Si Nalau sudah beristri. Kerena istrinya sedang mengidam binatang buruan, ia disuruh istrinya pergi berburu.
Demikian ia pun pergi berburu membawa segala anak sumpitan guna mencari binatang buruan idaman istrinya. Sudah sehari suntuk ia berburu, masuk ke luar dari pematang yang satu ke pematang yang lain, turun gunung, naik gunung, masuk keluar hutan belukar, namun tak seekor pun diperolehnya.
"Aduhai, beginilah nasibku, aku sudah haus sekali hendak minum", katanya, karena dahaganya, pergilah ia mencari kolam yang berair di dalam hutan itu dan setibanya di sana ia pun minumlah. Kemudian kolam itu ditusuk-tusuknya dengan tombak sehingga mengeluarkan bunyi persis seperti bunyi orang minum air. Kemudian terdengarlah olehnya suara dari dasar kolam itu katanya; "Wahai Nalau" Suara itu datangnya dari seekor ketam yang sedeng bertelor, yang kesakitan kerena kena tusuk sumpit si Nalau tadi. Ketam itu menyumpah si Nalau katanya, "Mudah-mudahan engkau anak beranak seratus satu ekor, sebab engkau telah durhaka kepadaku. Aku ini mati karena tusukanmu!". Sesudah berkata demikian, ketam itu terus mati. Si Nalau terdiam dan bertanya dalam hatinya, binatang apakah gerangan yang berbuat demikian itu kepadanya.
Demikianlah setelah minum dan mengalami peristiwa itu, ia pun pulang. Setelah sampai di rumah, istrinya yang sedang mengandung sangat kecewa karena tak seekor pun binatang buruan diperolehnya. Tetapi kekecewaannya ini hanya disimpannya di dalam hatinya sendiri. Setelah satu dua bulan kemudian, istrinya sampailah bulannya untuk melahirkan. Si Nalau sangat heran melihat bayinya yang memang berjumlah 101 (seratus satu) orang. Ia bingung di manakah tempat meletakkan bayi yang jumlahnya banyak tersebut. Bayi-bayi tadi dijejerkannya sehingga ruangan rumah penuh sama sekali. Satu minggu, dua minggu, sebulan, mereka memelihara bayi-bayi itu dan akhirnya mereka tak sanggup memeliharanya.
Dicarinya akal, biarlah bayi-bayi itu dihanyutkan saja di sungai. Dia buatnya sebuah rakit ditepian sungai, lalu dihamparkan mereka tikar di atasnya, kemudian bayi yang berjumlah 101 (seretus satu) orang diletakkan di atas tikar bagaikan anak bebek bergerak-gerak hanyut dibawa arus sungai.
Begitulah rakit yang hanyut sampai di tempat para raksasa sedang mandi. "Ini dia, kata mereka, makhluk apakah gerangan yang banyak seperti ini?" Melihat banyaknya 101 (seratus satu) orang lahir, bayi-bayi itu diambil oleh raksasa.
"Dimasak sajalah anak-anak ikan ini" kata istri raksasa.
"Jangan, kata suaminya, sebaiknya kita pelihara saja."
"Bagaimanakah caranya memelihara bayi sebanyak ini?" sahut istrinya. "Sudahlah bawa saja ke rumah!"
Bayi yang seratus satu orang tersebut dipelihara di dalam sebuah kamar yang besar, ya tentu saja mereka ramai sekali hiruk-pikuk. Satu bulan, telah berlalu. Bayi yang dipelihara makin lama makin besar dan tambah lincah karena semuanya adalah manusia seperti kita. Di antara jumlah yang sekian itu, hanya terdapat seorang wanita, sedangkan seratus yang lainnya pria. Anak perempuan satu-satunya itu ternyata pandai sekali. Kalau tidur ia tidak pernah nyenyak. Tempat tidurnya berbeda dari ibu dan ayahnya. Demikianlah, bulan berganti bulan, tahun berganti tahun, anak-anak itu bertambah besar dan akhirnya dewasa semuanya.
