Orang yang pertama kali menggagas upacara adat Saparan ialah: Bapak Purowidodo (Pak Lurah Widodomartani) bersama Kepala Dukuh Pondok Wonolelo pada tahun 1967. Keduanya memiliki ide dan gagasan untuk melangsungkan upacara dengan mengumpulkan trah atau keturunan Ki Ageng Wonolelo, dan merancang kegiatan yang akan dilaksanakan. Setelah bermusyawarah dan masyarakat bersepakat, semua keturunan Ki Ageng Wonolelo diundang dan diminta untuk mengumpulkan pusaka yang tersebar di beberapa tempat untuk disatukan dan diarak keliling kampong sampai ke tujuan akhir, yaitu kompleks makam Ki Ageng Wonolelo. Pusaka tersebut disimpan di dalam rumah Tiban. Warisan Pusaka Ki Ageng Wonolelo meliputi :
Pada awal pelaksanaannya, upacara Saparan dimulai dengan kirab pusaka Ki Ageng Wonolelo, lalu dilanjutkan dengan tahlilan dan doa bersama trah. Setelah itu, upacara diisi dengan nyekar (berziarah) dan pada penghujung upacara, diisi dengan penyebaran apem untuk masyarakat sekitar. Upacara dilaksanakan pada malam hari dengan menggunakan petromaks atau lampu minyak sebagai penerang.
Penyebaran apem memiliki makna tersendiri bagi Saparan Wonolelo. Apem adalah sejenis makanan yang terbuat dari kelapa dan tepung ketan. Apem mulai diperkenalkan oleh Ki Ageng Wonolelo saat seusai menunaikan ibadah haji. Apem sendiri berasal dari kata Afuwun atau ampunan. Pembagian kue apem bertujuan untuk memberikan nasihat kepada masyarakat, jika pergi kemanapun dengan memiliki perasaan penuh ampunan, maka tidak akan mendapatkan musuh atau masalah.
Sesaji merupakan “makanan” yang disiapkan untuk dipersembahkan kepada roh leluhur, terutama Ki Ageng Wonolelo yang memiliki jasa yang sangat besar bagi masyarakat Pondok Wonolelo. Sesaji terdiri atas sembilan komponen, di antaranya adalah (1) tumpeng robyong, berupa nasi tumpeng yang dibuat dengan 3 tingkatan; (2) ingkung ayam panggang; (3) pisang raja; (4) kembang telon yang terdiri dari kembang mawar, melati, dan kanthil; (5) buah-buahan, terdiri dari 2 buah apel, 3 buah jeruk, dan 3 buah salak; (6) daun kluwih 5 lembar; (7) tumpeng; (8) sembilan telur ayam kampung; (9) kerupuk udang atau peyek. Makna dari sesaji ialah harapan masyarakat terhadap pencipta semesta supaya diberikan kebaikan, ketentraman, kebahagiaan, kemudahan, kelancaran untuk semua urusan. Selain itu, makna sesaji juga sebagai rasa syukur atas rezeki yang telah diberikan kepada masyarakat Pondok Wonolelo.
Upacara Saparan Ki Ageng Wonolelo memiliki peran penting dalam masyarakat.Pertama, upacara Saparan menjadi sarana untuk mendoakan, mengenang, dan meneladani perjuangan Ki Ageng Wonolelo, supaya keturunan Ki Ageng Wonolelo bisa menjadi orang yang berbakti kepada para leluhur (pepunden). Kedua, upacara Saparan mampu menjaga dan melestarikan nilai-nilai budaya dan seni, yang dimiliki Pondok Wonolelo serta sekitarnya (Kabupaten Sleman dan D.I.Yogyakarta). Ketiga, upacara Saparan mampu mendukung Pondok Wonolelo sebagai desa wisata religius.Keempat, upacara Saparan mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat sebagai pelaku ekonomi melalui upacara adat Saparan Wonolelo dan kirab pusaka Ki Ageng Wonolelo.
