×

Akun anda bermasalah?
Klik tombol dibawah
Atau
×

DATA


Kategori

Ritual

Provinsi

Jawa Timur

Asal Daerah

Banyuwangi

Seblang

Tanggal 02 Aug 2014 oleh Cindy_praharasti Khoirunnisa.

Seblang

 

            Dari berbagai macam adat dan seni-budaya yang ada di Banyuwangi, yang hingga saat ini nyaris utuh bila dibandingkan dengan yang lain, adalah ritual adat Seblang.  Ritual adat ini diselenggarakan di dua tempat, yaitu di Kelurahan Bakungan dan di Desa Olehsari, yang keduanya berada di wilayah Kecamatan Glagah.  Seblang Bakungan menampilkan sosok penari tua-renta yang sudah menopouse sebagai tokoh sentralnya.  Sedangkan Seblang Olehsari menampilkan sosok penari yang masih muda belia sebagai tokoh sentralnya.  Ritual ini pada mulanya adalah merupakan bentuk ritual pemujaan yang berasal dari agama Hindu atau kepercayaan Syiwaistis yang dianut oleh masyarakat kala itu, dengan menampilkan seorang penari yang menari-nari dalam keadaan kesurupan (trance), yang dimaksudkan sebagai bentuk penghormatan pada Sang Hyang Widari.  Dalam agama Hindu memang dikenal adanya Sang Hyang, yang antara lain adalah: Sang Hyang Barong, Sang Hyang Bojog, Sang Hyang Jaran, Sang Hyang Geni, Sang Hyang Kelaras, dan Sang Hyang Widari.  Yang disebut terakhir itulah yang pada akhirnya melahirkan bentuk ritual Seblang, yang dikalangan masyarakat Hindu Bali disebut dengan Upacara Sang Hyang.

 

            Ritual adat Seblang yang ada di Kelurahan Bakungan dan di Desa Olehsari saat ini, diperkirakan dulunya berasal dari zaman Hindu Majapahit, yang perkembangannya ke wilayah timur dibawa oleh orang-orang Majapahit yang bergerak sampai ke wilayah Blambangan.  Karena sama-sama berasal dari agama Hindu, maka antara ritual Seblang dan Upacara Sang Hyang banyak terdapat persamaan-persamaan, diantaranya dari bentuk Omprog yang dipakai oleh penari dan penari yang mengalami trance atau kesurupan saat melakukan tarian.

 

            Bila pada awalnya Seblang merupakan bentuk ritual pemujaan, pada perkembangan selanjutnya ritual ini mengalami perubahan-perubahan yang signifikan, khususnya mengenai bentuk prosesi dan tujuan dilaksanakannya ritual.  Di Banyuwangi terdapat dua jenis Seblang yang latar belakang dan tujuan pelaksanaannya berbeda, walaupun pada dasarnya beberapa bagian dalam prosesi serta pernak-pernik kelengkapan yang digunakan masih tetap sama. Dua jenis Seblang tersebut adalah yang terdapat di Kelurahan Bakungan, yang menampilkan penari tua (Seblang Tua),  dan yang terdapat di Desa Olehsari, dengan penarinya yang masih muda belia (Seblang Muda).  Perbedaan mendasar pada kedua jenis Seblang tersebut, selain pada penarinya (Seblang Tua dan Seblang Muda), juga pada tujuan pelaksanaan ritualnya.

 

            Seblang Bakungan atau Seblang Tua, mulanya berlatar belakang untuk penyembuhan, seperti yang dilakukan oleh Mak Karto, seorang penduduk Bakungan kala itu, yang sering diundang orang untuk melakukan ‘tarian kesurupan’ yang diperuntukkan bagi orang-orang yang baru saja sembuh dari penyakit yang diderita.  Kala itu, bila terdapat seseorang yang sedang sakit dan sulit disembuhkan, maka salah satu anggota keluarga si penderita lalu membuat janji yang berbunyi: “Saiki siro lara, waraso. Dhung waras, sun tanggapaken Seblang bakungan,” (Sekarang kamu lagi sakit, sembuhlah. kalau sembuh, ku undangkan Seblang Bakungan).  Ini sama dengan ketika mak Midah bernadzar untuk kesembuhan anaknya, Semi, yang waktu itu masih berumur 10 tahun dan jatuh sakit.  Saat itu Mak Midah berkata pada anaknya yang sedang sakit, “Adhung siro mari, sun dadekaken Seblang. Kadhung siro sing mari, yo using,!” (Bila kamu sembuh, ku jadikan Seblang. Kalau kamu tidak sembuh, ya tidak).  Dan akhirnya, Semi benar-benar sembuh dari penyakit yang dideritanya, dan Mak Midah melaksanakan niat yang sudah menjadi nadzarnya, yaitu mengajari Semi untuk menjadi penari seblang.

 

 

           

Dewasa ini Seblang Bakungan lebih merupakan bagian dari rangkaian acara Bersih Desa, yang didahului dengan acara Ider Bumi dan Selametan Desa.  Sedangkan Omprog yang dikenakan penari, tidak lagi terbuat dari pupus daun pisang, tapi merupakan kuluk atau mahkota sebagaimana yang dikenakan oleh para penari Gandrung, yang dihiasi dengan rumbai-rumbai dari kain mori.

            Tentang Seblang Olehsari atau Seblang Muda, sejak semula diselenggarakan untuk tujuan menangkal segala penyakit dan pageblug yang mengancam ketenteraman  seluruh warga Desa, yang disebut dengan Tolak Balak.  Ritual Seblang Olehsari ini juga didahului dengan acara Selametan Desa dan Ider Bumi, yang dilaksanakan jauh hari sebelum pelaksanaan ritual Seblang, atau persisnya pada awal Bulan Syura (Muharram), sementara ritual Seblangnya sendiri dilaksanakan pada Bulan Syawal.  Yang menarik dari pelaksanaan ritual Seblang Olehsari ini adalah bahwa hampir segala sesuatunya, termasuk yang menyangkut mengenai waktu dan tanggal pelaksanaan, segala pernak-pernik perlengkapan ritual, sampai pada masalah penunjukan Pesinden, pembuat omprog, Tukang tekep, Pengudang, Penabuh gamelan, juga penunjukan penarinya, selalu mengabdi pada petunjuk dan permintaan dari Roh halus yang disebut dengan Dhanyang, yang datang dengan cara menyusup kedalam raga salah seorang warga Desa Olehsari bernama Mak Sutrani.  Sedangkan Omprog yang digunakan oleh penari Seblang Olehsari hingga saat sekarang ini masih tetap menggunakan bahan dasar dari pupus daun pisang, yang dihiasi dengan bunga-bunga segar dan berwarna-warni.

 

 

 

            Ritual adat Seblang yang sampai kini masih tetap bertahan di lingkungan masyarakat Using, khususnya yang berada di Desa Olehsari dan di Kelurahan Bakungan, menunjukkan tingginya apresiasi masyarakat terhadap eksistensi budayanya sendiri, baik dalam rangka untuk pemenuhan kebutuhan sosial kemasyarakatan, kepentingan adat-istiadat dan kepercayaan, maupun juga kebutuhan untuk mengekspresikan naluri seninya. Hal tersebut, telah menjadikan ritual Seblang sebagai bagian dari kebutuhan budaya   masyarakat yang secara turun-temurun tetap dipelihara dengan cara melaksanakan rutin setiap tahun.

            Selain dilaksanakan di Desa Olehsari dan di Kelurahan Bakungan, yang keduanya berada di Kecamatan Glagah, konon ritual ini juga pernah dilaksanakan di beberapa tempat, antara lain di Kelurahan Boyolangu (Kecamatan Giri), di Desa Mangir (Kecamatan Rogojampi), dan di Desa Gambiran (Kecamatan Gambiran).

