Kata “Se’i” berasal dari bahasa rote yang artinya daging yang diiris tipis memanjang. Se’i atau daging asap adalah makanan khas dari suku Rote, Nusa Tenggara Timur. Awalnya daging se’i menggunakan daging rusa. Dalam perkembangannya, rusa menjadi hewan yang dilindungi pemerintah, sehingga masyarakat NTT menggunakan daging babi dan daging sapi.
Dalam proses pembuatannya, daging sapi atau babi diawetkan melalui proses pengasapan dan panas yang dibuat dari pembakaran kayu yang banyak menghasilkan asap. Asap tersebut memiliki keunggulan karena mengandung beberapa komponen kimia yang mampu membunuh bakteri dan jamur. Komponen kimia tersebut akan membuat daging asapakan tampak mengkilap. Tidak semua jenis kayu bisa digunakan untuk daging se’i karna akan mempengaruhi citra rasa daging se’i makanya warga NTT mengunakan kayu kosambi. Kayu ini memiliki sejuta manfaat, karena juga memiliki sejumlah kegunaan bagi masyarakat NTT. Kayu kosambi bisa dijadikan arang bakar karna memiliki energy tinggi 20.800 kJ/kg. Kosambi juga dimanfaatkan sebagai pewarna batik, campuran lulur, serta menjadi pengobatan penyakit kudis. Alat untuk membakar daging se’i terbuat dari tembok berbentuk segi empat dengan ukuran 1,5 meter X 1 meter X 1 meter. Dasar pemanggangan daging dibuat dari besi beton . Lama pembakaran daging pun bervariasi, antara 1 – 9 jam, tergantung dengan berapa banyak daging se’i akan di asapi.
Daging se’i sangat berbeda dengan daging asap yang ada dibelahan dunia manapun karna daging se’i mempunyai cirri khas yang tidak dibuat dan diolah di negara manapun, dan juga proses pembuatannya masih tradisinal, sehingga menjadi Kuliner Nusantara dari Nusa Tenggara Timur (NTT) yang mendunia dan disukai di Internasional.
Cara membuat:
Pertama tama kita harus mengiris daging sapi atau daging babi yang akan kita jadikan menjadi daging se’i. Daging sapi atau daging babi di iris dengan memanjang dengan lebar 2-3 cm dan di lumuri dengan garam dan di beri bumbu bumbu diantaranya lada, penyedap rasa dan bumbu rahasia yang tidak disebutkan. Daging se’i yang telah di beri bumbu-bumbu tersebut di dilumuri dan di diamkan selama 30 menit .Lalu daging sapi/babi diatasnya diberi daun kosambi. Kemudian daging tersebut digantung untuk mengeringkan air atau darah di dalam daging selama beberapa jam. Daun kosambi digunakan sebagai penyaring panas dan asap yang berlebihan. Inilah yang membuat aroma dan warna daging tetap terjaga. Setelah itu, barulah se'i dipotong kecil-kecil kemudian dimasak dengan cara digoreng atau ditumis dengan bunga papaya bersama bumbu-bumbu khas dan aneka bahan lainnya seperti paprika juga bawang bombay. Kuahnya yang kental tercipta dari larutan maizena.
Sumber:
http://takaitu.com/daging-sei-kuliner-jempolan-khas-nusa-tenggara-timur-yang-mendunia/
http://www.sarihusada.co.id/Nutrisi-Untuk-Bangsa/Aktivitas/Jelajah-Gizi/daging-sei-kuliner-dari-indonesia-bagian-timur-yang-disukai-dunia-internasional
http://www.masakandapurku.com/2015/11/resep-membuat-sei-khas-ntt.html
Ginonjing adalah istilah yang digunakan untuk menamai emansipasi Kartini. Istilah tersebut diambil dari nama gending Ginonjing yang digemarinya dan adik-adiknya. Ginonjing berasal dari kata gonjing dalam bahasa Jawa yang berarti "goyah karena tidak seimbang". Ginonjing juga bisa berarti “digosipkan”. Ungkapan ini mengingatkan kepada gara-gara dalam pewayangan yang memakai ungkapan gonjang-ganjing . Menurut St. Sunardi, istilah itu dipilih Kartini sendiri untuk melukiskan pengalaman batinnya yang tidak menentu. Saat itu, dia sedang menghadapi zaman baru dan mencoba menjadi bagian di dalamnya.
