ni adalah salah satu dongeng yang paling sering diceritakan nenek saya saat saya dan saudara-saudari saya masih kecil. Dan saat ini, saya diminta untuk menuliskan dan menganalisis sebuah cerita rakyat pada matakuliah Folklore yang sedang saya jalani. Cerita rakyat yang dimaksud haruslah berasal dari daerah/kebudayaan saya sendiri. Jadi saya memilih dongeng ini. Namun setelah saya telusuri di internet, saya tidak berhasil menemukan naskah dongeng tersebut, ataupun paling tidak cerita yang menyerupai. Oleh karena itu saya akan menuliskan ulang ceritera warisan nenek saya berdasarkan ingatan saya, kakak, dan adik saya. Kami juga yakin bahwa cerita ini berasal dari kampung halaman nenek saya, yaitu, di Pasaman, Sumatera Barat, tepatnya di Nagari Cubadak yang mana didominasi oleh penduduk suku mandailing.Pada zaman dahulu di sebuah perkampungan kecil, hiduplah seorang ibu dan anaknya perempuannya yang masih kecil bernama Kucambai. Setelah ayah Kucambai meninggal dunia, mereka hidup miskin dan serba kekurangan. Untuk bertahan hidup, ibu Kucambai harus pergi ke hutan untuk berburu burung ataupun rusa yang akan ditukarkan dengan kebutuhan lainnya di pusat kampung. Kucambai yang masih kecil harus ditinggal sendirian di rumah. Ibunya berpesan sebelum pergi, "Kalau ada yang mengetuk pintu, jangan dibuka! Ibu akan pulang setelah hari sore dan akan memanggil namamu tiga kali." Kucambai mengerti dan menuruti kata-kata ibunya.
Namun pada suatu hari, tidak ada satu hewan buruan pun tampak di hutan. Dari pagi hingga petang. Ibu Kucambai akhirnya pulang dengan tangan kosong. Keadaan yang sama juga terjadi pada hari-hari berikutnya. Ibu Kucambai selalu pulang tanpa membawa satupun hasil buruan. Di perjalanan pulang, ibu Kucambai bertanya dalam hati, "Kemana perginya semua hewan di hutan?"
Sesampainya ia di rumah, ia mengetuk pintu dan memanggil nama anaknya tiga kali. "Kucambai... Kucambai... O Kucambai..." kemudian Kucambai membukakan pintu untuk ibunya. Saat itu di rumah mereka persediaan makanan sudah hampir habis. Keadaan tersebut membuat ibu Kucambai bertambah bingung.
Keesokan harinya, seperti biasa ibu Kucambai kembali pergi ke hutan dengan harapan akan menemukan seekor hewan buruan, namun, keadaan hutan tidak berbeda dengan beberapa hari belakangan ini. Ketika ibu Kucambai duduk putus asa di bawah sebuah pohon rindang untuk beristirahat, tak sengaja ia melihat seekor ular besar sedang tidur melingkar di dalam semak tak jauh dari tempatnya duduk. Menyadari keberadaan ular yang mungkin akan membahayakan keselamatannya, maka beranjaklah ibu Kucambai menjauhi tempat itu.
Akan tetapi langkah ibu Kucambai terhenti oleh sepintas pikiran yang muncul dalam benaknya. Ia kembali resah memikirkan bagaimana akan memberi makan Kucambai esok hari. Jika ia tidak mendapat hewan buruan hari ini, maka ia dan Kucambai tidak akan makan besok. Dengan perasaan ragu dan takut, ibu Kucambai kembali ke tempat ular besar tersebut dan melemparkan tombaknya tepat ke kepala ular yang mati seketika. Dengan perasaan tak karuan, buru-buru ia menguliti dan mencincang-cincang ular tersebut hingga menjadi potongan daging yang siap ia tukar dengan kebutuhan lain. Ia bahkan berbohong pada pembelinya dengan mengatakan bahwa daging ular tersebut adalah daging ayam hutan.
Mulai hari itu, ibu Kucambai tidak lagi mempedulikan hewan buruan yang tidak dapat ia temukan. Ia semakin sering memburu ular yang lebih mudah dan lebih banyak ia temukan di hutan. Dengan cara itu kehidupannya yang awalnya serba kekurangan menjadi berkecukupan. Namun itu bukanlah cara yang benar. Hingga sebuah pembalasan datang pada ibu Kucambai.
Ketika ibu Kucambai pergi berburu ular seperti biasa, seekor ular yang sangat besar bergerak menuju rumah mereka. Ular tersebut menjelma menjadi wujud ibu Kucambai. Ular tersebut lantas mengetuk pintu. Kucambai kecil yang sendirian di rumah mendengar suara ketukan itu teringat akan pesan ibunya. Ia tidak mendengar suara ibunya memanggil namanya sebanyak tiga kali seperti biasa. Kucambai tidak membukakan pintu dan bersembunyi ketakutan di dalam rumahnya. Ia yakin orang yang mengetuk pintu bukanlah ibunya. Saat itu masih siang, sedangkan ibunya biasa pulang pada petang hari. Keadaan itu menambah kecurigaan Kucambai. Kucambai menunggu dengan cemas hingga petang dan mendengar suara pintu diketuk lagi. Tak lama terdengar suara ibunya memanggil seperti biasa.