"Oh, kata raksasa itu, apakah rencana kita berdua dengan semua peliharaan ini?"
"Saya ingin makan hatinya", kata istrinya.
"Baiklah" kata suaminya", Kalau demikian marilah kita berdua meninggalkan anak-anak ini pergi mencari rempah-rempah untuk membumbui hati peliharaan kita ini!"
Tenggelam ceritera anak-anak tadi, timbul kembali ceritera si Nalau dengan istrinya. Mereka berdua bercerai. Istrinya diusir si Nalau sebab ia menuduh pasti bahwa anak-anak itu habis dibunuh istrinya sepeninggalnya berjalan. Pergilah kamu ke seberang sungai sana, tak usah lagi berumah tangga. Engkaulah yang makan bayi itu sampai habis."
"Hai, janganlah demikian," kata istrinya." Anak-anak kita memang hilang."
Kembali ceritara tentang anak-anak tadi. Pembicaraan raksasa yang ingin memakan mereka, semuanya di dengar oleh anak perempuan tadi, sebab ia tidak tidur pada waktu itu. Mereka terus ditanyai oleh istri raksasa, sebesar apakah hati mereka. Selang satu dau hari, ditanyai lagi, tetapi dijawab mereka hatinya belum besar.
Akhirnya karena mereka sudah bosan ditanyai selalu, lalu timbul keberanian mereka. Mereka katakan pada raksasa suami-istri bahwa hati mereka sudah besar. Sebagian mengatakan sebesar jantung pisang, dan sebagian mengatakan sebesar hati raksasa. Bayangkan seratus satu hati yang besarnya demikian tidaklah sedikit. "Yah, kata istrinya, untuk membumbui semuanya kita berdua perlu pergi ke seberang laut mencari bumbu!"
Pada suatu malam, anak-anak itu pada tidur semua dengan nyenyak sekali, tak tahu apa-apa, karena lelah sekali bekerja pada waktu siang. Pada saat inilah raksasa suami-istri merencanakan kepergian mereka. Tetapi sebelum pergi, suami raksasa mengatakan jangan sekali-kali anak-anak itu mengetahui tempat botol pernapasan kita berdua yang saya simpan di atas pintu.
"Huh, kata istrinya, biarlah saja, mari kita pergi besok." Anak perempuan itu mengetahui rencana raksasa. Ia mencari akal. Pada malam itu juga, ketika saudara-saudaranya masih tidur, diambilnya gunting, lalu menggunting semua rambut saudaranya yang panjang-panjang. Kemudian rambut itu dibuatnya menjadi sehelai satu tangan. Lama sekali dibuatnya, tetapi keesokan harinya saputangan itu selesai juga.
"Nah, anak-anakku, kata ayah dan ibu mereka, kamu sekalian tinggal baik-baik. Kami berdua hendak pergi ke seberang laut. Tak diketahui beberapa hari, berapa minggu, karena ada sesuatu yang kami carikan di sana. Sebenarnya kepergian mereka itu adalah mencari bumbu untuk membumbui hati anak-anak ini yang akan dibunuhnya kelak.
"Oh," kata anaknya yang perempuan, yang memang disayangi mereka." Tolong bibi cucikan saputanganku ini sampai putih seperti sedia kala. "Bayangkan mencuci rambut, mana mungkin bisa menjadi putih. Demikianlah kedua raksasa itu sesudah berkemas, lalu berangkat.
Jadi, adik perempuan yang rupanya paling pintar dari antara mereka, sepeninggal raksasa itu lalu memerintahkan saudara-saudaranya segera membuat perahu besar yang dapat memuat kurang lebih seratus satu orang. "Kita sekalian harus segera lari dari sini, katanya, kalau tidak pasti kita akan dimakan semuanya oleh ibu bapak kita!"
