|
|
|
|
Tenun Gedhog: Tenun Tuban yang Mulai Terlupa Tanggal 15 Aug 2018 oleh OSKM18_16318001_Avissa Putri Khairunnisa. |
Setelah hampir satu milenium menjadi kota pelabuhan yang amat penting sebagai tempat bertukarnya barang lokal dengan barang impor, nama Kabupaten Tuban, Jawa Timur kemudian tenggelam sampai empat ratus tahun kemudian. Peristiwa ini ternyata secara tidak sengaja berdampak pada pelestarian teknik menenun tradisional dan membatik cara lama yang sekarang ini makin dilupakan orang akibat gaya hidup yang modern.
Gaji dan Kedungrejo merupakan dua dukuh kecil di Kecamatan Kerek, Tuban, serta mungkin satu-satunya tempat di Jawa pada masa kini sebagai tempat kerajinan tenun yang mana bergantung seluruhnya pada kapas yang dipintal sendiri. Biasanya ketika matahari berada tepat di atas kepala, terdengar bunyi ‘dhog-dhog’ dari alat tenun sederhana yang digerakkan, yang mana bunyi alat tersebut mengilhami nama dari tenun dan batik itu sendiri, yaitu tenun dan batik gedhog. Nama tersebut diambil dari bunyi alat tenun itu sendiri.
Untuk menghasilkan tenun gedhog, pengerajin menggunakan kapas yang dipintal sendiri dan yang terdapat di Tuban. Ada dua jenis kapas yang ditanam, yaitu kapas putih (lawe) dan kapas cokelat muda (lawa). Kapas lawa sendiri merupakan hasil asimilasi silang yang kadang terjadi akibat ditanam berdekatan dengan kapas putih, sehingga kapas yang dihasilkan terdapat bercak-bercak cokelat sangat muda dan putih, jenis kapas ini biasanya dianggap ‘cacat’ dan kemudian disimpan untuk keperluan sendiri. Jumlah kapas lawa sendiri sangat langka pada saat ini.
Kain tenun berbahan utama dari kapas, maka kapas yang telah dipanen dan dikeluarkan dari cangkangnya dijemur, kemudian untuk mengeluarkan biji kapas maka kapas ditarik ke celah sempit antar dua kayu dengan alat gilingan, sehingga bijinya tertinggal dan tidak ikut terbawa. Kapas yang sudah bersih agak padat, kemudian diurai dengan alat berbentuk busur yang bernama sendeng dan digulung sampai mencapai konsistensi yang pas untuk dipintal. Benang dipintal menggunakan roda pintal (jantra). Helai demi helai serat kapas dari gulungan terkumpul di sebuah batang bambu pendek (kisi) yang berputar. Setelah itu, benang dipindah dengan digulung ke sebuah alat berbentuk bingkai kayu (likasan). Hasil gulungan benang ini siap dicuci, diberi warna dan dikanji supaya kuat dan tidak kusut. Kemudian, barulah benang ini bisa ditenun untuk menghasilkan kain tenun gedhog.
Tenun Tuban dengan ragam hias garis-garis disebut lurik. Garis-garis dalam lurik kebanyakan berwarna biru tua kehitam-hitaman, kadang dikombinasikan dengan garis merah atau tipis kuning, terkadang disilangkan untuk menciptakan ragam hias kotak-kotak. Kadang ada juga ragam hias ikat di antara garis, berupa bercak putih dengan latar belakang biru. Kain seperti ini bisa dikelompokkan dalam kategori kain kentol yang biasa dipakai oleh orang kentol sebagai keturunan para tuan tanah.
Selain lurik, ada juga kain tenun yang disebut kain usik yang dibuat dari gabungan dua helai benang lawa yang dipintal menjadi satu, kemudian dipakai sebagai pakan atau lungsi ketika menenun. Hasil memintal dua jenis benang berbeda warna menjadi satu disebut benang tamparan. Kain tenun yang tebal dan kuat ini digunakan untuk bahan celana dan beskap lelaki.
Pemasangan benang tambahan pada saat menenun menghasilkan ragam hias kembang kecil. Ada tiga cara: a. menambah benang yang berbeda tekstur atau warna pada pakan (pakan tambahan), b. menambah benang yang berbeda tekstur, dan c. menganyam pakan berselang seling untuk efek mengambang. Tenun gedhog dengan corak kembang ini disebut ‘lurik Kembangan.’ Sekarang ini, benang biasa digunakan untuk menciptakan motif kembang, tetapi zaman dahulu menggunakan benang sutera atau benang emas. Lurik Kembangan dengan benang emas sekarang ini sudah tidak ada, tetapi yang terbuat dari sutera masih ada dan disimpan sebagai koleksi berharga milik beberapa warga desa.
Secara tradisi, warna dalam kain tenun Tuban terbatas hanya nada warna biru dan merah, sedikit kuning, ungu yang didapat dari mencampur biru dan merah, serta warna alami kapas. Warna biru (nila) didapat dari pengolahan pohon tom (indigo). Pohon indigo diolah sehingga menjadi bentuk pasta nila sehingga dapat digunakan dan disimpan dalam waktu yang lama. Warna merah sekarang ini kebanyakan berasal dari pewarna sintetis, walaupun tren ‘kembali ke alam’ akhir-akhir ini telah mendorong pengerajin untuk menghadirkan kembali pewarna merah alami. Campuran mengkudu-jirek (Morinda-Symplocos) sebagai pewarna yang menghasilkan warna merang terang yang dahulu banyak digunakan, sekarang sudah tidak lagi. Sebagai gantinya warna yang dihasilkan adalah merah bata. Warna kuning, dahulu didapatkan dari parutan kunyit (Curcuma longa), tetapi kini di Tuban warna kuning jarang sekali digunakan, hanya dipakai untuk menambah garis di lurik dan batik. Untuk itu, pewarna sintetis lebih lazim digunakan.
Orang Tuban menganggap tenun polos ataupun bergaris sebagai ‘kain kosong’, maka untuk mengisi kekosongan tersebut kain perlu dibatik. Tenun yang telah dibatik menghasilkan jenis batik yang dikenal dengan batik gedhog.
Sumber: Tenun Gedhog: The Hand-Loomed Fabris of Tuban, East Java, oleh Judi Knight Achjadi & E.A. Natanegara
#OSKM2018
Gambus
Oleh
agus deden
| 21 Jun 2012.
Gambus Melayu Riau adalah salah satu jenis instrumental musik tradisional yang terdapat hampir di seluruh kawasan Melayu.Pergeseran nilai spiritual... |
Hukum Adat Suku...
Oleh
Riduwan Philly
| 23 Jan 2015.
Dalam upaya penyelamatan sumber daya alam di kabupaten Aceh Tenggara, Suku Alas memeliki beberapa aturan adat . Aturan-aturan tersebut terbagi dal... |
Fuu
Oleh
Sobat Budaya
| 25 Jun 2014.
Alat musik ini terbuat dari bambu. Fuu adalah alat musik tiup dari bahan kayu dan bambu yang digunakan sebagai alat bunyi untuk memanggil pend... |
Ukiran Gorga Si...
Oleh
hokky saavedra
| 09 Apr 2012.
Ukiran gorga "singa" sebagai ornamentasi tradisi kuno Batak merupakan penggambaran kepala singa yang terkait dengan mitologi batak sebagai... |