Si Jampang adalah pendekar legendaris dari Betawi yang dikenal sebagai “Perampok Budiman Dari Betawi”. Dengan kepiawaiannya bermain silat, ia kerap merampok harta milik tuan-tuan tanah maupun orang kaya yang tamak di seantero Betawi. Lalu, hasil rampokannya dibagi-bagikan kepada rakyat jelata. Bagi, tuan tanah dan orang kaya, si Jampang adalah momok yang menakutkan. Namun, ia merupakan sosok pahlawan bagi rakyat kecil.
“Ah, lebih baik aye rampok harta mereka untuk aye bagikan kepada rakyat jelata,” pikirnya.
- “Hai, Tong! Kenapa pakaianmu kamu bawa pulang semua?” tanya si Jampang kepada anaknya.
- “Aye tidak mau mengaji lagi, Be,” jawab sang anak,
- “Aye malu sekali.”
- “Malu kenapa, Tong?” tanya sang Ayah.
- “Bukankah Babe keturunan Banten? Biasanya orang-orang Banten itu alim. Tapi, Babe kok malah suka merampok? Semua orang di pesantren membicarakan Babe. Aye kan malu,” kata sang anak dengan perasaan kecewa.
- “Hai, Tong. Kamu tidak perlu menasehati Babe seperti itu. Katakan saja apa maumu,” kata si Jampang.
- Anak si Jampang hanya menggeleng-gelengkan kepala lalu berkata kepada ayahnya.
- “Pokoknya, aye tidak mau mengaji lagi,” tegas anak si Jampang.
- “Payah, kamu Tong. Tadi memberi nasihat seperti kyai, tapi sekarang malah tidak mau mengaji lagi. Kamu mau jadi apa? Mau jadi perampok seperti ayah?” tanya sang Ayah.
- Anak itu kembali menggeleng-gelengkan kepala. Ia benar-benar kecewa dengan perilaku ayahnya.
- “Jadi, maumu apa, Tong? Mau menikah?” desak sang ayah yang mulai kesal.
- “Tidak, Be. Babe saja yang menikah biar tidak kesepian lagi,” ujar sang anak.
- “Oh, kamu mau ibu lagi?” kata sang Ayah,
- “Baiklah, kalau begitu. Babe akan mencarikanmu ibu yang baru.”
“Ah, jangan-jangan si Jampang ingin merampok di rumah ini,” pikirnya.
- “Ma... Maaf, Tuan Jampang. Ada apa gerangan Tuan ke mari?” tanya Ciput.
- “Saya kemari ingin bertemu dengan tuan kamu,” jawab si Jampang. “Apakah ada?”
- “Ada, Tuan,” jawab Ciput, “Silakan duduk dulu, akan saya panggilkan.”
- “Dulu, kami ziarah ke makam di Gunung Kepuh Batu. Di sana, Bang Sarba bernazar akan menyumbang sepasang kerbau ke makam itu jika dikaruniai anak. Namun, setelah kami mempunyai anak laki-laki bernama Abdih, Bang Sarba lupa pada nazarnya. Kata orang, hal itulah penyebab kematian Bang Sarba,” cerita Mayangsari.
- “Aye jadi bingung karena Abdih sedang sekolah di Bandung dan membutuhkan biaya yang banyak. Padahal, aye sendiri hanya ibu rumah tangga. Untung Bang Sarba meninggalkan sedikit warisan yang bisa membantu biaya sekolah Abdih,” lanjutnya.
- “Kamu tidak usah bingung memikirkan Abdih. Nanti aye yang mengurusnya,” ujar si Jampang.
- “Apa maksudmu?” tanya Mayangsari.
- Si Jampang tersenyum lalu menjelaskan maksudnya kepada Mayangsari.
- “Begini, Mayang. Kamu kan janda, sedangkan aye seorang duda. Akan lebih baik jika kita menikah saja,” ujar si Jampang.
“Hai, Jampang. Jika mau menikah, menikahlah dengan orang lain!” cetus Mayangsari, “Aye lebih baik tetap menjanda daripada menikah dengan perampok.”
- “Pin, aye perlu dukun,” ungkap si Jampang.
- “Untuk apa, Mang ?” tanya Sarpin bingung.
- “Aye harus menikahinya, Pin. Untuk itulah, aye perlu dukun untuk meluluhkan hatinya,” ujar si Jampang.
- “Oh, aye tahu dukun yang ampuh, Mang. Namanya Pak Dul dari Kampung Gabus,” kata Sarpin.
“Pak Dul, tolong aye. Aye minta guna-guna agar Mayangsari tergila-gila pada aye,” pinta si Jampang seraya memberi imbalan kepada Pak Dul.
- “Kenapa Ibu jadi begini, Put?” tanya Abdih kepada pembantunya.
- “Barangkali gara-gara si Jampang. Dia pernah ke mari hendak melamar, tetapi ditolak,” jawab Ciput.
- “Wah, benar. Ini pasti diguna-guna oleh si Jampang. Lihat saja, ibu selalu memanggil-manggil namanya,” imbuh Abdih.
- “Apa katamu? Aku tidak boleh menikahi ibu?” ujar si Jampang,
- “Bisa tidak bisa, aku harus menikah dengan ibumu!” gertak si Jampang.
- “Bukannya tidak boleh menikahi ibuku, Mang. Tapi, ada syaratnya,” kata Abdih.