Mendengar penjelasan adiknya, mereka semuanya lalu mengerahkan tenaga untuk membuat sebuah perahu yang kiranya cukup sebagai alat melarikan diri. Mereka bekerja terus membanting tulang. Sehari, dua hari seminggu dan akhirnya kurang lebih sebulan selesailah perahu itu. Isilah perahu ini sampai sarat kata adiknya. Demikianlah segala harta kekayaan raksasa mereka dimuatkan ke dalam perahu dan tanpa banyak cerewet mereka pun berangkatlah.
Alkisah, waktu raksasa sedang mencuci saputangan anaknya yang tidak bisa putih, berbunyilah burung, "Kepuk-kepuk mencuci semua anak kecil habis pergi" Begitu terus bunyi burung tadi. "Apakah pendengaranmu?", kata suaminya. "Jangan-jangan anak kita habis lari semua!"
"Entahlah, kata istrinya sambil terus mencuci, barangkali kata burung itu benar!" Lalu mereka berdua segera pulang membawa bumbu dan berenang ke seberang.
Setelah sampai di tengah laut, mereka lihat bendera anak-anak itu dengan sorak- sorai ramai sekali di atas perahu, dan botol pernapasan raksasa tadi sudah diambil juga. Kata adik mereka.
"Apabila raksasa itu mendekati perahu kita, pecahkan saja botol ini dan mereka akan mati semuanya."
"Tunggu, tunggu!" kata raksasa. "Jangan pergi!" Pulang segera!". Tak seorang pun menghiraukan kata-kata raksasa, bahkan sorak-sorai mereka makin menjadi-jadi. Mereka berlayar terus tak mengetahui kemana arahnya, sedangkan raksasa yang mengejar semakin dekat.
Setelah perahu mereka hampir tercapai oleh raksasa, "bai, bai" botol pernapasan dibanting sampai pecah. Apa hendak dikata, kedua raksasa langsung tenggalam bagaikan beliung dilempar ke dasar laut. Mereka bersorak-sorai karena selamat sedangkan semua harta raksasa habis mereka boyong, menjadikan anak-anak itu kaya raya. Begitulah mereka pergi berlayar terus belum mengetahui kemana tempat tujuannya.
Akhirnya sampailah mereka di sebuah muara sungai besar, lalu mudik ke dalamnya. Sesaat setelah perahu mereka memasuki sungai, tiba-tiba semuanya merasa lelah. Karena itu mereka berhenti dan menambatkan perahunya lalu beristirahat dan mereka tidur. Tetapi adik mereka tetap tidak tidur, karena itu pula, pada malam itu ia mendengar kera berbunyi di atas pohon beringin dekat perahunya, suaranya demikian; "Cis, anak. lihatlah olehmu, mereka ini banyaknya seratus satu, anak ibu dan bapaknya. Mereka bercerai, sebab ayah menuduh ibunya membuang anaknya.
Padahal mereka semua dihanyutkan ibunya karena tak sanggup menghidupkan. Pergilah mereka seratus satu orang inilah mereka ini, jika mereka masuk ke anak sungai sebelah kiri. Mereka akan sampai di kebun/ladang ibunya yang sudah lama ditinggalkan ayahnya, tetapi jika mereka masuk ke anak sungai sebelah kanan mereka akan sampai ke kampung ayahnya!".
Anak perempuan tadi terdiam, apakah gerangan yang telah terjadi. Jangan-jangan benar ibu bapak kami masih ada. Setelah saudara-saudaranya bangun semuanya, ia mengatakan supaya mereka jangan mudik anak sungai yang sebelah kanan, melainkan mudik sungai yang sebelah kiri saja, karena disanalah ada ibu mereka. Demikianlah mereka masuk ke sebelah kiri.
Akhirnya mereka sampai di sebelah kebun. Pohon tanamannya pada besar-besar dan disana mereka melihat ada seorang wanita tua. Mereka berhenti, lalu menambatkan perahunya, menemui wanita tua itu dan langsung menanyakan apakah benar berita yang didengar mereka dari suara kera diperjalanan tadi. "Yah, memang benar, kata ibunya, kami berdua ayahmu beranak seratus satu orang, dan kamu inilah anak-anakku.
