Songkok atau peci tradisional Makassar, Sulawesi Selatan, biasa disebut songkok guru/nibiring bulaeng menjadi penutup kepala “wajib” bagi lelaki Makassar dalam setiap acara adat. Namun, pemakaian songkok itu telah meluas dan kerap digunakan dalam acara-acara formal selain adat.
Bentuknya bundar dan kaku karena terbuat dari serat pelepah lontar. Anyaman lontar dipadukan dengan benang sutra berwarna emas yang menutupi bidang seukuran koin di bagian pangkal songkok dan separuh garis kelilingnya. Warna songkok ini lazimnya hitam, cokelat, atau krem.
Wujud songkok guru/ nibiring bulaeng bentuknya bundar dan kaku . Songkok ini menjadi simbol budaya orang Makassar dan bugis begitupun mandar seperti halnya blangkon pada orang Jawa. Modelnya pun tak pernah berubah sepanjang zaman.
Awal mula penggunaan songkok guru/nibiring bulaeng ini dipakai oleh ANRONG GURU kerajaan gowa pada saat mengislamkan semua kerajaan bugis termasuk bone di jaman raja gowa sultan alauddin.
Salah satu pusat kerajinan pembuatan songkok guru terdapat di Desa Sawakung, Kecamatan Galesong Selatan, Kabupaten Takalar, Sulsel. Desa pesisir itu berjarak 35 Kilometer arah selatan Kota Makassar.
Di desa itu, para pengrajin yang seluruhnya merupakan warga setempat, bernaung pada sanggar bernama “Anging Mamiri”. Produksi dilakukan di rumah-rumah warga lalu dipasarkan di sanggar, atau sebaliknya, sanggar menerima orderan pembuatan dan diserahkan kepada warga untuk dibuat di rumah masing-masing.
Ketua sanggar “Anging Mamiri” Munawarah mengatakan dalam satu bulan, produksi songkok paling tidak bisa mencapai 1.000 buah. Terdapat 25 pengrajin tetap di sanggar tersebut.
“Hasil produksi dipasarkan ke berbagai toko oleh-oleh di Makassar dan Bandara Sultan Hasanuddin,” kata Munawarah. Songkok ini telah menjadi salah satu oleh-oleh khas Makassar yang diminati wisatawan. Selain songkok guru, sanggar juga memproduksi songkok jolong, atau songkok yang bentuknya sama seperti peci pada umumnya namun tetap berbahan serat lontar.
Pada bulan Ramadhan ini, produksi songkok guru Desa Sawakung melonjak hingga mencapai dua kali lipat dibandingkan bulan biasa. Untuk memenuhi permintaan, sebagian produksi diperbantukan ke dua desa tetangga, yakni Desa Bontokasi dan Desa Barammamase.
Songkok guru di sanggar “Anging Mamiri” dijual dengan harga antara Rp 150.000-Rp 350.000 per buah. Semakin rapat dan halus anyamannya, semakin tinggi harganya. Berdasarkan permintaan, benang sutera berwarna emas itu bisa pula diganti dengan benang emas asli.
Namun, harga songkok berlapis emas bisa mencapai jutaan rupiah, bergantung kadar dan jumlah emas yang digunakan. Munawarah mengatakan, ia pernah menerima orderan membuat songkok guru yang dilapisi benang emas seberat 60 gram. Dengan perhitungan harga emas sekarang yang mencapai kisaran Rp 430.000 per gram, maka songkok itu kini bernilai setidaknya Rp 25,8 juta!
Munawarah mengatakan, pembuatan songkok masih dilakukan secara tradisional dan sepenuhnya mengandalkan keterampilan tangan pengrajin. Lama pembuatan satu buah songkok berkisar sepuluh hari hingga satu bulan. Proses pembuatannya membutuhkan kesabaran, ketelatenan, dan keahlian menganyam yang tinggi.
Pada tahap awal, bahan baku pelepah lontar harus direndam dalam air beras selama 14-30 hari untuk melunakkan serat. Makin tua umur pohon lontar yang digunakan, makin halus serat pelepahnya.
Setelah perendaman, pelepah lontar dipukul-pukul untuk mengurai seratnya. Serat yang telah dipisahkan dari pelepah lalu dicuci, dikeringkan, dan dicelupkan pewarna yang diinginkan. Serat yang telah menjadi benang-benang tebal itu lalu dianyam menjadi songkok di atas cetakan kayu bundar.
