Sepertinya halnya batik di Jawa, songket di Sumatera Selatan, dan ulos di Sumatera Utara, di Sulawesi Utara khususnya Etnis Minahasa mengenal kain tenun tradisional yang popular disebut kain Bentenan. Keberadaan kain ini cukup kontroversi karena pernah menghilang sekitar 200 tahun lamanya dari tanah Minahasa. 
Bentenan sejatinya merujuk pada sebuah pulau dan teluk di pantai di Kabupaten Minahasan Tenggara. Dahulu, sekitar abad ke-15 hingga 17 perairan ini merupakan kawasan pelabuhan dagang dan transit para pelaut sebelum mereka menuju Ternate. Dan sekitar tahun 1900-an kain Bentenan ditemukan untuk yang pertama kali dikawasan tersebut, tepatnya di Desa Bentenan, Ratahan, Minahasa Tenggara.
Keberadaan kain Bentenan tidak terlepas dari aktivitas budaya dan sejarah suku Minahasa. Sekitar abad 7 Masehi masyarakat Minahasa telah mengenal kain dari kulit kayu bernama Fuya, yang berasal dari kulit pohon Lahendong dan kulit pohon Sawukkuow. Selain itu mereka juga mengenal serat nanas yang disebut Koffo dan serta bamboo yang disebut Wa’u.
Penamaan kain Bentenan sendiri berasal dari nama wilayah dimana pelabuhan utama di Sulawesi Utara berada yaitu, Bentenan. Dari pelabuhan inilah yang pertama kali kain Bentenan di export (abad 15-17) ke luar Minahasa. Sehingga meskipun kain tersebut dibuat di Tombulu, Tondano, Ratahan, Tombatu, dan wilayah lainnya di Minahasa namanya tetap dikenal dengan Bentenan.
Dalam perkembangan selanjut, setelah berinteraksi dengan para pelaut yang singgah serta menetap, masyarakat Minahasa mulai mengenal kapas, dari bahan kapas inilah kemudian mereka membuat pakaian yang kemudian dikenal sebagai Bentenan Woven Cloth. Pada masa itu kain Bentenan telah menjadi kain dengan kualitas terbaik di dunia.
Bagi masyarakat Minahasa, kain Bentenan merupakan kain yang istimewa karena ada ritual-ritual tertentu sebelum mulai menenun. Keistimewaan lainnya adalah karena kain ini berperan utama dalam lingkaran kehidupan masyarakat Minahasa, seperti lahir, menikah, dan meninggal. Ketika bayi baru lahir diselimuti dengan kain, ketika menikah kain Benetanan dapat berfungsi sebagai mas kawin dan ketika meninggal kain digunakan untuk membungkus jenazah.
Karena proses pembuatannya yang rumit dan memakan waktu yang lama, kain-kain ini hanya dipakai oleh orang-orangtertentu dan acara-acara tertentu. Seperti para pemimpin ada (Tonaan), pemimpin agama/sukt (Walian) dalam uparaca adat dan upacara agama. Kain Bentenan juga telah menjadi symbol status social dan menjadi bagian dari prinsip hidup yang dilakoni masyarakat Minahasa.
Bahkan, masyarakat Minahasa mempercayai ketika mereka berperang dan menggunakan kain Bentenan sebagai ikat pinggang maka akan dapat mematahkan serangan lawan, dengan kata lain orang yang mengenakan ikat pinggang kain Bentenan akan kebal terhadap senjata lawan. Hal ini tentunya sesuai dengan cerita orang-orang terdahulu bahwa pembuatan kain Bentenan sangat sakral.
Kesitimewaan lainnya dari kain Bentenan adalah teknik pembuatannya yang rumit. Kain Bentenan ditenun dengan teknik double ikat, benang yang membentuk lebar kain (pakan) disebut Sa’lange dan benang yang memanjang (lungsi) disebut Wasa’lene. Teknik double ikat seperti ini adalah teknik tenun ikat dengan tingkat kesulitan yang tinggi, sangat jarang teknik ini digunakan di daerah lain. Motif yang dapat tercipta dari teknik ini akan bergambar halus, rumit dan sangat unik. Kain Bentenan ditenun tanpa terputus menghasilkan sebuah kain berbentuk silinder atau tabung.
