|
|
|
|
Si Kura Sakti Tanggal 27 Dec 2018 oleh Admin Budaya . |
Cerita ini mengisahkan si Kura Sakti tujuh bersaudara anak raja Pagaruyung. Mereka disuruh pergi merantau dari negeri Pagaruyung mencari daerah baru yang cukup jauh dari Pagaruyung. Pergilah tujuh bersaudara tersebut, sedang Si kura ditandu karena tidak dapat berjalan. Si kura sudah dewasa, tetapi belum dapat berdiri, melainkan selalu terbaring saja. Jadi abangnya yang terus si Muradatu serta adik-adiknya bergilir menandunya. Sudah satu hari satu malam mereka berjalan, baru mereka membuat gubuk dekat hulu sungai antara Pagaruyung dan Bengkulu. Bermalamlah mereraka di situ sampai dua atau tiga malam.
Pekerjaan mereka di daerah itu mencari ular, mencari babi, mencari monyet dan binatang-binatang apa saja yang dapat mereka tangkap. Itulah yang menjadi makanan mereka tiap hari. Sesudah binatang-binatang di daerah itu tinggal sedikit lagi, mereka pindah lagi melanjutkan perjalanan ke gunung Pesagi, dan bermalam lagi disana. Sesudah seminggu, mereka melanjutkan perjalanan lagi, sedang si Kura tetap ditandu oleh dua orang.
Sampailah mereka di Way Tamboleh antara Palembang dengan Krui. Mereka bermalam pula di situ. Sesudah tiga malam adik mereka yang perempuan selalu pergi ke sungai mencuci pakaian sambil bercermin di air sungai. Karena waktu itu belum ada kaca cermin, jadi kacanya cukup dengan air sungai yang bening itu. Sang putri ini merasa senang bercermin di air.
Suatu ketika sedang saudara-saudaranya pergi ke hutan berburu, seperti biasa sang putri ke sungai bercermin, tinggallah si Kura sendirian menunggu di gubuk mereka. Dekat waktu dzohor, seorang laki-laki tua mendatangi Si Kura yang sedang terbaring dalam gubuk, kemudian bertanya, "Apa kerjamu di sini?" Jawab si Kura. "Saya sedang menunggu jemuran dendeng." Dendeng apa itu?" bertanya lagi si orang tua tersebut. Jawab si Kura, Itu dendeng ular, dendeng babi, dendeng menjangan dan ada pula dendeng rusa." Oleh si orang tua haji tadi, lantas dipegang-pegangnya dendeng tersebut, kemudian bertanya, "Ini ekor ular ya?" "Ya" jawab si Kura. "Yang ini badan ular. ya". "Ya jawab si Kura. "Kalau ini kepala ular, ya", "Ya" jawab si Kura. Bagian-bagian binatang yang sudah jadi dendeng itu tadi lalu disambung-sambungkan oleh orang tua tersebut, sambil membaca-baca mantera.
Tidak lama kemudian, ular tersebut hidup kembali, berjalan dan pergi. Kemudian orang tua tadi memegang-megang dendeng yang lain. "Nah, ini paha apa?" Ini paha babi," jawab si Kura. "Ini kakinya? "ya" jawab si Kura "Yang ini kepalanya," "Ya" jawab si Kura. Bagian-bagian tersebut disambung-sambungkannya, kemudian ditepuk-tepuknya, "bek..bek...bek" ... Sang babi hidup kembali dan berlari pergi masuk ke hutan. Demikialah seterusnya perlakuan orang tua tersebut terhadap semua binatang-binatang yang telah jadi dendeng itu. Asal kijang jadi kijang, asal menjangan jadi menjangan, babi jadi babi lagi. Padahal semua itu telah menjadi dendeng yang kering.
Habislah dendeng tersebut, padahal dendeng-dendeng itu hasil buruan saudara-saudara Si Kura selama dua hari. Si Kura tertegun melihat peristiwa itu, sambil melamun dia memikirkan bagaimana nanti kalau saudara-saudaranya pulang, pasti mereka akan marah padanya, karena mereka nanti mengira bahwa dialah yang memakan habis dendeng-dendeng itu, padahal sama sekali tidak.