Referensi
https://web.facebook.com/1306186696079024/photos/a.1306210119410015.1073741828.1306186696079024/1306286476069046/?type=3&_rdc=1&_rdr
Resep Sambal Matah Bahan-bahan: Bawang Merah Cabai Rawit Daun Jeruk Sereh Secukupnya garam Minyak panas Pembuatan: Cincang bawang merah, cabai rawit, daun jeruk, dan juga sereh Campur semua bahan yang sudah dicincang dalam satu wadah Tambahkan garam secukupnya atau sesuai selera Masukkan minyak panas Aduk semuanya Sambal matah siap dinikmati
Bangunan GKJ Pakem merupakan bagian dari kompleks sanatorium Pakem, yang didirikan sebagai respon terhadap lonjakan kasus tuberculosis di Hindia-Belanda pada awal abad ke-20, saat obat dan vaksin untuk penyakit ini belum ditemukan. Sanatorium dibangun untuk mengkarantina penderita tuberculosis guna mencegah penularan. Keberadaan sanatorium di Indonesia dimulai pada tahun 1900-an, dengan pandangan bahwa tuberculosis adalah penyakit yang jarang terjadi di negara tropis. Kompleks Sanatorium Pakem dibangun sebagai solusi untuk mengatasi kekurangan kapasitas di rumah sakit zending di berbagai kota seperti Solo, Klaten, Yogyakarta, dan sekitarnya. Lokasi di Pakem, 19 kilometer ke utara Yogyakarta, dipilih karena jauh dari keramaian dan memiliki udara yang dianggap mendukung pemulihan pasien. Pembangunan sanatorium dimulai pada Oktober 1935 dan dirancang oleh kantor arsitektur Sindoetomo, termasuk pemasangan listrik dan pipa air. Sanatorium diresmikan oleh Sultan Hamengkubuwono VIII pada 23...
Bahan-bahan 4 orang 2 bungkus mie telur 4 butir telur kocok 1 buah wortel potong korek api 5 helai kol 1 daun bawang 4 seledri gula, garam, totole dan merica 1 sdm bumbu dasar putih Bumbu Dasar Putih Praktis 1 sdm bumbu dasar merah Meal Prep Frozen ll Stok Bumbu Dasar Praktis Merah Putih Kuning + Bumbu Nasi/ Mie Goreng merica (saya pake merica bubuk) kaldu jamur (totole) secukupnya kecap manis secukupnya saus tiram Bumbu Pecel 1 bumbu pecel instant Pelengkap Bakwan Bakwan Kriuk bawang goreng telur ceplok kerupuk Cara Membuat 30 menit 1 Rebus mie, tiriskan 2 Buat telur orak arik 3 Masukkan duo bumbu dasar, sayuran, tumis hingga layu, masukkan kecap, saus tiram, gula, garam, lada bubuk, penyedap, aduk hingga kecap mulai berkaramel 4 Masukkan mie telur, kecilkan / matikan api, aduk hingga merata 5 Goreng bakwan, seduh bumbu pecel 6 Siram diatas mie, sajikan dengan pelengkap
Wisma Gadjah Mada terletak di Jalan Wrekso no. 447, Kelurahan Hargobinangun, Kecamatan Pakem, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Wisma Gadjah Mada dimiliki oleh Universitas Gadjah Mada yang dikelola oleh PT GAMA MULTI USAHA MANDIRI. Bangunan ini didirikan pada tahun 1919 oleh pemiliknya orang Belanda yaitu Tuan Dezentje. Salah satu nilai historis wisma Gadjah Mada yaitu pada tahun 1948 pernah digunakan sebagai tempat perundingan khusus antara pemerintahan RI dengan Belanda yang diwakili oleh Komisi Tiga Negara yang menghasilkan Notulen Kaliurang. Wisma Gadjah Mada diresmikan oleh rektor UGM, Prof. Dr. T. Jacob setelah di pugar sekitar tahun 1958. Bangunan ini dikenal oleh masyarakat sekitar dengan Loji Cengger, penamaan tersebut dikarenakan salah satu komponen bangunan menyerupai cengger ayam. Wisma Gadjah Mada awalnya digunakan sebagai tempat tinggal Tuan Dezentje, saat ini bangunan tersebut difungsikan sebagai penginapan dan tempat rapat. Wisma Gadjah Mada memiliki arsitektur ind...
Bangunan ini dibangun tahun 1930-an. Pada tahun 1945 bangunan ini dibeli oleh RRI Yogyakarta, kemudian dilakukan renovasi dan selesai tanggal 7 Mei 1948 sesuai dengan tulisan di prasasti yang terdapat di halaman. Bangunan bergaya indis. Bangunan dilengkapi cerobong asap.