Cerita Rakyat
Cerita Rakyat
Cerita Rakyat Jawa Barat Sumedang
Sasakala Curug Sindulang
- 11 Februari 2015

Curug (air terjun) Sindulang ini adalah salah satu destinasi wisata Kabupaten Sumedang yang berada di perbatasan Kabupaten Sumedang dengan Kabupaten Bandung, tepatnya di Desa Sindulang Kecamatan Cimanggung, nama curugnya sendiri sama persis dengan nama desa dimana curug ini berada yaitu Desa "Sindulang". Ternyata, ada sebuah sasakala atau cerita rakyat dibalik penamaan "Sindulang" ini, berikut adalah Sasakala Curug Sindulang :

Diceritakan bahwa Desa Sindulang sudah ada sejak zaman dahulu kala, tepatnya sejak zaman prasejarah  dimana kepercayaan animisme dan dinamisme mulai berkembang. Leluhur penduduk Desa Sindulang bertani dan berkebun untuk mempertahankan hidupnya, namun mereka tidak menetap dan sering berpindah-pindah (dalam ilmu sejarah masa ini dikenal dengan masa bercocok tanam), dimana mereka menanam buah atau sayuran disuatu tempat selama beberapa waktu, setelah tanahnya tidak bagus dan menghasilkan buah atau sayur yang jelek mereka berpindah ke tempat lain yang kondisi tanahnya masih bagus, begitu dan begitu terus pola hidupnya dari waktu ke waktu.

Pada suatu waktu, leluhur Desa Sindulang yang hidup secara berkelompok sampai kesebuah tempat yang masih berupa hutan belantara, namun meski daerah tersebut masih berupa hutan belantara kondisi tanahnya sangat bagus dan cocok untuk bercocok tanam serta membuat tempat tinggal, mereka kerasan tinggal ditempat tersebut dan bertahun-tahun menetap, hanya ada beberapa anggota kelompok yang pindah meninggalkan tempat tersebut, sampai akhirnya yang tinggal hanya beberapa keluarga saja, tapi semua berjanji bahwa mereka akan ikut pindah apabila hasil bertani sudah bisa ternikmati. Pada waktu itu ketua dari kelompok warga tersebut bernama Nyi Mas Jambe Larang, ia mempunyai suami bernama Mbah Sara Satria Nunggal. Waktu itu Mbah Sara Satria Nunggal jarang sekali ada di tempat tinggalnya, ia sering bepergian dan jarang sekali pulang ke rumah, sekalinya pulang pun ia sering menjelma kedalam bentuk binatang tertent karena ia memang sakti mandraguna dan bisa berubah keberbagai wujud.
 
Mbah Sara Satria Nunggal bersama Nyi Mas Jambe Larang ini sebenarnya mempunyai seorang anak, namun sampai sekian lama si anak belum mengetahui rupa ayahnya karena semenjak lahir Nyi Mas Jambe Larang memang selalu merahasiakan rupa ayahnya, sebisa mungkin anaknya tidak boleh melihat rupa ayahnya. Ketika anak tersebut sudah menginjak dewasa, dia melihat Tumang (anjing) tampak seperti menerkam memeluk ibunya, sang anak kaget dan dan tanpa pikir panjang ia langsung menghunus pedang dan menebaskannya ke arah Tumang, Tumang pun mati seketika, anehnya, jasad Tumang langsung menghilang entah kemana, sang anak penasaran dan terus bertanya pada Nyi Jambe Larang kenapa hal tersebut bisa terjadi, namun Nyi Jambe Larang tetap tak mau bercerita, karena disisi lain ia sangat sedih atas kejadian tersebut karena Tumang adalah Mbah Sara Satria Nunggal, suaminya yang selalu menjelma dalam bentuk binatang.
 