Berkatalah orang tua itu kepada Si kura,"Nah, begitulah caranya kalau mau menghidupkan kembali." Sambil ia berlalu pergi meninggalkan Si kura. Sesudah si orang tua itu pergi jauh, sedang saudara-saudaranya belum pulang, adik perempuannya belum juga pulang dari sungai, karena lagi sibuk bercermin, berkatalah Sikura, "Saya akan mencoba lebih dulu, bagaimana mantera-mantera orang tua itu tadi. Tak lama kemudian begitu dia bangun, dapat, begitu dia berdiri, juga dapat, lantas dia berjalan-jalan, lari kian kemari juga dapat dia lakukan. "Nah, rupanya saya ini sudah dapat berjalan, alangkah lamanya saya ini belum merasakan dapat berjalan," Kemudian berlarilah Si kura, naik pohon kayu dan sebagainya. Semua dapat ia lakukan.
Sudah itu Si kura berdiam diri melamun memikirkan peristiwa tersebut, lantas adiknya sang putri pulang dari sungai. Begitu sampai dekat gubuk, dilihatnya dendeng sudah tidak ada lagi. "Mana dendeng-dendeng di sini Bang?", tanya sang putrid. Jawab si Kura, "Entahlah, tadi ada yang mengambilnya, saya larang tidak dihiraukannya." "Kalau begitu, bagaimana kalau saudara kita datang kelaparan tidak ada makanan ?" Entahlah, saya tidak tahu" jawab si Kura. Tak lama kemudian, pulanglah saudara-saudaranya berlima dari berburu, membawa hasil buruan berupa ular, babi, monyet dan macam-macam binatang lain. Berat-berat beban mereka, mereka kelihatan letih dan lapar.
Bus,... bus,....bus, mereka menurunkan beban masing-masing. Sewaktu mereka hendak makan, dilihatnya tidak ada apa-apa. "Mana ikan-ikan di sini dan dendeng-dendeng itu, mengapa dibuang?, ataukah kamu makan semua?, alangkah rakusnya kamu ini!" Tanya saudara-saudaranya. "Entah, saya tidak tahu", jawab Si kura. "Lho, mengapa tidak tahu?", lalu di tamparnya Si kura. Oleh Sikura tamparan itu ditangkisnya, berkali-kali ditampar, tapi selalu dapat ditangkisnya, maklum tangan Sikura sudah kuat. Ada yang akan menyepaknya, dia lari menghindar, Saudara-saudaranya keheranan, mengapa Si kura sekarang dapat bergerak, berlari dan sebagainya. Lalu mereka kejar berlarian kesana-kemari, saudara-saudaranya marah bercampur heran.
Setelah ditanya, akhirnya dijawab Si kura, bahwa dia tidak tahu menahu tadi, tiba-tiba ada seorang tua yang datang kemari dan mengambil semua dendeng-dendeng itu, lalu dibawa pergi. Dia larang, tidak dihiraukannya. Tidak diceritakannya bahwa orang tua tersebut telah menghidupkan kembali binatang-binatang yang telah jadi dendeng itu. Sesudah jelas begitu, mereka terpaksa memanggang dan memakan hasil buruan yang baru untuk makan siang dan makan malam. Tinggal sedikit lagi makanan, mereka sepakat untuk mengembara lagi.
Sampailah mereka dekat Bengkulu, lepas dari Bukit Barisan. Dari kejauhan terlihat oleh mereka, apa yang mereka namakan si Tumi, yaitu orang-orang Inggris, ada tujuh perahu akan menuju pulau Pisang, sedang memasuki suatu teluk. Berkata Si kura kepada kakaknya si Muradatu. "Lihatlah ada si Tumi musuh kita dengan tujuh perahu yang besar-besar akan mendarat di Pulau Pisang." Ayo Bang, jangan diberi ampun, musnahkan semua, jangan sampai mereka datang kemari."