           

 

Awal Keberadaan Seblang di Olehsari

            Ritual adat Seblang yang ada di Desa Olehsari, Kecamatan Glagah, memiliki latar belakang sejarah tersendiri.  Sebelum dilaksanakan pertamakalinya di desa ini pada tahun 1930, ritual ini sebelumnya berada dan selalu dilaksanakan secara rutin setiap tahun di Desa Kemiren, yang terletak tepat di sebelah utara Desa Olehsari. Tercatat ada nama Mbah Danah, kemudian Mbah Sapuah, yang merupakan penari seblang terakhir di Desa Kemiren.  Pada masa seblang Mbah sapuah inilah, ada seorang penduduk Desa Kemiren yang bernama Mbah Tompo,  membeli seperangkat alat kesenian Barong lengkap dengan gamelannya kepada Mbah Sukip, warga Kampung Dandang Wiring (sekarang termasuk wilayah Kelurahan Penganjuran, Kecamatan Kota Banyuwangi).  Beberapa waktu setelah Mbah Tompo memiliki perangkat kesenian Barong tersebut, tiba-tiba Mbah Sapuah yang kala itu masih berstatus sebagai penari seblang, mengalami kesurupan atau masyarakat menyebutnya kejiman.  Jin yang menyusup ke raga Mbah Sapuah ini menghendaki agar ritual seblang dipindahkan ke sebelah selatan desa, yaitu ke Desa Olehsari, karena di Desa Kemiren sudah ada kesenian Barong.  Saat itu terjadi dialog langsung antara Mbah Tompo yang memiliki perangkat kesenian Barong, dengan Mbah Sapuah yang sedang kejiman.  Dalam dialog tersebut, sang Jin yang berada di raga Mbah Sapuah berpesan dengan wanti-wanti pada Mbah Tompo dan para sesepuh Desa Kemiren lainnya, dengan mengatakan : “Dik, riko saiki wis ngedegaken Barong, mula iku Seblang iki sun elih nyang Uli-ulian (Olehsari).  Mulai saiki, Barong ojo dimainaken ring Uli-ulian, sebab uwong bisa mati kabeh.  Lan sebalike, ojo ana maning Seblang main ring Kemiren, sebab uwong bisa lara kabeh,” (Dik, kamu sekarang sudah mendirikan kesenian Barong, sebab itu Seblang ini ku pindahkan ke Uli-ulian.  Mulai sekarang, Barong jangan dimainkan di Uli-ulian, sebab orang bisa mati semua.  Dan sebaliknya, jangan ada lagi Seblang main di Kemiren, sebab orang bisa sakit semua).  Demikian bunyi pesan penting sang Jin, yang hingga saat ini tetap ditaati oleh masyarakat di kedua desa (Kemiren dan Olehsari).  Tak ada satupun warga desa yang berani melanggar pesan gaib tersebut, yang seakan sudah menjadi semacam peraturan tak tertulis.

            Begitu taatnya masyarakat terhadap peraturan dari alam gaib tersebut, hingga sampai sekarang ini tak satupun warga Desa Olehsari yang berani mengundang kesenian Barong, baik untuk keperluan acara hajatan keluarga maupun untuk acara-acara lainnya.  Kesenian Barong telah menjadi sesuatu yang termasuk dalam kategori illok-illok (hal yang tabu dan tak boleh dilanggar), bagi seluruh masyarakat di wilayah Desa Olehsari. Kalaupun ada rombongan kesenian Barong yang terpaksa harus melintasi wilayah desa Olehsari, seperti misalnya ketika acara karnaval tujuh-belas agustusan yang berangkat dari lapangan Kecamatan Glagah menuju ke Kelurahan Bakungan dengan melewati jalan raya yang membelah Desa ini, maka rombongan kesenian Barong yang sedang ikut dalam karnaval tersebut tidak akan melakukan aktivitas apapun, kecuali hanya berjalan dengan tenang dan tanpa berisik.  Semua gamelan dan bunyi-bunyian yang dibawa, tak satupun berani menabuhnya, dan sang Barong yang sebelumnya menari-nari dengan lincahnya, seakan kehilangan energi dan daya magisnya, sehingga hanya berjalan seperti biasa tanpa gerakan-gerakan tari apapun.  Baru  setelah keluar dari wilayah terlarang bagi Barong ini, kembali sang Barong menari-nari dengan iringan gamelan, dengan lincah dan bersemangat.

 

Para Leluhur Seblang

            Dalam ritual adat Seblang Olehsari, dikenal adanya empat tokoh penting yang dikalangan masyarakat Olehsari dianggap sebagai para leluhur dan sesepuh Seblang, yang membawa dan mengajarkan ritual ini di wilayah desa mereka.  Ke empat tokoh leluhur atau sesepuh Seblang tersebut adalah: Buyut Ketut, Buyut Cili, Buyut Jalil, dan  Buyut Mailang  atau  Buyut Sukma Ilang.

            Para tokoh leluhur Seblang ini dimakamkan di empat tempat yang berbeda, yang kesemuanya berada di pinggiran Desa Olehsari.  Makam Buyut Ketut berada di pekuburan umum yang terletak di sebelah selatan Desa Olehsari.  Buyut Jalil, makamnya terletak di sebelah timur Desa Olehsari, tepatnya berada di wilayah Petahunan, yang berbatasan langsung dengan Kelurahan Banjarsari.  Buyut Cili, dimakamkan di sebelah utara Desa Olehsari, yang berbatasan langsung dengan Desa Kemiren.  Sedangkan makam Buyut Mailang atau Buyut Sukma Ilang, berada di sebelah barat Desa Olehsari, disebuah wilayah yang disebut juga dengan wilayah Mailang, yang berbatasan dengan Desa Glagah.

            Sampai sekarang, keberadaan empat makam para leluhur Seblang tersebut masih tetap dianggap keramat dan bertuah oleh masyarakat.  Makam Buyut Cili, misalnya, masih banyak di ziarahi oleh masyarakat warga Desa Kemiren maupun Olehsari, khususnya mereka yang hendak melaksanakan hajatan, punya nadzar, ataupun yang punya niatan-niatan lain.  Disekitar cungkup makam yang berpagar anyaman bambu ini, sering digelar selamatan kecil oleh mereka yang punya niatan-niatan tersebut.  Sementara tentang makam Buyut Ketut, adalah merupakan tempat keramat yang menjadi bagian tak terpisahkan dalam rentetan ritual Seblang.  Di atas makam Buyut Ketut inilah, pada pelaksanaan ritual di hari ke tujuh, sang Seblang melakukan prosesi khusus sebagai penghormatan pada leluhurnya.  Sang Seblang yang masih dalam keadaan kesurupan, menari-nari dipinggiran makam dengan iringan gamelan dan gending-gending yang dibawakan oleh para pesinden.  Makam Buyut Ketut ini merupakan tempat pertama yang disinggahi rombongan arak-arakan Seblang dalam perjalanan Ider Bumi keliling Desa.  Usai singgah dan berziarah di makam leluhurnya tersebut,  rombongan Seblang kembali melanjutkan perjalanan.

            Menurut Budayawan Banyuwangi, Hasnan Singodimayan, keberadaan empat tokoh yang disebut sebagai sesepuh Seblang tersebut mempunyai kaitan khusus dengan masing-masing ritual yang dilaksanakan untuk menghormati masing-masing Sang Hyang.  Buyut Ketut merupakan tokoh yang khusus menguasai masalah ritual Seblang, yang sebenarnya adalah bentuk penghormatan bagi Sang Hyang Widari.  Buyut Cili adalah tokoh yang khusus menguasai ritual untuk menghormati Sang Hyang Barong.  Sementara dua tokoh lainnya, masing-masing juga menguasai ritual khusus yang ditujukan untuk menghormati Sang Hyang lainnya, yang kemungkinan besar dulunya  juga dilaksanakan sebagaimana halnya ritual Seblang.  Namun masyarakat Olehsari tetap menganggap empat tokoh tersebut kesemuanya adalah para leluhur dan sesepuh Seblang.

