Si Nalau belum mempunyai istri. Lalu ia mencari akal dan belajar membuat tuak. Pada suatu ketika dibuatnya tuak se-belanga. Ketika tuaknya sudah jadi, tiap hari delapan ekor burung punai hinggap di tempatnya, datang minum tuak itu. Sambil minum, burung-burung itu menyanyi, suaranya demikian :
"Kayu sariak rinsaw, kayu yang rimbun sekali.
Mari minum tuak Nalau, supaya kita menjadi puteri."
Itulah lagu yang dinyanyikan ke delapan ekor burung punai tersebut.
Nalau berpikir: "Bagaimana caranya agar burung punai itu dapat kutangkap?" Satu hari telah lewat, dua hari telah berlalu, bahkan kini sudah menjelang hari yang kedelapan. "Tunggulah", katanya. "Burung-burung itu pasti dapat ku tangkap".
Akhirnya pada hari yang ke delapan, ketika burung-burung itu sedang asyik menyanyi dan berkicau demikian, taap, ditangkap si Nalau seekor. Burung yang lainnya habis terbang semua. Tiba-tiba burung yang digenggamnya itu menjelma menjadi seorang puteri yang sangat cantik.
Puteri itu kemudian dijadikannya istrinya. Dari perkawinan itu mereka berdua dikaruniai seorang anak. Anak itu makin hari makin besar pertumbuhannya.
Suatu ketika, berkatalah ibu kepada keduanya; "Hari ini saya hendak ke ladang. Engkau dan ayahmu tinggallah baik-baik di rumah."
"Ya, baiklah." kata anaknya.
Sepeninggal ibu pergi, si anak menangis terus-menerus. Tak tahu sebabnya dan ayahnya pun tak mampu mendiamkannya. Ayahnya kebingungan, apakah gerangan sebabnya maka anak ini menangis saja, dan tidak bisa di diamkan.
"Diam, nak, diam" kata ayahnya. "Cobalah dengar, ayah menyanyikan sebuah lagu, nyanyian ibumu dahulu!"
"Bagaimanakah lagu itu?" tanya anaknya
Beginilah ayah lagukan: "Kayu sariak rinsaw, kayu yang rimbun sekali. Mari minum tuak Nalau, agar supaya menjadi puteri"
Mendengar lagu tadi, anaknya terus diam, tidak menangis lagi. "Nyanyi lagi ayah" pinta anaknya. Mereka berdua terus malagukan nyanyian itu bersama-sama (Sang ayah lupa akan janjinya bahwa lagu itu tak boleh dinyanyikan sebab kalau dinyanyikan lagi, ibunya akan berubah menjadi burung kembali).
Akhirnya ibunya pulang dari ladang, ia tahu semua apa yang telah terjadi. Ia sangat sedih dan kecewa, menyesal terhadap perbuatan mereka. "Beginilah jadinya, sebab engkau sekalian tidak mencintai aku" Karena putus asa, ia pun diam tak berkata sepatahpun.
Setelah itu iapun membersihkan dirinya mandi di sungai menggantikan pakaiannya, lalu memasak serta menyiapkan makan. Selanjutnya ditutupinya segala lubang dinding, lubang lantai, pendeknya semua lubang-lubang di rumahnya dengan tikar, maklumlah rumah pada waktu berlantai bambu dan berdinding kulit kayu saja. Kemudian istrinya duduk di lantai. Ia tahu nasib yang bakal menimpa dirinya dan kepada suaminya juga hal itu telah disampaikannya. Karena itu si Nalau meneliti semua penjuru di rumahnya, kalau-kalau masih ada lubang yang belum ditutupi.
Sesuai permintaan anaknya, istrinya tanpa cerewat lagi lalu menyanyikan pantun itu, katanya; "Kayu sariak rinsaw, kayu yang rimbun sekali, marilah minum tuak Nalau, agar supaya menjadi puteri."
Begitu mengakhiri pantun nyanyian tersebut, tumbuhlah bulu punai dikakinya. Kemudian dinyanyikannya lagi, tumbuhlah pula bulu itu sampai kelututnya. Demikianlah diulanginya berkali-kali lagu itu, sampai pinggang, leher dan bahkan keseluruh tubuhnya ditumbuhi bulu.
"Nah", katanya "Selamat berpisah" "Tinggallah engkau berdua anakmu baik-baik, aku akan pergi!"
Selesai berkata demikian ia pun berubah menjadi burung punai kembali, lalu terbang melalui celah-celah dinding rumahnya dan sampai sekarang tak diketahui kemana perginya.