"Bagaimana mungkin kita dapat memusnahkan mereka datang kemari." laut sana," jawab abangnya. Berkata Si kura, "Bukankah abang pegang pedang itu, bacok-bacokanlah dari sini, itu pedang pusaka. Walaupun pedang bertuah itu pusaka, tetapi bagaimana mempergunakannya dari jarak yang hampir lima puluh meter dari sini," jawab abang-abangnya. "Cobalah dulu," kata Sikura. Lantas pedang itu dihunus abangnya dan dibacok-bacokannya ke arah perahu-perahu Inggris yang jauh tersebut, tetapi tidak berhasil. Kemudian kata abangnya, "Coba kamu dahulu." "Baiklah," kata Si kura. Diambilnya pedang pusaka tersebut dan "perhatikan, "kata Si Kura kepada saudara-saudranya. Begitu dibacok-bacokannya, pedang tersebut ke arah perahu-perahu itu, satu, dua, tiga,... dan seterusnya. Habislah tujuh perahu di kejauhan yang berisi orang-orang Inggris tersebut. Semuanya tenggelam, belum sempat masuk di Teluk Pulau Pisang.
Sementara itu, mereka merasa jengkel dengan adik putrinya yang selalu kerjanya bercermin di air sungai tiada henti-hentinya, tidak boleh ada kesempatan sedikit saja, dia selalu bercermin. Akhirnya oleh Si kura, dipenggalnya kepala adiknya dan jatuh ditebing sungai. Di dekat itu ada seekor lutung yang sedang bertengger. Kepala Lutung itu dipenggal pula, jatuh lalu diambil dan ditaruh di atas leher adiknya disambungkan. Akhirnya adiknya si putri tersebut, tidak merasakan kejadian itu dan tidak sadar bahwa kepalanya sekarang sudah kepala Lutung.
Mereka meneruskan perjalanan, dan sampailah mereka di Way Tamboleh. Di sungai ini sebagai mana biasa sang putri bercermin lagi di air sungai. Alangkah terkejutnya ketika dilihat olehnya kepalanya adalah kepala Lutung, dengan muka yang berbulu-bulu. Menjeritlah ia sambil menghiba menangis, "Sampai hati kalian membuat saya jadi lutung begini? rupanya kamu sudah tidak sayang lagi dengan saya ini," tangis sang putri. "Sekarang ini kita berpisah saja, saya tidak mau lagi bercampur dengan kalian, tadinya kita bersaudara, sekarang kita berpisah."
Kemudian sang putri pergi mengikuti aliran sungai Tamboleh sedang saudara-saudaranya berenam kearah lain dan sampai di hulu sungai Tenumbang dekat Krui terus ke arah muara. Mereka menetap pula disitu dan membuat sebuah gubuk dekat muara sungai. Suatu ketika mereka berjalan-jalan mengikuti muara sungai, sampailah mereka pada simpangan muara. Disitu mereka menemukan seekor buaya yang besar terjepit diantara tebing dan bukit. Punggung buaya tersebut, penuh ditumbuhi rerumputan bambu batu. Sewaktu mereka melihat-lihat keadaan sekitarnya, akan menyeberangi muara, lewat rumpun bambu tadi, tiba-tiba sang buaya berkata.
"Kamu sekalian hendak ke mana?" Dijawab mereka berenam" Hendak menyeberang," Berkata sang buaya lagi, "Kalian jangan dulu menyeberang, tolonglah saya dahulu, buanglah bambu-bambu yang tumbuh dipunggungku ini, nanti akan ada terima kasihku padamu." Mendengar hal itu, mereka menjawab," baiklah,"
Kemudian mereka mulai menebang bambu-bambu batu tersebut. Lalu mereka pulang, sampai hari sudah malam, dan bambu-bambu yang belum ditebang sepuluh batang lagi. "Biarkan dahulu, besok kita selesaikan", kata salah seorang diantara mereka. Esok harinya, ketika mereka pergi akan menebang habis sisa-sisa pohon bambu tersebut, betapa takjubnya mereka melihat, bahwa bambu-bambu yang ditebangnya kemarin, semuanya telah berdiri lagi dan tumbuh seperti sebelum ditebang. Mereka mulai menebang lagi, sampai menjelang sore hari tidak tertebang semua, ada lebih kurang lima belas batang yang tersisa dan mereka biarkan untuk ditebang keesokan harinya lagi.
