|
|
|
|
TARI SERE API DAN IRINGAN PADENDANG Tanggal 11 Aug 2015 oleh Andi Anggun Atpas. |
TARI SERE API DAN IRINGAN PADENDANG
Sere Api atau Massere Api berasal dari bahasa bugis yang berarti bergerak/menari di dalam kobaran api. Keberadaan Sere Api diketahui sejak tahun 1920 tepatnya di Desa Gattareng, Kecamatan Pujananting, Kabupaten Barru. Sere Api berkembang dan muncul pertama kali di Dusun Lempang, Desa Gattareng. Keberadaan Sere Api sampai sekarang belum diketahui siapa penciptanya karena menurut masyarakat diwilayah tersebut, Sere Api lahir secara spontanitas sejak nenek moyang hingga sekarang.
Tari Sere Api ini adalah ritual tahunan masyarakat Desa Gattareng yang berfungsi sebagai alat atau sarana komunikasi kepada dewi padi “Sang Hyang Sri” dan sebagai perayaan rasa syukur atas hasil cocok tanam yang akan segera dipanen. Selain sebagai media hiburan, Sere Api juga mempunyai fungsi sosial, sebab Sere Api dapat mempererat hubungan silaturahmi dan hubungan emosional antar warga setempat. Lebih lanjut diketahui, selain menarik perhatian penikmat, tari Sere Api juga mempunyai makna penting di dalam sebuah arti kehidupan. Bagi masyarakat Desa Gattareng Mappadendang dan Sere Api menjadi bagian dari cara mereka menghayati dunianya yang dihidupi dari mengolah kebun dan bertani.
PELAKSANAAN PERTUNJUKAN SERE API
Sere Api berada disuatu komunitas kecil yang ada di Desa Gattareng, warga yang hidup dan berkembang dengan bercocok tanam. Masuknya bentuk tradisi dimasyarakat Kecamtatan Pujananting Kabupaten Barru, tepatnya di Desa Gattareng membuat daerah tersebut diminati para wisatawan lokal dan interlokal, karena adanya tarian Sere Api yang para penarinya kebal dengan api.
Penari Sere Api merupakan keturunan dari Tomatoa Malebi’ta yang artinya sudah menjadi keturunan dari orang tua yang berada sangat diatas. Pada dasarnya, tari Sere Api ini berhubungan dengan kekebalan tubuh terhadap panasnya api. Ilmu kekebalan tubuh ini diwariskan oleh petua-petua yang masih hidup terdahulunya.
Adanya rasa syukur yang ingin disampaikan kepada Puang Allah Ta’ala ( Allah swt.) dan ucapan terimakasih kepada Sang Hyang Sri (sebutan untuk dewi padi yang keberadaannya masih menjadi kepercayaan masyarakat Desa Gattareng) oleh masyarakat di Desa Gattareng inilah yang menajadi muasal munculnya tari Sere Api yang dilaksankan pada setiap tahunnya.
Prosesi pelaksaan pertunjukan pesta panen yang dimulai dari Ma’bette’ (membuat Bette’ / emping padi), Ma’baca-baca, dan dilanjutkan dengan pertunjukan Sere Api yang diiringi musik Padendang.
Pertunjukan Sere Api pada dasarnya dilaksanakan setiap satu tahun satu kali pada saat musim panen akan tiba, namun tidak menutup kemungkinan Sere Api dapat dilaksanakan lebih dari satu kali dalam satu tahun apabila ada acara besar, seperti HUT Kabupaten Barru dan pesta penyambutan Kepala-Kepala Pemerintahan yang berkunjung ke Desa Gattareng. Struktur pertunjukan Sere Api terkait dengan mappadendang yaitu melakukan prosesi awal dengan Ma’baca-baca doa salama’ kemudian dilanjutkan dengan pembukaan yang dibuka oleh kepala Desa kemudian pertunjukan Sere Api dapat dilaksanakan.