 

Ritual Adat dan Sugesti Masyarakat

            Ketaatan masyarakat Desa Olehsari dalam melaksanakan ritual Seblang bukannya tanpa alasan yang jelas.  Ritual ini menjadi demikian penting dan telah dianggap sebagai bagian dalam kehidupan sehari-hari.  Banyaknya kejadian-kejadian aneh yang dialami warga Desa Olehsari, semakin mengukuhkan kepercayaan mereka bahwa pelaksanaan ritual ini tidak boleh diabaikan.  Ada sebuah peristiwa mengerikan yang pernah dialami seorang warga desa, yang mereka yakini ada hubungannya dengan ritual ini.

            Berawal pada tahun 1943, bersamaan dengan masuknya penjajahan Jepang ke wilayah Blambangan.  Peralihan kekuasaan dari penjajah Belanda ke penjajah Jepang waktu itu menimbulkan pergolakan di beberapa tempat, dan suasana kacau meliputi seluruh warga di pelosok-pelosok desa, termasuk Desa Olehsari.  Dengan alasan itulah, pada tahun tersebut ritual Seblang tidak lagi diselenggarakan sebagaimana biasanya.  Hingga beberapa lama, masyarakat masih juga belum berani menyelenggarakan kembali ritual ini.  Sampai pada suatu ketika, seluruh warga Desa Olehsari mengalami sebuah peristiwa mengerikan yang mereka sebut pageblug.  Saat itu seluruh warga desa dicekam rasa ketakutan yang luar biasa, karena hampir setiap hari selalu ada orang yang meninggal dunia.  Bahkan pada puncaknya, pernah terjadi dalam satu hari ada orang meninggal dunia dalam jumlah yang cukup banyak, hingga untuk menangani proses pemakamannya, penguasa kala itu terpaksa mengerahkan orang-orang penjara (narapidana) untuk membantu masyarakat menguburkan warga yang meninggal.  Peristiwa sebenarnya yang sedang terjadi adalah berjangkitnya wabah penyakit menular yang menyebar dengan cepat ke seluruh kawasan desa.  Keadaan seperti itu terus berlangsung dalam waktu cukup lama, sehingga memakan banyak korban jiwa.  Sebagian besar masyarakat waktu itu percaya bahwa terjadinya pageblug  tersebut disebabkan karena tidak dilaksanakannya ritual Seblang.  Maka pada akhirnya seluruh warga masyarakat sepakat untuk menyelenggarakan kembali ritual yang selama kurun waktu 13 tahun tidak pernah dilaksanakan.  Tepatnya pada tahun 1957 ritual Seblang kembali diselenggarakan di Desa Olehsari. 

            Yang ditunjuk sebagai penari Seblang pada tahun 1957 tersebut adalah Enah, anak dari Marwiyah (Seblang tahun 1937 – 1939).  Waktu ditunjuk sebagai penari, anak ke empat dari lima bersaudara ini sedang dalam keadaan hamil 4 bulan.  Dan kehamilan Enah ini adalah yang ke lima kalinya, setelah empat kehamilan sebelumnya selalu mengalami keguguran kandungan.  Menurut kepercayaan yang berkembang dalam masyarakat kala itu, keguguran kandungan sampai empat kali yang dialami oleh Enah, karena dia ini sedang dalam keadaan ‘menanggung keturunan’, yaitu suatu keadaan dimana ada sebuah tanggung jawab sebagai penari Seblang yang seharusnya sudah dilaksanakan namun sempat tertunda karena alasan keadaan.  Baru pada tahun 1957 itulah Enah dapat melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya sebagai penari Seblang.  Dan beberapa bulan setelah melaksanakan tugasnya yang sempat tertunda itu, Enah dapat melahirkan anaknya dengan selamat dan sehat.  Bayi perempuan Enah ini kemudian diberinya nama: Asemah, yang kemudian juga ditunjuk sebagai penari Seblang ketika berusia 12 tahun (1969 – 1971).

            Apa yang dialami Enah dan juga tentang terjadinya pageblug yang telah menimpa seluruh warga desa, semakin membuat masyarakat percaya dan yakin akan pentingnya pelaksanaan ritual Seblang.  Kepercayaan masyarakat ini juga semakin meningkat seiring dengan munculnya hal-hal aneh yang sering terjadi pada saat dilangsungkannya ritual.  Beberapa kejadian aneh itu antara lain seperti yang dialami oleh beberapa orang anak yang tiba-tiba “burung”nya sudah dalam keadaan di khitan, tanpa anak tersebut merasakan apapun.  Masyarakat Olehsari menyebut bahwa anak tersebut telah ‘di sunati Jin’.  Semua kejadian-kejadian tersebut, semakin memperkuat sugesti di kalangan masyarakat Desa Olehsari.

 

Ritual Adat Bernilai Seni Tinggi

            Dibalik tampilannya yang sakral dan penuh dengan nuansa mistis, ritual Seblang ini memiliki dan menyimpan nilai-nilai seni budaya yang tinggi, yang muncul dan mengakar kuat di kalangan masyarakat.  Sebagai sebuah bentuk kesenian yang berlatar belakang kepercayaan masyarakat, Seblang cukup mampu bertahan dari gempuran-gempuran budaya luar yang terus-menerus masuk dan menggelontor dalam kehidupan masyarakat sehari-hari.  Seblang secara utuh memunculkan gambaran keseharian masyarakat di lingkungannya, dan nyaris tak tersentuh modernisasi.

            Tampilan tari Seblang yang terkesan monoton, bila diamati dengan teliti dan seksama, merupakan bentuk dasar tari yang ada pada tari Gandrung tradisional.  Walaupun tari gandrung tradisional terus mengalami perubahan dalam perkembangannya selama ini, namun tetap berpatokan pada pakem yang ada pada tari Seblang.  Atas dasar-dasar inilah lalu muncul perdebatan panjang di kalangan para seniman dan budayawan Banyuwangi.  Ada anggapan yang mengatakan bahwa gandrung tradisional adalah bentuk kesenian yang terlahir dari ritual adat Seblang.  Tarian Seblang, yang karena memiliki daya tarik artistik yang luar biasa, lalu ‘dilepas’ sebagai bentuk seni tari yang bisa dinikmati tersendiri, lepas dari kesakralan, yang bisa disuguhkan sewaktu-waktu.  Beberapa alasan yang mendukung anggapan tersebut antara lain dapat dilihat dari bentuk pakaian, omprog (mahkota), dan gending-gending yang digunakan, baik oleh Seblang maupun gandrung.  Namun ada beberapa yang menolak anggapan tersebut.   Mereka meyakini bahwa keduanya (Seblang dan Gandrung) adalah bentuk kesenian yang berbeda satu sama lain.  Hanya saja, keduanya berasal dari latar belakang budaya yang sama.

            Ada teori yang menjelaskan bahwa jenis kesenian tradisional yang bernuansa magis-mistis dibagi menjadi dua macam. Pertama, seni tradisional yang tergolong sakral dan hanya ditampilkan pada acara dan waktu-waktu khusus, serta hanya ada di satu tempat, seperti Seblang.  Jenis kesenian ini disebut In-Situ, yang tidak bisa dibawa atau ditampilkan di lain tempat. Kedua, jenis seni tradisional yang masih sarat dengan nuansa mistis, tapi tidak sakral, dan dapat ditampilkan diberbagai tempat sesuai kebutuhan, seperti halnya seni tradisional Jaranan atau Kuda Lumping.  Jenis kesenian ini disebut Ex-Situ, dan kesenian tradisional gandrung termasuk diantaranya.

