|
|
|
|
Tentang Islam Wetu Telu dan Stigma yang Keliru #DaftarSB19 Tanggal 16 Feb 2019 oleh Sintia Ahla Mulya. |
Di sebuah desa di kaki Gunung Rinjani, terdapat sebutan untuk masyarakat yang tinggal di sana yaitu masyarakat yang menganut Islam Wetu Telu. Masyarakat menganggap mereka menjalankan ibadah shalat hanya tiga kali, padahal hal itu adalah keliru. Ritual ini kerap disalahpahami, sehingga dianggap sebagai agama sempalan Islam. Desa yang kabarnya masih melestarikan pratik peribadatan wetu telu adalah Karang Bajo.
Berbagai stigma berkembang soal masyarakat adat ini. Beberapa yang paling populer misalnya Wetu Telu merupakan percampuran agama Hindu, Islam, dan Buddha. Itu pun diwakilkan oleh penghulu adat, serta mengukur keislaman hanya dari syahadat, pantang makan babi dan alkohol, serta berkhitan bagi kaum lelaki.
Jika kita merujuk sumber sekunder, Wetu Telu dimaknai sebagai sinkretisme Hindu dan Islam. Praktik peribadatan warga Sasak di desa Bayan karenanya, dicap sebagai sempalan mazhab Sunni maupun Syiah penduduk Indonesia. Mendengar penjelasan Junan, di pikiran saya Wetu Telu sama belaka seperti Kejawen di Jawa Tengah-Jawa Timur, maupun praktik Sunda Wiwitan di Jawa Barat—praktik beragama sinkretis yang oleh rezim Orde Baru kemudian dikategorikan sebagai "aliran kepercayaan", bukan agama.
Dalam Buku Dari Bayan untuk Indonesia Inklusif , yang dibuat masyarakat Bayan untuk mendobrak stigma wetu telu, dijelaskan Van Baal cuma menggambarkan kondisi masyarakat Bayan yang memahami Islam sesuai dengan apa yang pertama kali dipahami dan diajarkan, yakni Islam tradisonal. Dalam perkembangannya, wetu telu identik sebagai budaya lokal dan filosofi masyarakat Bayan yang lekat dekat anasir ajaran Islam.
Wetu Telu menurutnya bukan agama dan bukan adat, melainkan konsep filosofis. Wetu telu ini memandang keberadaan manusia ada di dalam tiga alam. Pertama alam rahim atau kandungan, kedua alam dunia dan ketiga alam akhirat. Ketiga unsur inilah yang memenuhi dunia dan alam semesta ini, yang mengisi dunia ini.
Hal ini bisa dilihat dari serangkaian ritual adat Bayan yang dijalankan bersamaan dengan agama Islam. Contohnya, pada Hari Raya Idul Fitri, dan Idul Adha, peringatan Maulid nabi Muhammad SAW, dilaksanakan dalam dua prosesi berbeda yakni secara Islam dan Adat. Pelaksanaan secara adat inilah yang membuat orang beranggapan masyarakat wetu telu yang salatnya tiga kali ini.
Terkait stigma yang melekat pada masyarakat Bayan, kebanyakan dari mereka sudah bosan mendengar anggapan masyarakat luas. Kontra narasi ini sudah jadi makanan sehari-hari sejak masa penjajahan Belanda, bahkan persepsi keliru tersebut pada era 1960-an digunakan sebagai alat pemberantasan paham komunis oleh rezim Orde Baru.
Untuk mendobrak stigma masyarakat luar, kini penduduk Bayan aktif menuliskan sejarah versi mereka sendiri. Raden Sawinggih, salah satu tokoh pemuda Desa Bayan bercerita saat Ia mendapat undangan dari sebuah aliansi masyarakat mendorong agama lokal diakui negara ke Mahkamah Konstitusi. Nilai-nilai wetu telu ini adalah nilai Islam juga cuma dipahami secara tradisional, lebih dekat dengan ilmu-ilmu tasawuf, lebih menyentuh kepada hati nurani. Islam ini sebagai nilai-nilai universal, rahmatan lil alamin yaitu rahmat bagi semesta alam.
Gambus
Oleh
agus deden
| 21 Jun 2012.
Gambus Melayu Riau adalah salah satu jenis instrumental musik tradisional yang terdapat hampir di seluruh kawasan Melayu.Pergeseran nilai spiritual... |
Hukum Adat Suku...
Oleh
Riduwan Philly
| 23 Jan 2015.
Dalam upaya penyelamatan sumber daya alam di kabupaten Aceh Tenggara, Suku Alas memeliki beberapa aturan adat . Aturan-aturan tersebut terbagi dala... |
Fuu
Oleh
Sobat Budaya
| 25 Jun 2014.
Alat musik ini terbuat dari bambu. Fuu adalah alat musik tiup dari bahan kayu dan bambu yang digunakan sebagai alat bunyi untuk memanggil pend... |
Ukiran Gorga Si...
Oleh
hokky saavedra
| 09 Apr 2012.
Ukiran gorga "singa" sebagai ornamentasi tradisi kuno Batak merupakan penggambaran kepala singa yang terkait dengan mitologi batak sebagai... |