Si Nalau bagaikan orang gila berusaha menutupi semua celah-celah dinding tetapi usahanya sia-sia. Sedih hatinya bukan kepalang mengenangkan istrinya. Kini ia tetap tinggal di rumah itu memelihara anak puteri".
sumber:
MAKA merupakan salah satu tradisi sakral dalam budaya Bima. Tradisi ini berupa ikrar kesetiaan kepada raja/sultan atau pemimpin, sebagai wujud bahwa ia bersumpah akan melindungi, mengharumkan dan menjaga kehormatan Dou Labo Dana Mbojo (bangsa dan tanah air). Gerakan utamanya adalah mengacungkan keris yang terhunus ke udara sambil mengucapkan sumpah kesetiaan. Berikut adalah teks inti sumpah prajurit Bima: "Tas Rumae… Wadu si ma tapa, wadu di mambi’a. Sura wa’ura londo parenta Sara." "Yang mulia tuanku...Jika batu yang menghadang, batu yang akan pecah, jika perintah pemerintah (atasan) telah dikeluarkan (diturunkan)." Tradisi MAKA dalam Budaya Bima dilakukan dalam dua momen: Saat seorang anak laki-laki selesai menjalani upacara Compo Sampari (ritual upacara kedewasaan anak laki-laki Bima), sebagai simbol bahwa ia siap membela tanah air di berbagai bidang yang digelutinya. Seharusnya dilakukan sendiri oleh si anak, namun tingkat kedewasaan anak zaman dulu dan...
Wisma Muhammadiyah Ngloji adalah sebuah bangunan milik organisasi Muhammadiyah yang terletak di Desa Sendangagung, Kecamatan Minggir, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Wisma ini menjadi pusat aktivitas warga Muhammadiyah di kawasan barat Sleman. Keberadaannya mencerminkan peran aktif Muhammadiyah dalam pemberdayaan masyarakat melalui pendekatan dakwah dan pendidikan berbasis lokal.
SMP Negeri 1 Berbah terletak di Tanjung Tirto, Kelurahan Kalitirto, Kecamatan Berbah, Sleman. Gedung ini awalnya merupakan rumah dinas Administratuur Pabrik Gula Tanjung Tirto yang dibangun pada tahun 1923. Selama pendudukan Jepang, bangunan ini digunakan sebagai rumah dinas mandor tebu. Setelah Indonesia merdeka, bangunan tersebut sempat kosong dan dikuasai oleh pasukan TNI pada Serangan Umum 1 Maret 1949, tanpa ada yang menempatinya hingga tahun 1951. Sejak tahun 1951, bangunan ini digunakan untuk kegiatan sekolah, dimulai sebagai Sekolah Teknik Negeri Kalasan (STNK) dari tahun 1951 hingga 1952, kemudian berfungsi sebagai STN Kalasan dari tahun 1952 hingga 1969, sebelum akhirnya menjadi SMP Negeri 1 Berbah hingga sekarang. Bangunan SMP N I Berbah menghadap ke arah selatan dan terdiri dari dua bagian utama. Bagian depan bangunan asli, yang sekarang dijadikan kantor, memiliki denah segi enam, sementara bagian belakangnya berbentuk persegi panjang dengan atap limasan. Bangunan asli dib...
Pabrik Gula Randugunting menyisakan jejak kejayaan berupa klinik kesehatan. Eks klinik Pabrik Gula Randugunting ini bahkan telah ditetapkan sebagai cagar budaya di Kabupaten Sleman melalui SK Bupati Nomor Nomor 79.21/Kep.KDH/A/2021 tentang Status Cagar Budaya Kabupaten Sleman Tahun 2021 Tahap XXI. Berlokasi di Jalan Tamanmartani-Manisrenggo, Kalurahan Tamanmartani, Kapanewon Kalasan, Kabupaten Sleman, pabrik ini didirikan oleh K. A. Erven Klaring pada tahun 1870. Pabrik Gula Randugunting berawal dari perkebunan tanaman nila (indigo), namun, pada akhir abad ke-19, harga indigo jatuh karena kalah dengan pewarna kain sintesis. Hal ini menyebabkan perkebunan Randugunting beralih menjadi perkebunan tebu dan menjadi pabrik gula. Tahun 1900, Koloniale Bank mengambil alih aset pabrik dari pemilik sebelumnya yang gagal membayar hutang kepada Koloniale Bank. Abad ke-20, kemunculan klinik atau rumah sakit di lingkungan pabrik gula menjadi fenomena baru dalam sejarah perkembangan rumah sakit...
Kompleks Panti Asih Pakem yang terletak di Padukuhan Panggeran, Desa Hargobinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, merupakan kompleks bangunan bersejarah yang dulunya berfungsi sebagai sanatorium. Sanatorium adalah fasilitas kesehatan khusus untuk mengkarantina penderita penyakit paru-paru. Saat ini, kompleks ini dalam kondisi utuh namun kurang terawat dan terkesan terbengkalai. Beberapa bagian bangunan mulai berlumut, meskipun terdapat penambahan teras di bagian depan. Kompleks Panti Asih terdiri dari beberapa komponen bangunan, antara lain: Bangunan Administrasi Paviliun A Paviliun B Paviliun C Ruang Isolasi Bekas rumah dinas dokter Binatu dan dapur Gereja