Setelah hampir satu milenium menjadi kota pelabuhan yang amat penting sebagai tempat bertukarnya barang lokal dengan barang impor, nama Kabupaten Tuban, Jawa Timur kemudian tenggelam sampai empat ratus tahun kemudian. Peristiwa ini ternyata secara tidak sengaja berdampak pada pelestarian teknik menenun tradisional dan membatik cara lama yang sekarang ini makin dilupakan orang akibat gaya hidup yang modern.
Gaji dan Kedungrejo merupakan dua dukuh kecil di Kecamatan Kerek, Tuban, serta mungkin satu-satunya tempat di Jawa pada masa kini sebagai tempat kerajinan tenun yang mana bergantung seluruhnya pada kapas yang dipintal sendiri. Biasanya ketika matahari berada tepat di atas kepala, terdengar bunyi ‘dhog-dhog’ dari alat tenun sederhana yang digerakkan, yang mana bunyi alat tersebut mengilhami nama dari tenun dan batik itu sendiri, yaitu tenun dan batik gedhog. Nama tersebut diambil dari bunyi alat tenun itu sendiri.
Untuk menghasilkan tenun gedhog, pengerajin menggunakan kapas yang dipintal sendiri dan yang terdapat di Tuban. Ada dua jenis kapas yang ditanam, yaitu kapas putih (lawe) dan kapas cokelat muda (lawa). Kapas lawa sendiri merupakan hasil asimilasi silang yang kadang terjadi akibat ditanam berdekatan dengan kapas putih, sehingga kapas yang dihasilkan terdapat bercak-bercak cokelat sangat muda dan putih, jenis kapas ini biasanya dianggap ‘cacat’ dan kemudian disimpan untuk keperluan sendiri. Jumlah kapas lawa sendiri sangat langka pada saat ini.
Kain tenun berbahan utama dari kapas, maka kapas yang telah dipanen dan dikeluarkan dari cangkangnya dijemur, kemudian untuk mengeluarkan biji kapas maka kapas ditarik ke celah sempit antar dua kayu dengan alat gilingan, sehingga bijinya tertinggal dan tidak ikut terbawa. Kapas yang sudah bersih agak padat, kemudian diurai dengan alat berbentuk busur yang bernama sendeng dan digulung sampai mencapai konsistensi yang pas untuk dipintal. Benang dipintal menggunakan roda pintal (jantra). Helai demi helai serat kapas dari gulungan terkumpul di sebuah batang bambu pendek (kisi) yang berputar. Setelah itu, benang dipindah dengan digulung ke sebuah alat berbentuk bingkai kayu (likasan). Hasil gulungan benang ini siap dicuci, diberi warna dan dikanji supaya kuat dan tidak kusut. Kemudian, barulah benang ini bisa ditenun untuk menghasilkan kain tenun gedhog.
Tenun Tuban dengan ragam hias garis-garis disebut lurik. Garis-garis dalam lurik kebanyakan berwarna biru tua kehitam-hitaman, kadang dikombinasikan dengan garis merah atau tipis kuning, terkadang disilangkan untuk menciptakan ragam hias kotak-kotak. Kadang ada juga ragam hias ikat di antara garis, berupa bercak putih dengan latar belakang biru. Kain seperti ini bisa dikelompokkan dalam kategori kain kentol yang biasa dipakai oleh orang kentol sebagai keturunan para tuan tanah.
Selain lurik, ada juga kain tenun yang disebut kain usik yang dibuat dari gabungan dua helai benang lawa yang dipintal menjadi satu, kemudian dipakai sebagai pakan atau lungsi ketika menenun. Hasil memintal dua jenis benang berbeda warna menjadi satu disebut benang tamparan. Kain tenun yang tebal dan kuat ini digunakan untuk bahan celana dan beskap lelaki.
Pemasangan benang tambahan pada saat menenun menghasilkan ragam hias kembang kecil. Ada tiga cara: a. menambah benang yang berbeda tekstur atau warna pada pakan (pakan tambahan), b. menambah benang yang berbeda tekstur, dan c. menganyam pakan berselang seling untuk efek mengambang. Tenun gedhog dengan corak kembang ini disebut ‘lurik Kembangan.’ Sekarang ini, benang biasa digunakan untuk menciptakan motif kembang, tetapi zaman dahulu menggunakan benang sutera atau benang emas. Lurik Kembangan dengan benang emas sekarang ini sudah tidak ada, tetapi yang terbuat dari sutera masih ada dan disimpan sebagai koleksi berharga milik beberapa warga desa.
Secara tradisi, warna dalam kain tenun Tuban terbatas hanya nada warna biru dan merah, sedikit kuning, ungu yang didapat dari mencampur biru dan merah, serta warna alami kapas. Warna biru (nila) didapat dari pengolahan pohon tom (indigo). Pohon indigo diolah sehingga menjadi bentuk pasta nila sehingga dapat digunakan dan disimpan dalam waktu yang lama. Warna merah sekarang ini kebanyakan berasal dari pewarna sintetis, walaupun tren ‘kembali ke alam’ akhir-akhir ini telah mendorong pengerajin untuk menghadirkan kembali pewarna merah alami. Campuran mengkudu-jirek (Morinda-Symplocos) sebagai pewarna yang menghasilkan warna merang terang yang dahulu banyak digunakan, sekarang sudah tidak lagi. Sebagai gantinya warna yang dihasilkan adalah merah bata. Warna kuning, dahulu didapatkan dari parutan kunyit (Curcuma longa), tetapi kini di Tuban warna kuning jarang sekali digunakan, hanya dipakai untuk menambah garis di lurik dan batik. Untuk itu, pewarna sintetis lebih lazim digunakan.
