Tarian ini mengangkat cerita legenda rakyat Minahasa yang meceritakan tentang bidadari-bidadari yang turun ke bumi dari kayangan untuk mandi di mata air Tumatenten. Seorang pemuda Minahasa yang tertarik berusaha untuk memikat hati salah satu bidadari tersebut dengan mencuri sayapnya. Hal ini membuat sang bidadari tidak dapat kembali ke kayangan dan kemudian menikah dengan pemuda tersebut.
Kisah cinta seorang petani dengan bidadari ini dikemas dalam bentuk gerak tari yang khas dengan diiringi musik tradisional dan ditampilkan tanpa dialog. Tarian Tumatenden merupakan salah satu tarian tradisional yang cukup terkenal di kalangan masyarakat Minahasa dan sering ditampilkan pada pernikahan adat, pertunjukan seni, dan festival budaya.
Tari Tumatenden merupakan tarian yang diangkat dari cerita rakyat Minahasa yang berlokasi di Airmadidi daerah Minahasa Utara. Dalam cerita tersebut diceritakan bahwa seseorang bernama Mamanua yaitu orang pertama yang tinggal disitu dan dikenal sangat rajin dalam mengolah perkebunannya. Pada suatu saat, dia menemukan tempat yang sangat indah dan subur di kaki Gunung Temporok yang kini bernama Klabet. Ditempat itu pula Mamanua bertemu dengan sembilan bidadari dari khayangan yang sedang mandi di sebuah kolam, bahkan juga mengambil hasil kebun miliknya. Melihat keadaan tersebut kemudian timbul niat Mamanua untuk mencuri salah satu selendang yang digunakan para bidadari tersebut untuk terbang. Ternyata selendang yang diambil tersebut milik si bungsu dari para bidadari yang bernama Lamalundung. Kemudian Mamanua menemui Lamalundung dan membujuknya untuk menikah. Lamalundung pun menyetujuinya dengan suatu syarat dan kemudian mereka menikah. Seiring dengan berjalannya waktu mereka pun dikaruniai anak bernama Walansendow. Namun pada suatu saat perjanjian yang mereka sepakati ternyata harus berakhir dan Lamalundung pun harus meninggalkan Mamanua dan Walansendow. Kemudian Mamanua membuat kolam sembilan pancuran di dekat kebun mereka dengan harapan para bidadari bisa datang kembali dan mandi di sana. Kolam sembilan pancuran tersebut kemudian dinamakan Tumatenden.
Tari Tumatenden ini lebih sering difungsikan sebagai tari pertunjukan atau hiburan bagi masyarakat. Gerakan dalam tarian ini menggambarkan kehidupan dalam cerita, sehingga dapat dimaknai bahwa setiap gerakan dalam Tari Tumatenden merupakan visualisasi dari cerita agar terasa lebih hidup, mudah dimengerti dan bisa dinikmati dalam bentuk seni.
Tari Tumatenden biasanya dimainkan oleh 7 atau 9 penari wanita dan 1 orang penari pria. Dalam pertunjukannya, penari pria berperan Mamanua dengan memakai kostum seperti petani pada umumnya. Sedangkan para penari wanita berperan sebagai para bidadari dengan berpakaian cantik layaknya seorang bidadari dan mengenakan selendang yang digunakan untuk menari.
Dalam pertunjukan Tari Tumatenden biasanya diawali penari pria memasuki arena dan menari dengan gerakan yang menggambarkan aktivitas seperti bertani dan memancing. Kemudian para penari wanita memasuki arena dan menari di depan penari pria dengan gerakan memainkan selendang mereka yang menggambarkan keceriaan para bidadari saat turun ke bumi. Setelah itu penari wanita menaruh selendang mereka dan dilanjutkan dengan gerakan yang menggambarkan para bidadari sedang mandi atau bermain air. Kemudian penari pria mendatangi selendang tersebut dan mengambil salah satu selendang. Setelah selesai dengan gerakan mandi, para penari wanita mengambil kembali selendang mereka satu persatu dan mengenakan kembali di badan mereka sambil menari.
Penari wanita yang tidak mendapatkan selendang pun menari dengan gerakan seperti kebingungan. Lalu penari pria datang membawa selendang yang dicurinya dan menghampiri penari wanita tersebut dengan gerakan seperti menggoda wanita tersebut. Kemudian mereka menari bersama dengan gerakan yang romantis seperti layaknya pasangan yang memadu kasih. Di akhir tarian penari lainnya keluar arena dan dilanjutkan sepasang penari tersebut.
