Di sebuah desa bernama Kampar, hidup seorang ibu dan anaknya yang bernama Lancang. Mereka hidup disebuah gubuk tua. Kehidupan mereka sangat miskin. Karenanya, untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari mereka harus bekerja sebagai buruh tani.
Suatu hari, Lancang berpikir untuk pergi dari desanya agar bisa menjadi kaya. "Aku tidak ingin hidup miskin. Aku ingin jadi orang kaya. Tapi, bagaimana mungkin aku bisa maju jika aku tetap tinggal di desa ini?"
Untuk melaksanakan niatnya, Lancang memohon izin kepada ibu dan guru mengajinya untuk pergi ke kota mengadu nasib. "Ibu, izinkan aku pergi ke kota untuk mengadu nasib. Siapa tahu di kota nanti aku bisa mendapatkan pekerjaan yang lebih baik dan dapat membahagiakan ibu," ucap Lancang.
Betapa berat hati sang ibu melepaskan anak semata wayangnya. Sebenarnya ia tidak mau melepas sang buah hati yang sangat dicintainya. Tapi, niat Lancang sudah bulat sehingga sang ibu merelakan anaknya pergi. Ia pun akan tetap setia menantikan anaknya kembali.
"Anakku, ibu hanya dapat berpesan, jika kau telah sukses di kota, jangan lupakan ibu. Kalu pun nanti kau tidak berhasil di kota, kembalilah pulang karena ibu selalu menantimu di sini," kata sang ibu sambil berlinang air mata. Lancang kemudian mencium lutut sang ibu. Dengan berbekal restu sang ibu dan sebungkus kue lumping dadak kegemarannya, pergilah Lancang ke kota.
Hari demi hari ia lalui dengan bekerja keras. Karena keuletannya, setelah beberapa tahun, usaha Lancang membuahkan hasil. Ia pun menjadi orang kaya. Dengan kekayaannya, Lancang bisa membeli apa saja yang diinginkan. Bahkan, menurut kabar yang berembus, Lancang mempunyai 7 (tujuh) orang istri. Semua istrinya cantik-cantik dan anak saudagar kaya. Harta dan kekayaan yang dimiliki membuatnya lupa akan sang ibu di Desa Kampar. Ia telah berubah menjadi manusia yang sombong dan serakah.
Suatu hari, Lancang hendak berlayar ke Andalas dengan membawa ketujuh istrinya. Segala sesuatu telah dipersiapkan dengan baik oleh anak buahnya. Perbekalan mewah seperti kain sutra, emas, dan perak dibawanya. Semua itu digelarnya di atas kapalnya yang besar.
Setelah sekian hari berlayar, sampailah ia di Desa Kampar. Lancang pun menghentikan kapalnya dan merapat di dermaga. Alat-alat musik yang dibawanya kemudian dimainkan dengan suara riuh rendah. Hal ini dilakukan untuk menarik perhatian para penduduk Kampar.
Benar saja, para penduduk Kampar berkumpul dan mengagumi kemewahan kapal milik Lancang. Berita kedatangannya terdengar juga oleh sang ibu. Ia pun segera berlari menuju pantai. Betapa takjubnya sang ibu melihat sebuah kapal besar dan mewah berada di hadapannya.
"Anakku Lancang, ini ibu! Di mana kamu?" teriak sang ibu yang berlari ke atas geladak kapal. Namun, ketika sampai di atas geladak, ia dihadang oleh beberapa anak buah kapal.
"Maaf, Ibu tidak dapat masuk ke kapal ini," tegas para anak buah kapal.
"Aku ingin bertemu dengan anakku. Aku sangat merindukannya," pinta sang ibu dengan penuh harap.
Sayangnya, bukannya izin untuk bertemu anaknya yang ia dapatkan, melainkan tertawaan para anak buah kapal. Mereka tidak mempercayai bahwa ibu yang berpakaian lusuh dan compang - camping itu adalah ibu Lancang. Sang ibu tetap memaksa ingin memasuki kapal sehingga keributan tidak dapat dihindari.
Mendengar suara gaduh di luar kapalnya, Lancang dan tujuh istrinya menghampiri. "Ada keributan apa ini?" tanya Lancang.
Melihat anak yang dicintainya keluar, sang ibu pun berkata, "Lancang anakku, ini ibu."
"Aku tidak memiliki ibu sepertimu," teriak Lancang sambil menyuruh anak buah kapalnya untuk mengusir sang ibu dari atas geladak. Lancang merasa sangat malu dengan keadaan ibunya yang sangat lusuh. Ia tidak ingin orang lain mengetahui asal-usulnya yang dahulu hanyalah seorang buruh tani yang miskin.
Mendengar ucapan anaknya, hati sang ibu pun sangat hancur. Ia pun lari ke gubuknya. Setelah itu, dikeluarkanlah benda pusaka yang sudah lama disimpannya, sebuah lesung (penumbuk padi) dan nyiru (anyaman bambu untuk menampi beras). Sambil memutarkan-mutar lesung dan mengibas-ngibaskan nyirunya sang ibu berdoa, "Ya Tuhanku, hukumlah anak durhaka itu!".
Setelah sang ibu memanjatkan doa, tiba-tiba datanglah badai dan angin topan. Kapal milik Lancang pun terempas ke karang dan hancur lebur. Semua barang-barang yang terdapat di dalam kapal terlempar dan jatuh berkeping-keping. Kain sutranya melayang dan jatuh di suatu tempat yang kemudian menjadi sebuah daerah bernama "Lipat Angin".
