Di wilayah kecamatan Tanjungsiang dan Cisalak, terdapat 7 aliran sungai. Diantaranya Sungai Cikaramas, Sungai Cinyaro, Sungai Cikembang, Sungai Citeureup, Sungai Cikaruncang, Sungai Cileat dan Sungai Cipunagara. Sungai-sungai tersebut bersatu di Ciseupan hingga bermuara di Laut Jawa.
Sebelum masuk ke Laut Jawa, aliran sungai tadi selalu melewati satu wilayah perbukitan yang di sebut ‘Sangiang Tikoro’. Daerah ini penuh dengan batu-batuan cadas besar yang mengapit aliran sungai. Konon, bila banjir datang, kayu-kayu besar yang hanyut bisa lancar melewatinya. Namun bila yang hanyut tersebut berupa sapu padi ketan hitam, akan sulit untuk melewatinya dan akan terdengar seperti menjerit.
Dulu, sebelum adanya Tarum Timur, menanam padi hanya dapat dilakukan sekali saja dalam satu tahun. Namun kini, dengan adanya sungai Tarum Timur dan Cipunagara yang menyatu di salam darma, airnya dimanfaatkan untuk mengairi sawah pertanian, sehingga daerah pedataran bisa menanam padi dua hingga tiga kali dalam setahun.
Begitulah kiranya penjelasan dariku. Sekarang, akan aku ceritakan pada kalian mengenai ‘Sangiang Tikoro’.
Beberapa hari kemudian, diadakan pertemuan antara dua kerajaan tersebut dengan tujuan untuk mengenalkan keduanya. Setelah Ranggawisesa melihat paras Putri Bantarsari, bukan main senangnya. Ia tidak henti-hentinya tertawa bangga. Dia bahagia dengan lamaran Putri Bantarsari dan langsung menyetujui lamaran Bantarsari. Namun, Ranggawisesa memberikan syarat yang amat berat. Jika Bantarsari mau menikah dengannya, maka setelah menikah, semua wilayah kerajaan menjadi miliknya.
Putri Bantarsari menolak dengan tegas syarat itu, namun ayahnya, Raja Senggalih dengan sangat berat hati menerima syarat itu demi rakyatnya. Maka berakhirlah pertemuan itu dan pertemuan tersebut memutuskan bahwa pernikahan akan dilaksanakan lima hari lagi.
Malam harinya, Putri Bantarsari merenung dan berfikir panjang. Ia memutuskan untuk kabur dari istana agar tidak menikah dengan Raja tamak tersebut. Ia bersama beberapa dayangnya berkumpul di gudang penyimpanan beras di belakang istana. Disana, seorang dayang menolak rencana itu dengan alasan, saat ini bukan waktu yang tepat untuk egois. Dia mengatakan bahwa mereka hanya memiliki seikat padi yang tersisa dan menunjukan semua itu pada Sang Putri. Putri Bantarsari lalu meminta dayangnya untuk memerintahkan para petani kerajaan untuk menanam sebutir padi saja pada setiap lahan pertanian. Sedangkan dia akan mencari jalan keluarnya selama dia kabur.
Setelah itu, Putri berangkat dan terus berjalan bersama sedikit dayangnya yang setia. Hingga akhirnya, mereka sampai di hutan rimba dan beristirahat di satu wilayah yang terdapat tujuh aliran sungai.
Keesokan paginya, ketika Bantarsari sedang merenung dan melihat pemandangan di pinggir sungai tersebut, matanya terbelalak terkejut melihat sekujur tubuh tersangkut di sebuah batu besar tidak jauh dari tempatnya duduk. Dengan segera, ia menghampiri orang itu dan membawanya ke dalam tenda kerajaannya. Putri Bantarsari merawat pria itu hingga akhirnya ia sembuh. Mereka menjadi sangat akrab setelah Ranggajaya, nama pria itu sadar.
Hingga pada satu hari, Putri Bantarsari mendapat kabar buruk dari salah satu dayangnya. Ia mengatakan bahwa Raja Ranggawisesa telah mengetahui hilangnya Bantarsari dari istana dan mengancam akan berperang jika esok hari Putri Bantarsari belum ditemukan. Putri Bantarsari panik dan menceritakan semuanya pada Ranggajaya. Ranggajaya merasa iba dengan cerita Sang Putri. Namun ia tidak bisa berbohong bahwa ia mencintai Putri Bantarsari dan tidak rela jika Putri Bantarsari menikah dengan Raja Tamak itu.
