Di sebuah desa di kaki Gunung Rinjani, terdapat sebutan untuk masyarakat yang tinggal di sana yaitu masyarakat yang menganut Islam Wetu Telu. Masyarakat menganggap mereka menjalankan ibadah shalat hanya tiga kali, padahal hal itu adalah keliru. Ritual ini kerap disalahpahami, sehingga dianggap sebagai agama sempalan Islam. Desa yang kabarnya masih melestarikan pratik peribadatan wetu telu adalah Karang Bajo.
Berbagai stigma berkembang soal masyarakat adat ini. Beberapa yang paling populer misalnya Wetu Telu merupakan percampuran agama Hindu, Islam, dan Buddha. Itu pun diwakilkan oleh penghulu adat, serta mengukur keislaman hanya dari syahadat, pantang makan babi dan alkohol, serta berkhitan bagi kaum lelaki.
Jika kita merujuk sumber sekunder, Wetu Telu dimaknai sebagai sinkretisme Hindu dan Islam. Praktik peribadatan warga Sasak di desa Bayan karenanya, dicap sebagai sempalan mazhab Sunni maupun Syiah penduduk Indonesia. Mendengar penjelasan Junan, di pikiran saya Wetu Telu sama belaka seperti Kejawen di Jawa Tengah-Jawa Timur, maupun praktik Sunda Wiwitan di Jawa Barat—praktik beragama sinkretis yang oleh rezim Orde Baru kemudian dikategorikan sebagai "aliran kepercayaan", bukan agama.
Dalam Buku Dari Bayan untuk Indonesia Inklusif , yang dibuat masyarakat Bayan untuk mendobrak stigma wetu telu, dijelaskan Van Baal cuma menggambarkan kondisi masyarakat Bayan yang memahami Islam sesuai dengan apa yang pertama kali dipahami dan diajarkan, yakni Islam tradisonal. Dalam perkembangannya, wetu telu identik sebagai budaya lokal dan filosofi masyarakat Bayan yang lekat dekat anasir ajaran Islam.
Wetu Telu menurutnya bukan agama dan bukan adat, melainkan konsep filosofis. Wetu telu ini memandang keberadaan manusia ada di dalam tiga alam. Pertama alam rahim atau kandungan, kedua alam dunia dan ketiga alam akhirat. Ketiga unsur inilah yang memenuhi dunia dan alam semesta ini, yang mengisi dunia ini.
Hal ini bisa dilihat dari serangkaian ritual adat Bayan yang dijalankan bersamaan dengan agama Islam. Contohnya, pada Hari Raya Idul Fitri, dan Idul Adha, peringatan Maulid nabi Muhammad SAW, dilaksanakan dalam dua prosesi berbeda yakni secara Islam dan Adat. Pelaksanaan secara adat inilah yang membuat orang beranggapan masyarakat wetu telu yang salatnya tiga kali ini.
Terkait stigma yang melekat pada masyarakat Bayan, kebanyakan dari mereka sudah bosan mendengar anggapan masyarakat luas. Kontra narasi ini sudah jadi makanan sehari-hari sejak masa penjajahan Belanda, bahkan persepsi keliru tersebut pada era 1960-an digunakan sebagai alat pemberantasan paham komunis oleh rezim Orde Baru.
Untuk mendobrak stigma masyarakat luar, kini penduduk Bayan aktif menuliskan sejarah versi mereka sendiri. Raden Sawinggih, salah satu tokoh pemuda Desa Bayan bercerita saat Ia mendapat undangan dari sebuah aliansi masyarakat mendorong agama lokal diakui negara ke Mahkamah Konstitusi. Nilai-nilai wetu telu ini adalah nilai Islam juga cuma dipahami secara tradisional, lebih dekat dengan ilmu-ilmu tasawuf, lebih menyentuh kepada hati nurani. Islam ini sebagai nilai-nilai universal, rahmatan lil alamin yaitu rahmat bagi semesta alam.