Vila Van Resink adalah bangunan cagar budaya berbentuk vila yang terletak di Jalan Siaga, Kalurahan Hargobinangun, Kapanewon Pakem, Kabupaten Sleman, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Pemilik awal vila ini adalah Gertrudes Johannes "Han" Resink, seorang anggota Stuw-groep , sebuah organisasi aktif pada Perang Dunia II yang memperjuangkan kemerdekaan dan pembentukan negara demokratis Hindia Belanda. Bangunan tersebut dibangun pada masa pemerintah Hindia Belanda sebagai bagian dari station hill (tempat tetirah pada musim panas yang berada di pegunungan) untuk boschwezen dienst (pejabat kehutanan Belanda). Pada era Hamengkubuwana VII, kepengelolaan Kaliurang (dalam hal ini termasuk bangunan-bangunan yang berada di wilayah tersebut) diserahkan kepada saudaranya yang bernama Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Mangkubumi. Tanah tersebut lantas dimanfaatkan untuk perkebunan nila, tetapi kegiatan itu terhenti kemudian hari karena adanya reorganisasi pertanian dan ekonomi di Vors...
Gereja Kristen Jawa (GKJ) Pakem Kertodadi adalah salah satu gereja di bawah naungan sinode Gereja Kristen Jawa, yang terletak di Jalan Kaliurang km. 18,5, Padukuhan Kertadadi, Kalurahan Pakembinangun, Kapanewon Pakem, Kabupaten Sleman, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Awal mula pertumbuhan jemaat gereja ini berkaitan dengan keberadaan Rumah Sakit Paru-Paru Pakem, cabang dari Rumah Sakit Petronela (Tulung), yang didirikan di wilayah Hargobinangun. Sebelum tahun 1945, kegiatan keagamaan umat Kristen diadakan secara sederhana dalam bentuk renungan atau kebaktian pagi yang berlangsung di klinik maupun apotek rumah sakit yang dikenal dengan nama "Loteng". Para perawat di rumah sakit tersebut juga melakukan pelayanan kesehatan ke dusun-dusun di sekitarnya, yaitu Tanen, Sidorejo, Purworejo, dan Banteng. Menurut Notula Rapat Gerejawi, jemaat gereja ini mengadakan penetapan majelis yang pertama kali pada 21 April 1945. Tanggal tersebut lantas disepakati sebagai hari jadi GKJ Pa...
Situs Cepet Pakem adalah situs arkeologi yang terletak di Padukuhan Cepet, Kalurahan Purwobinangun, Kapanewon Pakem, Kabupaten Sleman, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Berdasarkan temuan dua buah yoni dan sejumlah komponen arsitektur candi di sekitarnya, situs ini diduga merupakan reruntuhan sebuah candi Hindu dari masa klasik. Lokasinya kini berada di area permakaman umum Padukuhan Cepet, berdekatan dengan sebuah masjid. Benda cagar budaya (BCB) utama yang ditemukan di situs ini adalah dua buah yoni yang terbuat dari batu andesit. Kondisi keduanya telah rusak, sedangkan lingganya tidak ditemukan. Yoni pertama awalnya berada di pekarangan penduduk bernama Pujodiyono, tetapi sekarang dipindahkan di halaman makam. Yoni ini memiliki ukuran relatif besar dengan bentuk yang sederhana, yaitu lebar 134 sentimeter, tebal 115 sentimeter, dan tinggi 88 sentimeter. Bagian bawah cerat yoni tersebut tidak bermotif dan memberikan kesan bahwa pengerjaannya belum selesai. Sementara itu, terdap...
Situs Potro atau Pancuran Buto Potro adalah situs arkeologi yang terletak di Padukuhan Potro, Kalurahan Purwobinangun, Kapanewon Pakem, Kabupaten Sleman, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Situs ini terdiri atas dua benda cagar budaya (BCB) utama yang seluruhnya terbuat dari batu andesit, yaitu jaladwara dan peripih. Jaladwara di situs ini oleh masyarakat setempat dikenal dengan nama Pancuran Buto, karena bentuknya menyerupai kepala raksasa (kala) dengan mulut terbuka, gigi bertaring, dan ukirannya menyerupai naga. Sementara itu, keberadaan peripih berukuran cukup besar di situs ini menimbulkan dugaan bahwa pernah berdiri sebuah bangunan keagamaan di sekitar lokasi, kemungkinan sebuah candi, meskipun bentuk dan coraknya tidak dapat dipastikan karena minimnya artefak yang tersisa.