Keesokan harinya, mereka dapatkan lagi bahwa pohon-pohon bambu tersebut sudah berdiri lagi dan tumbuh lagi seperti tidak pernah ditebang. Lalu kata Si kura,"Bang coba dibabat sekaligus dari atas tebing dan jangan dari atas punggung buaya, dan tebang sejajar dengan punggung buaya tersebut. Jawab saudara-saudara Si kura," Sedang ditebang satu persatu begitu susahnya, apalagi kalau ditebas sekaligus dengan rumpunnya." Tidak, cobalah dahulu, kata Sikura. "Cobalah olehmu dahulu" kata saudara-saudaranya."Kamukan sakti" "Baiklah," kata Si kura, "Tetapi kalian minggir dahulu." Mula-mula oleh Sikura sang buaya disuruh mengambang kira-kira dua jari dari air sampai kelihatan akar-akar dari bambu-bambu tersebut.
Kemudian dari atas tebing, oleh Si kura lalu ditebang dengan pedang pusaka, "ciat.... bus... "Robohlah semua rumpun bambu tersebut. Barulah kemudian sang buaya dapat berjalan dan tidak terjepit lagi. Ia lantas berjalan ke lautan. Dipanggilnya keenam bersaudara itu dan sang buaya menyampaikan rasa terima kasihnya atas pertolongan mereka. Katanya. "Sekarang, apakah yang akan saya berikan kepada kalian, yang dapat kalian pergunakan seterusnya? Kalian akan saya beri emas, paling-paling sepuluh tahun emas itu habis, saya beri sutra juga mungkin juga dalam waktu sepuluh tahun akan habis, yang bakal awet, tahan lama, kami berjanji bahwa kami bangsa buaya tidak akan mengganggu, menggigit atau menyakiti kalian, bila salah satu diantara kami warga buaya marah kepada kalian dan lantas menggigit dan keluar darah setitik saja, dia akan dimakan sumpah, semenjak waktu itu sampai emat puluh hari dia tidak dapat makan, tidak dapat minum, tidak dapat melihat, itulah yang menjadi siksaan kami, sampai mati.
Nah, kalau kalian hendak menyeberang satu muara, tetapi tidak dapat karena airnya dalam, panggillah kami dan sebutkan nama kalian bahwa Si kura akan menyeberang. Nanti kami akan datang menolong, kalian boleh menaiki punggung kami, atau kami berbaris berjejer sambung menyambung membentuk jembatan." "Baiklah " jawab mereka ber enam. Cuma, ada pantang dari kami ialah bahwa kalian jangan sekali-kali membuang puntung rokok berapi, atau puntung kayu bakar yang berapi ke dalam air sungai. Mata kami menjadi perih tidak dapat melihat. Itu tadi pantangan kami yang pertama, pantangan yang kedua, kalian jangan sekali-kali menciduk air dengan teko atau periuk, perunggu, di kali/sungai, karena kami akan menderita sakit perut empat puluh hari lamanya. Itulah pantangan dari kami," kata Buaya. Sesudah saling berjanji demikian, mereka terus menyeberang muara yang lebih kurang selebar lima puluh meter. Kemudian mereka kembali pulang kelubuknya.