Orang Tuban menganggap tenun polos ataupun bergaris sebagai ‘kain kosong’, maka untuk mengisi kekosongan tersebut kain perlu dibatik. Tenun yang telah dibatik menghasilkan jenis batik yang dikenal dengan batik gedhog.
Sumber: Tenun Gedhog: The Hand-Loomed Fabris of Tuban, East Java, oleh Judi Knight Achjadi & E.A. Natanegara
#OSKM2018
MAKA merupakan salah satu tradisi sakral dalam budaya Bima. Tradisi ini berupa ikrar kesetiaan kepada raja/sultan atau pemimpin, sebagai wujud bahwa ia bersumpah akan melindungi, mengharumkan dan menjaga kehormatan Dou Labo Dana Mbojo (bangsa dan tanah air). Gerakan utamanya adalah mengacungkan keris yang terhunus ke udara sambil mengucapkan sumpah kesetiaan. Berikut adalah teks inti sumpah prajurit Bima: "Tas Rumae… Wadu si ma tapa, wadu di mambi’a. Sura wa’ura londo parenta Sara." "Yang mulia tuanku...Jika batu yang menghadang, batu yang akan pecah, jika perintah pemerintah (atasan) telah dikeluarkan (diturunkan)." Tradisi MAKA dalam Budaya Bima dilakukan dalam dua momen: Saat seorang anak laki-laki selesai menjalani upacara Compo Sampari (ritual upacara kedewasaan anak laki-laki Bima), sebagai simbol bahwa ia siap membela tanah air di berbagai bidang yang digelutinya. Seharusnya dilakukan sendiri oleh si anak, namun tingkat kedewasaan anak zaman dulu dan...
Wisma Muhammadiyah Ngloji adalah sebuah bangunan milik organisasi Muhammadiyah yang terletak di Desa Sendangagung, Kecamatan Minggir, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Wisma ini menjadi pusat aktivitas warga Muhammadiyah di kawasan barat Sleman. Keberadaannya mencerminkan peran aktif Muhammadiyah dalam pemberdayaan masyarakat melalui pendekatan dakwah dan pendidikan berbasis lokal.
SMP Negeri 1 Berbah terletak di Tanjung Tirto, Kelurahan Kalitirto, Kecamatan Berbah, Sleman. Gedung ini awalnya merupakan rumah dinas Administratuur Pabrik Gula Tanjung Tirto yang dibangun pada tahun 1923. Selama pendudukan Jepang, bangunan ini digunakan sebagai rumah dinas mandor tebu. Setelah Indonesia merdeka, bangunan tersebut sempat kosong dan dikuasai oleh pasukan TNI pada Serangan Umum 1 Maret 1949, tanpa ada yang menempatinya hingga tahun 1951. Sejak tahun 1951, bangunan ini digunakan untuk kegiatan sekolah, dimulai sebagai Sekolah Teknik Negeri Kalasan (STNK) dari tahun 1951 hingga 1952, kemudian berfungsi sebagai STN Kalasan dari tahun 1952 hingga 1969, sebelum akhirnya menjadi SMP Negeri 1 Berbah hingga sekarang. Bangunan SMP N I Berbah menghadap ke arah selatan dan terdiri dari dua bagian utama. Bagian depan bangunan asli, yang sekarang dijadikan kantor, memiliki denah segi enam, sementara bagian belakangnya berbentuk persegi panjang dengan atap limasan. Bangunan asli dib...
Pabrik Gula Randugunting menyisakan jejak kejayaan berupa klinik kesehatan. Eks klinik Pabrik Gula Randugunting ini bahkan telah ditetapkan sebagai cagar budaya di Kabupaten Sleman melalui SK Bupati Nomor Nomor 79.21/Kep.KDH/A/2021 tentang Status Cagar Budaya Kabupaten Sleman Tahun 2021 Tahap XXI. Berlokasi di Jalan Tamanmartani-Manisrenggo, Kalurahan Tamanmartani, Kapanewon Kalasan, Kabupaten Sleman, pabrik ini didirikan oleh K. A. Erven Klaring pada tahun 1870. Pabrik Gula Randugunting berawal dari perkebunan tanaman nila (indigo), namun, pada akhir abad ke-19, harga indigo jatuh karena kalah dengan pewarna kain sintesis. Hal ini menyebabkan perkebunan Randugunting beralih menjadi perkebunan tebu dan menjadi pabrik gula. Tahun 1900, Koloniale Bank mengambil alih aset pabrik dari pemilik sebelumnya yang gagal membayar hutang kepada Koloniale Bank. Abad ke-20, kemunculan klinik atau rumah sakit di lingkungan pabrik gula menjadi fenomena baru dalam sejarah perkembangan rumah sakit...
Kompleks Panti Asih Pakem yang terletak di Padukuhan Panggeran, Desa Hargobinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, merupakan kompleks bangunan bersejarah yang dulunya berfungsi sebagai sanatorium. Sanatorium adalah fasilitas kesehatan khusus untuk mengkarantina penderita penyakit paru-paru. Saat ini, kompleks ini dalam kondisi utuh namun kurang terawat dan terkesan terbengkalai. Beberapa bagian bangunan mulai berlumut, meskipun terdapat penambahan teras di bagian depan. Kompleks Panti Asih terdiri dari beberapa komponen bangunan, antara lain: Bangunan Administrasi Paviliun A Paviliun B Paviliun C Ruang Isolasi Bekas rumah dinas dokter Binatu dan dapur Gereja