            Sebagai sebuah bagian dalam ritual, sosok Seblang menampilkan banyak sisi yang menarik secara artistik.  Omprog yang dipakai oleh penari seblang, misalnya, yang terbuat dari bahan-bahan yang diambil dari lingkungan sekitar seperti pupus daun pisang, pupus daun pinang, dan kembang aneka warna, yang dibentuk sedemikian rupa, nampak lebih menonjolkan sisi seni yang essensial dan maknawi.  Barangkali banyak orang yang bisa membuat dan merangkai omprog, namun hasilnya tak akan dapat menyamai  hasil karya orang yang secara khusus bertugas sebagai pembuat omprog seblang.

            Secara keseluruhan, ritual seblang memunculkan nilai-nilai estetika seni yang utuh dan kompleks.  Selain seperti yang tampak dari penampilan, seperti bentuk tarian, pakaian, omprog, dan dekorasi pentas yang khas dan unik, yaitu menggunakan hasil-hasil pertanian atau yang disebut dengan poro-bungkil sebagai hiasannya, serta segala pernak-pernik perlengkapan lainnya, ternyata Seblang secara intens mampu merawat dan melestarikan syair-syair kuno melalui lantunan gending-gending pengiringnya.

            Sebagian besar syair dalam gending-gending pengiring Seblang, adalah syair-syair kuno yang diperkirakan ditulis pada masa-masa perang gerilya yang berlangsung setelah perang Puputan Bayu berakhir tahun 1772.  Diantara beberapa gending tersebut, terdapat syair kuno yang sangat terkenal seperti: syair Podho Nonton, Seblang Lokento, Sekar Jenang, Layar Kemendhung, dan sebagainya.

            Salah satu dari syair tersebut, yaitu syair Seblang Lokento, menurut budayawan Banyuwangi, Mas Fatkhurrahman, seperti tertulis dalam buku “Sayu Wiwit Srikandi Blambangan” yang disusun oleh Sri Adi Oetomo (1987), diperkirakan penciptanya adalah Tumenggung Jekso Negoro, mantan Adipati Blambangan yang rela melepaskan takhtanya demi untuk bergabung dengan rakyat di pedesaan guna melakukan perang gerilya melawan penjajah.  Syair Seblang Lokento secara lengkap sebagai berikut:

           

            Seblang Lokento

            Wis wayahe bang-bang wetan

            Kakang-kakang ngeliliro

            Wis wayahe sawung kukuruyuk

            Lawang gedhe wonten hang njagi

            Medalo lawang butulan

            Wis biasae momong adhine

            Sak tinjak balio mulih……

 

Bila diterjemahkan secara bebas, adalah sebagaimana berikut ini:

 

            Seblang Lokento

            Saat mentari memerah di ufuk timur

            Bangunlah dari tidurmu

            Saatnya ayam berkokok

            Pintu gerbang ada yang menjaga

            Lewatlah pintu belakang

            Sudah biasa mengasuh adik

Selangkah keluar lentas kembalilah

 

Sejarawan dan Budayawan Banyuwangi, Hasan Ali, mengatakan bahwa syair Seblang Lokento ini berisi ajakan untuk bergerilya melawan penjajah Belanda.  Dalam syair tersebut jelas tergambar sebuah tak-tik perang gerilya, yang sengaja disamarkan dan disampaikan melalui gending, sebagai komando perlawanan.  “Keluar lewat pintu belakang, kala pintu gerbang ada yang menjaga.  Dan setelah menyerang, segera mundur kembali.  Kira-kira begitu maksudnya,” kata Hasan Ali.

Selain syair Seblang Lokento yang dengan jelas menggambarkan perlawanan masyarakat terhadap penjajah, pada beberapa syair lainnya juga ada penggambaran perjuangan dan pemberontakan masyarakat.  Ini terlihat jelas dari makna-makna yang mencuat seperti yang terdapat pada syair Podho Nonton, Layar Kemendhung, Sekar Jenang, Seblang-seblang, dan lainnya.  Sementara itu ada pula yang berpendapat bahwa syair-syair dalam gending pengiring seblang tidak dapat dengan mudah ditafsirkan.  Ada kemungkinan juga, syair-syair itu mengandung atau mempunyai makna-makna lain dibalik simbol-simbol yang digambarkan pada setiap syair.

 

 

 

Seblang sebagai Tolak Balak

            Jauh sebelum Islam dan Hindu masuk ke tanah Jawa, sebagian besar masyarakat masih menganut kepercayaan Animisme dan Dinamisme, yaitu kepercayaan terhadap adanya kekuatan-kekuatan magis dari benda-benda atau tempat-tempat tertentu, yang dipercayai sangat berpengaruh terhadap kehidupan sehari-hari. Kepercayaan-kepercayaan seperti itu begitu mengakar pada masyarakat, sehingga tidak begitu saja bisa dihapus atau digantikan dengan kepercayaan atau agama yang masuk kemudian.

            Dengan masuknya Hindu, kepercayaan masyarakat tersebut justru semakin kokoh dan kuat.  Hal ini dikarenakan adanya kesamaan-kesamaan dalam beberapa hal menyangkut perilaku dalam menjalankan kepercayaannya, seperti mengadakan persembahan, melakukan ritual pemujaan,  dan sebagainya.

            Begitu mengakarnya kepercayaan masyarakat akan adanya kekuatan-kekuatan magis yang ada di sekitarnya, sebagaimana halnya pada masa animisme-dinamisme, hingga kini masih banyak masyarakat yang tetap melaksanakan kebiasaan-kebiasaan seperti membuang bunga di perempatan jalan, membakar kemenyan dan dilengkapi selamatan kecil pada malam Jum’at, dan sebagainya.  Kebiasaan-kebiasaan seperti ini masih sangat kuat tertanam dikalangan masyarakat, khususnya masyarakat Jawa, termasuk juga masyarakat Using.

            Berdasarkan hal tersebut diatas, ritual adat Seblang adalah merupakan bagian dari kepercayaan masyarakat, yang dimaksudkan sebagai tolak-balak atau upaya untuk mengusir dan mencegah datangnya mara-bahaya, bencana, atau penyakit yang diakibatkan oleh gangguan alam dan mahluk-mahluk lain yang ada disekitarnya, dengan melakukan persembahan-persembahan dan upacara yang ditujukan bagi alam lingkungan dan para mahluk lelembut yang ada disekitar kehidupan mereka agar tak mengganggu pada kehidupan manusia.

            Berbeda dengan awal munculnya ritual seblang yang diperkirakan terjadi sekitar tahun 1770-an, ritual seblang seperti yang dapat kita saksikan sekarang ini, sudah banyak mengalami sentuhan-sentuhan dan berbagai perubahan seiring dengan masuknya ajaran Islam yang dibawa para Wali ke tanah Jawa.  Dilihat dari kenyataan yang ada, tampaknya ritual ini telah pula dimanfaatkan  sebagai sarana dakwah para Wali, dengan mengganti beberapa unsur dalam ritual, seperti penggunaan doa-doa dalam selamatan saat sebelum dan sesudah pelaksanaan Seblang, atau pada penentuan waktu upacara yaitu beberapa hari sesudah hari raya Idul Fitri untuk Seblang Olehsari, dan sesudah hari raya Idul Adha untuk Seblang Bakungan. Prosesi ritual inipun tidak lagi berdiri sendiri, namun sudah menjadi bagian dan disesuaikan dengan format rangkaian kegiatan besar dalam masyarakat, yaitu acara Selametan Desa atau Bersih Desa.