Sumber : Buku Pentapan WBTB 2018
Vila Van Resink adalah bangunan cagar budaya berbentuk vila yang terletak di Jalan Siaga, Kalurahan Hargobinangun, Kapanewon Pakem, Kabupaten Sleman, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Pemilik awal vila ini adalah Gertrudes Johannes "Han" Resink, seorang anggota Stuw-groep , sebuah organisasi aktif pada Perang Dunia II yang memperjuangkan kemerdekaan dan pembentukan negara demokratis Hindia Belanda. Bangunan tersebut dibangun pada masa pemerintah Hindia Belanda sebagai bagian dari station hill (tempat tetirah pada musim panas yang berada di pegunungan) untuk boschwezen dienst (pejabat kehutanan Belanda). Pada era Hamengkubuwana VII, kepengelolaan Kaliurang (dalam hal ini termasuk bangunan-bangunan yang berada di wilayah tersebut) diserahkan kepada saudaranya yang bernama Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Mangkubumi. Tanah tersebut lantas dimanfaatkan untuk perkebunan nila, tetapi kegiatan itu terhenti kemudian hari karena adanya reorganisasi pertanian dan ekonomi di Vors...
Gereja Kristen Jawa (GKJ) Pakem Kertodadi adalah salah satu gereja di bawah naungan sinode Gereja Kristen Jawa, yang terletak di Jalan Kaliurang km. 18,5, Padukuhan Kertadadi, Kalurahan Pakembinangun, Kapanewon Pakem, Kabupaten Sleman, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Awal mula pertumbuhan jemaat gereja ini berkaitan dengan keberadaan Rumah Sakit Paru-Paru Pakem, cabang dari Rumah Sakit Petronela (Tulung), yang didirikan di wilayah Hargobinangun. Sebelum tahun 1945, kegiatan keagamaan umat Kristen diadakan secara sederhana dalam bentuk renungan atau kebaktian pagi yang berlangsung di klinik maupun apotek rumah sakit yang dikenal dengan nama "Loteng". Para perawat di rumah sakit tersebut juga melakukan pelayanan kesehatan ke dusun-dusun di sekitarnya, yaitu Tanen, Sidorejo, Purworejo, dan Banteng. Menurut Notula Rapat Gerejawi, jemaat gereja ini mengadakan penetapan majelis yang pertama kali pada 21 April 1945. Tanggal tersebut lantas disepakati sebagai hari jadi GKJ Pa...
Situs Cepet Pakem adalah situs arkeologi yang terletak di Padukuhan Cepet, Kalurahan Purwobinangun, Kapanewon Pakem, Kabupaten Sleman, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Berdasarkan temuan dua buah yoni dan sejumlah komponen arsitektur candi di sekitarnya, situs ini diduga merupakan reruntuhan sebuah candi Hindu dari masa klasik. Lokasinya kini berada di area permakaman umum Padukuhan Cepet, berdekatan dengan sebuah masjid. Benda cagar budaya (BCB) utama yang ditemukan di situs ini adalah dua buah yoni yang terbuat dari batu andesit. Kondisi keduanya telah rusak, sedangkan lingganya tidak ditemukan. Yoni pertama awalnya berada di pekarangan penduduk bernama Pujodiyono, tetapi sekarang dipindahkan di halaman makam. Yoni ini memiliki ukuran relatif besar dengan bentuk yang sederhana, yaitu lebar 134 sentimeter, tebal 115 sentimeter, dan tinggi 88 sentimeter. Bagian bawah cerat yoni tersebut tidak bermotif dan memberikan kesan bahwa pengerjaannya belum selesai. Sementara itu, terdap...
Situs Potro atau Pancuran Buto Potro adalah situs arkeologi yang terletak di Padukuhan Potro, Kalurahan Purwobinangun, Kapanewon Pakem, Kabupaten Sleman, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Situs ini terdiri atas dua benda cagar budaya (BCB) utama yang seluruhnya terbuat dari batu andesit, yaitu jaladwara dan peripih. Jaladwara di situs ini oleh masyarakat setempat dikenal dengan nama Pancuran Buto, karena bentuknya menyerupai kepala raksasa (kala) dengan mulut terbuka, gigi bertaring, dan ukirannya menyerupai naga. Sementara itu, keberadaan peripih berukuran cukup besar di situs ini menimbulkan dugaan bahwa pernah berdiri sebuah bangunan keagamaan di sekitar lokasi, kemungkinan sebuah candi, meskipun bentuk dan coraknya tidak dapat dipastikan karena minimnya artefak yang tersisa.
Resep Sambal Matah Bahan-bahan: Bawang Merah Cabai Rawit Daun Jeruk Sereh Secukupnya garam Minyak panas Pembuatan: Cincang bawang merah, cabai rawit, daun jeruk, dan juga sereh Campur semua bahan yang sudah dicincang dalam satu wadah Tambahkan garam secukupnya atau sesuai selera Masukkan minyak panas Aduk semuanya Sambal matah siap dinikmati