"Kucambai... Kucambai... O, Kucambai..."
Barulah Kucambai berlari membukakan pintu dan menemukan ibunya pulang dengan berbagai macam makanan dan buah-buahan yang ia bawa dari pusat kampung. Kemudian Kucambai menceritakan pada ibunya tentang suara ketukan di pintu. Ibu Kucambai merasa gelisah, ia berpikir ada seseorang yang ingin mencuri harta benda dan persediaan makanannya yang sudah terkumpul banyak. Ia kembali mengingatkan pada putrinya untuk lebih berhati-hati lagi.
"Jangan buka pintu kalau ibu tidak memanggil namamu tiga kali!"
Kucambai benar-benar mengingat pesan ibunya. Namun mereka tidak menyadari bahwa seekor ular sedang melilit salah satu tiang rumah, mendengar percakapan mereka. Maka keesokan harinya, ular itu kembali menjelma setelah ibu Kucambai pergi ke hutan. Ular itu mengetuk pintu dan menyerukan panggilan pada Kucambai.
"Kucambai... Kucambai... O, Kucambai..."
Mendengar panggilan itu, Kucambai bergegas membukakan pintu untuk ibunya. Namun saat pintu di buka, seekor ular besar langsung menyerang Kucambai, menelannya hidup-hidup. Ular itu kemudian pergi ke tempat yang tidak diketahui. Bersembunyi.
Saat petang seperti biasa, ibu Kucambai pulang dan menemukan pintu rumahnya terbuka. Ia lantas berlari histeris mencari Kucambai, namun ia tidak menemukan putrinya. Ibu Kucambai memeriksa harta benda dan persediaan makanannya, namun tak satupun hilang. Ia tidak dapat menemukan Kucambai di mana-mana hingga ia menemukan sebuah jejak di tanah. Jejak tersebut mirip seperti sebuah jejak ular yang sangat besar. Saat itu, ibu Kucambai tersadar bahwa ular yang selama ini diburunya melakukan perhitungan padanya.
Sambil membawa tombak dan parangnya, ibu Kucambai mengikuti jejak ular di tanah. Ia tidak ingin Kucambai yang menanggung semua dosa-dosanya. Jejak itu akhirnya hilang di sebuah tepi sungai dan ibu Kucambai segera melompat dan menyelami sungai tersebut. Sungai tersebut memiliki sebuah lubuk yang dalam dan di sanalah ibu Kucambai menemukan ular itu. Ular itu diam tak bergerak persis seperti ular pertama yang ia bunuh dengan tombaknya. Ibu Kucambai dengan susah payah menghujam tombak dan mengayunkan parangnya namun tidak mempan. Ular tersebut bahkan tidak tergores sama sekali. Berulang kali ibu Kucambai naik ke permukaan lantas menyelam kembali dan mengulangi aksinya, namun semuanya sia-sia. Tombak, parang, ataupun pisaunya tidak berguna.
Seorang lelaki tua yang melihat ibu Kucambai yang menangis putus asa di tepi sungai, menanyakan apa yang terjadi padanya. Ibu Kucambai lalu menceritakan dan mengakui semua dosanya pada lelaki tua itu. Ia berjanji tidak akan bertobat, mengakui, dan meminta maaf pada semua orang kampung yang telah dibohonginya asalkan ia bisa mengeluarkan Kucambai dari perut ular itu. Hidup ataupun mati. Lelaki tua itu lalu memberitahu ibu Kucambai untuk mengambil sebilah sembilu yang tajam.
"Carilah sebilah sembilu yang tajam dan keluarkanlah anakmu dari perut ular itu. Setelah itu tepatilah semua janji yang baru kau ucapkan padaku."
Ibu Kucambai menuruti nasehat lelaki tua itu dan kembali menyelam. Ia membelah perut ular tersebut dengan sebilah sembilu tajam dan berhasil mengeluarkan Kucambai dalam keadaan hidup. Ibu Kucambai juga menepati janjinya pada lelaki tua. Sebagai hukumannya ibu Kucambai dan Kucambai harus pergi meninggalkan kampung tersebut untuk memperbaiki hidupnya.