            Rangkaian acara Bersih Desa itu sendiri sebenarnya merupakan kegiatan yang melibatkan seluruh warga desa dalam rangka mengadakan gerakan kebersihan umum, yang diakhiri dengan acara selamatan dan tasyakuran untuk memohon kehadlirat Tuhan Yang Maha Esa atas keselamatan seluruh warga desa, serta sebagai bentuk rasa syukur atas segala limpahan rahmat dan hidayah-Nya.

            Kebiasaan menyelenggarakan acara Bersih Desa ini sebenarnya cukup dikenal luas oleh masyarakat Banyuwangi, dan hampir setiap desa selalu melaksanakannya.  Cuma bedanya, bagi masyarakat Desa Olehsari kegiatan ini tidak terbatas dilaksanakan oleh masyarakat (manusia) saja, tapi juga melibatkan mahluk Tuhan yang lain, yang tidak kasat mata, yaitu mahluk lelembut yang disebut dengan Dhanyang.  Untuk itulah, maka diperlukan suatu upacara khusus sebagai sarana interaksi antara manusia dengan para lelembut yang juga menghuni Desa Olehsari.

            Layaknya sebuah pesta, yang menandai telah dilaksanakannya acara Bersih Desa, para lelembut pun turut bersuka-cita, dengan menari-nari yang diiringi lantunan gending-gending kuno, dengan cara meminjam raga seorang gadis belia yang telah dipilihnya. Pesta bersama antara manusia dan para mahluk lelembut yang berbentuk ritual Seblang ini, adalah acara seremonial sakral, yang oleh masyarakat Olehsari dipercaya sebagai ajang silaturrahmi dengan para mahluk yang hidup di dimensi lain, untuk saling mengerti dan memahami, serta saling menjaga dan menghormati keberadaan masing-masing.  Karenanya, setiap tahun masyarakat Olehsari dengan sukarela secara bersama-sama menyelenggarakan ritual ini, dengan cara menanggung seluruh biaya penyelenggaraan melalui urunan yang disebut Mupu.

            Jadi bila pada awalnya ritual ini lebih mengarah pada sebuah permintaan atau permohonan dengan memberikan berbagai sesaji yang dipersembahkan sebagai imbalan, maka pada perkembangannya sekarang telah mengalami perubahan yang sangat drastis.  Pelaksanaan ritual ini sekarang sudah mengarah pada hal-hal yang lebih rasional dan dapat diterima oleh akal.  Hal ini nampak dari adanya pemahaman masyarakat tentang adanya mahluk lain yang juga sama-sama diciptakan oleh Tuhan.  Para mahluk lelembut itu adalah bangsa Jin, yang hidup dan memiliki alamnya sendiri.

            Seiring dengan pemahaman atas ajaran Islam yang banyak dianut oleh masyarakat Desa Olehsari, maka bentuk-bentuk ritual seblang secara drastis telah berubah, dari bentuk-bentuk persembahan dalam rangka menyampaikan permohonan, ke bentuk-bentuk penghormatan dan penghargaan sebagai sesama mahluk ciptaan Tuhan, dengan harapan tidak ada yang saling mengganggu dan tetap menjaga terjalinnya hubungan yang baik.  Masyarakat yakin, dengan keberadaan dan kekuatannya, bangsa Jin mampu merusak apa yang ada di alam manusia.  Dan sebaliknya, manusia pun dapat merusak dan mengganggu apa yang ada di alam bangsa Jin, meski dilakukan tanpa sengaja. Maka dilaksanakannya ritual ini dimaksudkan sebagai sarana untuk saling berkomunikasi dan berinteraksi.

 

Seblang sebagai sarana komunikasi dan ajang silaturrahmi

            Fungsi seorang penari seblang dalam ritual ini pada intinya adalah meminjamkan raganya, untuk dipergunakan oleh bangsa lelembut sebagai sarana atau media dalam mengadakan komunikasi dan menjalin hubungan secara interaksi dengan masyarakat (manusia), melalui pesta yang sakral, yang disebut dengan upacara atau ritual Seblang.

            Pada saat prosesi ritual berlangsung, ‘kesadaran’ atau ‘jiwa’ atau ‘ruh’ si penari untuk sementara dipindahkan atau dikeluarkan dari raganya, sampai saatnya dikembalikan seperti semula dengan cara menyadarkan si penari dengan bacaan mantra-mantra oleh sang pawang.  Proses hilangnya kesadaran si penari saat dimulainya upacara, adalah berkat jasa sang pawang, yang oleh masyarakat Olehsari disebut sebagai Tukang Kutug, atau juga disebut Dewa Seblang.  Dengan kemampuan dan keahliannya, sang pawang berupaya menghadirkan dan mengundang mahluk lelembut atau dhanyang untuk masuk dan manjing di raga penari.  Pada tahapan ini, seluruh penonton yang hadir di arena upacara dapat menyaksikan langsung detik-detik merasuknya si mahluk lelembut kedalam raga penari, yang ditandai dengan jatuhnya nyiru yang dipegang oleh penari.  Dalam hal ini, kemampuan sang pawang sangat menentukan keberhasilan pelaksanaan ritual.  Sebab, bila ia gagal mengundang atau menghadirkan si mahluk lelembut, berarti pelaksanaan upacara juga akan gagal.

            Setelah sang mahluk lelembut benar-benar telah manjing di raga penari, tugas sang pawang berikutnya adalah menjaga keselamatan dan kenyamanan sang mahluk yang ada di raga penari, dengan cara terus memberinya santapan berupa aroma wewangian kembang dan kepulan asap kemenyan.  Sesekali sang pawang berjalan mengelilingi pentas upacara, sambil tetap menjaga agar prapen tempat pembakaran kemenyan terus mengepulkan asapnya.

            Selama pelaksanaan ritual yang berlangsung sekitar 3 jam, dengan menggunakan raga si penari para bangsa lelembut mengikuti dan menikmati pesta yang khusus diselenggarakan untuk menghormatinya, dengan menari-nari mengelilingi pentas sambil dipandu seorang wanita yang bertugas sebagai tukang momong serta seorang lelaki setengah baya yang bertugas sebagai pengudang. Menurut penjelasan Mbah Enah, mantan penari Seblang tahun 1957–1959, juga Pak Asnan selaku pawang, pada saat yang bersamaan, anak-anak para lelembut yang turut hadir di tempat tersebut juga ikut menari-nari mengelilingi pentas bersama sang Seblang, sementara para ‘orang tua’ mereka menyaksikan dari luar pentas.  Karena itulah, pada saat ritual berlangsung, tidak semua orang bisa naik pentas, kecuali bagi yang berkepentingan atau sudah mendapat ijin dari pawang. “Kalau terlalu banyak orang di pentas, mereka akan terganggu dan marah,” kata Pak Asnan.

            Bila ada hal-hal yang kurang berkenan atau tidak dikehendaki, para penonton dapat melihat langsung ‘protes’ sang mahluk melalui gerakan-gerakan seperti yang ditunjukkan penari seblang, yaitu dengan berhenti menari sambil memberi kode dengan tangan.  Pernah terjadi tiba-tiba sang Seblang berhenti menari lalu melompat ke tepi pentas.  Dengan menunjukkan jari kelingkingnya, ternyata sang Seblang memprotes keadaan pentas yang dianggapnya terlalu sempit dan sederhana.  Untuk menjawan protes-protes seperti itu, biasanya si tukang momong lalu membisikkan kata-kata ke dekat telinga sang Seblang, baru kemudian dia mau meneruskan tariannya.

