Ada seseorang bernama si Botol. Pekerjaan si Botol setiap hari mencari kayu bakar di tengah hutan. Hasil pencariannya dijual di pasar-pasar dan uangnya dibelikan beras dan lauk-pauk seperlunya. Demikianlah mata pencaharian si Botol setiap hari. Apabila ia tidak mendapat kayu bakar, terpaksa ia berpuasa, tidak makan. Pada suatu hari ia pergi ke hutan sendirian. Oleh karena disisi-sisi hutan itu sudah tak ada lagi kayu bakar, maka ia terpaksa terus masuk ke dalam hutan. Pada salah satu tempat di dalam hutan ini ia memotong-motong kayu yang sudah rebah-rebah bergelimpangan.
Sedang tekun-tekunnya ia mengumpulkan potongan-potongan kayu bakar, tiba-tiba ia dikejutkan oleh suara harimau. Ketika ia menoleh ke samping, tampaklah olehnya seekor harimau di dalam perengkap sedang meronta-ronta. Melihat tingkah laku harimau itu, maka timbullah belas kasihan hati si Botol. Kemudian ia mendekati perangkap itu, serta beratnya, katanya, "Hai, kau Harimau, mengapa kau bisa kena perangkap?"
Harimau itu menjawab dengan sedih, katanya, "Aduh, aku ini ditipu, hingga aku memasuki perangkap ini. Semula, disini ada bangkai kera. Oleh karena perutku lapar, jadi aku tidak memikirkan sesuatu apa, aku langsung menerkam mangsaku itu, yakni bangkai kera itu. Tahu-tahu setelah selesai aku memakannya, lalu perangkap itu tiba-tiba tertutup.
Akhirnya aku tidak bisa keluar dari perangkap itu. Dari itu, hai manusia, tolonglah aku sekarang, supaya aku bisa keluar dari perangkap ini. Apabila engkau menolongku, aku akan bersumpah, selama keturunanmu masih ada, aku dan keturunanku tidak akan mencelakakan keturunanmu sebagai manusia!" Demikian permintaan dan perjanjian si Raja hutan. Oleh karena si Botol sudah dari tadi menaruh belas kasihan kepada si Hariamau, maka dengan ikhlas hati ia membuka pintu perangkap itu.
Harimau itu sangat riang keluar dari perangkap. Baru saja ia sudah ada diluar perangkap, lalu ia meraung sangat galak, seraya membentak. "Hai kau manusia. Telah lama aku dendam kepadamu. Kaulah yag menipu aku ini, sehingga aku kurus di dalam perangkap. Rasakan balasanku sekarang. Nasib untungku sekarang tiba untuk memakanmu. Sungguh aku lapar." Mendengar bentakan Harimau itu, maka si Botol berkata dengan tenang hati, katanya, "Hai kau harimau, mengapa demikian pikiranmu itu. Sekali-kali tidak bisa engkau memikirkan belas kasihan hati seseorang. Baru saja aku menolongmu, kok sekarang aku mau dimakan," Demikian kata-kata si Botol.
"Bagaimana,........bagaimana, katamu!" bentak Harimau. "Apakah aku tidak bisa memikirkan belas kasihan seseorang, begitu? Hem, jangankan daku ini sebagai binatang, bangsamu sendiri sebagai manusia yang dikatakan lebih tinggi peradabannya, tokh ia tidak juga membalas pertolongan makhluk yang lain." "Ah, aku tidak percaya dengan mulutmu itu, mengatakan manusia itu tidak bisa membalas jasa makhluk yang lain. Bohong!" Demikian jawabnya di Botol.
Kemudian si Harimau menjawab, dengan gerangnya, katanya, "Yah, kalau engkau tidak percaya, baiklah sekarang kita tanyakan kepada binatang-binatang lain untuk dipertimbangkan. Jika memang benar manusia itu bisa membalas kebaikan makhluk yang lain, engkau selamat, dan aku tunduk selama keturunanku masih ada. Tetapi jika manusia itu tidak memperdulikan kebaikan makhluk yang lain, ha....ha...ha...tidak boleh tidak engkau pasti akan ada diperutku."
Si Botol menyetujui atas pertimbangan si Harimau. Kemudian mereka berdua berjalan ke tengah hutan. Beberapa saat kemudian, lalu mereka bertemu dengan si Kuda tua. Lalu dengan segera si Botol berkata kepada si Kuda tua.
"Hai Kuda tua, kebetulan sekali engkau jumpa di sini." Mendengar kata si Botol itu, maka si Kuda tua, berhenti, sambil berkata, "Wah, kok tumben kamu dua-duaan berjalan. Barangkali ada persoalan yang penting kau lakukan." Demikian si Kuda tua. "Ya, kami berdua ingin bertanya kepadamu, menanyakan, apakah benar manusia itu tidak bisa membalas pertolongan makhluk yang lain?"
Si Kuda tua menjawab, sambil ketawa, "Hi, hi, hi, sungguh memang benar manusia itu sekali-kali tidak bisa membalas pertolongan makhluk yang lain." Demikian jawabnya si Kuda tua, sambil menoleh kepada si Harimau. "Hai Harimau sahabatku," demikian kata si Kuda tua, yang ditujukan kepada si Harimau.
