Cerita Rakyat
Cerita Rakyat
Dongeng Kalimantan Selatan Haruai
Si Diang Bakut
- 28 Oktober 2017
Syahdan, di Kampung Timbuk Bahalang , Haruai, hiduplah seorang petani bernama Raden Palewangan. Tubuhnya gagah dan kekar. Ia mempunyai istri yang cantik jelita, baik tutur katanya, sopan-santun dalam pergaulan. Namanya Kenanga Boyan. Sesuai namanya, seumpama bunga kenanga, yang wanginya menghiasi konde pengantin.
 
Mereka keturunan bangsawan Kerajaan Tanjung Puri yang menjauhkan diri dari perebutan kekuasaan dan pertikaian di istana, menutup diri dari khalayak ramai. Sehari-hari, mereka dipanggil “Abah Diang” dan “Uma Diang” saja. Akhirnya, mereka bermukim di Kampung Timbuk Bahalang.
 
Kampung itu sunyi, hutan belantaranya lebat sekali. Penduduknya warga Dayak Ma’anyan, Deah dan Lawangan. Hutan yang lebat, luas dan gelap, dihuni hewan payau , kijang, kancil dan burung haruai, yang bulunya dipakai Suku Dayak sebagai tanda kepahlawanan.
 
Di kaki bukit, mengalir Sungai Tabalong Kiwa, yang berhulu di Tampirak, Muara Uya. Sungai itu menyimpan berbagai jenis ikan, seperti saluang, sanggang, barahmata, hadungan, singgah manginang, buntal, dan lain sebagainya. Ikan daratnya, haruan, papuyu, dan kihung. Di Sungai Mati Kampung Timbuk Bahalang, ada ikan yang sekarang mahal harganya, yakni bakut . Di sinilah awal kisah.
 
Hari berganti hari, bulan berganti bulan, kehidupan Raden Palewangan dan Kenanga Boyan semakin baik. Sawah menghasilkan, tanaman pun berbuah dengan baik. Warga Timbuk Bahalang hidup sejahtera.
 
Setelah tiba masanya, Kenanga Boyan pun hamil.
Duduk melepas lelah di beranda rumah, Raden Palewangan berkata kepada istrinya, “Adinda, kehamilanmu sudah delapan bulan….”
“Ya, Kakanda.”
”Betapa bahagianya kita, jauh dari pertikaian keluarga.”
“Benar, Kakanda. Mudah-mudahan anak kita baik budi pekertinya, seperti permaisuri yang cantik dan berkuasa.”
“Huss, Adinda. Jangan berharap seperti permaisuri. Nanti kita kejangkitan kekuasaan lagi…”
”Maaf, Kakanda. Adinda tiba-tiba teringat permaisuri, yang ingin berkuasa lewat Raden Purwaka, anak tunggalnya itu.”
“Ya, tapi itu ‘kan di Kerajaan Tanjung Puri? Semoga anak kita nanti tidak begitu. Kita memang keturunan ningrat. Tapi, kita tak perlu menyebut asal muasal keluarga, nanti warga akan mengangkat kita sebagai pemimpin kampung ini. Kita akan repot…”
“Baiklah, Kakanda. Semoga anak kita baik-baik saja.”
Jelang sembilan bulan sembilan hari, lahirlah bayi mungil Kenanga Boyan. Wajahnya amat cantik.
 
Upacara syukuran pun dilaksanakan, dengan membuat nasi halarat dan baaruhan . Bayi mungil yang cantik itu dibalut dengan kain kuning, dan pada malam harinya diadakan karasmin , dengan manuping . Penari wanita yang cantik-cantik menari dengan kutang warangka , diiringi gendang karawitan. Para pria menari bagai orang gila, bersaing satu sama lain. Tangan mereka merogoh warangka para penari, sambil menyusupkan uang. Sebentar saja, kutang para penari itu sudah penuh berisi binggul .
 
Semakin malam, suasana semakin panas. Opas Belanda larut dalam pesta, hingga teler akibat arak atau tuak putih yang disediakan tuan rumah. Pesta berakhir menjelang dini hari. Dengan berlalunya waktu, putri Raden Palewangan tumbuh menjadi seorang gadis yang cantik jelita. Berbeda dengan ibundanya yang peramah dan lemah-lembut, Putri Aima suka menyendiri.
 
Pada suatu hari, ia bermain di pinggir Sungai Tabukan, di bawah pohon lua. Putri Aima mulai mengenal lawan jenisnya. Ia selalu mengimpikan pria yang akan jadi pendamping hidupnya kelak. Ia selalu bermain sendirian di bawah pepohonan yang tumbuh berjejer di tepi Sungai Tabalong Kiwa itu. Pohon lua tumbuh besar-besar dan berbuah sepanjang tahun. Buahnya jadi makanan kesukaan kijang dan pelanduk. Oleh karena itu, kijang dan pelanduk sering berada di bawah pohon-pohon itu.
 