Kemudian, Ranggajaya menyatakan cintanya. Namun sayang, Putri Bantarsari tidak bisa menerima semua cinta Ranggajaya meskipun ia juga sangat mencintai Ranggajaya. Untuk bisa mendapatkan Sang Putri, Ranggajaya berani melakukan apapun. Akhirnya, Putri Bantarsari memberikan satu syarat kepada Ranggajaya agar bisa keluar dari masalah ini. Ia meminta Ranggajaya membuautkan bendungan air sungai lewat tujuh aliran sungai di hutan itu hanya dengan waktu satu malam saja dan serokan yang ada diantara bendungan itu tidak boleh dialiri sapu padi ketan hitam karena jika itu terjadi, hujan deras akan tiada henti akan datang dan menyumbat air yang mengakur hingga seluruh wilayah akan terendam air bah yang besar. Karena hanya dengan begitu, negerinya tidak akan lagi kekeringan dan ia tidak perlu menikah dengan Ranggawisesa. Namun sebagai jaminan, Putri Bantarsari harus kembali ke istana untuk menahan peperangan dan ia tidak bisa menemani Ranggajaya. Tanpa berfikir panjang, Ranggajaya menerima syarat itu. Ia yakin ia bisa menyelesaikan tugasnya.
Ranggajaya bekerja tanpa keluh. Ia hanya berfikir kebahagiaan akan menghampirinya jika ia berhasil membuat bendungan itu. Ia sangat bersemangat.
Keesokan paginya, ketika Putri Bantarsari telah berada di lingkungan istana, ia berharap cemas Ranggajaya berhasil karena hari ini juga ia akan dinikahkan. Sepanjang perjalanan menuju istana Ranggawisesa, ia terus menanti kabar baik. Hingga ditengah perjalanan, seorang pengawal bersorak bahagia dan memberitahukan pada semua rakyat termasuk Sang Putri bahwa kini kekeringan telah usai. Air tiba-tiba mengalir deras di setiap sungai dan pesawahan. Air itu berasal dari tengah hutan. Setelah mendapat kabar bahagia itu, Putri Bantarsari merasa sangat lega. Ia tahu Ranggajaya akan berhasil dan dengan segera, ia memerintahkan pengawalnya untuk kembali ke istana dan membatalkan pernikahan.
Ranggawisesa sangat murka mendengar kabar tersebut. Setelah ia tahu siapa yang membantu Putri Bantarsari untuk mengairi negerinya, ia langsung berangkat ke hutan tersebut untuk menjatuhkan sapu padi ketan hitam ke dalam serokan itu. Namun beruntung Ranggajaya muncul dan menghalangi Ranggawisesa. Ketika mereka bertemu, Ranggawisesa segera saja bertarung melawan Ranggajaya. Ranggajaya yang ternyata petarung handal, tidak bisa dikalahkan dengan mudah. Akhirnya, Ranggawisesa kalah dan tersungkur. Karena Ranggajaya tidak ingin membunuh Ranggawisesa, Ranggajaya hanya meninggalkan Ranggawisesa yang pingsan sendiri. Namun, Ranggawisesa ternyata masih sadar dan dengan seluruh kekuatannya, ia melemparkan sebongkah batu besar ke arah Ranggajaya berjalan. Namun, ternyata akar-akaran yang tersangkut dari rawa diatasnya tiba-tiba melilit batu besar tersebut hingga Ranggajaya tidak terluka. Karena kaget, Ranggawisesa mundur perlahan dan tercekat melihat kejadian tersebut. Namun malang, ia terjerembab ke dalam serokan tersebut dan mati disana. Setelah itu, serokan tersebut sering disebut Sangiang Tikoro
Kabar kematian Ranggawisesa disambut bahagia oleh semua rakyat kerajaan dan kerajaan tidak lagi menderita. Akhirnya Putri Bantarsari dan Ranggajaya menikah dan mereka hidup bahagia selamanya.
