang ada disana berusaha mencabut, tapi tidak ada yang bisa. Saat itulah, orang-orang tua baru memperhatikan dan ikut mencabut lidi itu, tapi tidak satupun yang bisa. Anak kecil jelmaan Baru Klinthing tersebut kemudian mengatakan bahwa “orang kikir dan orang sombong itu tidak baik, dan tidak diberkahi Tuhan. Maka janganlah berlagak sombong dan menghina sesame mahkluk hidup. Maka perhatikanlah saya akan mencabut lidi ini” anak kecil tersebut mencabut lidi dan keluarlah mataair yang sangat besar, mengalir ke kanan dan ke kiri. Menghanyutkan semua orang dan bangunan. Semakin lama semakin luas genangan mataair tersebut hingga menjadi danau. Nyai Latung yang memberikannya nasi selamat bersama anak kecil tersebut karena naik di atas lesung dan menggunakan centhong sebagai alat dayungnya.

Nyai Latung dan anak kecil itu naik perahu lesung menuju tepi danau. Nyai Latung tersebut kemudian tinggal di tepi telaga tersebut sampai meninggal, dan dimakamkan disana.

sumber: data primer (wawancara dengan sesepuh Telaga Ngebel)

Diskusi

Silahkan masuk untuk berdiskusi.

Daftar Diskusi

Rekomendasi Entri

Gambar Entri
Tradisi MAKA
Seni Pertunjukan Seni Pertunjukan
Nusa Tenggara Barat

MAKA merupakan salah satu tradisi sakral dalam budaya Bima. Tradisi ini berupa ikrar kesetiaan kepada raja/sultan atau pemimpin, sebagai wujud bahwa ia bersumpah akan melindungi, mengharumkan dan menjaga kehormatan Dou Labo Dana Mbojo (bangsa dan tanah air). Gerakan utamanya adalah mengacungkan keris yang terhunus ke udara sambil mengucapkan sumpah kesetiaan. Berikut adalah teks inti sumpah prajurit Bima: "Tas Rumae… Wadu si ma tapa, wadu di mambi’a. Sura wa’ura londo parenta Sara." "Yang mulia tuanku...Jika batu yang menghadang, batu yang akan pecah, jika perintah pemerintah (atasan) telah dikeluarkan (diturunkan)." Tradisi MAKA dalam Budaya Bima dilakukan dalam dua momen: Saat seorang anak laki-laki selesai menjalani upacara Compo Sampari (ritual upacara kedewasaan anak laki-laki Bima), sebagai simbol bahwa ia siap membela tanah air di berbagai bidang yang digelutinya. Seharusnya dilakukan sendiri oleh si anak, namun tingkat kedewasaan anak zaman dulu dan...

avatar
Aji_permana
Gambar Entri
Wisma Muhammadiyah Ngloji
Produk Arsitektur Produk Arsitektur
Daerah Istimewa Yogyakarta

Wisma Muhammadiyah Ngloji adalah sebuah bangunan milik organisasi Muhammadiyah yang terletak di Desa Sendangagung, Kecamatan Minggir, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Wisma ini menjadi pusat aktivitas warga Muhammadiyah di kawasan barat Sleman. Keberadaannya mencerminkan peran aktif Muhammadiyah dalam pemberdayaan masyarakat melalui pendekatan dakwah dan pendidikan berbasis lokal.

avatar
Bernadetta Alice Caroline
Gambar Entri
SMP Negeri 1 Berbah
Produk Arsitektur Produk Arsitektur
Daerah Istimewa Yogyakarta

SMP Negeri 1 Berbah terletak di Tanjung Tirto, Kelurahan Kalitirto, Kecamatan Berbah, Sleman. Gedung ini awalnya merupakan rumah dinas Administratuur Pabrik Gula Tanjung Tirto yang dibangun pada tahun 1923. Selama pendudukan Jepang, bangunan ini digunakan sebagai rumah dinas mandor tebu. Setelah Indonesia merdeka, bangunan tersebut sempat kosong dan dikuasai oleh pasukan TNI pada Serangan Umum 1 Maret 1949, tanpa ada yang menempatinya hingga tahun 1951. Sejak tahun 1951, bangunan ini digunakan untuk kegiatan sekolah, dimulai sebagai Sekolah Teknik Negeri Kalasan (STNK) dari tahun 1951 hingga 1952, kemudian berfungsi sebagai STN Kalasan dari tahun 1952 hingga 1969, sebelum akhirnya menjadi SMP Negeri 1 Berbah hingga sekarang. Bangunan SMP N I Berbah menghadap ke arah selatan dan terdiri dari dua bagian utama. Bagian depan bangunan asli, yang sekarang dijadikan kantor, memiliki denah segi enam, sementara bagian belakangnya berbentuk persegi panjang dengan atap limasan. Bangunan asli dib...

avatar
Bernadetta Alice Caroline
Gambar Entri
Pabrik Gula Randugunting
Produk Arsitektur Produk Arsitektur
Daerah Istimewa Yogyakarta

Pabrik Gula Randugunting menyisakan jejak kejayaan berupa klinik kesehatan. Eks klinik Pabrik Gula Randugunting ini bahkan telah ditetapkan sebagai cagar budaya di Kabupaten Sleman melalui SK Bupati Nomor Nomor 79.21/Kep.KDH/A/2021 tentang Status Cagar Budaya Kabupaten Sleman Tahun 2021 Tahap XXI. Berlokasi di Jalan Tamanmartani-Manisrenggo, Kalurahan Tamanmartani, Kapanewon Kalasan, Kabupaten Sleman, pabrik ini didirikan oleh K. A. Erven Klaring pada tahun 1870. Pabrik Gula Randugunting berawal dari perkebunan tanaman nila (indigo), namun, pada akhir abad ke-19, harga indigo jatuh karena kalah dengan pewarna kain sintesis. Hal ini menyebabkan perkebunan Randugunting beralih menjadi perkebunan tebu dan menjadi pabrik gula. Tahun 1900, Koloniale Bank mengambil alih aset pabrik dari pemilik sebelumnya yang gagal membayar hutang kepada Koloniale Bank. Abad ke-20, kemunculan klinik atau rumah sakit di lingkungan pabrik gula menjadi fenomena baru dalam sejarah perkembangan rumah sakit...

avatar
Bernadetta Alice Caroline
Gambar Entri
Kompleks Panti Asih Pakem
Produk Arsitektur Produk Arsitektur
Daerah Istimewa Yogyakarta

Kompleks Panti Asih Pakem yang terletak di Padukuhan Panggeran, Desa Hargobinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, merupakan kompleks bangunan bersejarah yang dulunya berfungsi sebagai sanatorium. Sanatorium adalah fasilitas kesehatan khusus untuk mengkarantina penderita penyakit paru-paru. Saat ini, kompleks ini dalam kondisi utuh namun kurang terawat dan terkesan terbengkalai. Beberapa bagian bangunan mulai berlumut, meskipun terdapat penambahan teras di bagian depan. Kompleks Panti Asih terdiri dari beberapa komponen bangunan, antara lain: Bangunan Administrasi Paviliun A Paviliun B Paviliun C Ruang Isolasi Bekas rumah dinas dokter Binatu dan dapur Gereja

avatar
Bernadetta Alice Caroline