Putri Aima mampu bicara dengan pelanduk.
“Hai, pelanduk!”
“Hai, Putri Aima…,” sahut pelanduk.
Putri Aima menghampiri pelanduk. Hewan itu diam saja. “Kamu tinggal di mana?”
“Dekat sini saja,” jawab pelanduk.
“Boleh aku ke tempatmu?”
”Boleh,” jawab pelanduk lagi.
 
Mereka menuju tempat tinggal pelanduk, dalam goa di antara semak belukar di pinggir sungai. Goa itu diterangi cahaya matahari yang muncul di sela-sela lubang. Pelanduk masuk ke salah satu lubang di dalam goa. Tak lama kemudian, muncul seorang pemuda tampan.
”Selamat datang, Putri Aima,” sapa pemuda tampan itu, membuat hati Putri Aima bergetar memandangnya. Ternyata, pemuda itu penjelmaan pelanduk!
 
Putri Aima menyambut uluran tangan pemuda itu dengan senyuman. Dengan ramah, pemuda itu mengajak Putri Aima masuk lebih jauh lagi ke dalam goa. Ternyata, di sana ada kolam yang luas dan berair jernih. Saat pemuda tampan itu mengajaknya berenang, Putri Aima gembira. Ajaib, ia dapat menyelam dan bernapas dalam air. Mereka berenang dengan riang gembira, berkejaran ke sungai.
 
Tak disangka, perlahan-lahan tubuh Putri Aima berubah menjadi ikan berwarna hitam. Pemuda itu juga berubah menjadi ikan yang sama, berusaha menenangkan Putri Aima yang terkesima, dan mengajaknya bicara.
“Putri Aima, kami adalah bangsa ikan yang mendiami Sungai Mati di Timbuk Bahalang ini. Kami sering kehilangan warga kami. Warga senang menangkap ikan. Mereka telah menangkap ratu kami. Karena itu, Putri Aima kami ambil sebagai pengganti…,“ kata ikan hitam itu.
“Oh… Bisakah aku bertemu ibunda lagi?”
“Bisa. Asalkan engkau muncul di permukaan air, menunggu ibumu mandi atau mencuci…”
 
 
Kenanga Boyan amat histeris akibat kehilangan anak gadis satu-satunya yang amat dicintainya. Raden Palewangan pun merasa terpukul. Seluruh warga kampung berusaha menemukan Putri Aima, mencarinya dengan bagandang nyiru. Semua upaya itu tak membuahkan hasil. Orang-orang pintar dan dukun dimintai bantuan. Mereka semuanya mengatakan, bahwa Putri Aima masih hidup, tapi entah di mana.
 
Kenanga Boyan menangis sambil mencuci pakaian dan mandi di tepi Sungai Tabalong, hingga air matanya jatuh berderai ke air sungai. Pada saat itu, tiba-tiba munculah Putri Aima, dalam wujud ikan bakut, melompat ke atas lanting .
”Ibundaaa….!”
 
Kenanga Boyan mencari-cari suara yang mirip suara putrinya itu. “Oh… Siapa engkau? Engkaukah yang bicara, ikan bakut?”
“Ya, Bunda. Aku putrimu, Aima! Aku telah ditenung jadi ikan bakut dan dibawa ke kerajaan mereka, karena warga Timbuk Bahalang pernah menangkap ratunya. Aima diminta sebagai gantinya.”
“Oh, Anakku… Bisakah engkau kubawa pulang?”
“Bisa, Bunda. Ulun bisa dimasukkan ke dalam ember. Setiap malam, ulun bisa bertemu Ibunda dan Ayahanda.”
 
Dengan berurai air mata, Kenanga Boyan memasukkan ikan bakut yang kepalanya bermahkota itu ke dalam ember, lalu membawanya pulang. Peristiwa itu diceritakannya pada suaminya.
“Istriku, tampaknya ini memang sudah kehendak dewata. Kita harus bersabar,” kata Raden Pelewangan.
Tepat pada saat itu juga, ikan bakut melompat keluar ember dan berubah menjadi Putri Aima.
“Ayahanda…! Ibundaaa…!” seru Putri Aima sambil menangis dan memeluk kedua orangtuanya. Mereka berpelukan, menangis bahagia. Sepanjang malam, mereka berkumpul bersama. Pagi harinya, Putri Aima kembali menjadi ikan bakut. Karena itulah, Putri Aima disebut “Putri Ikan”, atau “Si Diang Bakut”.
 
Kisah ini melegenda di Kampung Timbuk Bahalang. Sejak saat itu, di Sungai Mati banyak ditemui ikan bakut. Warga takut menangkapnya. Takut anak mereka kelak menjadi ikan bakut, seperti riwayat Putri Aima. Padahal, jika dapat menangkap ikan itu, sungguh beruntung. Selain harganya yang mahal, ikan bakut juga berhasiat sebagai obat.
 