Dalam proses pewarnaan, kain Bentanan menggunakan zat pewarna alami yang berasal dari tumbuhan yang tumbuh di wilayah tersebut. warna biru atau hijau biasanya diperoleh dari pohon Taun, kemudian apabila ditambah dengan air kapur sirih, maka warna biru itu akan berubah menjadi hitam. Semak Lenu (morinda bractenta) untuk warna kuning dan apabila dicampur air kapur sirih akan menjadi warna merah. Lelenu (peristrophe tinctoris) untuk warna merah, Sangket (homnolanthus paulifolius) kulitnya menghasilkan warna hitam.
Kain Bentenan memiliki tujuh motif yaitu Tonilama (tenun dari benang putih, tidak berwarna dan merupakan kain putih), Sinoi (tenun dengan benang warna warni dan berbentuk garis-garis), Pinatikan, tenun dengan garis-garis motif jala dan bentuk segi enam, merupakan yang pertama ditenun di Minahasa. Tinompak Kuda (tenun dengan aneka motif berulang), Tononton Mata (tenun dengan gambar manusia), Kalwu Patola (tenun dengan motif tenun Patola India) dan Kokera (tenun dengan motif bunga warna-warni bersulam manik-manik).
Kain tenun Bentenan yang paling tinggi nilainya digunakan untuk upacara adat ialah Tinonton Mata symbol leluhur pertama orang Minahasa yaitu Toar-Lumimuut. Sedangkan kain tenun Bentenan yang bernilai tinggi sebagai alat tukar menukar adalah motif ragam hias kain Patola India, seperti motif Kaiwu Patola. Motif Kaiwu Patola, Tinonton Mata, Tinompak Kuda yang sudah bisa diproduksi kembali.
Sempat Hilang
Setelah Belanda masuk ke Minahasa dan menyebarkan ajaran Kristen, terjadi banyak perubahan sosial budaya termasuk menghilangnya upacara ritual baik adat maupun keagamaan. Masyarakat Minahasa juga mulai meninggalkan kebiasaan lamanya karena ingin dianggap sederajat dengan Belanda. Salah satu kebiasan tersebut adalah menggunakan kain Bentenan karena mereka mulai tidak nyaman menggunakan kain yang bermotif animism. Sehingga lambat laun penggunaan kain tenun semakin jarang dan akhirnya menghilang. Maka mulai dari saat itulah kebiasaan menenun kain Bentenan terhenti.
Kain Bentenan sempat menghilang dalam waktu yang cukup lama sekiat kurang lebih 200 tahun. Bahkan konon katanya orang minahasa sendiri banyak yang tidak mengetahui tentang keberadaan kain berkualitas tinggi ini. Dan saat ini kain tenun Bentenan hanya tersisa 28 lembar disluruh dunia, yang tersimpan di Museum Nasional Jakarta, Museum Tropenmuseum, Amsterdam, Museum voor Land-en Volkenkunde, Rotterdam, Museum fur Volkenkunde, Frankfurt-am-Main, Jerman, Ethnographical Museum, Dresden, dan Indonesisch Ethografisch Museum.
Kain Bentenan kembali ditemukan sekitar tahun 2005, atas prakasa HIMSA (Himpunan Seni dan Budaya Minahasa) kain Bentenan asli koleksi museum Nasional dibawa ke Universitas Sam Ratulangi, Manado untuk dipamerkan. Kemudian tahun 2006, Yayasan Kreasi Masyarakat Selawesi Utara (Karema) memproduksi kain Bentenan dalam bentuk print. Langkah tersebut kemudian ditindaklanjuti oleh Gubernur Sulut dan seluruh kepala daerah (Bupati/Walikota) yang mewajibkan PNS menggunakan seragam kain Bentenan seminggu sekali.
Akhirnya sehelai kisah kain Bentenan tertoreh manis dalam catatan sejarah, masyarakat Minahasa semakin bangga akan jati dirinya dan kain Bentenan telah menjadi identitas budaya Minahasa yang tinggi. (DAM)
 