Dari situ mereka pindah ke hulu sungai dekat pematang sawah, dekat dengan Tenggamus, terus ke Way Nengkunat. Mereka menemukan suatu dataran tinggi demikian luasnya, suatu daerah yang bagus dan mereka sepakat untuk membuka daerah itu. Menetaplah mereka enam bersaudara tanpa adik putri yang sudah memisahkan diri. Sesudah dua tahun, mereka telah mempunyai berbagai macam tanaman, seperti kacang panjang, kacang tanah, pisang. Sesudah dipanen bermufakatlah mereka berenam bersaudara itu hendak mencari adik putri yang pergi memisahkan diri itu. "Carilah oleh kalian," kata Sikura. Lebih kurang satu minggu mereka mencari tidak ketemu. Berkata Sikura." Besok pagi cari lagi oleh kalian, nanti malam saya buatkan jalan." "Apa jalannya itu?" tanya sudara-saudaranya, yang dijawab Si kura. Pokoknya ada jalan, besok!" Sesudah maghrib, Si kura turun dari halaman dan membawa pedang Kabawok diputar-putarkannya pedang tersebut dan "sitting" dilepaskannya pedang itu, mendesing melayang di atas kemudian Sikura pulang. Berkatalah Sikura kepada saudara-saydaranya. "Besok pagi kalian pergi ke bukit itu dan cari serta ikuti jalanan emas yang ditimbulkan oleh pedang yang saya lemparkan. Lebar jalan itu tujuh meter, sedang panjangnya tidak terhingga." Pergilah pada keesokan harinya mereka mencari dan mengikuti jalanan emas tersebut.
Sesudah puas berjalan, mereka menemukan bekas orang berladang, tanaman kacang dan sebagainya. Mereka berhenti di situ mencari-cari, dilihatnya ada sebuah gubuk dan diatas gubuk itu ada sebuah pedang. Tak salah lagi, pikir mereka bahwa di situ tempat adiknya yang dicari-cari. Kira-kira lima puluh meter dari gubuk tersebut, sang putri sudah melihat akan kedatangan mereka. Segera ia pesan kepada ibu semangnya bahwa itu abangnya datang, bila mereka menanyakan tentang dia jangan diberi tahu bahwa dia ada di sini. Dia akan naik ke loteng dan bersembunyi, dia ditutup dengan bakul. Sesampainya saudara-saudaranya di gubuk itu, kemudian mereka memberi salam. "Assalamualaikum," kemudian disilahkan duduk dan sebagainya.
Mereka lalu menanyakan kepada ibu tersebut tentang adiknya yang mereka cari-cari barangkali menumpang di situ. Di jawab si ibu, bahwa yang dicari-cari sama sekali tidak ada menumpang di tempatnya. Kata ibu itu bahwa tidak ada orang dari luar yang bersama dia selain seorang cucunya. Mendengar jawaban perempuan tua itu, mereka berkata, "Baiklah ibu, tetapi kami masih akan terus mencarinya. Kami permisi akan mencarinya dibawah kolong, di tumpukan kayu, atau di atas loteng, kalau-kalau ada dibawah bakul dan sebagainya." Mendengar hal itu, maka sang putri muka lutung yang bersembunyi diatas loteng itu lantas menyahut. "Hai, mengapa kalian mencari-cari saya, tidaklah saya menjadi menjadi begini, karena kalian tidak sayang sama saya, kalian tidak mengaku saudara lagi dengan saya, sekarang saya tidak mau lagi mengikuti kalian, dan kalian jangan mengikuti dan mencari-cari saya. Kita sudah berpisah, saya mengikuti kemauan saya, kalian mencari kemauan kalian sendiri." Jawab saudara-saudaranya, Baiklah kalau demikian itu. Tetapi tolong ambilkan pedang yang ada diatas atap dekatmu itu. Berkata sang putri, "Saya tidak bawa pedang, dan bukankah kalian yang membawa pedang itu?"