Demikianlah mereka singgah dan naik ke rumah ibunya membawa harta kekayaan hiruk-pikuk, maklumlah jumlah mereka seratus dua orang dengan ibunya. Singkatnya tempat itu kini sudah merupakan sebuah kampung kecil.
Kemudian ibunya menceritakan bagaimana kelakuan ayahnya menceraikan dia lalu meninggalkannya sebatang kara di kebun selama berpuluh tahun, pergi tinggal di tempat yang ramai. Kini si ibu dirawat oleh anak-anaknya, kerana menyadari bahwa ibunyalah yang menghidupkan mereka dari semula.
Setelah beberapa lama kemudian, maka kotoran mereka dan juga kotoran semua binatang peliharaan, seperti sapi, kuda, babi, ayam dibuang ke sungai dan hanyut ke hilir. Hal ini menimbulkan keheranan si Nalau. Apakah yang terjadi karena sampahnya berhamburan hanyut di air seperti gabah, pada hal dihulu hanya diam seorang wanita tua saja, tak ada orang lain.
Karena si Nalau memang orang berpengaruh dan banyak hamba sahayanya, ia pun lalu menyuruh beberapa orang pergi kesana menyelidiki keadaan. Pesuruh-pesuruh itu tak berani sampai di sana, tetapi hanya menyelidiki dari jauh saja karena mereka takut melihat banyaknya penduduk di situ, lagi pula kaya-kaya.
"Hai" kata si Nalau, kalau benar demikian marilah kita pergi mengetahui lebih lanjut. Orang-orang kampung pun diajaknya ke sana.
Demikianlah akhirnya ayahnya menuturkan apa yang telah terjadi dan anak-anaknya pun menceritakan pengalaman-pengalaman pahit mereka selama berpuluh-puluh tahun hidup bersama keluarga raksasa sehingga akhirnya mereka melarikan diri dan kebetulan sampai ke kampung halaman. Cinta anak terhadap orang tua tak akan lenyap, walaupun apa yang menimpa mereka telah terjadi dan cinta inilah akhirnya memperbaiki hubungan antara ibu dan ayah mereka, sampai ayahnya kembali.
sumber:
1. Rendang (Minangkabau) Rendang adalah hidangan daging (umumnya sapi) yang dimasak perlahan dalam santan dan bumbu rempah-rempah yang kaya selama berjam-jam (4–8 jam). Proses memasak yang sangat lama ini membuat santan mengering dan bumbu terserap sempurna ke dalam daging. Hasilnya adalah daging yang sangat empuk, padat, dan dilapisi bumbu hitam kecokelatan yang berminyak. Cita rasanya sangat kompleks: gurih, pedas, dan beraroma kuat. Rendang kering memiliki daya simpan yang panjang. Rendang adalah salah satu hidangan khas Indonesia yang paling terkenal dan diakui dunia. Berasal dari Minangkabau, Sumatera Barat, masakan ini memiliki nilai budaya yang tinggi dan proses memasak yang unik. 1. Asal dan Filosofi Asal: Rendang berasal dari tradisi memasak suku Minangkabau. Secara historis, masakan ini berfungsi sebagai bekal perjalanan jauh karena kemampuannya yang tahan lama berkat proses memasak yang menghilangkan air. Filosofi: Proses memasak rendang yang memakan waktu lama mela...
Ayam goreng adalah salah satu menu favorit keluarga yang tidak pernah membosankan. Namun, jika kamu ingin mencoba variasi yang lebih gurih dan harum, ayam goreng bawang putih renyah adalah pilihan yang tepat. Ciri khasnya terletak pada aroma bawang putih yang kuat serta kriukannya yang renyah saat digigit. Resep ini juga sangat mudah dibuat, cocok untuk menu harian maupun ide jualan. Bahan-Bahan Bahan Ayam Ungkep ½ kg ayam (boleh potong kecil agar lebih cepat matang) 5 siung bawang putih 4 siung bawang merah 1 sdt ketumbar bubuk 1 ruas kunyit (opsional untuk warna) Garam secukupnya Kaldu bubuk secukupnya Air ± 400 ml Bahan Kriuk Bawang 5–6 siung bawang putih, cincang halus 3 sdm tepung maizena ¼ sdt garam ¼ sdt lada Minyak banyak untuk menggoreng Cara Membuat Ungkep ayam terlebih dahulu Haluskan bawang putih, bawang merah, kunyit, dan ketumbar. Tumis sebentar hingga harum. Masukkan ayam, aduk rata, lalu tuang air. Tambahkan garam dan kaldu...
