×

Akun anda bermasalah?
Klik tombol dibawah
Atau
×

DATA


Provinsi

Sulawesi Tenggara

Asal Daerah

Kampung Hukaea, Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai

Suku Moronene - Sulawesi Tenggara

Tanggal 05 Mar 2018 oleh hallowulandari .

Suku Moronene adalah salah satu dari empat suku besar (suku Tolaki, Buton, Muna) di Sulawesi Tenggara.
 
Menurut antropolog Universitas Haluoleo, Kendari, Sarlan Adi Jaya, Moronene adalah suku asli pertama yang mendiami wilayah itu. Namun, pamornya kalah dibanding suku Tolaki karena pada abad ke-18 kerajaan suku Moronene-luas wilayahnya hampir 3.400 kilometer persegi-kalah dari kerajaan suku Tolaki.
 
Kata "moro" dalam bahasa setempat berarti serupa, sedangkan "nene" artinya pohon resam, sejenis paku yang biasanya hidup mengelompok. Kulit batangnya bisa dijadikan tali, sedangkan daunnya adalah pembungkus kue lemper. 
Resam hidup subur di daerah lembah atau pinggiran sungai yang mengandung banyak air. Sebagai petani, peramu, dan pemburu, suku Moronene memang hidup di kawasan sumber air. 
 
Mereka tergolong suku bangsa dari rumpun Melayu Tua yang datang dari Hindia Belakang pada zaman prasejarah atau zaman batu muda, kira-kira 2.000 tahun sebelum Masehi. sejarah tua moronene kemudian terbentuk pemerintah Bombana yang kemudian memecah menjadi tiga protektorat pemerintah; Kabaena, Poleang, Rumbia. 
 
Tidak diketahui kapan tepatnya suku Moronene mulai menghuni kawasan Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai. Tetapi sebuah peta yang dibuat pemerintah Belanda pada tahun 1820 sudah mencantumkan nama Kampung Hukaea, yakni kampung terbesar orang Moronene, yang sekarang masuk dalam areal taman nasional itu. Permukiman mereka tersebar di tujuh kecamatan, enam di Kabupaten Buton dan satu di Kabupaten Kolaka. Di luar komunitas itu, orang Moronene menyebar pula di beberapa tempat seperti Kabupaten Kendari karena terjadinya migrasi akibat gangguan keamanan dari Darul Islam sekitar tahun 1952-1953.
 
Kampung Hukaea, Laea, dan Lampopala biasa disebut orang Moronene sebagai Tobu Waworaha atau perkampungan tua bekas tempat tinggal para leluhur. Orang-orang Moronene masih sering mengunjungi tobu untuk membersihkan kuburan leluhur mereka ketika hari raya Idul Adha tiba-sebagian warga Moronene beragama Islam. Belakangan, setelah beberapa kuburan digali dan dipindahkan oleh orang tak dikenal, orang-orang Moronene bermukim kembali di Hukaea-Laea.
 
Di zaman administrasi pemerintah Belanda, Hukaea termasuk distrik Rumbia, yang dipimpin seorang mokole (kepala distrik). Rumbia membawahkan 11 tobu, tujuh di antaranya masuk dalam wilayah taman nasional. Menurut Abdi, dari LSM Suluh Indonesia, jumlah orang Moronene di Sulawesi Tenggara saat ini diperkirakan sekitar 50.000an, 0,5 persen di antaranya tinggal dalam kawasan taman nasional.
 
Seperti kebanyakan masyarakat adat lainnya, orang Moronene juga melakukan perladangan berpindah dengan sistem rotasi. Tapi sistem itu sudah lama ditinggalkan dan mereka memilih menetap. Suku Moronene juga dikenal pandai memelihara ekosistem mereka. Jonga atau sejenis rusa, misalnya, masih sering ditemui di sekitar permukiman mereka di Hukaea, termasuk burung kakatua jambul kuning, satwa endemik Sulawesi yang dilindungi. Namun, sifat asli suku ini, yang memegang adat mosombu lebih merasa tenang menyendiri.
 
namun kehidupan tenang itu perlahan-lahan terusik ketika pemerintah pada tahun 1990 menetapkan kawasan itu sebagai taman nasional. Dengan alasan itulah aparat Pemda Sulawesi Tenggara mengerahkan polisi dan tentara menggelar Operasi Sapu Jagat untuk mengusir keluar orang-orang Moronene. Alasannya, biar hutan tak rusak sehingga bisa dijual sebagai objek ekoturisme dan sumber pendapatan da-erah lainnya. Padahal, hak masyarakat adat atas tanah ulayat mereka diakui oleh Undang-Undang Kehutanan tahun 1999.
 