Maka diambillah pedang dari atas atap itu oleh saudara-saudaranya, lalu mereka turun dari atas loteng diikuti oleg sang putri. Mereka lalu bertangis-tangisan. Setelah puas, mereka berkata, "Baiklah kita berpisah, jangan lagi saling merindukan dan mencari-cari lagi, namun bagaimana kita tetap bersaudara karena memang kita ini satu keturunan." Pulanglah ketiga bersaudara ketempatnya yaitu Sekala Bekhak, menceritakan kepada Si kura dan yang lain-lain bahwa adik mereka sang putri menumpang dengan seorang perempuan tua dan tidak mau mengikuti mereka lagi. Suatu ketika tempat Si kura kedatangan segerombolan orang dari Kota Agung yang menyingkir karena orang Inggris masuk dan menguasai Kota Agung. Daerah Kota Agung itu diambil alih oleh orang Inggris dan dikelilingi dengan pagar bambu batu yang sangat rapat, tidak dapat dimasuki, kecuali melalui pintu masuk satu-satunya yang tiga meter lebarnya. Orang-orang Kota Agung itu minta tolong kepada Sikura bersaudara untuk memusnahkan orang-orang Inggris tersebut.
Mereka berjanji, bila berhasil tanah Kota Agung akan dibagi dua, separuh punya mereka dan separuh untuk Si kura dan saudara-saudaranya. Maka pergilah Si kura bertiga saudara-saudaranya ke Kota Agung dan tiba disana sore hari. Diketok-ketoknya pintu benteng itu, tidak ada yang membukanya. Lalu Si kura melesat terbang ke atas melewati pagar bambu itu dan masuk ke dalam benteng terus membukakan pintu agar kedua saudaranya masuk pula. Terjadilah peperangan. Sikura tiga saudara lawan orang-orang Inggris tersebut. Tidak lama mereka berperang habislah orang-orang Inggris itu. Begitu mereka mengelilingi benteng dan ada bekas-bekas tapak kaki belasan orang. Mereka ikuti bekas kaki tersebut ke luar benteng sampai di laut. Mereka ikuti terus sampai di Napal, sampai di Batu Gajah, sampai di Limau. Ditemukan mereka bekas orang-rang Inggris tersebut makan durian. Cirinya adalah bahwa durian-durian itu tidak dibelah, tetapi dipotong dua dan isinya diambil. Disusul mereka dan terus mengikuti pantai dan tiba di Putih Doh, terus ke Pertiwi sampai pagi. Pada waktu itu kepala adat Pertiwi Way Rilau, baru turun dari rumahnya dan akan pergi ke sungai bertemu dengan Sikura bertiga saudara. Sesudah bertegur sapa dan bertanya-tanya, Si kura bertiga menerangkan apa yang sedang mereka lakukan. Oleh kepala adat tersebut, mereka diajak singgah dirumahnya, diberi minum dan dipersilahkan istirahat.
Kemudian kepala adat tersebut mengumpulkan rakyatnya lebih kurang empat puluh orang. Kepala adat ini meminta kepada mereka bertiga agar beristirahat saja, makan dan sebagainya, sedang yang bertanggung jawab akan memusnahkan orang-orang Inggris itu adalah mereka. "Kalau begitu baiklah" jawab Si kura dan saudaranya. Tiga puluh orang pergi mencari orang-orang Inggris. Sampainya rombongan itu didekat Umbach, ditengah sawah, ditemukan orang-orang Inggris yang dicari-cari itu sedang tidur pulas terlentang berbantalkan sebatang pohon pisang. Lalu mereka dengan aba-aba serempak memancung kepala orang Inggris yang sedang tidur itu dan mati seketika semuanya. Kepala dari rombongan orang Inggris itu dibawa ke Pertiwi untuk diserahkan kepada Sikura. Kemudian setelah itu Si kura bersaudara dengan seluruh rakyat Pertiwi, Way Rilau kembali ke daerah Semangka/Kota Agung. Tiba di sana mereka lalu membagi dua daerah Kota Agung, separoh untuk Sikura berenam saudara dan terkenal dengan Raja Gagelang dan separuh lagi untuk Raja Semangka.
