Disadari atau tidak, Lumajang menyimpan segudang peninggalan bersejarah dan cerita-cerita rakyat yang menyisakan kenangan-kenangan akan kebesaran masa lalu yang terkadang diiringi dengan rangkaian cerita tentang perlawanan terhadap kekuasaan yang selalu ingin menghabisi kemajemukan dan keragaman politik yang berbeda-beda.
Perlawanan-perlawanan khas Lumajang ini dapat ditelusuri sampai sekarang pada nama-nama desa yang sesuai dengan cerita Babad seperti daerah Pajarakan (Randu Agung), Padali (Ranu Bedali/ Ranu Yoso), Arnon (Kutorenon/Sukodono) dan masih banyak lagi yang lainnya.
Disamping itu kita dapat menemukan desa-desa yang namanya tetap dipakai sampai sekarang dan dapat dijadikan sebagai bukti perlawanan yang ada di Lumajang. Nama-nama desa yang merupakan tempat pengungsian ketika Minak Koncar (Penguasa Lumajang) mengungsi ke daerah-daerah yang dianggap aman seperti desa “Bodang” yang merupakan kepanjangan dari “mbok-mbok adang,”yang maksudnya adalah para pengungsi tiba di Bodang dan meminta para Ibu-ibu nya untuk memasak. Sesampai di suatu daerah, maka para pengungsi itu berkumpul dari berbagai wilayah dan berkumpul menjadi satu dan “menyemut” sehingga daerah itu kemudian dikenal dengan nama “Kalisemut“. Selanjutnya para pengungsi tersebut tetap melanjutkan perjalanan di malam hari dan sampai disuatu daerah pada waktu hari telah “terang,” sehingga daerah tersebut dinamakan “Padang”.
Semua ini menunjukkan fakta dan cerita sejarah bahwa daerah Lumajang merupakan daerah basis perlawanan terhadap kekuasaan pusat (Majapahit maupun Mataram) yang cenderung memaksakan kekuasaan dalam berhubungan dengan daerah-daerah yang dianggap menyaingi kewibawaannya. fakta bahwa Lumajang merupakan daerah besar dan tokoh-tokoh pendirinya merupakan orang yang hebat menjadikan program penyatuan ini berjalan dengan kecenderungan terhadap penindasan.
Perlawanan Lumajang terhadap kekuasaan pusat ini yang berlangsung selama 300 tahun lamanya ini sangat membekas dibenak orang-orang Lumajang sehingga disamping cerita-cerita heroik tentang perlawanan tersebut yang biasanya lebih didominasi oleh kaum lelaki, maka didapati pula perlawanan dari kaum perempuan Lumajang yang diwujudkan bukan dalam “medan pertempuran,” akan tetapi di area dapur umum yang merupakan wilayah para wanita dalam membantu kaum lelaki dan para suaminya dalam pertempuran.
Mungkin semua orang sudah mengenal makanan yang bernama “taho”. Makanan ini berasal dari kedelai yang sudah dihaluskan dan biasanya berwana kuning sehingga dari jauh mudah dikenali. Banyak orang mengenal daerah penghasil taho seperti Kediri atau sumedang yang sudah tidak asing lagi. Akan tetapi orang tidak banyak tahu tentang tahu yang merupakan produk Lumajang dan didalamnya menyisakan semangat perlawanan masyarakat Lumajang dalam melawan penindasan.
Kita tahu bahwa taho dapat dijual sebagai jajanan atau gorengan yang bisa dilihat dipinggir jalan atau dapat dipakai sebagai menu lauk dalam melengkapi menu makan yang disajikan oleh keluarga. Akan tetapi taho yang dijual dipinggir jalan mempunyai beberapa variasi yang berbeda yaitu pertama taho goreng dan yang kedua adalah taho isi.
Taho goreng adalah taho yang diolah dengan jalan digoreng murni tanpa diberi variasi makanan yang lain, sedangkan taho isi merupakan taho yang didalamnya diberi isi dan biasanya terdiri dari kecambah (toge), wortel maupun daun bawang. Biasanya tahu isi ini disajikan sebagai makanan ringan atau jajanan.
sebenarnya tidak ada hal yang istimewa dengan tahu isi tersebut, akan tetapi ada hal yang unik kalau membicarakan tahu isi yang ada di Lumajang. Tahu yang didalamnya diberi isi itu biasanya dinamakan tahu isi seperti dikenal di daerah-daerah seperti Jakarta, Surabaya, Malang, Jember dan dimanapun di indonesia. Akan tetapi khusus di Lumajang, kita akan jarang mengenal nama tahu isi tersebut.
Warga Lumajang lebih suka menyebut nama tahu isi ini dengan nama “taho Berontak”. Dari nama yang kita tahu taho brontak adalah sebuah nama yang menyimbolkan perlawanan terhadap kekuasaan yang ingin menindasnya. Kita tahu perlawanan yang sangat panjang sampai 300 tahun akan menimbulkan suatu budaya yang akan mempengaruhi pola pikir masyarakat yang terlibat dan diwariskan secara terus-menerus.
Pada masa perlawanan dahulu para wanita mempunyai peran penting didalam mendirikan dapur-dapur umum sehingga menghasilkan atribut-atribut makanan atau jajanan yang merupakan perwujudan semangat pada masa tersebut. Memang, makanan bukanlah senjata yang bisa mematikan atau menghancurkan suatu pasukan akan tetapi dari makanan semangat para pasukan akan terus bergelora dalam menghadapi serangan lawan.
Oleh karena itu ada baiknya jika sejarah jangan ditulis sebagai sejarah peperangan antar tokoh politik, akan tetapi juga perlawanan dari rakyat terhadap penindasan, maupun perlawanan para wanita dan ibu-ibu digaris belakang. Jika hal ini dilakukan terus menerus maka sejarah indonesia tidak akan kesepian, akan tetapi menjadi sejarah yang kaya akan variasi dan khasanah kebudayaan. Bagi Lumajang sendiri menggali kekayaan sejarah dan budaya, ditambah dengan kuliner tentu akan membuat dearahnya semakin dikenal. (sur) (dimuat dia pedomannusantara.com
Sumber: https://mansurhidayat91.wordpress.com/2012/09/26/tahu-berontak-makanan-simbol-perlawanan-asal-lumajang/