Daerah itu kini terletak di daerah Kampar Kiri. Alat musik gongnya pun terlempar dan menjadi sebuah sungai bernama “Ougong”. Sungai ini berada di daerah Kampar Kanan. Tembikarnya terlempar dan menjadi sebuah desa bernama "Pasubillah". Tiang bendera kapal milik Lancang pun terempas sangat jauh hingga ke danau yang kemudian bernama "Danau si Lancang".
Pesan Moral :
Kisah ini mengingatkan kita agar tidak melupakan jasa orang tua terutama ibu. Jika kelak kita menjadi orang yang sukses, janganlah sekali-kali melupakan ibu yang sudah susah payah membesarkan kita.
sumber:
BAHAN-BAHAN 1 ikat kangkung bumbu halus : 5 siung bawang merah 2 siung bawang putih 2 butir kemiri 1 sdt ketumbar bubuk seruas kencur aromatic : 2 lembar daun salam 2 lembar daun jeruk 1 btg sereh seruas lengkuas,geprek seasoning : 1 sdt garam (sesuai selera) 1/2 sdt kaldu bubuk 1/2 sdm gula jawa sisir 1 sdt gula pasir Rose Brand 1 bungkus santan cair instan Rose Brand 1 liter air 3 sdm minyak goreng untuk menumis CARA MEMASAK: Siangi kangkung cuci bersih,tiriskan Haluskan bumbu Tumis bumbu halus hingga harum dengan secukupnya minyak goreng,masukkan aromatic,masak hingga layu,beri air 1 lt Masukkan kangkung,beri seasoning,aduk rata Koreksi rasa Sajikan Sumber: https://cookpad.com/id/resep/25030546?ref=search&search_term=kangkung
Bahan: 1 buah tomat, potong dadu 2 ekor ikan tongkol ukuran sedang (1/2kg) 1/2 bks bumbu marinasi bubuk 1 sdt bawang putih Secukupnya garam Secukupnya gula 7 siung bawang merah, iris 5 buah cabe rawit, iris 2 batang sereh, ambil bagian putihnya, iris 3 lembar daun jeruk, iris tipis-tipis 1 bks terasi ABC Minyak untuk menumis Secukupnya air Cara memasak: Cuci bersih ikan tongkol. Taburi bumbu marinasi desaku, garam secukupnya, air 2 sdm ke ikan tongkol. Siapkan bahan-bahan. Iris tipis bawang merah, daun jeruk, seret, cabe rawit. Kukus ikan tongkol selama 10 menit. Lapisi dengan daun pisang atau daun kunyit. Boleh jg tidak d lapisi. Setelah ikan di kukus, goreng ikan. Tumis bawang merah dan bahan lainnya. Masukkan terasi yg telah dihancurkan. Setelah matang, masukkan ikan yang telah digoreng. Aduk hingga rata. Sajikan dengan nasi hangat. Sumber: https://cookpad.com/id/resep/24995999?ref=search&search_term=dabu+dabu
Bahan-bahan Porsi 2 orang Bumbu Ikan bakar : 2 ekor ikan peda 1 sdm kecap 1/2 sdm Gula merah 1/2 sdt garam Minyak goreng Bahan sambal dabu-dabu : 7 buah cabe rawit merah, iris kecil 1 buah tomat merah, iris dadu 3 siung bawang merah,iris halus 2 lembar daun jeruk, buang tulang tengah daun, iris tipis 2 sdm minyak goreng panas Cara Membuat: Marinasi ikan dengan air perasan jeruk nipis dan garam secukupnya, diamkan 20 menit, kemudian panggang diatas teflon(aku di happycall yang dialasi daun pisang) sesekali olesi minyak plus bumbu ke ikannya(aku pakai bumbu kecap dan gula merah) panggang sampai matang. Cara bikin Sambal dabu-dabu : Campurkan semua bahan sambal dabu-dabu ke dalam mangkok kecuali minyak kelapa, panaskan minyak kelapa, kemudian siram diatas sambal tadi, sajikan ikan peda bakar dengan sambal dabu-dabu. Sumber: https://cookpad.com/id/resep/15232544?ref=search&search_term=peda+bakar
MAKA merupakan salah satu tradisi sakral dalam budaya Bima. Tradisi ini berupa ikrar kesetiaan kepada raja/sultan atau pemimpin, sebagai wujud bahwa ia bersumpah akan melindungi, mengharumkan dan menjaga kehormatan Dou Labo Dana Mbojo (bangsa dan tanah air). Gerakan utamanya adalah mengacungkan keris yang terhunus ke udara sambil mengucapkan sumpah kesetiaan. Berikut adalah teks inti sumpah prajurit Bima: "Tas Rumae… Wadu si ma tapa, wadu di mambi’a. Sura wa’ura londo parenta Sara." "Yang mulia tuanku...Jika batu yang menghadang, batu yang akan pecah, jika perintah pemerintah (atasan) telah dikeluarkan (diturunkan)." Tradisi MAKA dalam Budaya Bima dilakukan dalam dua momen: Saat seorang anak laki-laki selesai menjalani upacara Compo Sampari (ritual upacara kedewasaan anak laki-laki Bima), sebagai simbol bahwa ia siap membela tanah air di berbagai bidang yang digelutinya. Seharusnya dilakukan sendiri oleh si anak, namun tingkat kedewasaan anak zaman dulu dan...
Wisma Muhammadiyah Ngloji adalah sebuah bangunan milik organisasi Muhammadiyah yang terletak di Desa Sendangagung, Kecamatan Minggir, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Wisma ini menjadi pusat aktivitas warga Muhammadiyah di kawasan barat Sleman. Keberadaannya mencerminkan peran aktif Muhammadiyah dalam pemberdayaan masyarakat melalui pendekatan dakwah dan pendidikan berbasis lokal.