Ketika bulan purnama tiba...Nyi Jambe Larang menyendiri di halaman rumah, tiba-tiba ada sesuatu yang jatuh dari langit dan jatuh tepat di pangkuannya, Nyi Jambe Larang merasa kaget takut, namun karena rasa penasarannya barang tersebut ia ambil lalu ia lihat dengan seksama. Setelah ia membukanya perlahan dan memperhatikannya dengan seksama, ternyata barang yang jatuh dari langit tersebut adalah sebuah cinde (saputangan), Nyi Jambe termenung sembari bergumam menyebut-nyebut cinde, lalu ia menatap bulan yang saat itu sedang terang benderang purnama sambil menyebut-nyebut wulan (bulan). Kalau disatukan, ucapannya tersebut menjadi "Cinde Wulan", akhirnya Nyi Jambe Larang memutuskan tempatnya menetap tersebut dinamakan "Cinde Wulan", dimana cinde berarti saputangan dan wulan berarti bulan (purnama), Cinde Wulan sendiri artinya kurang lebih saputangan yang bercahaya seperti bulan purnama.
 
Setelah Nyi Mas Jambe Larang memberi nama tempat tersebut, ia teringat akan janjinya yang akan mengikuti rombongan warga terdahulu yang sudah pindah. Ia kemudian bergegas untuk pergi mengikuti rombongan itu, hanya saja ia ternyata kehilangan jejak, namun demikian ia tidak putus asa, dimana setelah sekian lama mencari jalan akhirnya ia bertemu dengan rombongan yang ia cari, hanya saja rombongan tersebut ternyata akan kembali pulang ke tempat semula, ke Cinde Wulan.
 
Sesampainya di tempat semula yang sudah diberi nama Cinde Wulan oleh Nyi Mas Jambe Larang, ternyata ditempat tersebut waktu itu sudah banyak sekali rumah atau tempat tinggal, kebetulan saat itu warga setempat sedang mencari pemimpin untuk kelompok warga ditempat tersebut, mereka sedang memilih seorang lurah. Lurah yang terpilih bisa disebut sebagai pengganti Nyi Jambe Larang dahulu karena Nyi Jambe Larang dulunya adalah pemimpin kelompok warga yang nomaden. Oleh Lurah yang baru terpilih nama tempat Cinde Wulan diganti menjadi Cindulang, sebenarnya perubahan nama tersebut tidak merubah arti dari Cinde Wulan karena Cinde Wulan dan Cindulang mempunyai arti yang sama yaitu saputangan yang bercahaya. Nama Cindulang untuk daerah tersebut bertahan sampai beberapa waktu, baru setelah datang penjajah dari Belanda dan Jepang namanya berubah menjadi Sindulang.

Diskusi

Silahkan masuk untuk berdiskusi.

Daftar Diskusi

Rekomendasi Entri

Gambar Entri
Tradisi MAKA
Seni Pertunjukan Seni Pertunjukan
Nusa Tenggara Barat

MAKA merupakan salah satu tradisi sakral dalam budaya Bima. Tradisi ini berupa ikrar kesetiaan kepada raja/sultan atau pemimpin, sebagai wujud bahwa ia bersumpah akan melindungi, mengharumkan dan menjaga kehormatan Dou Labo Dana Mbojo (bangsa dan tanah air). Gerakan utamanya adalah mengacungkan keris yang terhunus ke udara sambil mengucapkan sumpah kesetiaan. Berikut adalah teks inti sumpah prajurit Bima: "Tas Rumae… Wadu si ma tapa, wadu di mambi’a. Sura wa’ura londo parenta Sara." "Yang mulia tuanku...Jika batu yang menghadang, batu yang akan pecah, jika perintah pemerintah (atasan) telah dikeluarkan (diturunkan)." Tradisi MAKA dalam Budaya Bima dilakukan dalam dua momen: Saat seorang anak laki-laki selesai menjalani upacara Compo Sampari (ritual upacara kedewasaan anak laki-laki Bima), sebagai simbol bahwa ia siap membela tanah air di berbagai bidang yang digelutinya. Seharusnya dilakukan sendiri oleh si anak, namun tingkat kedewasaan anak zaman dulu dan...

avatar
Aji_permana
Gambar Entri
Wisma Muhammadiyah Ngloji
Produk Arsitektur Produk Arsitektur
Daerah Istimewa Yogyakarta

Wisma Muhammadiyah Ngloji adalah sebuah bangunan milik organisasi Muhammadiyah yang terletak di Desa Sendangagung, Kecamatan Minggir, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Wisma ini menjadi pusat aktivitas warga Muhammadiyah di kawasan barat Sleman. Keberadaannya mencerminkan peran aktif Muhammadiyah dalam pemberdayaan masyarakat melalui pendekatan dakwah dan pendidikan berbasis lokal.