---
 
“Hukaea merupakan  kampung Suku Moronene yang berada dalam kawasan Taman Nasional Rawaaopa Watumohai yang membatasi Kabupaten Bombana dan Konawe Selatan. Kampung ini secara administrasi berada dalam wilayah Kabupaten Bombana, Sulawesi Tenggara”.
 
 
Suku Moronene  adalah salah satu suku tertua yang mendiami jazirah  Sulawesi pada bagian ujung selatan Sulawesi Tenggara, tepatnya di Kabupaten Bombana. Suku ini merupakan  empat suku besar yang ada di Provinsi Sulawesi Tenggara setelah suku Tolaki, Muna, dan Wolio.   “Moronene” terdiri dari dua kata yakni “moro” yang berarti sejenis/serupa dan “nene” berarti sejenis tumbuhan pesam yang banyak dijumpai di pinggir sungai dan hidup berkelompok yang kulitnya bisa dijadikan pengikat. Orang  Moronene mempunya adat istiadat dan bahasa tersendiri sebagai alat komunikasi sehari-hari.  
 
Rumah-rumah agak  berjarak dari satu rumah ke rumah lain yang jaraknya kisaran 20-50 meter.  Saya memperhatikan dibeberapa rumah-rumah warga  terdapat pintu gerbang yang berbentuk atap rumah yang terbuat dari atap rumbia. Hal ini menunjukan identitas warga disini bahwa mereka adalah orang Suku Moronene.
Orang Hukaea menyebut  kepala kampung mereka  sebagai “tobu”. Rumah  “tobu” yang berbentuk rumah panggung tersebut.  Sedikit berbeda dengan rumah lainnya.  Atap rumah “tobu” terbuat dari alang-alang yang telah di anyam.  Rumah panggung tersebut sangat sederhan yang  hanya  beralaskan papan dan tikar. 
“tobu” banyak bercerita tentang asal muasal Kampung Hukaea sebagai kampung tertua suku Moronene di daratan Sulawesi Tenggara, Serta bagaimana mereka terusir dari kampung mereka kerana di angap menyebot masuk dan tinggal di dalam kawasan Taman Nasional sehingga menyebabkan sang “ tobu” dan beberapa warga lainnya masuk penjara.
 
Menurut sang ‘Tobu” Hukaea berasal dari bahasa Moronene yang terdiri dari dua suku kata yakni  Huka : pohon melinjo dan ea : besar. Konon kabarnya pohon tersebutlah yang menjadi tempat persembuanyian orang-orang Moronene dari gerombolan DI/TII pimpinan Kahar Muzzakar. 
Lanjutnya lagi, ada aturan adat di masyarakat Hukaea yakni jika seorang perempuan hukaea kawin dengan laki-laki diluar orang hukaea maka mereka tidak boleh tinggal di kampung hukaea. Dan jika laki-laki orang hukaea kawin dengan perempuan diluar orang hukaea mereka boleh tinggal di kampung hukaea.  
Saat ini Hukae  terbagi dua yakni Hukae dalam dan Hukae Luar. Menurutnya, adanya dua kampung Moronene ini akibat dari relokasi yang dilakukan pemerintah yang melarang masyarakat tinggal dalam kawasan Taman Nasional. Sehingga orang-orang Hukae harus terusir dari Kampung mereka yang sudah turun temurun mereka diami. Orang-orang yang masih tinggal di dalam kawasan inilah yang masih bertahan dan memilih tetap tinggal di tempat ini. 
 