Sumber: Buku Cerita Rakyat Kabupaten Tabalong http://tempeopotahu.blogspot.co.id/2014/05/si-diang-bakut-cerita-rakyat-kalimantan.html

Diskusi

Silahkan masuk untuk berdiskusi.

Daftar Diskusi

Rekomendasi Entri

Gambar Entri
Upacara Kelahiran di Nias
Ritual Ritual
Sumatera Utara

Kelahiran seorang anak yang dinantikan tentu membuat seorang ibu serta keluarga menjadi bahagia karena dapat bertemu dengan buah hatinya, terutama bagi ibu (melahirkan anak pertama). Tetapi tidak sedikit pula ibu yang mengalami stress yang bersamaan dengan rasa bahagia itu. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan tentang makna dari pra-kelahiran seseorang dalam adat Nias khusunya di Nias Barat, Kecamatan Lahomi Desa Tigaserangkai, dan menjelaskan tentang proses kelahiran anak mulai dari memberikan nama famanoro ono khora sibaya. Metode pelaksanaan dalam penelitian ini adalah menggunakan metode observasi dan metode wawancara dengan pendekatan deskriptif. pendekatan deskriptif digunakan untuk mendeskripsikan fakta sosial dan memberikan keterangan yang jelas mengenai Pra-Kelahiran dalam adat Nias. Adapun hasil dalam pembahasan ini adalah pra-kelahiran, pada waktu melahirkan anak, Pemberian Nama (Famatorõ Tõi), acara famangõrõ ono khõ zibaya (Mengantar anak ke rumah paman)...

avatar
Admin Budaya
Gambar Entri
Prajurit Pemanah Kasultanan Kasepuhan Cirebon Di Festival Keraton Nusantara
Seni Pertunjukan Seni Pertunjukan
Jawa Barat

Prajurit pemanah dari komunitas pemanah berkuda indonesia (KPBI) mengikuti Festival Keraton Nusantara 2017. mewakili kesultanan kasepuhan cirebon. PAKAIAN: terdiri dari ikat kepala/ totopong khas sunda jenis mahkuta wangsa. kain sembongb berwarnaungu di ikat di pinggang bersamaan dengan senjata tajam seperti golok dan pisau lalu baju & celana pangsi sunda. dengan baju corak ukiran batik khas sunda di bagian dada. untuk alas kaki sebagian besar memakai sendal gunung, namun juga ada yang memakai sepatu berkuda. BUSUR: sebagian besar memakai busur dengan model bentuk turkis dan ada juga memakai busur model bentuk korea. ANAK PANAH: Semua nya memakai anak panah bahan natural seperti bambu tonkin, kayu mapple & kayu spruce QUIVER (TEMPAT ANAK PANAH): Semua pemanah menggunakan quiver jenis backside quiver atau hip quiver . yaitu quiver yang anak panah di pasang di pinggang dan apabila anak panah di pasang di dalam quiver , nock anak panah menghadap ke belaka...

avatar
ASEP NU KASEP TEA ATUH PIRAKU
Gambar Entri
Prajurit pemanah kasultanan kasepuhan cirebon di festival keraton nusantara
Seni Pertunjukan Seni Pertunjukan
Jawa Barat

Prajurit pemanah dari komunitas pemanah berkuda indonesia (KPBI) mengikuti Festival Keraton Nusantara 2017. mewakili kesultanan kasepuhan cirebon. PAKAIAN : terdiri dari ikat kepala/ totopong khas sunda jenis mahkuta wangsa. kain sembong berwarna ungu di ikat di pinggang bersamaan dengan senjata tajam seperti golok ataupun pisau lalu baju & celana pangsi sunda. dengan baju corak ukiran batik khas sunda di bagian dada. untuk alas kaki sebagian besar memakai sendal gunung, namun juga ada yang memakai sepatu berkuda. BUSUR : sebagian besar memakai busur dengan model bentuk turkis dan ada juga memakai busur model bentuk korea. ANAK PANAH : Semua nya memakai anak panah bahan natural seperti bambu tonkin, kayu mapple & kayu spruce QUIVER (TEMPAT ANAK PANAH): Semua pemanah menggunakan quiver jenis backside quiver atau hip quiver . yaitu quiver yang anak panah di pasang di pinggang dan apabila anak panah di pasang di dalam quiver , nock anak panah menghad...

avatar
ASEP NU KASEP TEA ATUH PIRAKU
Gambar Entri
Kirab agung milad ke 215 kesultanan kacirebonan
Seni Pertunjukan Seni Pertunjukan
Jawa Barat

aksi pertunjukan pusaka dan pasukan kesultanan kacirebonan dari balaikota cirebon sampai ke keraton kacirebonan

avatar
ASEP NU KASEP TEA ATUH PIRAKU
Gambar Entri
PANURUNG: Pasukan Pengawal Keraton Sumedang Larang
Senjata dan Alat Perang Senjata dan Alat Perang
Jawa Barat

Para pasukan penjaga keraton Sumedang larang

avatar
ASEP NU KASEP TEA ATUH PIRAKU