- “Apa syarat itu, Abdih? Cepat katakan!” desak si Jampang.
- “Mang Jampang harus menyerahkan sepasang kerbau sebagai mas kawinnya,” jawab Abdi.
“Baiklah, Abdih. Kembalilah ke rumahmu! Syaratmu akan segera kupenuhi,” kata si Jampang.
MAKA merupakan salah satu tradisi sakral dalam budaya Bima. Tradisi ini berupa ikrar kesetiaan kepada raja/sultan atau pemimpin, sebagai wujud bahwa ia bersumpah akan melindungi, mengharumkan dan menjaga kehormatan Dou Labo Dana Mbojo (bangsa dan tanah air). Gerakan utamanya adalah mengacungkan keris yang terhunus ke udara sambil mengucapkan sumpah kesetiaan. Berikut adalah teks inti sumpah prajurit Bima: "Tas Rumae… Wadu si ma tapa, wadu di mambi’a. Sura wa’ura londo parenta Sara." "Yang mulia tuanku...Jika batu yang menghadang, batu yang akan pecah, jika perintah pemerintah (atasan) telah dikeluarkan (diturunkan)." Tradisi MAKA dalam Budaya Bima dilakukan dalam dua momen: Saat seorang anak laki-laki selesai menjalani upacara Compo Sampari (ritual upacara kedewasaan anak laki-laki Bima), sebagai simbol bahwa ia siap membela tanah air di berbagai bidang yang digelutinya. Seharusnya dilakukan sendiri oleh si anak, namun tingkat kedewasaan anak zaman dulu dan...
Wisma Muhammadiyah Ngloji adalah sebuah bangunan milik organisasi Muhammadiyah yang terletak di Desa Sendangagung, Kecamatan Minggir, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Wisma ini menjadi pusat aktivitas warga Muhammadiyah di kawasan barat Sleman. Keberadaannya mencerminkan peran aktif Muhammadiyah dalam pemberdayaan masyarakat melalui pendekatan dakwah dan pendidikan berbasis lokal.
SMP Negeri 1 Berbah terletak di Tanjung Tirto, Kelurahan Kalitirto, Kecamatan Berbah, Sleman. Gedung ini awalnya merupakan rumah dinas Administratuur Pabrik Gula Tanjung Tirto yang dibangun pada tahun 1923. Selama pendudukan Jepang, bangunan ini digunakan sebagai rumah dinas mandor tebu. Setelah Indonesia merdeka, bangunan tersebut sempat kosong dan dikuasai oleh pasukan TNI pada Serangan Umum 1 Maret 1949, tanpa ada yang menempatinya hingga tahun 1951. Sejak tahun 1951, bangunan ini digunakan untuk kegiatan sekolah, dimulai sebagai Sekolah Teknik Negeri Kalasan (STNK) dari tahun 1951 hingga 1952, kemudian berfungsi sebagai STN Kalasan dari tahun 1952 hingga 1969, sebelum akhirnya menjadi SMP Negeri 1 Berbah hingga sekarang. Bangunan SMP N I Berbah menghadap ke arah selatan dan terdiri dari dua bagian utama. Bagian depan bangunan asli, yang sekarang dijadikan kantor, memiliki denah segi enam, sementara bagian belakangnya berbentuk persegi panjang dengan atap limasan. Bangunan asli dib...
Pabrik Gula Randugunting menyisakan jejak kejayaan berupa klinik kesehatan. Eks klinik Pabrik Gula Randugunting ini bahkan telah ditetapkan sebagai cagar budaya di Kabupaten Sleman melalui SK Bupati Nomor Nomor 79.21/Kep.KDH/A/2021 tentang Status Cagar Budaya Kabupaten Sleman Tahun 2021 Tahap XXI. Berlokasi di Jalan Tamanmartani-Manisrenggo, Kalurahan Tamanmartani, Kapanewon Kalasan, Kabupaten Sleman, pabrik ini didirikan oleh K. A. Erven Klaring pada tahun 1870. Pabrik Gula Randugunting berawal dari perkebunan tanaman nila (indigo), namun, pada akhir abad ke-19, harga indigo jatuh karena kalah dengan pewarna kain sintesis. Hal ini menyebabkan perkebunan Randugunting beralih menjadi perkebunan tebu dan menjadi pabrik gula. Tahun 1900, Koloniale Bank mengambil alih aset pabrik dari pemilik sebelumnya yang gagal membayar hutang kepada Koloniale Bank. Abad ke-20, kemunculan klinik atau rumah sakit di lingkungan pabrik gula menjadi fenomena baru dalam sejarah perkembangan rumah sakit...
Kompleks Panti Asih Pakem yang terletak di Padukuhan Panggeran, Desa Hargobinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, merupakan kompleks bangunan bersejarah yang dulunya berfungsi sebagai sanatorium. Sanatorium adalah fasilitas kesehatan khusus untuk mengkarantina penderita penyakit paru-paru. Saat ini, kompleks ini dalam kondisi utuh namun kurang terawat dan terkesan terbengkalai. Beberapa bagian bangunan mulai berlumut, meskipun terdapat penambahan teras di bagian depan. Kompleks Panti Asih terdiri dari beberapa komponen bangunan, antara lain: Bangunan Administrasi Paviliun A Paviliun B Paviliun C Ruang Isolasi Bekas rumah dinas dokter Binatu dan dapur Gereja