            Ada bagian dalam ritual yang secara khusus merupakan saat-saat mendebarkan bagi para penonton yang berada di sekitar pentas.  Saat itu, sang Seblang tengah menari diatas sebuah meja, sambil tangannya memegang sebuah sampur atau selendang merah yang di gulung-gulung dalam tangannya, lalu dilemparkan kearah penonton.  Bagi siapapun yang terkena lemparan sampur merah tersebut,  harus mau naik ke pentas dan bersedia diajak menari.  Kebanyakan para penonton saat itu mulai agak menjauh dari pentas, karena takut terkena lemparan sampur.  Sebab begitu terkena lemparan sampur, sulit bagi penonton untuk menolak kehendak sang Seblang.  Bila ada penonton yang menolak karena takut atau malu, sang Seblang akan marah dan jengkel.  Umumnya bagi penonton yang terkena, walau tidak bisa menari, mereka tetap bersedia naik pentas untuk memenuhi kehendak sang Seblang, sampai ia menyuruhnya turun kembali.

            Pada tahapan inilah sang mahluk lelembut secara langsung dapat berinteraksi dengan manusia (penonton).  Sebelum mengajaknya menari dan bersenang-senang, sang Seblang akan lebih dulu meraba-raba wajah si penonton yang dipilihnya melalui lemparan sampur, baru kemudian mengajaknya menari.  Setelah merasa cukup, sang Seblang lalu menarik tangan si penonton tersebut untuk disalami atau dijabat tangannya, kemudian menyuruhnya turun dari pentas.

            Hubungan interaksi semacam ini, merupakan gambaran terjalinnya hubungan baik antara bangsa lelembut dengan masyarakat sekitar.  Dengan tetap menjaga hubungan baik semacam itu, diharapkan antara mereka dapat saling menjaga, saling menghargai, dan menghormati keberadaan masing-masing.

            Bagi masyarakat Desa Olehsari, pelaksanaan ritual Seblang ini mengandung makna yang sangat dalam tentang arti sebuah hubungan antar sesama mahluk ciptaan Tuhan, yang divisualisasikan secara simbolis dalam bentuk penyelenggaraan ritual adat, yang secara sugestif mampu mengikat masyarakat untuk tetap berada dalam kebersamaan, kegotong-royongan, dan saling menghargai satu dengan yang lain.

 

Perjalanan Penari di Alam Bawah Sadar

            Pada hakekatnya peran penari Seblang dalam upacara ini adalah sekedar meminjamkan raganya untuk dipakai sementara oleh mahluk lelembut dalam rangka untuk berkomunikasi dan berinteraksi dengan manusia.  Ini berarti ‘ruh’ atau kesadaran si penari harus lepas sementara dari raganya. Sebagai ‘ruh’ yang memiliki jiwa dan kesadaran, meski telah lepas dari raga tentunya ia tetap dapat melihat dan merasakan apa yang dialaminya.  Kemana saja sang ‘ruh’ berkelana disaat ia lepas dari raga pemiliknya? Sebuah pertanyaan menarik yang tak gampang memperoleh jawaban, karena tidak semua penari berani menceriterakan pengalamannya.

            Konon, ritual Seblang ini dilaksanakan sebagai sarana untuk menjalin hubungan ‘diplomatik’ antara bangsa manusia dengan bangsa lelembut yang hidup dan menghuni alam di sekitar manusia.  Ada semacam pertukaran misi yang sama-sama membawa pesan penting dari masing-masing dimensi kehidupan.  Bangsa lelembut yang menjadi penghuni di alam yang tidak kasat mata itu, dalam kehidupan sehari-harinya juga membutuhkan sebuah ‘pengertian’ dari bangsa manusia, untuk tidak semena-mena merusak dan menggusur tempat-tempat tertentu yang menjadi ‘hak’nya.  Setidaknya, bila tempat-tempat mereka itu akan dipakai untuk keperluan manusia, hendaknya ada niat baik dari bangsa manusia dengan terlebih dahulu meminta ijin pada bangsa lelembut yang telah lebih dulu tinggal di tempat tersebut.  Untuk hal-hal demikianlah hubungan ‘diplomatik’ seperti itu harus tetap dijaga dan dipertahankan, diantaranya dengan melaksanakan ritual Seblang. Dalam ritual Seblang, ‘utusan’ bangsa lelembut muncul dihadapan bangsa manusia melalui penampilan penari Seblang.  Dengan meminjam raga si penari, bangsa lelembut berinteraksi dengan masyarakat, dan mengkomunikasikan keinginannya.  Sementara itu, pada saat bersamaan bangsa manusia juga mengirimkan misi khusus ke alam bangsa lelembut, dengan mengutus ‘ruh’ si penari.

Apa dan bagaimana pengalaman ‘ruh’ si penari saat berada di alam gaib tersebut? Menurut pengakuan Rina Astuti, penari Seblang tahun 1999 – 2001, alam tempat tinggal bangsa lelembut itu begitu aneh dan ganjil.  Seperti layaknya kehidupan di alam manusia, di alam para lelembut itu juga ditemui perkampungan-perkampungan, hewan-hewan piaraan, dan mahluk-mahluk ganjil yang berlalu lalang dengan kesibukannya masing-masing.  Di alam yang asing dan penuh keganjilan itulah, ‘ruh’ si penari harus melakukan perjalanan pengembaraannya. Dengan didampingi dua sosok mahluk yang memapah di kiri dan kanannya, mulailah ia berjalan menyusuri sebuah perkampungan yang ramai.  Beberapa mahluk berpenampilan ganjil, dengan telinga lebar dan mata bulat besar, tampak sibuk dengan ternak piaraannya. Sementara beberapa yang lain tengah membersihkan pekarangan tempat tinggalnya. Selama perjalanan tersebut, semua yang dilihatnya selalu nampak asing dan ganjil.  Namun tanpa memperdulikan semua itu, ia terus saja melangkah menapaki perjalanannya, tanpa berani bertanya apapun pada sang pembimbing yang berada di kiri dan kanannya.

Tanpa banyak tanya dan tak tahu kemana arah perjalanannya itu, ia terus melangkah menyusuri perkampungan demi perkampungan.  Sampai suatu saat, ia tiba disebuah tempat, dimana tinggal sesosok mahluk yang lebih mirip manusia biasa. Dengan tetap dipandu oleh kedua pembimbingnya, ia menghadap pada sang ‘tokoh’, yang belakangan baru diketahui bahwa sang tokoh itu adalah salah satu dari 44 dhanyang yang harus ditemuinya selama dalam pengembaraan dialam lelembut. “Semua jumlahnya 44, tapi saya tidak hafal nama mereka satu persatu,” tutur Rina. 

Demikianlah, setiap selesai menghadap pada salah satu ‘tokoh’, rina kembali meneruskan perjalanannya, sampai ia bertemu dengan seluruh dhanyang yang berjumlah 44 tersebut.  Usai bertemu dan menghadap pada ‘tokoh’ yang terakhir, perjalanannya sebagai utusan bangsa manusia di alam para lelembut itu pun berakhir pula, seiring dengan berakhirnya upacara Seblang yang berlangsung sekitar 3 jam tersebut.  Bersamaan dengan itu, ‘ruh’ si penari pun kembali menempati raganya seperti semula. 

Apa yang dialami oleh ‘ruh’ si penari selama dalam perjalanan di alam lelembut, sebenarnya merupakan sebuah misi kunjungan yang membawa amanat dan pesan-pesan penting dalam rangka menjaga tetap terjalinnya hubungan baik antara bangsa manusia dan bangsa lelembut yang hidup di alam yang berbeda. Dengan tetap menjaga hubungan baik, diharapkan agar masing-masing dapat saling mengerti dan memahami satu sama lain, serta menghormati keberadaan masing-masing sebagai sesama mahluk ciptaan Tuhan.  Untuk menjaga hubungan ‘diplomatik’ semacam itulah, masyarakat Desa Olehsari tetap dengan setia melaksanakan upacara Seblang.