BAHAN-BAHAN 1 ikat kangkung bumbu halus : 5 siung bawang merah 2 siung bawang putih 2 butir kemiri 1 sdt ketumbar bubuk seruas kencur aromatic : 2 lembar daun salam 2 lembar daun jeruk 1 btg sereh seruas lengkuas,geprek seasoning : 1 sdt garam (sesuai selera) 1/2 sdt kaldu bubuk 1/2 sdm gula jawa sisir 1 sdt gula pasir Rose Brand 1 bungkus santan cair instan Rose Brand 1 liter air 3 sdm minyak goreng untuk menumis CARA MEMASAK: Siangi kangkung cuci bersih,tiriskan Haluskan bumbu Tumis bumbu halus hingga harum dengan secukupnya minyak goreng,masukkan aromatic,masak hingga layu,beri air 1 lt Masukkan kangkung,beri seasoning,aduk rata Koreksi rasa Sajikan Sumber: https://cookpad.com/id/resep/25030546?ref=search&search_term=kangkung
Bahan: 1 buah tomat, potong dadu 2 ekor ikan tongkol ukuran sedang (1/2kg) 1/2 bks bumbu marinasi bubuk 1 sdt bawang putih Secukupnya garam Secukupnya gula 7 siung bawang merah, iris 5 buah cabe rawit, iris 2 batang sereh, ambil bagian putihnya, iris 3 lembar daun jeruk, iris tipis-tipis 1 bks terasi ABC Minyak untuk menumis Secukupnya air Cara memasak: Cuci bersih ikan tongkol. Taburi bumbu marinasi desaku, garam secukupnya, air 2 sdm ke ikan tongkol. Siapkan bahan-bahan. Iris tipis bawang merah, daun jeruk, seret, cabe rawit. Kukus ikan tongkol selama 10 menit. Lapisi dengan daun pisang atau daun kunyit. Boleh jg tidak d lapisi. Setelah ikan di kukus, goreng ikan. Tumis bawang merah dan bahan lainnya. Masukkan terasi yg telah dihancurkan. Setelah matang, masukkan ikan yang telah digoreng. Aduk hingga rata. Sajikan dengan nasi hangat. Sumber: https://cookpad.com/id/resep/24995999?ref=search&search_term=dabu+dabu
Bahan-bahan Porsi 2 orang Bumbu Ikan bakar : 2 ekor ikan peda 1 sdm kecap 1/2 sdm Gula merah 1/2 sdt garam Minyak goreng Bahan sambal dabu-dabu : 7 buah cabe rawit merah, iris kecil 1 buah tomat merah, iris dadu 3 siung bawang merah,iris halus 2 lembar daun jeruk, buang tulang tengah daun, iris tipis 2 sdm minyak goreng panas Cara Membuat: Marinasi ikan dengan air perasan jeruk nipis dan garam secukupnya, diamkan 20 menit, kemudian panggang diatas teflon(aku di happycall yang dialasi daun pisang) sesekali olesi minyak plus bumbu ke ikannya(aku pakai bumbu kecap dan gula merah) panggang sampai matang. Cara bikin Sambal dabu-dabu : Campurkan semua bahan sambal dabu-dabu ke dalam mangkok kecuali minyak kelapa, panaskan minyak kelapa, kemudian siram diatas sambal tadi, sajikan ikan peda bakar dengan sambal dabu-dabu. Sumber: https://cookpad.com/id/resep/15232544?ref=search&search_term=peda+bakar
MAKA merupakan salah satu tradisi sakral dalam budaya Bima. Tradisi ini berupa ikrar kesetiaan kepada raja/sultan atau pemimpin, sebagai wujud bahwa ia bersumpah akan melindungi, mengharumkan dan menjaga kehormatan Dou Labo Dana Mbojo (bangsa dan tanah air). Gerakan utamanya adalah mengacungkan keris yang terhunus ke udara sambil mengucapkan sumpah kesetiaan. Berikut adalah teks inti sumpah prajurit Bima: "Tas Rumae… Wadu si ma tapa, wadu di mambi’a. Sura wa’ura londo parenta Sara." "Yang mulia tuanku...Jika batu yang menghadang, batu yang akan pecah, jika perintah pemerintah (atasan) telah dikeluarkan (diturunkan)." Tradisi MAKA dalam Budaya Bima dilakukan dalam dua momen: Saat seorang anak laki-laki selesai menjalani upacara Compo Sampari (ritual upacara kedewasaan anak laki-laki Bima), sebagai simbol bahwa ia siap membela tanah air di berbagai bidang yang digelutinya. Seharusnya dilakukan sendiri oleh si anak, namun tingkat kedewasaan anak zaman dulu dan...
Wisma Muhammadiyah Ngloji adalah sebuah bangunan milik organisasi Muhammadiyah yang terletak di Desa Sendangagung, Kecamatan Minggir, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Wisma ini menjadi pusat aktivitas warga Muhammadiyah di kawasan barat Sleman. Keberadaannya mencerminkan peran aktif Muhammadiyah dalam pemberdayaan masyarakat melalui pendekatan dakwah dan pendidikan berbasis lokal.