Pertunjukan Sere Api sangat akrab dengan kondisi sosial masyarakat setempat, mulai dari berlangsungnya perutunjukan sampai selesainya pertunjukan. Mengapa demikian, karena ikatan komunitas desa tersebut sangat kuat. Oleh karena itu masyarakat Desa Gattareng menyusun segala prosesi pelaksanaan yang di uraikan dalam bentuk komponen-komponen Sere Api.
Sere Api memang sudah menjadi ciri khas Kabupaten Barru, jika musim panen tiba dan hasil sesuai dengan pengharapan para petani, mereka akan tetap melaksanakan upacara atau ritual Sere Api dengan menyertakan sajian makanan Bette dari padi yang telah ditumbuk kemudian dicampurkan dengan kelapa dan gula merah.
Berikut komponen-komponen yang akan diuraikan tentang pertunjukan Sere Api, yang dimulai dari pendukung (penari, dukun, pemusik, dan pemangku adat). Pemain berjumlah 8 hingga 12 orang, yang terdiri enam orang laki-laki dan enam orang perempuan, enam orang laki-laki sebagai Passere Api (penari sedangkan untuk enam orang perempuan sebagai Ana’ Padenda’ (pemain musik lesung). Dukun yang dimaksud adalah pemangku adat selaku yang dituakan untuk memulai pertunjukan Sere Api. Pemusik yang terdiri dari 12 orang, enam orang perempuan yang dikatakan Ana’Padenda’ dan enam orang laki-laki yang dikatakan Passere Api. Khusus untuk pemusik laki-laki yang berjumlah enam orang, merangkap sebagai penari dalam pertunjukan Sere Api, dan pemangku adat yaitu selaku Pa’baca-baca (atau yang memberikan Baca yang berupa mantra dan do’a).
Ma’bette adalah pembuatan makanan khas masyarakat Bugis khususnya Desa Gattareng. Persiapan membuat Bette ini dilakukan dua minggu sebelum pesta panen tiba. Bette ini terlebih dahulu direndam dalam kondisi masih berupa padi, lalu digoreng kemudian ditumbuk hingga bentuknya seperti melempeng/emping, kemudian dicuci dengan air kelapa/air hangat, selanjutnya dicampur dengan parutan kaluku bakka (kelapa yang tidak terlalu tua dan tidak terlalu muda), dan sebelum disajikan, terakhir dicampur dengan gula merah yang sudah diparut bisa juga diiris-iris. Adapun makanan lain yaitu baje’, dan sokko’.
Massuro Baca dalam bahasa Bugis yang artinya membaca-baca atau meminta doa keselamatan yang dipimpin langsung oleh pemangku adat dan beberapa pelaku Sere Api untuk memulai acara syukuran pesta panen dengan memukul lesung, dan makanan yang telah dipersiapkan tadinya siap untuk disajikan.
Ma’Baca Doang Nabi hampir sama dengan Ma’baca-baca, tetapi yang memimpin Ma’Baca Doang Nabi yaitu imam kampung atau imam desa yang membaca doa keselamatan untuk melancarkan acara pesta panen. Adapun yang dipersiapkan pada saat melakukan Ma’baca-baca doa Nabi yaitu buah pisang 3-5 sisir yang disimpan dibaki dan dialasi dengan daun pisang.
Setelah semua proses selesai, tiba saatnya masyarakat bersorak melihat pertunjukan Sere Api yang diiringi oleh musik Padendang. Para pemusik Padendang disebut Ana’ Padenda’. Penonton dipanggil untuk memakan Bette yang merupakan makanan khas pada acara pesta penen.
Dewasa ini, Sere Api sangat dikenal dapat mengundang adrenalin masyarakat Desa Gattareng maupun desa lain, diakibatkan oleh kobaran api yang sangat melambung tinggi dan dilengkapi dengan penari yang kebal dengan api tersebut.