"Lihatlah aku ini sebagai kuda. Setelah aku ini sudah tua-rukuh, seperti sekarang ini, aku dibuang begitu saja. Dahulu semasa aku muda, badan masih kuat dan tegap, setiap hari aku dapat menghela dokar, pedati, juga dipakai memikul padi setiap musim panen, memikul batu setiap ada pembangunan dan yang lain-lain. Ini kesemuanya tiada lain untuk membantu si manusia. Tetapi walaupun sudah banyak pengabdianku, tokh aku selalu disiksa dengan cambuk, bahkan dipukul-pukul dengan kayu besar. Dan aku diberi makan tidak seberapa. Bahkan seringkali aku berpuasa.
Sungguh aku hanya disuruh membantu mencarikan nafkah yang melulu untuk dirinya sendiri. Dan ia tidak pernah merasakan pertolongan makhluk yang lain. Jadi menurut pertimbanganku sudah selayaknya engkau memakan manusia ini."
Mendengar keterangan itu, maka si Botol kecewa dan seketika wajah mukanya berubah. Ia tidak bisa membantah keterangan si Kuda-tua. Kemudian Harimau membentak, "Hai manusia, sekarang ku makan kau."
"Nanti, nanti dulu Harimau! Coba tanyakan lagi kepada binatang lainnya." "Baik; mari segera!" Sahut si Harimau. Kemudian mereka berjalan, menaiki gunung, terus menuruni jurang-jurang, di pedalaman. Akhirnya mereka berjumpa sama si Binatang, yang sedang berjalan.
"Hai, Banteng, tunggu dulu sebentar!" Kata si Botol.
Si banteng menoleh sambil berhenti
"Oh, akan kemana kalian?" Tanya si Banteng.
"Kini kami berdua ingin minta pertimbanganmu."
"Begini Banteng, menurut pendapatmu, apakah benar manusia itu tidak bisa membalas pertolongan makhluk lain?"
Si Banteng dengan segera menjawab, sambil tertawa, "Hu,hu.hu, menurut pertimbanganku, memang benar manusia itu, tidak memiliki perasaan hati."
"Seperti aku ini, katanya pula sambil menoleh kepada si Harimau.
"Semasa aku dan kawan-kawanku masih muda, dan masih kuat, aku dan kawan-kawanku terus-terusan dipaksa untuk menarik bajak di sawah, maupun ditegah jalan. Tetapi setelah aku dan kawan-kawanku tua, kecuali aku, mereka dikirim ke negara lain. Sesampai di sana, kawan-kawanku dibunuh oleh si manusia, dan daging saudara-saudaraku itu dimakan seenaknya saja, untuk memenuhi nafsunya. Untung aku ini dapat terlepas dari tali belenggu, waktu aku akan diangkut ke negara lain. Dan menurut pikiranku maka pantaslah manusia itu kau binasakan!” Mendengar keterangan ini, maka semakin pucat muka si Botol.
"Bagaimana, kau akan minta pertimbangan lagi?" dengking si Harimau.
"Hai Harimau, sekarang baiklah kita cari si Burung Elang hutan."Demikian ajakan si Botol. Si Harimau menurut saja.
"Baiklah, supaya lebih puas kematianmu nanti." Jawab si Harimau. Kemudian mereka berjalan terus ke tengah hutan. Tiada berapa lama antaranya, mereka berjuma dengan si Burung Elang hitam, yang sedang bertengger di atas dahan kayu kering.
"Wahai Burung Elang Hitam," seru si Botol. Suaranya agak lemah dan serak.
"Kami berdua ingin bertanya."
"Apa yang kau tanyakan?" Sahut si Burung.
"Menurut pendapatmu, apakah benar manusia itu tidak bisa membalas pertolongan makhluk lain?"
Burung Elang Hitam lalu tertawa bersiul-siul, "Ui, ui, ui, ui, memang benar manusia itu tidak mempunyai rasa belas-kasihan kepada makhluk yang menolongnya, Seperti aku ini."
Katanya pula, "Aku selalu menjaga padi manusia yang sedang menguning di sawah. Setiap ada burung pipit, burung gelatik dan burung-burung lainnya, yang mau merusak atau memakan buah padi, ku halau, kukejar, bila kudapatkan, kumakan. Maksudku supaya banyak hasil panennya. Tetapi, karena sudah dasar pikiran manusia tidak mempunyai belas kasihan, tokh aku ini ditembak dengan senapan, disumpit dengan selumpit dan bila kena, dagingku dimakan seenaknya saja.
Selain dari itu, anak-anakku yang belum bisa terbang yang sedang dalam sarangku, dicari-cari olehku yang belum bisa terbang yang sedang dalam sarangku, dicari-cari oleh manusia, kalau ditemukan dipakai untuk permainan anak-anaknya, sehingga anak-anakku mati tanpa makan. Jadi, tidak ada salahnya kalau si manusia dimakan oleh si Harimau."
