Sampyong Sebagai Kearifan Lokal Kota Angin (Majalengka)
Sampyong merupakan salah satu seni pertunjukan tradisional masyarakat Majalengka. Nama sampyong berasal dari dua suku kata, yaitu "Sam" dan "Pyong". Sam, yang berarti tiga, dan Pyong yang berarti pukulan. Nama tersebut diambil dari salah seorang penonton keturunan Cina yang secara tidak sengaja mengucapkan kata itu ketika ia tertarik dengan jumlah pukulan pertunjukan tersebut.
Menurut sejarah, pada tahun 1960, di daerah Cibodas, kecamatan Majalengka terdapat pemainan rakyat tradisional, dengan nama Ujungan (Sampyong yang dikenal saat ini). Permainan tersebut adalah permainan adu ketangkasan dan kekuatan, yaitu dimana pemain nya akan saling memukul. Terdiri dari dua orang pemain yang saling berhadapan, baik perempuan ataupun laki-laki, serta dipimpin oleh seorang wasit. Alat pemukulnya berupa rotan dengan panjang 60 cm, para pemain menggunakan pelindung kepala, yang disebut taregos atau balakutal, dan sasaran pukul nya tak terbatas.
Ujungan tersebut merupakan cikal bakal munculnya kesenian tradisional Sampyong yang dikenal saat ini, namun ada perubahan pada aturan mainnya, yang dahulu sasaran dan banyaknya pukulan tak terbatas, kini ada aturan tersendiri, dimana aturanya adalah:
Adapun urutan acara dari pertunjukan sampyong, yaitu:
Sampyong biasanya dipertunjukan di acara hajatan, adu ketangkasan domba, festival budaya, dan karena merupakan kesenian tradisional asli Majalengka, maka Sampyong juga turut di pertontonkan di acara-acara besar di Majalengka, salah satunya adalah Hut Majalengka.
Dibalik eksis nya kesenian Sampyong, khusus nya untuk daerah Majalengka sendiri, ada orang-orang berkearifan lokal yang cinta akan daerah nya, yaitu dia adalah tokoh-tokoh pelestari Sampyong, dianataranya adalah Bapak Sanen (Alm), Lewo, Mang Kiyun, Mang Karta, K. Almawi, Baron, Komar, Anah, Emindan, dan ada beberapa tokoh yang menyebar di daerah lain di Kabupaten Majalengka. Atas kerja keras mereka, Sampyong sedikit demi sedikit dikenal oleh masyarakat, khususnya masyarakat Majalengka.
Sampyong, sebagai salah satu seni yang tumbuh di tengah masyarakat Majalengka, Jawa Barat, adalah salah satu aset yang teramat berharga, dan tak akan bisa dinilai dengan rupiah. Sampyong menjadi kebanggaan masyarat Majalengka khususnya, dan Jawa Barat umumnya. Seni tersebut lahir dengan beribu filosofi, yang takkan bisa ditelaah dengan waktu singkat, yang tentunya relevan dengan kehidupan masyarakat Majalengka, teramat disayangkan apabila kesenian tersebut lenyap tak bersisa begitu saja, walaupun boleh dikata Indonesia memang mempunyai ragam seni dan budaya yang lebih dari sekedar itu, namun tetap saja sebanyak apapun walaupun harus lenyap satu persatu nantinya akan habis juga. Dengan demikian perlu kita perhatikan betul, dan patut dilestarikan salah satu kesenian yang ada di Indonesia ini, Sampyong bukan hanya milik Majalengka, bukan hanya milik Jawa Barat, tetapi milik Indonesia, negeri kita tercinta.
Kelahiran seorang anak yang dinantikan tentu membuat seorang ibu serta keluarga menjadi bahagia karena dapat bertemu dengan buah hatinya, terutama bagi ibu (melahirkan anak pertama). Tetapi tidak sedikit pula ibu yang mengalami stress yang bersamaan dengan rasa bahagia itu. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan tentang makna dari pra-kelahiran seseorang dalam adat Nias khusunya di Nias Barat, Kecamatan Lahomi Desa Tigaserangkai, dan menjelaskan tentang proses kelahiran anak mulai dari memberikan nama famanoro ono khora sibaya. Metode pelaksanaan dalam penelitian ini adalah menggunakan metode observasi dan metode wawancara dengan pendekatan deskriptif. pendekatan deskriptif digunakan untuk mendeskripsikan fakta sosial dan memberikan keterangan yang jelas mengenai Pra-Kelahiran dalam adat Nias. Adapun hasil dalam pembahasan ini adalah pra-kelahiran, pada waktu melahirkan anak,Pemberian Nama (Famatorõ Tõi), acara famangõrõ ono khõ zibaya (Mengantar anak ke rumah paman),...
Prajurit pemanah dari komunitas pemanah berkuda indonesia (KPBI) mengikuti Festival Keraton Nusantara 2017. mewakili kesultanan kasepuhan cirebon. PAKAIAN: terdiri dari ikat kepala/ totopong khas sunda jenis mahkuta wangsa. kain sembongb berwarnaungu di ikat di pinggang bersamaan dengan senjata tajam seperti golok dan pisau lalu baju & celana pangsi sunda. dengan baju corak ukiran batik khas sunda di bagian dada. untuk alas kaki sebagian besar memakai sendal gunung, namun juga ada yang memakai sepatu berkuda. BUSUR: sebagian besar memakai busur dengan model bentuk turkis dan ada juga memakai busur model bentuk korea. ANAK PANAH: Semua nya memakai anak panah bahan natural seperti bambu tonkin, kayu mapple & kayu spruce QUIVER (TEMPAT ANAK PANAH): Semua pemanah menggunakan quiver jenis backside quiver atau hip quiver . yaitu quiver yang anak panah di pasang di pinggang dan apabila anak panah di pasang di dalam quiver , nock anak panah menghadap ke belaka...
aksi pertunjukan pusaka dan pasukan kesultanan kacirebonan dari balaikota cirebon sampai ke keraton kacirebonan
Para pasukan penjaga keraton Sumedang larang