Musik iringan pertunjukan Sere Api terdiri atas dua pola pukulan yaitu Oni Ma’bali dilakukan oleh 6 orang perempuan yang disebut Ana’ Padenda’ dan Palari’ Tellu yang dilakukan oleh 6 penari laki-laki. Oni Ma’bali yaitu membunyikan alu secara bergantian sehingga pertunjukan Sere Api semakin semarak. Sedangkan untuk Palari Tellu atau tanda kunci pada bunyi pukulan pada awal dan akhir pertunjukan yaitu melakukan atraksi sambil memukul lesung secara bergantian sehingga terdengar saling balas membalas.
Kostum yang digunakan pertunjukan Sere Api yaitu pada Ana’ Padenda (penari perempuan) memakai Waju Tokko (baju bodo) dan Lipa’ Sa’ be (sarung Sa’be), dan perhiasan rante (kalung), saloko (bando), Potto (gelang emas) Bangkara (anting-anting), dan bunga (hiasan kepala). Sedangkan kostum yang digunakan oleh Passere Api (penari api) memakai celana barocci (celana puntung), lipa’ sa’be, passapu atau pajombe’ (kain segitiga yang digunakan sebagai topi atau atribut dikepala), waju jas tutu’ (baju jas tutup). Sekarang sudah lebih banyak perubahan jika dibandingkan dengan pertunjukan Sere Api sebelumnya yang memakai Lipa’ Ogi (sarung Bugis) dan waju kaos (baju kaos), dan pa’jombe (yang diikatkan di kepala dengan bentuk segitiga).
Properti yang digunakan pada Pertunjukan Sere Api, alu, lesung, dan kayu bakar. Alu adalah alat yang digunakan sebagai penumbuk padi yang berukuran 2 m berbentuk silindris berdiameter 5-10 cm, tetapi sedikit berbeda ukuran alu yang digunakan oleh Passere Api yang berukuran 1 m berbeda dengan yang digunakan Ana’ Padenda’. Lesung, peralatan yang digunakan untuk perlengkap pertunjukan Sere Api yang terbuat dari kayu jati berukuran 2 m dengan ketingggian 50 cm yang terdiri dari satu lubang panjang yang disebut A’donrang berfungsi untuk mengupas dan memisahkan buah Ase dari tadangnya menjadi bulir padi lalu dua lubang bulat Attengngang yang berfungsi untuk tempat mengupas atau memisahkan buah dari kulitnya berubah menjadi beras.
Sere Api berfungsi Sebagai Sarana Upacara atau ritual, pada fungsi ritual dalam Sere Api dilaksanakan oleh pemangku adat dan seluruh pelaku Sere Api dengan Ma’baca doang salama’ (doa keselamatan) dengan makanan yang telah dipersiapkan seperti pisang, Bette dan kemenyan, ciri-ciri sifat ritual yang dilaksanakan dengan mengadakan persiapan mental dan fisik. Sere Api adalah salah satu tarian yang mempunyai media penyampaian rasa syukur kepada Tuhan atas hasil panen yang telah diberikan.
RAGAM GERAK PERTUNJUKAN SERE API
Para penari Sere Api sudah mempersiapkan kayu yang akan dibakar nantinya, kemudian salah seorang yang berperan penting dalam pertunjukan Sere Api akan menyalakan api, mulai dari menyusun kayu-kayu membentuk kerucut dan menyiramnya dengan minyak tanah, dan penari Sere Api mengambil Alunya (pemukul lesung) masing-masing dan siap untuk melakukan pertunjukan. Makna dari api yang dinyalakan yaitu sebagai semangat hidup masyarakat yang diharapkan berkobar seperti api tersebut.
Bagian ini, jumlah penari dalam pertunjukan Sere Api yaitu sebanyak 12 orang, enam orang perempuan sebagai Ana’ Padenda’ dan enam orang penari laki-laki sebagai Pa’Sere Api, ketika api dinyalakan semua penari mulai Mallu’da atau menumbuk lesung dengan riang dan semangat, dengan susunan, perempuan dibagi menjadi dua dan saling berhadapan, begitupula Pa’Sere Api dibagi menjadi dua bagian kanan dan kiri lesung.