Baru sampai di sini keterangan si Burung, si Harimau sudah sangat gembira, dan sudah siap sedia akan menerkam si Botol. Gerutunya; "Sekarang perutku yang menahan lapar beberapa hari, kini akan kenyang sekali." Mendengar gerutu si Harimau, si Botol makin pucat pasi mukanya. Pikirannya sudah melayang jauh, seakan-akan sudah ditinggal ookhnya. Kemudian ia pun meminta tambah lagi. Katanya kepada si Harimau.
"Hai Harimau, kini aku minta tambah lagi seekor binatang saja. Dan kalau nanti dari binatang itu sama keterangannya dengan bintang-binatang lainnya, pada saat itu jugalah aku kau terkam!"
Demikian permintaaan si Botol dengan bersedih hati. Si Harimau masih mau menerima permintaan si Botol itu. Kemudian mereka berjalan terus menyelesuri hutan. Akhirnya mereka bertemu dengan si Kancil. "Hai, Kancil, sahabatku. Tunggulah sebentar. Kini aku ingin bicara dengan kau," Demikian kata si Botol dengan nada minta dikasihani.
"Oh, kau Botol dan kau Harimau, apa yang kau tanyakan, coba terangkan!" Kemudian berkata si Botol. "Menurut perasaanmu, apakah manusia itu tidak mempunyai hati belas kasihan kepada sesama makhluk ?"
Mendengar pertanyaan itu, si Kancil termenung sambil berpikir-pikir. Kemudian ia berkata, "Sebenarnya, soal ini adalah soal yang sangat penting. Jadi aku tidak bisa cepat-cepat memberi jawaban.
Terlebih dulu, aku ingin tahu, bagaimana duduk persoalannya? Itulah dulu terangkan kepadaku. Setelah itu, barulah aku bisa mengeluarkan pertimbangan, pun menyelesaikannya. Kalau kamu berdua menyetujui permintaanku, baiklah kita bertiga kembali ke tempat semula, dimana dan apa yang menjadi pokok perkara ini.
Demikian penjelasan si Kancil. Mendengar permintaan si Kancil demikian, maka si Botol dan si Harimau menyetujuinya. Kemudian mereka bertiga kembali ke tempat yang semula, dimana bekas si Harimau kena perangkap. Beberapa saat kemudian sampailah mereka di tempat perangkap tadi. Si Kancil bertanya kepada si Botol; "Hai Botol, dimana kau temukan si Harimau, waktu ia minta bantuan? Dan pintu perangkap bagaimana tanya pada saat itu? Itu kesemuanya kau jelaskan supaya aku tahu."
"Oh, Kancil, beginilah asal-mulanya," jawab si Botol.
"Sedang aku asyik mengumpulkan kayu bakar, aku dikejutkan oleh suara Harimau. Kemudian kulihat ke samping, maka tampaklah seekor Harimau yang sedang meraung-raung kesakitan didalam perangkap yang sedang tertutup. Dan ia bersumpah. Jika ia sudah terlepas dari perangkap, ia berjanji dari saat itu dan seterusnya keturunannya tidak boleh memakan manusia." Demikan penjelasan si Botol.
"Ooo, begitu," kata si kancil, sambil angguk-angguk.
"Nah, kalau demikian ceritanya supaya persis aku tahu, coba engkau Harimau masuk dulu ke perangkap!"
Lalu si Harimau itu pun menuruti perintah si Kancil dengan maksud supaya perkara ini cepat selesai, karena ia sudah lapar sekali. Harapannya supaya segera ia dapat memakan si Botol.
Setelah Harimau itu berada di dalam perangkap, lalu si Kancil berkata, "Nah, waktu dia ada di dalam perangkap, pintu ini bagaimana."
"Pintu itu tertutup, dan terkunci." Jawab si Botol.
"Kalau begitu, coba tutup dulu dan kunci, supaya aku tahu yang sebenarnya!"
Kemudian perangkap itu ditutup terus dikunci oleh si Botol. Setelah selesai pekerjaan itu dilakukan dengan hati-hati, kemudian si Kancil berkata kepada si Botol.
"Nah, kau si Botol, sekarang kau pulang ke desamu, dan kau tidak akan dimakan oleh si Harimau. Tetapi engkau harus ingat, lain kali, engkau harus hati-hati membantu makhluk lain, yang belum kau kenal tabiatnya. Pikir lebih dahulu mana yang harus dibela dan mana yang tidak. Setelah engkau mengetahui kedudukannya, barulah engkau boleh menolongnya."
Demikian nasehat si Kancil. Kemudian si Botol berpamit kepada si Kancil setelah mengucapkan beribu-ribu banyak terima kasih. Si Kancil pun meninggalkan tempat itu, setelah mengucapkan selamat berpisah. Kini tinggal si Harimau sendiri dalam perangkap. Ia pun meraung-raung seperti semula, dan menyesal akan kebodohannya. Dan akhirnya Harimau itu mati kelaparan.
Sumber : Bunga Rampai Ceritera Rakyat Bali oleh Ida Bagus Sjiwa & A.A. Gde Geria