Orang pertama yang memperkenalkan tenun Siak adalah seorang perajin yang didatangkan dari Kerajaan Terangganu Malaysia pada masa ketika Kerajaan Siak diperintahkan oleh Sultan sayid ali. Dari terangganu Wan Sitti Binti Wan Karim dibawa ke Siak Sri Indrapura. Beliau adalh seorang wanita yang cakap dan terampil dalam bertenun. Beliau mengajarkan bagaimana cara menenun kain songket.
Pada awalmya tenun yang diajarkan adalah tenun tumpu, kemudian bertukar ganti dengan menggunakan alat yang dinamakan dengan “Kik”. Kain yang dihasilkan disebut dengan kain tenun siak. Pada awalnya kain tenun Siak ini dibuat terbatas bagi kalangan bangsawan saja, terutama sultan dan para keluarga serta para pembesar kerjaan dikalangan Istana Siak. Kik adalah alat tenun yang sederhana, terbuat dari bahan kayu berukuran sekitar 1 x 2 meter. Sesuai dengan ukuran alatnya, maka kain yang dihasilkan tidaklah lebar, sehingga tidak cukup untuk satu kain sarung, sehingga harus disambung dua yang disebut dengan kain berkampuh.
Dengan demikian, untuk mendapatkan sehelai kain, harus ditenun dua kali dan kemudian hasilnya disambung untuk bagian atas dan bagian bawah, yang sudah barang tentu memakan waktu lama. Untuk membuat kain tenun diperlukan bahan baku benang, baik benang sutera ataupun benang katun berwarna yang dipadukan dengan benang emas sebagai oranament (moti) atau hiasan. Dikarenankan benang sutera sudah didapat, maka lama kelamaan orang hanya menggunkan benag katun.
Pada masa kerajaan, kain tenun siak merupakan bahn pakaian bagi orang-orang dikalangan kerajaan dalam lingkungan terbatas, yaitu hanya untuk keluarga dan keraban sultan serta para pembesar kerajaan , Lama kelamaan masyarakat umum telah pula banyak yang pintar bertenun, sehingga semakin berkembanglah tenun Siak ini sampai keluar negeri Siak. Bertenun dengan menggunakan kik ini memekan waktu yang cukup lama. Untuk menghasilkan sehelai kain diperlukan waktu 3-4 minggu
Selain tenun Siak yang saat ini telah dikenal dengan tenun songket Riau, dikenal pula kain tenun songket Indragiri yang telah ada sejak puluha tahun yang lalu di Kerajaan Indragiri. Asal mula kain tenun Indragiri dibawa oleh orang-orang perehu atau disebut dengan orang dagang yang menetap di Indragiri yang berpusat di Kota Rengat. Masyarakat pendatang ini oleh kerajaan Indragiri melalui Tenun Muda Indragiri, dibri suatu daerah untuk bermukiman sampai saat ini. Daerah tersebut dikenal dengan nama Kampung Dagang. Dari tempat iilah awal mula berkembangnya tenun Indragiri, dengan bahan baku berasal dari benang sutera.
Pada masa kejayaannya Kerajaan Indragiri terkenal sbagai penghasil karet yang diperjual belikan sampai ke Singapur oleh pedagang cina di Kota Rengat. Kepada pedagang Cina inilah tenun indragiri diperdagangkan dengan cara titip beli . Lama kelamaan karena kesulitan dalam mendapatkan benang sutera, mka bahan baku diganti dengan katun yang dipadukan dengan benang emas.
Pada awalnya alat tenun Indragiri adalah alat tenun tumpu, yang kemudian berganti dengan nama Kik dan ATBM. Bertenun dengan menggunkan Kik, sama halnya dengan tenun siak, akan memakan waktu hampir satu bulan untuk menyelesaikan satu helai kain. Bertenun ini juga dilakukan oleh para wanita yang pada mulanya adalah untuk keperluan sendiri, kemudian berkembang menjadi usaha rumah tangga.
Pada masa tertentu sesudah berakhirnya masa Kerajaan Indragiri, tenun ini sempat menghilang dan sulit dicari. Kain hasil tenunan lam tersebut hanyadimiliki orang – orang tertentu, yaitu keluarga raja atau pembesar kerajaan yang menyimpannya dengan hati-hati sekali. Barulah pada sekitar tahun 1992 Pemerintah Daerah Kabupaten Indragiri Hulu kembali mengkaji dan mengangkat tenun ini dan menumbuhkan kembali tenun songket indragiri.
Dikabupaten Indragiri Hilir , Khususnya di Kecamatan Khairiah Mandah, masyarakat Melayu juga membuat kerajinan tenun songket , dengan alat tenun tumpu. Motif-motif yang dipakai tidak menggunakan benang emas. Tenun ini banyak memiliki kesamaan dengan tenun bugis. Kerajaan tenun songket di daerah Indraggiri Hilir juga dikembangkan oleh masyarakat pendatang dari sulawesi selatan (suku bugis) yang merantau ke Negeri Seribu Parit Indragiri Hilir untuk berkebun kelapa dan membuka lahan pertanian. Keterampilan bertenun yang telah mereka miliki didaerah asalnya mereka kemabangkan di tempat yang baru. Mereka yang memiliki keterampilan bertenun membawa alat-alat tenun tradisional yang mereka sebut “godokan”.
Ibu-ibu menenun kain dengan motif da corak khas suku Bugis, pada waktu itu dikerjakan dirumah sambil menunggu hasil pertanian di panen. Berkat pembinaan Pemerintah dan Dekranasda Kabupaten Indragiri Hilir, alat tenun tradisional kemudian ditingkatkan menjadi Alat Tenun Bukan Mesin (ATBM. Saat ini, industri kerajinan tenun songket Indragiri hlir telah menyebar kebeberapa wilayah di Kabupaten Indragiri Hilir.
Dalam perkembangan tenun, saat ini sudah tidak dipergunakan Kikatau
Gedokan /godokan sebagai alat tenun, melainkan telah dipergunakan Alat Tenun Bukan Mesin (ATBM). Dengan mempergunakan ATBM, pembuatan sehelai kain tenun hanya membutuhkan waktu selama 3-5 hari saja. Disamping itu, juga telah dikembangkan tenun modifikasi dengan mempergunakan benang bordir sebagai pengganti benang emas. Pekerjaan untuk kain tenun modifikasi sedikit lebih cepat daripada pembuatan tenun dengan menggunkan benang emas, yaitu sekitar 3 atau 4 hari untuk sehelai kain.
Sumber :
Khazanah Kerajinan Melayu Riau (Adicita Karya Nusa)