sudut kampung yang berbentuk leter U dengan jumlah penduduk lebih dari seratus kepala keluarga ini, nampak terlihat sepi. Mungkin karena rumah yang agak berjarak sehingga tidak nampak aktifitas Masyarakatnya. Saya perhatikan sebahagian masyarkatnya masih hidup  sederhana dan sebahagiannya lagi sudah sedikit moderen.
Di sini sudah bisa dijumpai kendaraan bermotor dan traktor yang digunakan untuk menggarap sawah di Kampung ini. Yang tinggal dikampung ini juga sudah tidak seutuhnya orang Moronene, seperti bapak yang saya jumpai yang berasal dari Kab. Soppeng Sulawesi Selatan.  Mata pencaharian utama penduduknya adalah bertani dengan mengarap sawah tada hujan. Pada umumnya beragama Islam. Ditengah-tangah kampun terdapat sebuah rumah  yang dibagun pemerintah setempat sebagai simbol rumah adat orang Hukaea. Tidak jauh dari tempat tersebut terdapat Sekolah Dasar yang hanya berdidinkan kayu.  Yang unik dari kampung ini adalah makanan pokok masyarakatnya  adalah “ondo” sejenis umbi hutan yang beracun yang banyak di jumpai di hutan-hutan.
 
 
 
Sumber:
  1. https://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Moronene
  2. http://sumarjitho.blogspot.co.id/2015/01/berkunjung-ke-hukae-kampung-moronene.html
 
Referensi tulisan:
Tempo Interaktif - Di sana, Leluhur Mereka Dimakamkan, 13 Mei 2002. Diakses 3 Agustus 2010
 

DISKUSI


TERBARU


Bika Panggang

Oleh Upikgadangdirantau | 20 Apr 2024.
kue tradisional

Bika Panggang atau bisa juga disebut Bika bakar merupakan salah satu kue tradisional daerah Sumatera Barat. Kue Bika ini sangat berbeda dengan Bika...

Ketipung ngroto

Oleh Levyy_pembanteng | 19 Apr 2024.
Alat musik/panjak bantengan

Ketipung Ngroto*** Adalah alat musik seperti kendang namun dimainkan oleh dua orang.Dalam satu set ketipung ngroto terdapat 2 ketipung lanang dan we...

Rek Ayo Rek

Oleh Annisatyas | 19 Apr 2024.
Seni

Lagu Rek Ayo Rek adalah salah satu lagu asli Surabaya. Lagu ini diciptakan dengan bahasa khas "Suroboyo-an" oleh Is Haryanto. Rek Ayo Rek j...

Simpa Odja

Oleh Andi Redo | 05 Apr 2024.
Ornamen

Simpa Odja adalah ornamen wajib dalam setiap upacara di Kerajaan Gowa Tallo. Ornamen ini terdiri dari dua perangkat yang disatukan yaitu "Simpa&...

Ogoh-Ogoh, Dari...

Oleh Dodik0707 | 28 Feb 2024.
tradisi

Ogoh-Ogoh, Dari Filosofi Hingga Eksistensinya Malang - Jelang Hari Raya Nyepi, warga Dusun Jengglong, Desa Sukodadi, Kecamatan Wagir, Kabupaten Mal...

FITUR


Gambus

Oleh agus deden | 21 Jun 2012.
Alat Musik

Gambus Melayu Riau adalah salah satu jenis instrumental musik tradisional yang terdapat hampir di seluruh kawasan Melayu.Pergeseran nilai spiritual...

Hukum Adat Suku...

Oleh Riduwan Philly | 23 Jan 2015.
Aturan Adat

Dalam upaya penyelamatan sumber daya alam di kabupaten Aceh Tenggara, Suku Alas memeliki beberapa aturan adat . Aturan-aturan tersebut terbagi dala...

Fuu

Oleh Sobat Budaya | 25 Jun 2014.
Alat Musik

Alat musik ini terbuat dari bambu. Fuu adalah alat musik tiup dari bahan kayu dan bambu yang digunakan sebagai alat bunyi untuk memanggil pend...

Ukiran Gorga Si...

Oleh hokky saavedra | 09 Apr 2012.
Ornamen Arsitektural

Ukiran gorga "singa" sebagai ornamentasi tradisi kuno Batak merupakan penggambaran kepala singa yang terkait dengan mitologi batak sebagai...