Musik pengiring pertunjukan Tari Tumatenden biasanya merupakan alat musik tradisional masyarakat Minahasa yaitu kolintang. Ada juga yang menambahkan beberapa alat musik seperti angklung, gitar, dan alat musik lainnya agar terdengar lebih menarik. Alunan musik tersebut biasanya disesuaikan dengan gerakan para penari sehingga terlihat padu dan lebih hidup.
Para penari menggunakan kostum yang menggambarkan peran dalam cerita Tumatenden. Penari pria biasanya menggunakan kostum layaknya seorang petani, seperti baju dan celana pendek, serta menggunakan topi petani pada umumnya. Sedangkan para penari wanita menggunakan busana cantik layaknya bidadari. Pada pakaian atas biasanya menggunakan kemben, sedangkan pada bagian bawah menggunakan kain panjang khas Minahasa. Untuk bagian rambut biasanya diurai ke samping dan menggunakan hiasan seperti mahkota atau bunga. Selain itu penari wanita juga dilengkapi aksesoris seperti gelang dan kalung sebagai pemanis, serta selendang yang digunakan untuk menari.
Sumber: http://www.negerikuindonesia.com/2015/10/tari-tumatenden-tarian-tradisional-dari.html
Sumber daya air merupakan sebuah unsur esensial dalam mendukung keberlangsungan kehidupan di bumi. Ketersediaan air dengan kualitas baik dan jumlah yang cukup menjadi faktor utama keseimbangan ekosistem serta kesejahteraan manusia. Namun, pada era modern saat ini, dunia menghadapi krisis air yang semakin mengkhawatirkan (Sari et al., 2024). Berkurangnya ketersediaan air disebabkan oleh berbagai faktor global seperti pemanasan, degradasi lingkungan, dan pertumbuhan penduduk yang pesat. Kondisi tersebut menuntut adanya langkah-langkah strategis dalam pengelolaan air dengan memperhatikan berbagai faktor yang tidak hanya teknis, tetapi juga memperhatikan sosial dan budaya masyarakat. Salah satu langkah yang relevan adalah konservasi air berbasis kearifan lokal. Langkah strategis ini memprioritaskan nilai-nilai budaya masyarakat sebagai dasar dalam menjaga sumber daya air. Salah satu wilayah yang mengimplementasikan konservasi berbasis kearifan lokal yaitu Goa Ngerong di kecamatan Rengel,...
Kelahiran seorang anak yang dinantikan tentu membuat seorang ibu serta keluarga menjadi bahagia karena dapat bertemu dengan buah hatinya, terutama bagi ibu (melahirkan anak pertama). Tetapi tidak sedikit pula ibu yang mengalami stress yang bersamaan dengan rasa bahagia itu. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan tentang makna dari pra-kelahiran seseorang dalam adat Nias khusunya di Nias Barat, Kecamatan Lahomi Desa Tigaserangkai, dan menjelaskan tentang proses kelahiran anak mulai dari memberikan nama famanoro ono khora sibaya. Metode pelaksanaan dalam penelitian ini adalah menggunakan metode observasi dan metode wawancara dengan pendekatan deskriptif. pendekatan deskriptif digunakan untuk mendeskripsikan fakta sosial dan memberikan keterangan yang jelas mengenai Pra-Kelahiran dalam adat Nias. Adapun hasil dalam pembahasan ini adalah pra-kelahiran, pada waktu melahirkan anak,Pemberian Nama (Famatorõ Tõi), acara famangõrõ ono khõ zibaya (Mengantar anak ke rumah paman),...
Prajurit pemanah dari komunitas pemanah berkuda indonesia (KPBI) mengikuti Festival Keraton Nusantara 2017. mewakili kesultanan kasepuhan cirebon. PAKAIAN: terdiri dari ikat kepala/ totopong khas sunda jenis mahkuta wangsa. kain sembongb berwarnaungu di ikat di pinggang bersamaan dengan senjata tajam seperti golok dan pisau lalu baju & celana pangsi sunda. dengan baju corak ukiran batik khas sunda di bagian dada. untuk alas kaki sebagian besar memakai sendal gunung, namun juga ada yang memakai sepatu berkuda. BUSUR: sebagian besar memakai busur dengan model bentuk turkis dan ada juga memakai busur model bentuk korea. ANAK PANAH: Semua nya memakai anak panah bahan natural seperti bambu tonkin, kayu mapple & kayu spruce QUIVER (TEMPAT ANAK PANAH): Semua pemanah menggunakan quiver jenis backside quiver atau hip quiver . yaitu quiver yang anak panah di pasang di pinggang dan apabila anak panah di pasang di dalam quiver , nock anak panah menghadap ke belaka...
aksi pertunjukan pusaka dan pasukan kesultanan kacirebonan dari balaikota cirebon sampai ke keraton kacirebonan
Para pasukan penjaga keraton Sumedang larang