 

Dihadiri Ribuan Mahluk Lelembut

            Ritual Seblang, yang hampir seluruh tata cara pelaksanaannya berdasarkan pada ‘komando’ sang dhanyang, merupakan sebuah ‘pesta persahabatan’ antara mahluk ‘kasar’ dan mahluk ‘halus’ yang tinggal di alam yang berbeda.  Maka pada saat dilangsungkan upacara ini, selain dihadiri oleh banyak anggota masyarakat yang berdatangan dari berbagai tempat,  konon juga dihadiri oleh ribuan mahluk lelembut yang juga berdatangan dari berbagai penjuru. Kedatangan para mahluk halus tersebut, menurut beberapa tokoh yang menangani ritual Seblang, adalah atas undangan dari tokoh  dhanyang yang tinggal di sebelah selatan Desa Olehsari.  Ribuan mahluk lelembut yang di undang untuk mengikuti upacara ini, berbaur dengan masyarakat penonton yang memadati sekitar tempat berlangsungnya upacara.

            Menurut penuturan beberapa tokoh masyarakat yang cukup paham dengan alam para lelembut, untuk menjaga agar pelaksanaan upacara berlangsung aman dan lancar, sekaligus untuk menjaga keamanan dan kenyamanan para ‘tamu’ bangsa lelembut, selalu dilakukan semacam penjagaan  yang sangat ketat oleh para lelembut yang bertindak sebagai tuan rumah.  Demikian ketatnya penjagaan tersebut, sampai-sampai tak satupun dapat mengganggu jalannya upacara.  Bahkan, bila ada seorang penonton yang kebetulan memiliki atau menguasai sejenis ilmu hitam yang bisa digunakan untuk mengganggu orang lain, dalam radius 40 meter dari tempat upacara, ilmu tersebut akan lumpuh dengan sendirinya.  Penjagaan yang ketat semacam ini terus berlangsung hingga upacara berakhir pada hari ke 7.

 

Tempat dan Tata Letak Pentas Upacara

            Selama ini upacara Seblang selalu dilangsungkan disebuah tanah kosong yang terletak tepat ditengah-tengah perkampungan padat di Dusun Joyosari, Desa Olehsari. Diatas tanah milik desa seluas 10 x 20 meter persegi ini, pentas upacara berukuran 6 x 6 meter didirikan dengan menghadap ke arah timur.  Pada bagian belakang diatas pentas, dibuat sebuah pondok bambu sederhana dengan atapnya terbuat dari welit atau anyaman daun kelapa. Dibawah atap pondok, dipasang bergelantungan aneka hasil bumi yang disebut dengan  Polo Pendhem  (hasil bumi yang tumbuh dalam tanah, seperti Ketela Pohon, Ubi Jalar, Kentang, Kacang Tanah, Jahe, Lengkuas, Kunyit, dan sebagainya) dan Polo Gantung (hasil bumi yang tumbuh diatas pohonnya, seperti Kelapa, Nanas, Mangga, Jeruk, Durian, Kedondong, Pisang, Salak, Rambutan, Apokat, Manggis, Cabe, dan sebagainya).  Bangunan pondok ini digunakan untuk tempat para pesinden.  Persis di tengah-tengah pentas, dipasang sebuah Payung Agung yang terbuat dari kain putih berukuran sekitar 2 x 2 meter.  Dibawah Payung Agung ini, para Pengrawit atau penabuh gamelan duduk melingkar diseputar tiang payung.

            Semenjak pertamakali dilaksanakan di Desa Olehsari pada tahun 1930, tatanan pentas upacara Seblang ini nyaris tak berubah sama sekali, termasuk tempatnya, yang saat ini semakin terdesak oleh bangunan-bangunan rumah penduduk.  Untuk merubah tatanan pentas yang sudah baku tersebut sepertinya memang tidak mungkin. Namun untuk memindahkan tempat upacara ke tempat yang lebih luas, sepertinya masih memungkinkan untuk dilakukan, sebagaimana yang pernah diupayakan oleh Kepala Desa Olehsari, Supriyanto, dan para tokoh masyarakat setempat. Waktu itu pada tahun 2000, pentas upacara Seblang direncanakan untuk dipindah ke tempat yang lebih luas dan lapang, agar masyarakat dapat dengan leluasa menonton. Tapi hal tersebut ternyata tidak mudah dilakukan, karena para dhanyang tidak menyetujuinya. Namun berkat kemampuan Kepala Desa dalam meyakinkan para dhanyang, akhirnya pelaksanaan upacara pada tahun tersebut dapat dilangsungkan di tempat yang baru, meski pada tahun-tahun berikutnya  kembali dilaksanakan di tempat semula.

            Dalam sebuah dialog yang terjadi pada tahun 2000, antara Kepala Desa Olehsari,  yang diakui oleh para dhanyang sebagai Petinggi masyarakat, dengan beberapa dhanyang yang menyusup ke dalam raga Mak Sutrani, disebutkan beberapa alasan tentang ketidaksetujuan para dhanyang bila tempat upacara dipindahkan.  Tempat baru yang sudah dipersiapkan oleh Kepala Desa dan tokoh masyarakat yang terletak persis di pinggir jalan raya Banyuwangi – Licin, dinilai kurang aman oleh para dhanyang.  Lalu-lalang kendaraan bermotor yang melintas di jalan raya tersebut, dianggap bisa mencelakakan orang-orang yang sedang mengikuti upacara, termasuk bangsa lelembut yang juga hadir di tempat itu.  Karenanya para dhanyang tetap menginginkan agar upacara dilangsungkan di tempat semula, yaitu ditengah-tengah perkampungan penduduk.  Karena alasan inilah, pada pelaksanaan tahun 2001 sampai sekarang, upacara Seblang kembali dilaksanakan di tempat semula yang kini semakin terjepit diantara rumah-rumah penduduk.  Hal ini sangat bertentangan dengan rencana Pemerintah Kabupaten Banyuwangi yang menginginkan agar upacara Seblang dapat dikemas dan dipersiapkan sebagai sebuah objek wisata budaya yang layak jual. Ini berarti menyangkut tentang penataan tempat yang nyaman dan strategis.  Bahkan untuk ini jajaran Pemkab. Banyuwangi ingin agar segera dibangun sebuah pentas permanen untuk tempat upacara Seblang, yang representatif sebagai objek wisata budaya.  Menanggapi masalah ini, para tokoh masyarakat berpendapat bahwa semua masih bisa dimusyawarahkan.  “Kita harus bisa memberikan pengertian pada mereka, bahwa tujuan kita baik.  Dan tentunya juga dengan  memberikan jaminan keamanan dan keselamatan, sebagaimana yang mereka khawatirkan.  Toh, kita hanya memindahkan tempatnya saja, tanpa merubah tatanannya,” kata Kepala Desa Olesari.

             

  

  

Penunjukan Penari

            Milah, putri sulung dari tiga bersaudara anak Mbah Isem, adalah penari Seblang pertama Desa Olehsari sejak ritual ini dipindahkan dari tempat sebelumnya di Desa Kemiren pada sekitar tahun 1930-an. Setelah Milah usai menjalankan tugasnya, yang kemudian ditunjuk menjadi penari Seblang berikutnya yaitu adik kandung Milah yang bernama Tiyuk. Pada urutan selanjutnya yang ditunjuk adalah Marwiyah dan Tinah, anak kedua dan ketiga dari Milah, menyusul kemudian Enah, anak dari Marwiyah yang merupakan cucu Milah dan cicit dari Mbah Isem. Demikian seterusnya hingga sekarang ini, yang selalu ditunjuk sebagai penari Seblang berikutnya merupakan anak-cucu keturunan dari Mbah Isem.