avatar
Bernadetta Alice Caroline
Gambar Entri
SMP Negeri 1 Berbah
Produk Arsitektur Produk Arsitektur
Daerah Istimewa Yogyakarta

SMP Negeri 1 Berbah terletak di Tanjung Tirto, Kelurahan Kalitirto, Kecamatan Berbah, Sleman. Gedung ini awalnya merupakan rumah dinas Administratuur Pabrik Gula Tanjung Tirto yang dibangun pada tahun 1923. Selama pendudukan Jepang, bangunan ini digunakan sebagai rumah dinas mandor tebu. Setelah Indonesia merdeka, bangunan tersebut sempat kosong dan dikuasai oleh pasukan TNI pada Serangan Umum 1 Maret 1949, tanpa ada yang menempatinya hingga tahun 1951. Sejak tahun 1951, bangunan ini digunakan untuk kegiatan sekolah, dimulai sebagai Sekolah Teknik Negeri Kalasan (STNK) dari tahun 1951 hingga 1952, kemudian berfungsi sebagai STN Kalasan dari tahun 1952 hingga 1969, sebelum akhirnya menjadi SMP Negeri 1 Berbah hingga sekarang. Bangunan SMP N I Berbah menghadap ke arah selatan dan terdiri dari dua bagian utama. Bagian depan bangunan asli, yang sekarang dijadikan kantor, memiliki denah segi enam, sementara bagian belakangnya berbentuk persegi panjang dengan atap limasan. Bangunan asli dib...

avatar
Bernadetta Alice Caroline
Gambar Entri
Pabrik Gula Randugunting
Produk Arsitektur Produk Arsitektur
Daerah Istimewa Yogyakarta

Pabrik Gula Randugunting menyisakan jejak kejayaan berupa klinik kesehatan. Eks klinik Pabrik Gula Randugunting ini bahkan telah ditetapkan sebagai cagar budaya di Kabupaten Sleman melalui SK Bupati Nomor Nomor 79.21/Kep.KDH/A/2021 tentang Status Cagar Budaya Kabupaten Sleman Tahun 2021 Tahap XXI. Berlokasi di Jalan Tamanmartani-Manisrenggo, Kalurahan Tamanmartani, Kapanewon Kalasan, Kabupaten Sleman, pabrik ini didirikan oleh K. A. Erven Klaring pada tahun 1870. Pabrik Gula Randugunting berawal dari perkebunan tanaman nila (indigo), namun, pada akhir abad ke-19, harga indigo jatuh karena kalah dengan pewarna kain sintesis. Hal ini menyebabkan perkebunan Randugunting beralih menjadi perkebunan tebu dan menjadi pabrik gula. Tahun 1900, Koloniale Bank mengambil alih aset pabrik dari pemilik sebelumnya yang gagal membayar hutang kepada Koloniale Bank. Abad ke-20, kemunculan klinik atau rumah sakit di lingkungan pabrik gula menjadi fenomena baru dalam sejarah perkembangan rumah sakit...

avatar
Bernadetta Alice Caroline
Gambar Entri
Kompleks Panti Asih Pakem
Produk Arsitektur Produk Arsitektur
Daerah Istimewa Yogyakarta

Kompleks Panti Asih Pakem yang terletak di Padukuhan Panggeran, Desa Hargobinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, merupakan kompleks bangunan bersejarah yang dulunya berfungsi sebagai sanatorium. Sanatorium adalah fasilitas kesehatan khusus untuk mengkarantina penderita penyakit paru-paru. Saat ini, kompleks ini dalam kondisi utuh namun kurang terawat dan terkesan terbengkalai. Beberapa bagian bangunan mulai berlumut, meskipun terdapat penambahan teras di bagian depan. Kompleks Panti Asih terdiri dari beberapa komponen bangunan, antara lain: Bangunan Administrasi Paviliun A Paviliun B Paviliun C Ruang Isolasi Bekas rumah dinas dokter Binatu dan dapur Gereja

avatar
Bernadetta Alice Caroline