            Kelahiran seorang anak yang dinantikan tentu membuat seorang ibu serta keluarga menjadi bahagia karena dapat bertemu dengan buah hatinya, terutama bagi ibu (melahirkan anak pertama). Tetapi tidak sedikit pula ibu yang mengalami stress yang bersamaan dengan rasa bahagia itu. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan tentang makna dari pra-kelahiran seseorang dalam adat Nias khusunya di Nias Barat, Kecamatan Lahomi Desa Tigaserangkai, dan menjelaskan tentang proses kelahiran anak mulai dari memberikan nama famanoro ono khora sibaya. Metode pelaksanaan dalam penelitian ini adalah menggunakan metode observasi dan metode wawancara dengan pendekatan deskriptif. pendekatan deskriptif digunakan untuk mendeskripsikan fakta sosial dan memberikan keterangan yang jelas mengenai Pra-Kelahiran dalam adat Nias. Adapun hasil dalam pembahasan ini adalah pra-kelahiran, pada waktu melahirkan anak, Pemberian Nama (Famatorõ Tõi), acara famangõrõ ono khõ zibaya (Mengantar anak ke rumah paman)...
 
                     
            Prajurit pemanah dari komunitas pemanah berkuda indonesia (KPBI) mengikuti Festival Keraton Nusantara 2017. mewakili kesultanan kasepuhan cirebon. PAKAIAN: terdiri dari ikat kepala/ totopong khas sunda jenis mahkuta wangsa. kain sembongb berwarnaungu di ikat di pinggang bersamaan dengan senjata tajam seperti golok dan pisau lalu baju & celana pangsi sunda. dengan baju corak ukiran batik khas sunda di bagian dada. untuk alas kaki sebagian besar memakai sendal gunung, namun juga ada yang memakai sepatu berkuda. BUSUR: sebagian besar memakai busur dengan model bentuk turkis dan ada juga memakai busur model bentuk korea. ANAK PANAH: Semua nya memakai anak panah bahan natural seperti bambu tonkin, kayu mapple & kayu spruce QUIVER (TEMPAT ANAK PANAH): Semua pemanah menggunakan quiver jenis backside quiver atau hip quiver . yaitu quiver yang anak panah di pasang di pinggang dan apabila anak panah di pasang di dalam quiver , nock anak panah menghadap ke belaka...
 
                     
            Prajurit pemanah dari komunitas pemanah berkuda indonesia (KPBI) mengikuti Festival Keraton Nusantara 2017. mewakili kesultanan kasepuhan cirebon. PAKAIAN : terdiri dari ikat kepala/ totopong khas sunda jenis mahkuta wangsa. kain sembong berwarna ungu di ikat di pinggang bersamaan dengan senjata tajam seperti golok ataupun pisau lalu baju & celana pangsi sunda. dengan baju corak ukiran batik khas sunda di bagian dada. untuk alas kaki sebagian besar memakai sendal gunung, namun juga ada yang memakai sepatu berkuda. BUSUR : sebagian besar memakai busur dengan model bentuk turkis dan ada juga memakai busur model bentuk korea. ANAK PANAH : Semua nya memakai anak panah bahan natural seperti bambu tonkin, kayu mapple & kayu spruce QUIVER (TEMPAT ANAK PANAH): Semua pemanah menggunakan quiver jenis backside quiver atau hip quiver . yaitu quiver yang anak panah di pasang di pinggang dan apabila anak panah di pasang di dalam quiver , nock anak panah menghad...
 
                     
            aksi pertunjukan pusaka dan pasukan kesultanan kacirebonan dari balaikota cirebon sampai ke keraton kacirebonan
 
                     
            Para pasukan penjaga keraton Sumedang larang