            Proses penunjukan penari, termasuk tokoh-tokoh penting lainnya seperti pembuat Omprog, tukang rias atau tukang paes, tukang momong, pengudang, dan tokoh-tokoh lainnya, sepenuhnya menjadi hak dan otoritas Mbah Bisu, tokoh lelembut yang menjadi dhanyang dalam ritual Seblang. Menurut kepercayaan masyarakat sekitar, Mbah Bisu pernah hidup sebagai manusia biasa dan menjadi salah satu sesepuh ritual Seblang.

Proses penunjukan penari pengganti setelah penari sebelumnya usai menjalankan tugas tradisi sebagai Seblang, atau juga penunjukan tokoh-tokoh lain serta penentuan hal-hal penting lainnya terkait dengan pelaksanaan ritual ini, dilakukan oleh Mbah Bisu melalui cara mediasi. Adalah Mbah Sutrani, seorang warga Desa Olehsari, yang selama ini sering “dipinjam” raganya oleh Mbah Bisu untuk berkomunikasi dan menyampaikan amanatnya kepada para kru atau pelaku ritual.

            Seorang penari Seblang merupakan tokoh sentral pada ritual adat yang disakralkan ini. Karena melalui proses penunjukan langsung oleh Mbah Bisu, maka tidak semua orang, meskipun itu masih keturunan dari penari sebelumnya, yang bisa menjadi penari Seblang. Dan dari sekian banyak penari Seblang yang pernah ditunjuk, rata-rata memiliki spesifikasi: usia belia, polos, lugu dan cenderung pendiam.

            Pada umumnya, keturunan para penari yang baru ditunjuk untuk mengemban tugas tradisi nenek-moyangnya itu sangat sulit untuk menolak atau menghindar dari tanggung jawab yang dibebankan kepadanya sebagai generasi penerus Seblang. Menurut keyakinan mereka, baik para penari dan keluarganya sendiri maupun masyarakat Desa Olehsari pada umumnya, dengan menolak melaksanakan tugas sebagai penari Seblang berarti akan menghadapi hukuman dari para dhanyang.

            Hukuman dari para dhanyang ini berupa berbagai gangguan baik gangguan fisik maupun gangguan mental. Ini seperti yang dialami oleh Atun. Akibat berani menolak ketika ditunjuk sebagai penari, Atun kemudian mengalami semacam gangguan mental yang oleh masyarakat sekitar disebut: kurang waras alias senewen. Selain Atun, ada dua orang lagi yang juga menolak ditunjuk sebagai penari. Meski tidak sampai parah seperti Atun, namun kedua orang itu juga pernah mengalami hal yang sama dengan yang dialami oleh Atun. Bahkan, keduanya juga mengalami kesulitan mendapatkan jodoh.

 

 

Menurut penuturan masyarakat sekitar, selain menderita gangguan mental, mereka yang pernah menolak menjalankan tugas sebagai penari Seblang itu juga seringkali mengalami hal-hal aneh. Seringkali mereka hilang lenyap tak tentu rimbanya. Menurut pengakuan salah satu dari mereka setelah ditemukan oleh keluarga dan masyarakat yang terus mencari-carinya, mereka dibawa secara paksa oleh para dhanyang ke alam para lelembut. Setiap kali hilang, biasanya baru pada sore hari menjelang maghrib mereka baru dikembalikan oleh para dhanyang yang menculiknya dan diketemukan kembali oleh keluarga dan masyarakat yang mencarinya.

            Kejadian-kejadian seperti yang dialami oleh Atun dan dua orang lainnya itu, semakin men-sugesti masyarakat sehingga mereka begitu yakin bahwa semua aturan yang terkait dengan ritual Seblang harus dijalankan sesuai dengan perintah sang dhanyang. Maka untuk menghindari hukuman dari sang dhanyang, meski diliputi perasaan takut, was-was dan khawatir, mereka yang ditunjuk sebagai penari Seblang pun lalu dengan terpaksa menjalankan perintah dan kehendak Mbah Bisu selaku dhanyang. Biasanya, beban perasaan takut dan khawatir itu akan hilang dengan sendirinya begitu tugas pertama mereka sebagai penari Seblang mulai dijalani. Terlebih, setelah para sesepuh desa khususnya yang terkait langsung dengan ritual Seblang, sering memberikan berbagai petunjuk dan nasehat-nasehat untuk meyakinkan mereka.

 

 

 

Silsilah Penari Seblang Desa Olehsari

 

Mbah Isem

  • Milah
  • Tiyuk
  • Marwiyah
  • Tinah
  • Enah
  • Sanipah
  • Tanil
  • Junik
  • Tuyah
  • Asemah
  • Suni’ah
  • Surati
  • Adiyul
  • Tuhaiyah
  • Tatik
  • Ariyah
  • Salwati
  • Lasianah
  • Astutik
  • Rina
  • Irawati
  • Wahyuni

 

 

 

 

 

DISKUSI


TERBARU


Tradisi Sekaten...

Oleh Journalaksa | 29 Oct 2024.
Tradisi Sekaten Surakarta

Masyarakat merupakan kesatuan hidup dari makhluk-makhluk manusia saling terikat oleh suatu sistem adat istiadat (Koentjaraningrat, 1996: 100). Masyar...

Seni Tari di Ci...

Oleh Aniasalsabila | 22 Oct 2024.
Seni Tari Banyumasan

Seni tari merupakan salah satu bentuk warisan budaya yang memiliki peran penting dalam kehidupan masyarakat Cilacap. Tari-tarian tradisional yang ber...

Wayang Banyumas...

Oleh Aniasalsabila | 22 Oct 2024.
Wayang Banyumasan

Wayang merupakan salah satu warisan budaya tak benda Indonesia yang memiliki akar dalam sejarah dan tradisi Jawa. Sebagai seni pertunjukan, wayang te...

Ekspresi Muda K...

Oleh Journalaksa | 19 Oct 2024.
Ekspresi Muda Kota

Perkembangan teknologi yang semakin pesat tidak hanya ditemui pada bidang informasi, komunikasi, transportasi, konstruksi, pendidikan, atau kesehatan...

Refleksi Realit...

Oleh Journalaksa | 19 Oct 2024.
Refleksi Keraton Yogyakarta Melalui Perspektif Sosiologis

Manusia dan kebudayaan tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Adanya manusia menjadi penyebab munculnya kebudayaan. Kebudayaan sangat penting dalam k...

FITUR


Gambus

Oleh agus deden | 21 Jun 2012.
Alat Musik

Gambus Melayu Riau adalah salah satu jenis instrumental musik tradisional yang terdapat hampir di seluruh kawasan Melayu.Pergeseran nilai spiritual...

Hukum Adat Suku...

Oleh Riduwan Philly | 23 Jan 2015.
Aturan Adat

Dalam upaya penyelamatan sumber daya alam di kabupaten Aceh Tenggara, Suku Alas memeliki beberapa aturan adat . Aturan-aturan tersebut terbagi dala...

Fuu

Oleh Sobat Budaya | 25 Jun 2014.
Alat Musik

Alat musik ini terbuat dari bambu. Fuu adalah alat musik tiup dari bahan kayu dan bambu yang digunakan sebagai alat bunyi untuk memanggil pend...

Ukiran Gorga Si...

Oleh hokky saavedra | 09 Apr 2012.
Ornamen Arsitektural

Ukiran gorga "singa" sebagai ornamentasi tradisi kuno Batak merupakan penggambaran kepala singa yang terkait dengan mitologi batak sebagai...