Kurang lebih sepuluh tahun kemudian. Sebagian dari rakyat Raja Gagelang, pindah ke Putih Doh. Mereka yang pindah ini merasa tidak tahan karena pemimpin mereka Si kura terlalu bengis, tidak dapat melihat orang sedang duduk-duduk. Orang tertawa ditamparnya, orang sedang menjahit atap rumbia, daun rumbianya ditusuk-tusuknya dengan tombak. Begitu berani orang menegurnya, lalu ditamparnya. Semua orang yang ditampar jatuh pingsan, tetapi lalu diusap dengan tangannya yang sakti, kemudian siuman kembali. Akhirnya, tinggallah Si kura bersaudara dengan rakyatnya kira-kira satu kampung lagi. Maka Mereka ini pun pindah lagi ke Putih Doh. Di Putih Doh sudah tidak kebagian tempat lagi, tetapi mereka menumpang dari satu kampung ke kampung lainnya. Sudah puluhan tahun mereka di Putih Doh, mereka mufakat akan pindah ke Way Lima, akan mencari daratan yang baik, lebar, dengan air yang jernih. Berangkatlah empat orang pimpinan mereka menuju ke daerah Way Lima. Mereka naik dari Petangkilan, tembus di Kayu Chosok dan langsung ke Tanjung Rusia.
Di Tanjung Rusia rupanya ada orang lain yang bermukim dihulu-hulu sungai yang sudah dibuka orang dan perkampungannya sudah luas. Kemudian ke Tanjung Rusia sebelah hilir, juga sudah dibuka orang dan sungainya banyak berpasir. Mereka melanjutkan pengembaraannya terus ke Way Chilau, tanahnya cukup bagus lagi datar dikelilingi gunung. Airnya dapat dilayari perahu, lubuk yang dalam dan jernih airnya dapat dijadikan tempat bercermin, ikan-ikan kecil sebesar gagang pisau dapat terlihat, ikan-ikan yang besar, tampak dengan jelas karena jernih airnya. Itulah sebabnya daerah tersebut di sebut Way Chilau. Pemimpin rakyat disana punya seorang tokoh bernama Samincang tempat orang-orang meminta perlindungan, tanah dan sebagainya. Keempat bersaudara menghadap Samincang dan meminta tanah bukaan di sebelah mana saja, apakah di sebelah matahari terbit ataukah di sebelah matahari terbenam, di sebelah hulu atau di sebelah hilir. Mereka mengatakan merasa senang di daerah itu karena sangat baik dan airnya sangat jernih, ikannya banyak.
Tetapi permintaannya tidak diizinkan oleh Samincang. Pergilah mereka terus ke Kubu Batu, rupanya disitu juga sudah dibuka orang lain dengan pimpinannya si Batu namanya yang gelah membuat perbentengan di sana. Terus mereka ke Kedondong, juga sudah di dahului orang yang menetap disana. Terus ke Pekon Jambu, meminta tanah di situ, tidak diizinkan orang, terus ke Teba Jawa, gunung Sugih, tidak cocok, lalu mereka kembali ke Kedondong. Mereka akan mencoba menetap di sana tetapi baru tiga hari, ketika akan turun ke sungai untuk mandi, mereka melihat terbitnya matahari dari hulu sungai. Mereka mempunyai paham, apabila terbitnya matahari dari arah hulu sungai, daerah tersebut tidak baik dijadikan perkampungan. Lantas mereka kembali lagi Ke Way Chilau menghadap Samincang untuk meminta daerah bukaan di situ, tetapi masih tetap tidak diizinkan orang, terus ke Teba Jawa, gunung Sugih, tidak cocok, lalu mereka kembali ke Kedondong. Mereka akan mencoba menetap di sana tetapi baru tiga hari, ketika akan turun ke sungai untuk mandi, mereka melihat terbitnya matahari dari hulu sungai.