Sumber: http://fb-fixaz.blogspot.com/2012/04/sangiang-tikoro-ciseupan-tanjungsiang.html
MAKA merupakan salah satu tradisi sakral dalam budaya Bima. Tradisi ini berupa ikrar kesetiaan kepada raja/sultan atau pemimpin, sebagai wujud bahwa ia bersumpah akan melindungi, mengharumkan dan menjaga kehormatan Dou Labo Dana Mbojo (bangsa dan tanah air). Gerakan utamanya adalah mengacungkan keris yang terhunus ke udara sambil mengucapkan sumpah kesetiaan. Berikut adalah teks inti sumpah prajurit Bima: "Tas Rumae… Wadu si ma tapa, wadu di mambi’a. Sura wa’ura londo parenta Sara." "Yang mulia tuanku...Jika batu yang menghadang, batu yang akan pecah, jika perintah pemerintah (atasan) telah dikeluarkan (diturunkan)." Tradisi MAKA dalam Budaya Bima dilakukan dalam dua momen: Saat seorang anak laki-laki selesai menjalani upacara Compo Sampari (ritual upacara kedewasaan anak laki-laki Bima), sebagai simbol bahwa ia siap membela tanah air di berbagai bidang yang digelutinya. Seharusnya dilakukan sendiri oleh si anak, namun tingkat kedewasaan anak zaman dulu dan...
Wisma Muhammadiyah Ngloji adalah sebuah bangunan milik organisasi Muhammadiyah yang terletak di Desa Sendangagung, Kecamatan Minggir, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Wisma ini menjadi pusat aktivitas warga Muhammadiyah di kawasan barat Sleman. Keberadaannya mencerminkan peran aktif Muhammadiyah dalam pemberdayaan masyarakat melalui pendekatan dakwah dan pendidikan berbasis lokal.
SMP Negeri 1 Berbah terletak di Tanjung Tirto, Kelurahan Kalitirto, Kecamatan Berbah, Sleman. Gedung ini awalnya merupakan rumah dinas Administratuur Pabrik Gula Tanjung Tirto yang dibangun pada tahun 1923. Selama pendudukan Jepang, bangunan ini digunakan sebagai rumah dinas mandor tebu. Setelah Indonesia merdeka, bangunan tersebut sempat kosong dan dikuasai oleh pasukan TNI pada Serangan Umum 1 Maret 1949, tanpa ada yang menempatinya hingga tahun 1951. Sejak tahun 1951, bangunan ini digunakan untuk kegiatan sekolah, dimulai sebagai Sekolah Teknik Negeri Kalasan (STNK) dari tahun 1951 hingga 1952, kemudian berfungsi sebagai STN Kalasan dari tahun 1952 hingga 1969, sebelum akhirnya menjadi SMP Negeri 1 Berbah hingga sekarang. Bangunan SMP N I Berbah menghadap ke arah selatan dan terdiri dari dua bagian utama. Bagian depan bangunan asli, yang sekarang dijadikan kantor, memiliki denah segi enam, sementara bagian belakangnya berbentuk persegi panjang dengan atap limasan. Bangunan asli dib...
Pabrik Gula Randugunting menyisakan jejak kejayaan berupa klinik kesehatan. Eks klinik Pabrik Gula Randugunting ini bahkan telah ditetapkan sebagai cagar budaya di Kabupaten Sleman melalui SK Bupati Nomor Nomor 79.21/Kep.KDH/A/2021 tentang Status Cagar Budaya Kabupaten Sleman Tahun 2021 Tahap XXI. Berlokasi di Jalan Tamanmartani-Manisrenggo, Kalurahan Tamanmartani, Kapanewon Kalasan, Kabupaten Sleman, pabrik ini didirikan oleh K. A. Erven Klaring pada tahun 1870. Pabrik Gula Randugunting berawal dari perkebunan tanaman nila (indigo), namun, pada akhir abad ke-19, harga indigo jatuh karena kalah dengan pewarna kain sintesis. Hal ini menyebabkan perkebunan Randugunting beralih menjadi perkebunan tebu dan menjadi pabrik gula. Tahun 1900, Koloniale Bank mengambil alih aset pabrik dari pemilik sebelumnya yang gagal membayar hutang kepada Koloniale Bank. Abad ke-20, kemunculan klinik atau rumah sakit di lingkungan pabrik gula menjadi fenomena baru dalam sejarah perkembangan rumah sakit...
Kompleks Panti Asih Pakem yang terletak di Padukuhan Panggeran, Desa Hargobinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, merupakan kompleks bangunan bersejarah yang dulunya berfungsi sebagai sanatorium. Sanatorium adalah fasilitas kesehatan khusus untuk mengkarantina penderita penyakit paru-paru. Saat ini, kompleks ini dalam kondisi utuh namun kurang terawat dan terkesan terbengkalai. Beberapa bagian bangunan mulai berlumut, meskipun terdapat penambahan teras di bagian depan. Kompleks Panti Asih terdiri dari beberapa komponen bangunan, antara lain: Bangunan Administrasi Paviliun A Paviliun B Paviliun C Ruang Isolasi Bekas rumah dinas dokter Binatu dan dapur Gereja