Ayam ungkep bumbu kuning adalah salah satu menu rumahan yang paling praktis dibuat. Rasanya gurih, aromanya harum, dan bisa diolah lagi menjadi berbagai hidangan seperti ayam goreng, ayam bakar, hingga pelengkap nasi kuning. Keunggulan lainnya, resep ini termasuk cepat dan cocok untuk kamu yang ingin memasak tanpa ribet namun tetap enak. Berikut resep ayam ungkep bumbu kuning cepat yang bisa kamu coba di rumah. Bahan-Bahan ½ kg ayam, potong sesuai selera 4 siung bawang putih 5 siung bawang merah 1 ruas kunyit 1 ruas jahe 1 ruas lengkuas (geprek) 2 lembar daun salam 2 lembar daun jeruk 1 batang serai (geprek) 1 sdt ketumbar bubuk (opsional) Garam secukupnya Kaldu bubuk secukupnya Air ± 400–500 ml Minyak sedikit untuk menumis Cara Membuat Haluskan bumbu Blender atau ulek bawang merah, bawang putih, kunyit, jahe, dan ketumbar bubuk (jika dipakai). Semakin halus bumbunya, semakin meresap ke ayam. Tumis bumbu hingga harum Panaskan sedikit m...
Sumber daya air merupakan sebuah unsur esensial dalam mendukung keberlangsungan kehidupan di bumi. Ketersediaan air dengan kualitas baik dan jumlah yang cukup menjadi faktor utama keseimbangan ekosistem serta kesejahteraan manusia. Namun, pada era modern saat ini, dunia menghadapi krisis air yang semakin mengkhawatirkan (Sari et al., 2024). Berkurangnya ketersediaan air disebabkan oleh berbagai faktor global seperti pemanasan, degradasi lingkungan, dan pertumbuhan penduduk yang pesat. Kondisi tersebut menuntut adanya langkah-langkah strategis dalam pengelolaan air dengan memperhatikan berbagai faktor yang tidak hanya teknis, tetapi juga memperhatikan sosial dan budaya masyarakat. Salah satu langkah yang relevan adalah konservasi air berbasis kearifan lokal. Langkah strategis ini memprioritaskan nilai-nilai budaya masyarakat sebagai dasar dalam menjaga sumber daya air. Salah satu wilayah yang mengimplementasikan konservasi berbasis kearifan lokal yaitu Goa Ngerong di kecamatan Rengel,...
Kelahiran seorang anak yang dinantikan tentu membuat seorang ibu serta keluarga menjadi bahagia karena dapat bertemu dengan buah hatinya, terutama bagi ibu (melahirkan anak pertama). Tetapi tidak sedikit pula ibu yang mengalami stress yang bersamaan dengan rasa bahagia itu. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan tentang makna dari pra-kelahiran seseorang dalam adat Nias khusunya di Nias Barat, Kecamatan Lahomi Desa Tigaserangkai, dan menjelaskan tentang proses kelahiran anak mulai dari memberikan nama famanoro ono khora sibaya. Metode pelaksanaan dalam penelitian ini adalah menggunakan metode observasi dan metode wawancara dengan pendekatan deskriptif. pendekatan deskriptif digunakan untuk mendeskripsikan fakta sosial dan memberikan keterangan yang jelas mengenai Pra-Kelahiran dalam adat Nias. Adapun hasil dalam pembahasan ini adalah pra-kelahiran, pada waktu melahirkan anak,Pemberian Nama (Famatorõ Tõi), acara famangõrõ ono khõ zibaya (Mengantar anak ke rumah paman),...