Adapun bagian ini lesung dibunyikan yang berirama dengan penuh suka cita. Masyarakat pun bersorak, bertepuk tangan, dan memberi semangat, penari laki-laki pun meninggalkan lesung dan bergerak dengan keinginannya sendiri (improvisasi) sambil mengikuti suara lesung ana’ padenda’. Kemudian penari laki-laki memasuki tempat pertunjukan dengan memegang alu sebelah kanan dan tangan kiri sambil mengayunkan tangan begitupun sebaliknya, dan badan tegak dan membungkuk sambil melihat kobaran api, itu dilakukan berulang-ulang kali.
Pa’Sere Api melakukan gerak improvisasi tangan dan kaki yang menyerupai silat atau gerak bela diri, maknanya untuk hidup didunia ini harus bekerja giat. Sesekali penari masuk ke dalam kobaran api yang sangat besar saling bergantian dan penari memegang alu sambil mannampu’ atau menumbuk lesung dengan nada yang berbeda. Bahkan dalam bagian ini penari laki-laki melakukan atraksi dengan mengambil kobaran api dan memasukkan ke dalam mulutnya dan ada juga menginjak-injakan kakinya ke dalam kobaran api yang besar. Makna dari gerakan ini yaitu melawan semua hal-hal buruk yang mungkin saja bisa mengganggu hasil panen dan menjadi malapetaka bagi masyarakat.
Penari Sere Api masuk ke dalam kobaran api yang besar kemudian membuat atraksi-atraksi di atas susunan kayu dan bara api. Penari menginjak-injakkan kakinya ke bara api sambil memegang alu dengan gerak seperti silat, hal ini dilakukan berulang-ulang kali. Apabila kobaran apinya telah padam penari kembali ke lesung dan mannampu’ dengan irama yang khas dan seseorang akan kembali menyalakan api. Makna dari gerakan ini yaitu untuk menghapus segala sifat buruk dan emosi yang terlalu membara-bara agar hidup masyarakat menjadi semakin membaik.
Mappakaraja yaitu memberi penghormatan kepada semua masyarakat yang menonton dan melihat pertunjukan bahwa pertunjukan Sere Api telah usai, dengan mengililingi lesung. Tanda-tanda bahwa pertunjukan Sere Api akan selesai lesung dikelilingi sebanyak 2 kali, kemudian sambil penari masih atraksi lesung kemudian dikelilingi hanya 1 kali dan itu pertanda pertunjukan Sere Api telah selesai.
Suatu keunikan jika pertunjukan Sere Api terus di laksanakan dan dilestarikan, sebagai bentuk cakrawala nusantara dalam mengembangkan kekayaan etnik nusantara.
Narasumber Wawancara : Andi Kalim Atpas (Mantan Kepala Desa Gattareng)
Gambus
Oleh
agus deden
| 21 Jun 2012.
Gambus Melayu Riau adalah salah satu jenis instrumental musik tradisional yang terdapat hampir di seluruh kawasan Melayu.Pergeseran nilai spiritual... |
Hukum Adat Suku...
Oleh
Riduwan Philly
| 23 Jan 2015.
Dalam upaya penyelamatan sumber daya alam di kabupaten Aceh Tenggara, Suku Alas memeliki beberapa aturan adat . Aturan-aturan tersebut terbagi dala... |
Fuu
Oleh
Sobat Budaya
| 25 Jun 2014.
Alat musik ini terbuat dari bambu. Fuu adalah alat musik tiup dari bahan kayu dan bambu yang digunakan sebagai alat bunyi untuk memanggil pend... |
Ukiran Gorga Si...
Oleh
hokky saavedra
| 09 Apr 2012.
Ukiran gorga "singa" sebagai ornamentasi tradisi kuno Batak merupakan penggambaran kepala singa yang terkait dengan mitologi batak sebagai... |