Sumber : https://fortesfortunajavat.blogspot.com/2016/12/si-kucambai-cerita-rakyat-mandailing.html
MAKA merupakan salah satu tradisi sakral dalam budaya Bima. Tradisi ini berupa ikrar kesetiaan kepada raja/sultan atau pemimpin, sebagai wujud bahwa ia bersumpah akan melindungi, mengharumkan dan menjaga kehormatan Dou Labo Dana Mbojo (bangsa dan tanah air). Gerakan utamanya adalah mengacungkan keris yang terhunus ke udara sambil mengucapkan sumpah kesetiaan. Berikut adalah teks inti sumpah prajurit Bima: "Tas Rumae… Wadu si ma tapa, wadu di mambi’a. Sura wa’ura londo parenta Sara." "Yang mulia tuanku...Jika batu yang menghadang, batu yang akan pecah, jika perintah pemerintah (atasan) telah dikeluarkan (diturunkan)." Tradisi MAKA dalam Budaya Bima dilakukan dalam dua momen: Saat seorang anak laki-laki selesai menjalani upacara Compo Sampari (ritual upacara kedewasaan anak laki-laki Bima), sebagai simbol bahwa ia siap membela tanah air di berbagai bidang yang digelutinya. Seharusnya dilakukan sendiri oleh si anak, namun tingkat kedewasaan anak zaman dulu dan...
Wisma Muhammadiyah Ngloji adalah sebuah bangunan milik organisasi Muhammadiyah yang terletak di Desa Sendangagung, Kecamatan Minggir, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Wisma ini menjadi pusat aktivitas warga Muhammadiyah di kawasan barat Sleman. Keberadaannya mencerminkan peran aktif Muhammadiyah dalam pemberdayaan masyarakat melalui pendekatan dakwah dan pendidikan berbasis lokal.
SMP Negeri 1 Berbah terletak di Tanjung Tirto, Kelurahan Kalitirto, Kecamatan Berbah, Sleman. Gedung ini awalnya merupakan rumah dinas Administratuur Pabrik Gula Tanjung Tirto yang dibangun pada tahun 1923. Selama pendudukan Jepang, bangunan ini digunakan sebagai rumah dinas mandor tebu. Setelah Indonesia merdeka, bangunan tersebut sempat kosong dan dikuasai oleh pasukan TNI pada Serangan Umum 1 Maret 1949, tanpa ada yang menempatinya hingga tahun 1951. Sejak tahun 1951, bangunan ini digunakan untuk kegiatan sekolah, dimulai sebagai Sekolah Teknik Negeri Kalasan (STNK) dari tahun 1951 hingga 1952, kemudian berfungsi sebagai STN Kalasan dari tahun 1952 hingga 1969, sebelum akhirnya menjadi SMP Negeri 1 Berbah hingga sekarang. Bangunan SMP N I Berbah menghadap ke arah selatan dan terdiri dari dua bagian utama. Bagian depan bangunan asli, yang sekarang dijadikan kantor, memiliki denah segi enam, sementara bagian belakangnya berbentuk persegi panjang dengan atap limasan. Bangunan asli dib...
Pabrik Gula Randugunting menyisakan jejak kejayaan berupa klinik kesehatan. Eks klinik Pabrik Gula Randugunting ini bahkan telah ditetapkan sebagai cagar budaya di Kabupaten Sleman melalui SK Bupati Nomor Nomor 79.21/Kep.KDH/A/2021 tentang Status Cagar Budaya Kabupaten Sleman Tahun 2021 Tahap XXI. Berlokasi di Jalan Tamanmartani-Manisrenggo, Kalurahan Tamanmartani, Kapanewon Kalasan, Kabupaten Sleman, pabrik ini didirikan oleh K. A. Erven Klaring pada tahun 1870. Pabrik Gula Randugunting berawal dari perkebunan tanaman nila (indigo), namun, pada akhir abad ke-19, harga indigo jatuh karena kalah dengan pewarna kain sintesis. Hal ini menyebabkan perkebunan Randugunting beralih menjadi perkebunan tebu dan menjadi pabrik gula. Tahun 1900, Koloniale Bank mengambil alih aset pabrik dari pemilik sebelumnya yang gagal membayar hutang kepada Koloniale Bank. Abad ke-20, kemunculan klinik atau rumah sakit di lingkungan pabrik gula menjadi fenomena baru dalam sejarah perkembangan rumah sakit...
Kompleks Panti Asih Pakem yang terletak di Padukuhan Panggeran, Desa Hargobinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, merupakan kompleks bangunan bersejarah yang dulunya berfungsi sebagai sanatorium. Sanatorium adalah fasilitas kesehatan khusus untuk mengkarantina penderita penyakit paru-paru. Saat ini, kompleks ini dalam kondisi utuh namun kurang terawat dan terkesan terbengkalai. Beberapa bagian bangunan mulai berlumut, meskipun terdapat penambahan teras di bagian depan. Kompleks Panti Asih terdiri dari beberapa komponen bangunan, antara lain: Bangunan Administrasi Paviliun A Paviliun B Paviliun C Ruang Isolasi Bekas rumah dinas dokter Binatu dan dapur Gereja