Mereka mempunyai paham, apabila terbitnya matahari dari arah hulu sungai, daerah tersebut tidak baik di jadikan perkampungan. Lantas mereka kembali lagi ke Way Chilau menghadap Samincang untuk meminta daerah bukaan di situ, tetap masih tetap tidak diizinkan, berkali-kali meminta tetapi masih tidak diberi. Akhirnya Samincang dan anak-anak bauhnya marah, "Kalau kalian meminta terus begitu, berarti kalian bertindak secara tangan besi, sekarang kita bertanding saja, kita adakan peperangan. Pulanglah kalian ke Putih Doh, bawa semua jago-jagoan kamu kemari, dan kita berperang. Bila kami kalah, dari Tanjung Rusia sampai ke Jembatan, halal untuk kamu sekalian. "Jawab mereka berempat," Baiklah kalau begitu." Mereka berangkat dan berjanji tiga hari kemudian, yaitu hari keempat mereka sudah kembali. Pergilah mereka berempat berlalu dari daerah itu, tetapi mereka bukannya pergi ke Putih Doh, melainkan bersembunyi di Batu Perahu dekat air panas. Sesudah empat hari mereka kembali menemui Samincang. Dilihat mereka dikampung itu penuh asap bekas/habis masak-masak besar rupanya, memotong sapi dan sebagainya. Mereka tiba dan setelah bersalam-salaman, Samincang bertanya, "Mana kawan-kawan kalian?" Jawab mereka "sedang di jalan".
Sesudah minum-minum ditanya lagi, "Mana kawan-kawan kalian itu, mengapa belum tampak?" Dijawab mereka "Nanti sebentar lagi." Sesudah agak lama, kata Si Kura berempat dengan saudaranya. "Begini, mereka yang dari Putih Doh tidak dapat datang ke mari karena kepentingan mereka di sana, mereka mempercayakan perjanjian kita. Inilah, Dijawab Samincang dan anak buahnya. Apa gunanya orang empat, untuk menggosok gigi saja tidak cukup, kalau tidak sepuluh orang yang ini, tidak cukup kalau kurang dari dua belas orang, sedang kami ini ramai ada tiga ratus orang. Dijawab Si kura berempat saudara. "Tidak, tidak apa-apa. Mari kita mulai saja perkelahian ini". Berkata lagi Samincang dan anak buahnya, "Jangan kalian berolok-olok, nanti kuinjak-injak kamu bila sudah bosan hidup." Tetapi tidak dihiraukan oleh mereka berempat. Kata yang tertua, "Cegahlah mereka dari belakang, dari samping nanti yang dua orang dari depan." Lalu mereka terus menyerang orang-orang Samincang, mereka berempat mengamuk, membacok ke sana-kemari dan tak terkalahkan oleh Samincang dan rakyatnya.
Akhirnya Samincang dan pemimpin-pemimpin lainnya yang congkak itu satu persatu berjatuhan, sehingga musnahlah semuanya lebih kurang seratus orang laki-laki dan perempuan, kecuali yang melarikan diri. Yang perempuan terus melarikan diri naik perahu serta anak-anak kurang lebih empat perahu, mereka itulah yang selamat. Selain itu semuanya mati, merah warna air karena darah, penuh lubuk sungai oleh darah-darah dari mayat mereka.
Sumber : Cerita Rakyat (Mite dan Legende) Daerah Lampung, Depdikbud
Gambus
Oleh
agus deden
| 21 Jun 2012.
Gambus Melayu Riau adalah salah satu jenis instrumental musik tradisional yang terdapat hampir di seluruh kawasan Melayu.Pergeseran nilai spiritual... |
Hukum Adat Suku...
Oleh
Riduwan Philly
| 23 Jan 2015.
Dalam upaya penyelamatan sumber daya alam di kabupaten Aceh Tenggara, Suku Alas memeliki beberapa aturan adat . Aturan-aturan tersebut terbagi dal... |
Fuu
Oleh
Sobat Budaya
| 25 Jun 2014.
Alat musik ini terbuat dari bambu. Fuu adalah alat musik tiup dari bahan kayu dan bambu yang digunakan sebagai alat bunyi untuk memanggil pend... |
Ukiran Gorga Si...
Oleh
hokky saavedra
| 09 Apr 2012.
Ukiran gorga "singa" sebagai ornamentasi tradisi kuno Batak merupakan penggambaran kepala singa yang terkait dengan mitologi batak sebagai... |